Share

Bab 2

Author: Seli
Renata bilang apartemennya sedang direnovasi, jadi untuk sementara dia akan menumpang di kamar tamu Keluarga Wirajaya.

Tritan mengiyakan dengan alasan yang terdengar dibuat-buat.

“Keluarga Kusuma sudah lama jadi mitra bisnis kita, nggak bisa diabaikan.”

Aku cuma bisa menghela napas. Alasan muluk seperti itu keluar dari mulutnya tanpa menanyakan pendapatku seolah aku memang tak pernah ada.

Begitulah akhirnya Renata masuk ke kediaman kami secara terang-terangan. Dia bebas berjalan di vila, bertingkah layaknya nyonya rumah. Sering kulihat dia lalu-lalang di ruang tamu hanya memakai piyama seksi, tanpa sungkan menyela percakapan antara aku dan Tritan. Dan Tritan? Dia tampak tak keberatan. Malah menikmati kedekatannya.

Suatu hari, saat lewat depan pintu ruang kerja, kudengar tawa Renata. Dari celah pintu kulihat dia duduk di samping Tritan. Mereka menunduk membahas dokumen, sangat dekat. Bibir merahnya nyaris menyentuh daun telinga Tritan.

“Tritan, kamu masih ingat, ‘kan? Dulu kamu pernah bantu aku ngerjain tugas matematika,” ucap Renata dengan tawa manja.

Tritan ikut tertawa.

“Gimana bisa lupa! Waktu itu nilai matematikamu parah banget, terpaksa deh aku bantu.”

Suaranya begitu lembut, sesuatu yang tak pernah kudengar darinya sebelumnya. Hatiku tiba-tiba terasa berat, membuatku enggan masuk.

Aku berbalik hendak pergi, tapi sudah terlambat. Tritan melihatku.

“Isabel, kamu datang tepat waktu. Renata usulkan mau pasang ayunan di taman,” katanya sambil melambaikan tangan.

“Ayo, kita diskusikan model ayunannya. Kamu suka yang seperti apa?”

Aku masuk dengan langkah berat.

“Oh, terserah saja… Aku masih harus menyelesaikan skripsi. Kalian bahas sendiri saja,” jawabku sambil menggaruk kepala. Aku akan segera pergi dari sini, lagi pula model ayunan itu bukan untukku, jadi itu tidak penting bagiku.

Renata menyungging senyum manja.

“Skripsi? Apa itu? Oh, aku ingat… dulu aku juga pernah nulis, tapi waktu itu Tritan yang buatkan. Minta tolong saja sama Tritan, dia hebat, lho!”

Tritan menatapku sesaat, seolah menunggu aku minta tolong. Namun aku tak butuh bantuannya. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.

“Nggak perlu. Aku bisa sendiri,” jawabku lalu segera pergi, dada sesak seperti ada batu besar menekan hingga aku sesak napas.

Malam itu Tritan kembali ke kamar cukup larut. Ada aroma parfum samar di tubuhnya, persis yang biasa dipakai Renata. Aku pura-pura tertidur saat dia berbaring di samping, tangannya menyentuh pinggangku, bibirnya menyentuh leher. Tubuhku tegang, perasaan campur aduk.

Aku ingin menolak, tapi tubuhku seolah tak mau menurut. Tiga tahun bersama, aku terbiasa dengan sentuhannya, terbiasa dengan kehadirannya di dekatku. Namun malam itu… perutku mual, hampir membuatku muntah.

“Ada apa?” Tritan menyadari ada yang berbeda pada diriku, lalu bertanya lembut.

“Nggak apa-apa… mungkin cuma salah makan,” jawabku pelan, menyingkirkan tubuhnya.

Tritan tak berkata apa-apa lagi, hanya menepuk punggungku dengan lembut.

Napasnya dekat, membuat hatiku campur aduk.

Lalu tiba-tiba terdengar keributan dari bawah, teriakan Renata.

“Tritan! Lampu tiba-tiba mati, sepertinya ada orang masuk ke kamar!”

Tritan langsung turun, buru-buru mengenakan pakaian, berlari ke lantai bawah. Setengah jam kemudian dia kembali. Ternyata hanya bohlam korsleting dan seekor kucing liar. Tapi reaksinya begitu panik, seolah Renata yang paling penting baginya.

...

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal, bersiap ke laboratorium. Tritan masih tertidur, Renata pun belum muncul. Aku sedikit lega. Namun saat aku melangkah ke ruang tamu, kusadari tasku tertinggal. Di dalamnya berkas surat cerai yang sudah ditandatangani dan formulir permohonan penelitian ke Norevia.

Saat hendak mengambilnya, terdengar suara Tritan dari belakang.

“Isabel, apa yang tertinggal?”

Aku berbalik, melihatnya memegang berkas. Wajahku memucat.

“Itu punyaku…”

Aku terbata-bata, berusaha menjelaskan.

“Ini apa? Formulir permohonan penelitian ke Norevia?” Tritan menatap berkas itu sebentar, lalu wajahnya berubah drastis.

“Kamu mau ke Norevia? Kapan? Aku nggak izinkan!”

“Oh, itu cuma formulir yang kubawa untuk temanku.” Aku berdalih canggung.

“Noveria, ya… kamu ‘kan nggak suka iklim di sana,” katanya datar, seolah tak peduli sama sekali.

Namun kata-katanya menusuk hatiku seperti pisau tajam.

Dulu kami pernah pergi berbulan madu ke Norevia, dan saat itu aku bahkan sempat memberitahunya bahwa aku menyukai suasana di sana.

Tapi sekarang… dia sudah tak mengingatnya, atau mungkin dari awal, dia memang tak pernah benar-benar peduli.

Tiba-tiba Tritan mengalihkan pembicaraan.

“Ngomong-ngomong, kalau kamu masih mau lanjut penelitian… Wirajaya Medical Center akan buka posisi kepala peneliti. Aku mau kamu mengisinya. Begitu lulus, kamu bisa langsung mulai.”

Aku terkejut, lalu menggeleng.

“Nggak perlu. Aku punya rencanaku sendiri.”

Kenyataannya, kemampuan risetku diakui semua dosen. Aku tak butuh hidup di bawah bayang-bayang ‘kebaikan’ atau ‘tawaran’-nya.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 11

    Tatapan Tritan tak pernah lepas dariku.Dia memperhatikanku bergerak lincah di laboratorium perkemahan, membahas rencana penelitian bersama tim, mencatat data dengan penuh fokus.Setiap kali mataku bertemu dengan matanya, aku bisa membaca perjuangan batin dan rasa sakit di balik sorot matanya.Kini dia mulai menyadari, aku sudah bukan lagi istri yang pasif dalam dunianya. Aku seorang peneliti mandiri, berbakat, dan penuh semangat.Seorang wanita yang selama ini belum pernah benar-benar dia pahami.Kesadaran itu, bagi Tritan, mungkin lebih menyakitkan daripada luka fisik mana pun.Dunia lamanya, benteng yang dibangun dari kekuasaan dan keinginan mengontrol, perlahan runtuh.Dia mencoba menggunakan logika lama untuk memahami semuanya, tapi sadar, logika itu tak lagi berguna.Dia tak bisa membeli maafku dengan uang, juga tak bisa memaksaku tetap tinggal dengan kekuasaannya.Di perkemahan ini, dia hanyalah seorang asing sepenuhnya.Tritan menutup matanya, perihnya merambat ke seluruh hati.

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 10

    “Isabel!”“Isabel!”Tritan dan Owen sama-sama terkejut, suara mereka nyaris bersamaan.Namun Tritan lebih cepat satu langkah. Dia melesat ke depan, langsung menangkapku ke dalam dekapannya.“Apa yang kamu lakukan?” Owen berteriak marah, mencoba merebutku.Namun Tritan memelukku erat, tatapannya penuh ketegasan.“Aku suaminya. Aku punya hak untuk menjaganya.”Dalam kekacauan itu, aku dibawa masuk ke tenda medis.Tritan duduk di samping ranjangku, menyiapkan segelas susu hangat dengan hati-hati. Dia mencoba memastikan suhunya, lalu menyodorkan sedotan ke bibirku.“Isabel… minumlah sedikit. Kamu akan merasa lebih baik.”Aku menerimanya dalam diam, menatap tangannya yang penuh bekas luka, tapi tetap terasa hangat dan lembut.Hati ini terasa campur aduk.Dulu, tangan ini adalah sandaran terkuat bagiku. Kini, justru menjadi sumber luka yang terdalam di hatiku.Aku meneguk susu itu tanpa sepatah kata. Tritan pun diam, hanya menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak.Hening. Hanya terdeng

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 9

    Aku menoleh, menatap Tritan dengan sorot mata dingin penuh jarak, seolah menatap orang asing.Wajahnya tercetak keterkejutan dan kesakitan. Suaranya bergetar saat mencoba membuka mulut.“Isabel… ini aku… aku Tritan…”Aku tetap tenang, tapi nada suaraku dingin.“Pak Tritan, antara kita… sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Menjelang fajar, upaya penyelamatan perlahan berubah menjadi tahap pemulihan.Tritan kembali menghentikanku. Suaranya rendah penuh putus asa.“Isabel, aku tahu aku sudah lakukan kesalahan yang nggak termaafkan… tapi kamu hamil! Bayi itu juga anakku!”Aku menatapnya dingin.“Lalu kenapa? Itu nggak mengubah apa pun.”“Aku mohon… beri aku satu kesempatan untuk menebus semuanya.” Suaranya terdengar memelas.Aku tetap membeku.“Tritan, antara kita… sudah berakhir. Silakan pergi!”“Isabel… kumohon… lihat aku!” teriaknya dalam kesakitan.Aku tetap acuh, menoleh menjauh.“Tritan… sungguh ironis. Dulu, saat mataku hanya memandangmu, kamu nggak pernah menghargainya. Seka

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 8

    Tritan mencengkeram bahu gadis itu, suaranya rendah tapi tergesa-gesa.“Dia di mana? Isabel… sekarang ada di mana?!”Gadis itu terkejut, beberapa detik terdiam sebelum akhirnya menjawab terbata-bata.“Dia… dia minggu lalu pergi ke Norevia, ikut program pertukaran penelitian.”Norevia?Mendengar kata itu, dada Tritan terasa sesak.Dia teringat perkataannya dulu, saat menertawakanku ketika melihat formulir permohonan untuk ikut pertukaran itu.“Norevia? Di sana cuacanya begitu dingin, iklimnya buruk… kamu pasti nggak akan betah.”Saat itu, aku hanya menundukkan kepala, diam tak bersuara.Kini, kenangan itu menusuknya, semua harapanku yang dulu tampak konyol di matanya, kini benar-benar nyata.Tritan merasa dadanya sesak luar biasa. Perlahan, dengan napas berat, dia melepaskan genggaman dari bahu gadis itu dan mundur beberapa langkah, tergopoh-gopoh.“Kamu… baik-baik saja?” tanya gadis itu cemas.Tritan tak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, dalam, dan berat, lalu berbalik melangk

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 7

    Jari-jarinya gemetar saat menyentuh stempel merah di atas surat cerai itu. Tatapannya penuh keterkejutan dan penyesalan.“Bagaimana bisa… bagaimana aku bisa menandatangani ini…?”Renata berdiri di sampingnya, sesekali menoleh ke akta cerai itu. Sebuah senyum tipis terukir di sudut bibirnya, meninggalkan tatapan yang penuh ejekan.“Sudahlah, Tritan. Jangan terlalu khawatir. Isabel cuma sedang ngambek. Pada akhirnya, dia tetap akan berlutut padamu, memohon untuk diterima lagi.”“Bagaimanapun, dia cuma mahasiswi miskin. Mana mungkin dia tega meninggalkanmu, penopang hidupnya.”“Diam!” Tritan tiba-tiba mendongak, sorot matanya membara dengan amarah.“Dia istriku!”Dengan amarah yang meluap, dia mendorong Renata menjauh, lalu melangkah cepat menuju pintu.Tubuh Renata terhuyung, menabrak vas kristal di sampingnya.Pyar!Vas itu jatuh keras, pecah berkeping-keping, serpihan kaca berserakan seakan mencerminkan pernikahan mereka yang hancur.Tanpa menoleh sedikit pun, Tritan bergegas keluar, m

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 6

    Di sisi lain, Tritan terus merasa hatinya gelisah, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya tanpa henti.Tiba-tiba, sebuah kesadaran menghantamnya, seakan dia baru kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tak seharusnya dia abaikan.Namun saat pikirannya berusaha kembali fokus, sebuah motor melaju kencang dari arah berlawanan.Tritan refleks menginjak rem sekuat tenaga. Ban mobil berdecit keras, gesekannya dengan aspal menimbulkan suara melengking yang menusuk telinga.Di kursi penumpang, wajah Renata seketika pucat pasi, dia menjerit keras.“Tritan! Apa yang kamu pikirkan barusan? Kamu hampir membuatku mati ketakutan!”Namun Tritan tak menghiraukannya. Dadanya bergemuruh, pikirannya dipenuhi kekosongan yang menyesakkan.Saat itulah dia sadar, sudah lama sekali dia tak menerima kabar dariku.“Tritan?” Suara Renata kini sarat dengan nada kesal.Tritan hanya menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin.“Maaf,” ujarnya datar. “Aku hanya sedikit melamun.”Sambil meminta maaf, dia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status