Sahabat masa kecil yang berjanji akan menikah denganku begitu kami lulus kuliah, malah melamar gadis kaya palsu bernama Cita di hari wisudaku. Namun, Simon yang dikenal sebagai pria suci dari kalangan elite ibu kota, menyatakan cinta padaku secara terbuka setelah lamaran itu berhasil. Selama lima tahun pernikahan, dia memperlakukanku dengan lembut dan memanjakanku seolah aku adalah segalanya. Sampai suatu hari, aku tidak sengaja mendengar percakapannya dengan sahabatnya. "Simon, sekarang Cita sudah terkenal, kamu masih mau terus berpura-pura sama Monica?" "Lagian, aku nggak bisa menikahi Cita, jadi nggak masalah. Selama ada aku, Monica nggak akan bisa mengganggu kebahagiaan Cita." Kitab suci yang selama ini disimpannya dengan baik, tertulis nama Cita di setiap bagiannya. [ Semoga Cita bisa terbebas dari obsesinya, semoga dia damai lahir batin. ] [ Semoga segala yang diinginkan Cita tercapai, semoga cintanya tak pernah dirundung duka. ] .... [ Cita, aku nggak berjodoh denganmu di kehidupan ini. Aku hanya berharap di kehidupan selanjutnya bisa menggenggam tanganmu dan menemanimu selamanya. ] Mimpi selama lima tahun, tersadarkan dalam sekejap. Aku pun menyusun identitas palsu dan merencanakan sebuah insiden tenggelam. Sejak itu, kita tidak perlu lagi bertemu selama-lamanya.
Lihat lebih banyakTatapan Simon dipenuhi permohonan dan tampak rendah diri, seolah-olah selama bisa tetap di sisiku, dia rela mengorbankan segalanya.Saat itu, Yerick angkat bicara. Suaranya tenang, tetapi mengandung ketajaman. "Pak Simon, aku nggak tahu sepenuhnya apa yang terjadi di antara kalian. Menurutku, apakah kamu pantas untuk tetap di sisinya, itu tergantung pada keinginannya sendiri.""Dari tadi kamu hanya bicara soal perasaanmu. Tapi, apa kamu pernah memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan?"Simon termangu, membuka mulut, tetapi tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.Aku menatapnya. Suaraku tenang, tetapi penuh ketegasan. "Simon, semua yang terjadi lima tahun lalu sudah berlalu. Meskipun aku masih hidup, aku tahu kamu bukan pilihanku lagi."Wajah Simon berangsur memucat, tetapi aku tetap melanjutkan dengan mantap, "Jangan paksa aku menganggap semua yang pernah kita lalui itu adalah sebuah kesalahan. Atau kamu ingin aku benar-benar mati agar kamu bisa melepaskanku?""Bukan begitu!" serun
Simon sama sekali tidak memedulikan kata-kata Cita. Tatapannya tak pernah terlepas dariku.Dengan tulus, dia berkata, "Monica, dengarkan aku. Aku benar-benar menyesal. Ini semua salahku. Aku yang nggak menghargaimu. Kumohon, beri aku satu kesempatan.""Kesempatan?" Aku tertawa dingin, menatapnya tajam. "Simon, kamu masih merasa pantas bicara begitu padaku?""Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengabaikanmu, nggak seharusnya percaya pada orang lain. Semua salahku. Aku bersedia berubah. Kumohon, maafkan aku ...."Suaranya semakin rendah, hampir seperti sedang memohon. "Asal kamu mau, aku rela melakukan apa pun."Melihat itu, Cita tampak sangat panik. Wajahnya menegang menahan amarah, lalu dia menyela, "Simon, dulu kamu bilang kamu cuma cinta aku! Kamu ....""Diam!" potong Simon dingin. Tatapannya kini begitu tajam dan dingin, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Aku sudah bilang semuanya dengan jelas. Apa pun yang kamu katakan sekarang, itu nggak ada hubungannya denganku.
Sebelum Cita sempat menyelesaikan ucapannya, dia tiba-tiba menerjang ke arahku.Secara refleks, aku melindungi anak-anak di belakangku. Aku tidak sempat menghindar. Tangannya mencengkeram bajuku dengan kasar, kukunya meninggalkan beberapa luka berdarah di lenganku."Berhenti!" bentakku. Namun, dia seperti orang gila yang kehilangan kendali, mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh ke lantai.Beberapa anak kecil menjerit ketakutan.Dengan mata berkaca-kaca, Justin memberanikan diri mendekat dan memukulnya dengan tinjunya yang kecil. "Jangan sakiti guruku!"Cita tertegun sesaat, lalu amarahnya semakin meledak. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu sentuh aku!"Dia mengangkat tangannya, hendak memukul Justin. Aku segera bangkit dan berlari menahannya, menangkis tamparan itu dengan tubuhku sendiri.Rasa perih yang menyengat terasa di bahuku, tetapi aku tetap memeluk anak-anak dengan erat. Aku membentak, "Cukup! Cita, kalau kamu terus seperti ini, aku akan melaporkanmu ke polisi!"Di
"Coba saja, lukisanmu pantas untuk dilihat lebih banyak orang."Malam itu, aku mengambil kembali kuas yang sudah lama kusimpan.Di atas kanvas, perlahan-lahan muncul permukaan laut yang tenang. Langit menyambut cahaya fajar pertama, air berkilauan memantulkan bayanganku sendiri.Ketika menyelesaikan goresan terakhir, aku tiba-tiba menyadari. Lukisan ini bukan untuk dia, bukan juga untuk siapa pun. Lukisan ini untuk diriku sendiri.Pada hari pameran, karyaku mendapat pengakuan tinggi dari para juri. Bakat yang selama bertahun-tahun ini kupendam, akhirnya kembali terlihat oleh dunia.Kupikir ini hanya awal baru dalam hidupku. Namun, aku tidak menyangka "kepulangan" ini akan menghancurkan seluruh ketenangan yang telah susah payah kuperoleh.Suatu hari saat mengajar, aku sedang menjelaskan teori perpaduan warna kepada anak-anak. Sinar matahari menembus jendela studio, anak-anak melukis dalam keheningan, ruangan penuh dengan kedamaian yang sudah lama tak kurasakan.Tiba-tiba, pintu studio t
Dia mulai mengenang masa lalu, sedangkan aku perlahan-lahan menjauh."Bu, lagi lihat apa?" tanya seorang anak laki-laki bernama Justin dengan rasa ingin tahu sambil mendekatkan kepalanya dari samping.Aku buru-buru menutup halaman di ponselku, lalu menyahut dengan pelan, "Nggak ada apa-apa. Gambar garis kamu belum selesai, cepat lanjutkan ya.""Bu." Dia memiringkan kepalanya, lalu bertanya, "Lagi sedih ya?"Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nggak kok, jangan pikir yang aneh-aneh."Justin berlari pergi dan aku memandang layar ponselku dengan tatapan kosong. Benar, aku sedang sedih.Namun, bukan karena mereka, melainkan karena pesan-pesan ini menyeretku kembali ke masa lalu yang penuh kebohongan dan pengkhianatan.Suatu hari saat aku sedang mengajar anak-anak di studio, datang seorang pemuda. Pemuda itu berdiri di depan pintu, membawa seikat bunga besar di tangannya."Halo, aku paman Justin. Namaku Yerick. Ini untukmu," kata pemuda itu dengan agak hati-hati. "Justin sangat meny
Tidak ada seorang pun yang tahu di mana aku bersembunyi. Tidak ada yang tahu bahwa aku sebenarnya telah lama mempersiapkan diri untuk hidup sendiri hingga akhir usia. Saat pertama kali pindah ke kota ini, aku menolak berinteraksi dengan siapa pun.Membeli bahan makanan, menyewa tempat tinggal, bahkan mengurus tagihan air dan listrik, semuanya kulakukan dengan kata-kata sesedikit mungkin.Orang-orang menganggapku dingin dan aneh. Lambat laun, mereka pun berhenti mencoba mendekat. Memang, justru itu yang kuinginkan.Dengan sisa tabunganku, aku membuka sebuah studio lukis kecil khusus untuk anak-anak.Dulu, aku percaya bahwa bakatku diberikan agar aku bisa berdiri di bawah sorotan panggung pameran seni, agar aku menerima tepuk tangan dan sanjungan dari ribuan pasang mata.Namun sekarang, aku hanya ingin menggambar garis-garis sederhana dalam diam sambil mengajarkan seni pada beberapa anak polos.Sebulan kemudian, pihak layanan kematian palsu menghubungiku dan berkata, "Simon sedang mencar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen