Share

Bab 3

Author: Seli
Permohonan riset empat tahun ke Norevia dari kampus akhirnya disetujui.

Aku berpikir, mungkin menjauh dari Tritan dan Renata adalah satu-satunya cara untuk menemukan kembali diriku yang dulu.

Sebenarnya, saat pertama kali kusadari ada kedekatan di antara mereka, aku pernah berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Aku terus meyakinkan diri.

“Mungkin aku yang kebanyakan pikiran. Mungkin mereka cuma teman baik.”

Namun tiap kali melihat senyum di wajahnya saat bersama Renata, tiap kali mendengar bisik-bisik mesra mereka, hatiku seakan ditusuk-tusuk oleh pisau tumpul.

Aku tahu, aku tak bisa menipu diri sendiri lagi.

Kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat bersama Renata… itu bukan sandiwara. Itu nyata. Ekspresi yang tak pernah sekalipun kulihat ketika kami sedang bersama.

Jadi ketika tawaran riset ke Norevia datang untuk kedua kalinya, aku tak menolak. Sudah waktunya pergi.

Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku mulai merapikan barang-barang. Pakaian, buku, kosmetik, semua masuk koper satu per satu.

Aku berjalan ke ruang tamu, menyingkirkan foto dan pajangan. Mataku terhenti pada bingkai kristal yang memajang foto pernikahan kami, senyum kami yang dulu manis sekali, seolah dunia sedang merayakan. Kini semuanya terasa asing. Aku menarik napas panjang, lalu melemparkan foto itu ke tempat sampah.

Lima tahun pernikahan... berakhir seperti ini.

Minggu berikutnya kuhabiskan untuk menyelesaikan tesis dan persiapan penelitian. Komunikasi dengannya nyaris terputus. Aku menunggu saja sampai akta cerai resmi keluar. Aneh... hari-hari itu justru terasa lebih ringan.

Suatu sore, ketika keluar dari laboratorium, ponselku berdering. Nama Tritan muncul di layar.

“Isabel, sudah selesai? Aku jemput, ya.” Suaranya rendah, lembut, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.

Aku terdiam, lalu menjawab pelan, “Baik.”

Setengah jam kemudian, mobilnya menepi di depan gedung. Aku masuk, duduk membisu. Tritan menoleh sebentar.

“Akhir-akhir ini kamu sibuk?” tanyanya.

“Ya, jadwal peneletian lagi padat,” jawabku datar. Bagaimanapun, sebentar lagi aku akan pergi. Semua pekerjaan harus beres sebelum itu.

“Oh iya… bulan depan Renata mau pindah. Katanya… takut ganggu kamu,” ucapnya hati-hati.

Seketika aku menunduk.

“Oh, begitu? Katakan padanya nggak masalah, kok. Aku nggak keberatan.”

Tritan tampak terkejut mendengar responku. Tatapannya sempat berhenti padaku, seolah ingin berkata sesuatu lagi, tapi urung. Aku menutup mata, berpura-pura tertidur.

Keesokan harinya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Aku merasa tak enak badan, dan menstruasi terlambat. Aku memutuskan periksa ke rumah sakit.

Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter menatap hasil USG lalu menatapku di balik kacamatanya.

“Selamat. Usia kandungan Ibu sudah dua setengah bulan.”

Kata-kata itu menghantamku seperti benda berat. Anak ini... mungkin buah dari pertemuan terakhirku dan Tritan, sebelum Renata hadir dalam hidup kami.

Kulangkahkan kaki keluar ruang pemeriksaan, berniat memberi tahu Tritan. Belum sempat telepon tersambung, kulihat dia memasuki rumah sakit. Di sisinya Renata melangkah tenang, berselimutkan mantel miliknya.

Suara dokter dari balik pintu terdengar jelas di telingaku.

“Ibu baru hamil, banyak istirahat, jangan lakukan aktivitas berat.”

Renata juga hamil?

Tubuhku membeku. Ada sesuatu yang meremas dadaku sampai kata-kata tak lagi mau keluar.

Tritan menoleh dan melihatku. Sekilas wajahnya terkejut, lalu buru-buru menghampiri.

“Isabel? Kenapa kamu di sini?”

Aku hanya menatapnya, dadaku terasa seperti dihantam palu godam.

“Aku…” Bibirku bergetar, suaraku tercekat tak keluar.

Haruskah kukatakan? Haruskah kuberitahu kalau aku juga sedang hamil?

Namun… aku dan Renata hamil di waktu yang sama. Apa dia akan memilihku?

Tidak. Dia tak akan memilihku.

Lalu untuk apa kuberitahu?

Melihat aku tak menjawab, Tritan mengulang, “Isabel, kenapa kamu di rumah sakit?”

Wajahnya penuh khawatir.

“Aku… aku nggak apa-apa. Cuma belakangan sering sakit kepala.” jawabku serak, menunduk, berusaha menyembunyikan gemetar di mataku.

Tritan mengulurkan tangan hendak menggenggamku, tapi aku menepisnya.

Tanganku gemetar, memeluk erat kertas hasil USG yang cepat-cepat kuselipkan ke dalam tas.

“Aku masih ada urusan. Aku pergi dulu.”

“Isabel, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!” Tritan segera mengejarku, suaranya panik.

“Jangan sentuh aku!” Aku membentak dengan nada dingin, lalu berbalik dan berlari tanpa menoleh.

Namun di saat yang sama, Renata menggenggam lengan Tritan.

“Tritan! Kamu sudah janji padaku… Jangan biarkan orang lain tahu tentang hal ini…”

Tubuh Tritan seketika kaku seolah tersengat listrik. Langkahnya terhenti, tangannya jatuh lemas di sisi tubuhnya.

Aku tak menoleh.

Aku hanya berbalik melangkah pergi dengan punggung yang dingin.

Angin malam menusuk wajahku seperti bilah pisau, persis seperti rasa perih yang menjerat hatiku. Getir, pedih, dan hampa.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 11

    Tatapan Tritan tak pernah lepas dariku.Dia memperhatikanku bergerak lincah di laboratorium perkemahan, membahas rencana penelitian bersama tim, mencatat data dengan penuh fokus.Setiap kali mataku bertemu dengan matanya, aku bisa membaca perjuangan batin dan rasa sakit di balik sorot matanya.Kini dia mulai menyadari, aku sudah bukan lagi istri yang pasif dalam dunianya. Aku seorang peneliti mandiri, berbakat, dan penuh semangat.Seorang wanita yang selama ini belum pernah benar-benar dia pahami.Kesadaran itu, bagi Tritan, mungkin lebih menyakitkan daripada luka fisik mana pun.Dunia lamanya, benteng yang dibangun dari kekuasaan dan keinginan mengontrol, perlahan runtuh.Dia mencoba menggunakan logika lama untuk memahami semuanya, tapi sadar, logika itu tak lagi berguna.Dia tak bisa membeli maafku dengan uang, juga tak bisa memaksaku tetap tinggal dengan kekuasaannya.Di perkemahan ini, dia hanyalah seorang asing sepenuhnya.Tritan menutup matanya, perihnya merambat ke seluruh hati.

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 10

    “Isabel!”“Isabel!”Tritan dan Owen sama-sama terkejut, suara mereka nyaris bersamaan.Namun Tritan lebih cepat satu langkah. Dia melesat ke depan, langsung menangkapku ke dalam dekapannya.“Apa yang kamu lakukan?” Owen berteriak marah, mencoba merebutku.Namun Tritan memelukku erat, tatapannya penuh ketegasan.“Aku suaminya. Aku punya hak untuk menjaganya.”Dalam kekacauan itu, aku dibawa masuk ke tenda medis.Tritan duduk di samping ranjangku, menyiapkan segelas susu hangat dengan hati-hati. Dia mencoba memastikan suhunya, lalu menyodorkan sedotan ke bibirku.“Isabel… minumlah sedikit. Kamu akan merasa lebih baik.”Aku menerimanya dalam diam, menatap tangannya yang penuh bekas luka, tapi tetap terasa hangat dan lembut.Hati ini terasa campur aduk.Dulu, tangan ini adalah sandaran terkuat bagiku. Kini, justru menjadi sumber luka yang terdalam di hatiku.Aku meneguk susu itu tanpa sepatah kata. Tritan pun diam, hanya menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak.Hening. Hanya terdeng

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 9

    Aku menoleh, menatap Tritan dengan sorot mata dingin penuh jarak, seolah menatap orang asing.Wajahnya tercetak keterkejutan dan kesakitan. Suaranya bergetar saat mencoba membuka mulut.“Isabel… ini aku… aku Tritan…”Aku tetap tenang, tapi nada suaraku dingin.“Pak Tritan, antara kita… sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Menjelang fajar, upaya penyelamatan perlahan berubah menjadi tahap pemulihan.Tritan kembali menghentikanku. Suaranya rendah penuh putus asa.“Isabel, aku tahu aku sudah lakukan kesalahan yang nggak termaafkan… tapi kamu hamil! Bayi itu juga anakku!”Aku menatapnya dingin.“Lalu kenapa? Itu nggak mengubah apa pun.”“Aku mohon… beri aku satu kesempatan untuk menebus semuanya.” Suaranya terdengar memelas.Aku tetap membeku.“Tritan, antara kita… sudah berakhir. Silakan pergi!”“Isabel… kumohon… lihat aku!” teriaknya dalam kesakitan.Aku tetap acuh, menoleh menjauh.“Tritan… sungguh ironis. Dulu, saat mataku hanya memandangmu, kamu nggak pernah menghargainya. Seka

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 8

    Tritan mencengkeram bahu gadis itu, suaranya rendah tapi tergesa-gesa.“Dia di mana? Isabel… sekarang ada di mana?!”Gadis itu terkejut, beberapa detik terdiam sebelum akhirnya menjawab terbata-bata.“Dia… dia minggu lalu pergi ke Norevia, ikut program pertukaran penelitian.”Norevia?Mendengar kata itu, dada Tritan terasa sesak.Dia teringat perkataannya dulu, saat menertawakanku ketika melihat formulir permohonan untuk ikut pertukaran itu.“Norevia? Di sana cuacanya begitu dingin, iklimnya buruk… kamu pasti nggak akan betah.”Saat itu, aku hanya menundukkan kepala, diam tak bersuara.Kini, kenangan itu menusuknya, semua harapanku yang dulu tampak konyol di matanya, kini benar-benar nyata.Tritan merasa dadanya sesak luar biasa. Perlahan, dengan napas berat, dia melepaskan genggaman dari bahu gadis itu dan mundur beberapa langkah, tergopoh-gopoh.“Kamu… baik-baik saja?” tanya gadis itu cemas.Tritan tak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, dalam, dan berat, lalu berbalik melangk

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 7

    Jari-jarinya gemetar saat menyentuh stempel merah di atas surat cerai itu. Tatapannya penuh keterkejutan dan penyesalan.“Bagaimana bisa… bagaimana aku bisa menandatangani ini…?”Renata berdiri di sampingnya, sesekali menoleh ke akta cerai itu. Sebuah senyum tipis terukir di sudut bibirnya, meninggalkan tatapan yang penuh ejekan.“Sudahlah, Tritan. Jangan terlalu khawatir. Isabel cuma sedang ngambek. Pada akhirnya, dia tetap akan berlutut padamu, memohon untuk diterima lagi.”“Bagaimanapun, dia cuma mahasiswi miskin. Mana mungkin dia tega meninggalkanmu, penopang hidupnya.”“Diam!” Tritan tiba-tiba mendongak, sorot matanya membara dengan amarah.“Dia istriku!”Dengan amarah yang meluap, dia mendorong Renata menjauh, lalu melangkah cepat menuju pintu.Tubuh Renata terhuyung, menabrak vas kristal di sampingnya.Pyar!Vas itu jatuh keras, pecah berkeping-keping, serpihan kaca berserakan seakan mencerminkan pernikahan mereka yang hancur.Tanpa menoleh sedikit pun, Tritan bergegas keluar, m

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 6

    Di sisi lain, Tritan terus merasa hatinya gelisah, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya tanpa henti.Tiba-tiba, sebuah kesadaran menghantamnya, seakan dia baru kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tak seharusnya dia abaikan.Namun saat pikirannya berusaha kembali fokus, sebuah motor melaju kencang dari arah berlawanan.Tritan refleks menginjak rem sekuat tenaga. Ban mobil berdecit keras, gesekannya dengan aspal menimbulkan suara melengking yang menusuk telinga.Di kursi penumpang, wajah Renata seketika pucat pasi, dia menjerit keras.“Tritan! Apa yang kamu pikirkan barusan? Kamu hampir membuatku mati ketakutan!”Namun Tritan tak menghiraukannya. Dadanya bergemuruh, pikirannya dipenuhi kekosongan yang menyesakkan.Saat itulah dia sadar, sudah lama sekali dia tak menerima kabar dariku.“Tritan?” Suara Renata kini sarat dengan nada kesal.Tritan hanya menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin.“Maaf,” ujarnya datar. “Aku hanya sedikit melamun.”Sambil meminta maaf, dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status