"Kamu suka macaron?"
Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron?
"Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya.
Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita.
Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya.
"Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sahabatnya. Dan kue lain yang ada di stand di sebelahnya.
"Rasanya aku sudah cukup dengan cuma lihat kamu makan."
Gita hampir tersedak mendengarnya. Andaikan itu diucapkan oleh Lukman, dia mungkin akan merasa senang. Tetapi, ketika kalimat itu diujarkan oleh seseorang yang baru dikenalnya, itu terdengar... aneh?
Apakah ini karena dia telah menutup hatinya sehingga kalimat-kalimat romantis seperti itu tak mempan lagi kepadanya?
Gita menelan makanannya lalu menoleh ke arah Dewa. Ditariknya napas dalam sebelum mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. "Dewa." Dia memulainya dengan menyebut nama sang pria. "Maaf soal Dela. Tapi aku lagi nggak tertarik punya kekasih," lanjutnya.
Mereka diam.
Situasi ini sebenarnya agak canggung bagi Gita. Dia memiliki sisa macaron di tangan kanannya dan dia merasa kikuk karenanya. Seharusnya, dia meletakkannya dulu atau menghabiskannya sebelum memulai percakapan serius ini.
Tapi, semua itu sudah terlambat. Dia hanya berharap Dewa dapat mengerti dan meninggalkannya sehingga dia bisa meneruskan makannya.
Oh, betapa buruk pikirannya yang hanya memikirkan soal dirinya sendiri!
Dewa memandang lurus ke dalam mata kecokelatan Gita. Dia mempertahankannya selama beberapa detik sebelum berkata, "Kenapa mesti buru-buru?"
Sebab lebih baik mengatakannya sekarang ketika mereka belum benar-benar saling mengenal. Jika Gita menundanya, dia takut Dewa telah memiliki harapan terhadapnya.
Tapi, Gita tidak mengatakannya. Dia masih memikirkan bagaimana cara menolak Dewa.
"Kita nggak tahu soal masa depan," ujar Dewa lagi.
Ya, benar. Tidak ada yang tahu mengenai masa depan. Namun, Gita telah menjanjikan sesuatu berkaitan masa depannya kepada pria lain. Dia tidak mau merusak janji yang bahkan belum mulai ditepatinya.
"Kita bisa jadi teman." Dewa terus berkata setelah tak mendapatkan respons dari Gita. Itulah caranya membujuk wanita tersebut.
Teman?
Pernyataannya terdengar sederhana. Tapi, bukankah nyaris semua hubungan dimulai dengan pertemanan? Dan itu bisa berakhir baik atau buruk.
Gita hanya diam menatap pria di hadapannya. Rasa-rasanya, dia keterlaluan jika menolak hubungan sederhana ini. Lagian, apa salahnya dengan menjadi teman? Siapa tahu mereka akan jadi sahabat?
Masalahnya, dia sudah mengetahui maksud Dewa di balik penawaran pertemanan tersebut. Itu jelas bukan lagi ide yang bagus.
"Maaf, aku-"
"Cuma teman. Sungguh," potong Dewa sebelum Gita sempat mengujarkan penolakannya.
Gita kembali terdiam. Tak lama kemudian, hembusan napas berat keluar dari bibirnya. "Hanya teman," ulangnya, memberi penegasan akan maksudnya. "Nggak lebih dari teman." Seolah-olah belum cukup, dia mengatakannya lagi untuk memastikan Dewa benar-benar mengerti maksudnya.
Senyum lebar tercetak di wajah Dewa. "Iya, hanya teman." Lalu, dia menyodorkan tangannya ke arah Gita.
Gita melihatnya selama beberapa detik lalu menjabatnya. "Hanya teman."
Malamnya, ada makan malam keluarga. Dan keluarga Gita juga diundang mengingat persahabatan Gita dan Lukman juga kedua orang tua mereka.
"Selamat untuk pernikahan anak kita," Ibu Dela, berkata sembari mengangkat gelasnya. Kegembiraan terpancar di wajah cantiknya, begitu pun dengan Ayah Dela, dan kedua orang tua Lukman. Ya, malam ini masih menjadi bagian dari hari bahagia anaknya.
Semua orang di sana mengikuti tingkah ibu Dela lalu mulai menenggak minumannya masing-masing.
"Aku sudah duga kedua anak kita akan menikah." Ibu Dela berkata lagi di tengah menikmati makan malamnya. Berbagai jenis makanan tersedia di atas meja, seperti steak dengan salad, kentang goreng, dan lasagna.
Dan Gita telah mencoba semuanya. Dia merasa ingin memakan semua makanan tersebut. Sepertinya ini berkaitan dengan stresnya. Ketika dia tidak memiliki makanan manis, pelariannya adalah makanan apa pun.
"Iya, aku juga mikir begitu. Mereka kelihatan cocok sejak awal pacaran," sahut ibu Lukman.
Gita tidak begitu mendengarkan lanjutannya. Kenyataannya, hanya makanan yang menarik perhatiannya.
"Pelan-pelan, Git." Tiba-tiba Lukman mengingatkannya, yang otomatis menyela pembicaraan di sana dengan hal yang tak penting. Gita.
Sebenarnya, Gita menikmati makan malamnya dengan perlahan. Namun, dia tidak bisa berhenti makan sejak suapan pertama. Dia cuma berhenti ketika meminum sodanya.
Jadi, perkataan Lukman yang menyuruhnya untuk makan pelan-pelan rasanya tidak tepat. Lebih baik Lukman menyuruhnya berhenti.
"Ada yang lagi kamu pikirin?"
Gita seketika terdiam. Tangannya hendak terangkat memasukkan sepotong kentang goreng namun kemudian membeku di tempat. Perhatian Lukman... Dia tidak bisa mengatasinya lebih lama lagi. Semua itu membuatnya ingin terus memelihara perasaannya kepada pria itu, sahabatnya.
Sungguh menyedihkan.
"Kamu ada masalah?" Dela menyahut dengan pertanyaan serupa.
Itulah penderitaan Gita yang terpaksa duduk di tengah-tengah mereka semua. Dia menyukai perhatian Lukman dan Dela tapi terkadang membencinya.
Gita melanjutkan untuk menyendokkan kentangnya ke dalam mulutnya sembari berujar, "Nggak ada. Masalahku cuma aku lagi ingin banyak makan. Mungkin, lagi masanya PMS."
Itu juga menjadi kebiasaannya yang lain. Tapi, mungkin, mereka tidak mengingatnya. Makan banyak dan stress selalu lebih mereka ingat tentangnya. Makanya, reaksi khawatir-lah yang pertama mereka tunjukkan. Dan dia benci mengakuinya bahwa semua itu benar.
Lukman dan Dela tidak lagi bertanya. Tampaknya, bualannya ampuh untuk menghilangkan keingintahuan mereka.
"Tante tadi lihat kamu lagi ngobrol sama seseorang di pesta." Ibu Dela membuka topik baru. "Kalian kelihatan cocok."
Gita hanya bisa menunjukkan senyum canggungnya. Itulah kenapa dia tidak suka Dela atau Lukman atau siapa pun menjodohkannya. Mereka akan mengawasi hubungannya, dan dia benci hal itu.
"Namanya Dewa. Dia teman kantor Lukman." Dela membalas. Itu lebih baik sebab Gita tak perlu menjelaskan sesuatu yang tidak diketahuinya.
"Lukman dan Dewa dekat?"
"Tentu saja. Lukman nggak mungkin menjadikan Dewa bestman-nya kalau mereka nggak dekat. Dan juga kenalin dia sama Gita." Dela menatap Gita dengan senyum penuh arti.
"Dia kelihatan seperti pria baik-baik." Ibu Lukman berkomentar dan itu terdengar seperti Gita telah mendapatkan restu dari dua keluarga. Sayangnya, mereka bukan keluarganya. Orang tuanya tidak akan mendesaknya dengan hal begini.
"Dia bisa memilih siapa pun yang dia suka, Dewa atau laki-laki lain." Ibu Gita, menimpali.
Oh, Gita sungguh sangat mencintai keluarganya.
"Tapi dia sekarang sedang jomlo, kan? Dia bisa coba pacaran dengan Dewa." Ibu Dela berkata lagi. Like daughter, like mother. Mereka suka mencampuri kehidupan seseorang.
"Itu terserah Gita. Kami nggak pernah menuntut apa pun darinya." Ayah Gita, merespons. Dan itu seolah-olah menjadi akhir pembicaraan soal Gita dan Dewa.
Ayahnya lebih banyak diam. Tapi, saat dia bicara, terkadang itu akan membuat lawan bicaranya diam. Dan hal itulah yang menyebabkan Gita takut mengungkapkan pernikahannya.
Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga
[Aku lagi di jalan.] Gita seketika mempercepat sarapannya setelah membaca pesan dari Bagas. Dia menggigit roti panggangnya lalu segera beranjak untuk mengambil tasnya. Kemudian, dia kembali untuk membawa rotinya bersamanya keluar dari apartemen. Segera setelah dia menelan makanan di mulutnya, dia berlari memasuki lift yang dilihatnya dari kejauhan masih terbuka. Setelahnya, dia menunggu kedatangan Bagas di luar gedung apartemennya. Bagas baru saja kembali dari membeli bubur ayam untuk Farah. Ya, kalian tidak salah membacanya. Itu bubur ayam untuk Farah. Tiba-tiba saja, sang artis meminta asistennya membawakan bubur ayam saat mengunjunginya. Jika bukan karena ini hari penting, bukan hari audisi Farah, Gita pasti akan memarahi wanita itu. Membelikan bubur ayam sama sekali bukan tugasnya ataupun asisten lainnya. Setidaknya, bukan permintaan yang seperti itu. Bunyi klakson terdengar dan membuatnya menoleh. Itu mobil Bagas. Jadi, segera setelah mobil tersebut berhenti, Gita membuka p
"Gita." Kirana memanggil nama Gita ketika wanita itu baru saja keluar dari bilik toilet. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya. "Ki," balas Gita seraya menghampirinya. Lalu mereka berpelukan dengan cepat. "Aku lagi untuk urusan pekerjaan." "Urusan pekerjaan?" Kirana membeo. "Tentang audisi." Sedetik kemudian, keterkejutan muncul di wajah Kirana mendengar jawaban Gita. "Kamu mau ikut audisi untuk Pembunuh?" "Bukan aku." Gita menggelengkan kepalanya cepat sembari tertawa kecil. Dirinya? Mengikuti audisi? Tidak mungkin. Dia tidak pernah berkeinginan menjadi selebriti. "Kamu ingat aku bekerja sebagai manajer artis, kan? Nah, artis yang kuurus sedang ikut audisi untuk Pembunuh." Kirana menganggukkan kepalanya paham. "Siapa artisnya?" "Farah Kusuma." Dan keterkejutan kedua tergambar di wajah Kirana. "Kamu bekerja untuknya?" tanyanya tak percaya. Tawa canggung keluar dari bibir Gita. Melihat reaksi lawan bicaranya, tampaknya Kirana sudah mendengar rumor tentang Farah. Ya, pasti begitu
Gita menepikan mobilnya ke terminal kedatangan di bandara Soekarno Hatta. Dia di sana untuk menjemput suaminya. Ya, Rangga Adiwijaya baru saja kembali dari Surabaya. Tidak. Lebih tepatnya meninggalkan Surabaya sebab rumah Rangga dan juga perusahaan utamanya berada di kota tersebut. Rangga pergi ke Jakarta demi menemui Gita. "Hai, maaf sudah membuatmu menunggu," ujar Gita setelah menghentikan mobil dan menurunkan kaca jendelanya. Rangga telah berdiri di luar setelah Gita membuat lelaki itu menunggu selama setengah jam. Semua itu karena pekerjaannya. Dia mesti mengurusi tawaran iklan untuk Farah, dan itu berlangsung lebih lama dari dugaannya. Rangga sedikit menunduk dan memberikan senyumnya kepada sang istri. "It's okay, Git. Nggak seharusnya juga aku memintamu menjemputku saat kamu sibuk." Gita membuka mulutnya, hendak mengeluarkan bantahannya ketika Rangga berkata lagi. "Tolong buka bagasinya." Gita lalu teringat koper 20 inci di samping Rangga. Tadinya dia berniat membukanya s
"Kamu sudah tidur?" Gita mengubah posisi tidurnya dari telentang menjadi miring ke kiri sehingga dia dapat melihat lawan bicaranya dengan jelas. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktunya untuk tidur dan beristirahat.Seharusnya begitu.Rangga melirik ke arah Gita dan membalas, "Belum. Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya balik. Setengah jam telah berlalu sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri obrolan malam mereka dan bersiap-siap untuk tidur. Lalu, keheningan mengisi apartemen mungil tersebut. Tetapi rupanya, itu hanya wacana sebab mereka belum sampai ke dunia mimpi. "Nggak tahu. Rasanya sulit banget untuk tidur," aku Gita. Dia memiliki teori mengapa kondisi ini terjadi. Hal ini mungkin berkaitan keberadaan Rangga di sampingnya. Dia nyaris tidak pernah membawa laki-laki tidur di apartemennya. Hanya Lukman. Itu pun untuk merawatnya saat sedang sakit. "Karena aku?" tebak Rangga tepat sasaran. Atau tidak? Bagaimanapun itu cuma dugaannya saja. Dia tidak tahu alasan pastinya.
Kedua mata Gita bergerak-gerak gelisah seiring banyaknya suara-suara yang memasuki indra pendengarannya dan merusak tidur nyenyaknya. Tak lama kemudian, kelopak matanya membuka dan menampilkan manik kecokelatan di baliknya. Kedua matanya bergerak cepat mencari sumber suara dan yang ditemukannya tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Tentu saja. Hanya ada Rangga dan dirinya di rumahnya.Gita memaksa tubuhnya untuk bergerak agar menghilangkan rasa kantuk dan malas yang masih menggelayut manja. Lalu, dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri sang suami. Rangga yang menyadari adanya pergerakan pun menoleh dan bertanya, "Aku bangunin kamu ya?" Dia sedang berkutat di dapur dengan kompor, teflon, sosis, dan telur. Ya, dia tengah membuat sarapan untuk mereka berdua. Gita menggumam seraya menggelengkan kepalanya. "Nggak. Lagian, ini sudah pagi." Dia menarik sebuah kursi kosong dan berniat untuk duduk di sana. Tetapi, dia teringat sesuatu. "Kamu butuh bantuan?" Gelengan cepat
"Jadi, mereka juga mau aku mempromosikannya di sosial mediaku?" tanya Farah sembari menatap malas lipstik di tangannya. Lalu senyum meremehkan tersungging di wajahnya dan tanpa peringatan dilemparkannya lipstik tersebut ke atas meja. "Kapan kamu bisa mendapatkan iklan dari brand-brand mewah untukku?" tanyanya lagi. Gita mengepalkan kedua tangannya, berusaha mengendalikan emosinya. Akhir pekannya sungguh-sungguh buruk karena harus menghadapi talent-nya yang amat menyebalkannya. Gita mengambil lipstik di atas meja kemudian merapikannya bersama makeup-makeup yang lain. "Kamu akan mendapatkannya segera. Untuk sekarang, ini yang mereka tawarkan untukmu," ujarnya dengan senyumnya. Ya, itu merupakan keramahan palsu andalannya. "Kamu selalu bilang begitu. Tapi kemana tawaran berhargaku?" Farah menatap tajam Gita, bermaksud mengintimidasinya. Tapi, Gita tidak akan sampai sejauh ini jika dirinya gampang terintimidasi. Dia terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu ketika menawarkan talent-tal