Share

Bab 8

"Kamu suka macaron?" 

Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? 

"Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. 

Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. 

Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya.

"Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sahabatnya. Dan kue lain yang ada di stand di sebelahnya. 

"Rasanya aku sudah cukup dengan cuma lihat kamu makan." 

Gita hampir tersedak mendengarnya. Andaikan itu diucapkan oleh Lukman, dia mungkin akan merasa senang. Tetapi, ketika kalimat itu diujarkan oleh seseorang yang baru dikenalnya, itu terdengar... aneh? 

Apakah ini karena dia telah menutup hatinya sehingga kalimat-kalimat romantis seperti itu tak mempan lagi kepadanya? 

Gita menelan makanannya lalu menoleh ke arah Dewa. Ditariknya napas dalam sebelum mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. "Dewa." Dia memulainya dengan menyebut nama sang pria. "Maaf soal Dela. Tapi aku lagi nggak tertarik punya kekasih," lanjutnya. 

Mereka diam. 

Situasi ini sebenarnya agak canggung bagi Gita. Dia memiliki sisa macaron di tangan kanannya dan dia merasa kikuk karenanya. Seharusnya, dia meletakkannya dulu atau menghabiskannya sebelum memulai percakapan serius ini. 

Tapi, semua itu sudah terlambat. Dia hanya berharap Dewa dapat mengerti dan meninggalkannya sehingga dia bisa meneruskan makannya. 

Oh, betapa buruk pikirannya yang hanya memikirkan soal dirinya sendiri! 

Dewa memandang lurus ke dalam mata kecokelatan Gita. Dia mempertahankannya selama beberapa detik sebelum berkata, "Kenapa mesti buru-buru?" 

Sebab lebih baik mengatakannya sekarang ketika mereka belum benar-benar saling mengenal. Jika Gita menundanya, dia takut Dewa telah memiliki harapan terhadapnya. 

Tapi, Gita tidak mengatakannya. Dia masih memikirkan bagaimana cara menolak Dewa. 

"Kita nggak tahu soal masa depan," ujar Dewa lagi. 

Ya, benar. Tidak ada yang tahu mengenai masa depan. Namun, Gita telah menjanjikan sesuatu berkaitan masa depannya kepada pria lain. Dia tidak mau merusak janji yang bahkan belum mulai ditepatinya. 

"Kita bisa jadi teman." Dewa terus berkata setelah tak mendapatkan respons dari Gita. Itulah caranya membujuk wanita tersebut. 

Teman? 

Pernyataannya terdengar sederhana. Tapi, bukankah nyaris semua hubungan dimulai dengan pertemanan? Dan itu bisa berakhir baik atau buruk.

Gita hanya diam menatap pria di hadapannya. Rasa-rasanya, dia keterlaluan jika menolak hubungan sederhana ini. Lagian, apa salahnya dengan menjadi teman? Siapa tahu mereka akan jadi sahabat? 

Masalahnya, dia sudah mengetahui maksud Dewa di balik penawaran pertemanan tersebut. Itu jelas bukan lagi ide yang bagus. 

"Maaf, aku-" 

"Cuma teman. Sungguh," potong Dewa sebelum Gita sempat mengujarkan penolakannya. 

Gita kembali terdiam. Tak lama kemudian, hembusan napas berat keluar dari bibirnya. "Hanya teman," ulangnya, memberi penegasan akan maksudnya. "Nggak lebih dari teman." Seolah-olah belum cukup, dia mengatakannya lagi untuk memastikan Dewa benar-benar mengerti maksudnya. 

Senyum lebar tercetak di wajah Dewa. "Iya, hanya teman." Lalu, dia menyodorkan tangannya ke arah Gita. 

Gita melihatnya selama beberapa detik lalu menjabatnya. "Hanya teman." 

Malamnya, ada makan malam keluarga. Dan keluarga Gita juga diundang mengingat persahabatan Gita dan Lukman juga kedua orang tua mereka.

"Selamat untuk pernikahan anak kita," Ibu Dela, berkata sembari mengangkat gelasnya. Kegembiraan terpancar di wajah cantiknya, begitu pun dengan Ayah Dela, dan kedua orang tua Lukman. Ya, malam ini masih menjadi bagian dari hari bahagia anaknya. 

Semua orang di sana mengikuti tingkah ibu Dela lalu mulai menenggak minumannya masing-masing. 

"Aku sudah duga kedua anak kita akan menikah." Ibu Dela berkata lagi di tengah menikmati makan malamnya. Berbagai jenis makanan tersedia di atas meja, seperti steak dengan salad, kentang goreng, dan lasagna. 

Dan Gita telah mencoba semuanya. Dia merasa ingin memakan semua makanan tersebut. Sepertinya ini berkaitan dengan stresnya. Ketika dia tidak memiliki makanan manis, pelariannya adalah makanan apa pun. 

"Iya, aku juga mikir begitu. Mereka kelihatan cocok sejak awal pacaran," sahut ibu Lukman. 

Gita tidak begitu mendengarkan lanjutannya. Kenyataannya, hanya makanan yang menarik perhatiannya. 

"Pelan-pelan, Git." Tiba-tiba Lukman mengingatkannya, yang otomatis menyela pembicaraan di sana dengan hal yang tak penting. Gita. 

Sebenarnya, Gita menikmati makan malamnya dengan perlahan. Namun, dia tidak bisa berhenti makan sejak suapan pertama. Dia cuma berhenti ketika meminum sodanya. 

Jadi, perkataan Lukman yang menyuruhnya untuk makan pelan-pelan rasanya tidak tepat. Lebih baik Lukman menyuruhnya berhenti. 

"Ada yang lagi kamu pikirin?" 

Gita seketika terdiam. Tangannya hendak terangkat memasukkan sepotong kentang goreng namun kemudian membeku di tempat. Perhatian Lukman... Dia tidak bisa mengatasinya lebih lama lagi. Semua itu membuatnya ingin terus memelihara perasaannya kepada pria itu, sahabatnya. 

Sungguh menyedihkan. 

"Kamu ada masalah?" Dela menyahut dengan pertanyaan serupa. 

Itulah penderitaan Gita yang terpaksa duduk di tengah-tengah mereka semua. Dia menyukai perhatian Lukman dan Dela tapi terkadang membencinya. 

Gita melanjutkan untuk menyendokkan kentangnya ke dalam mulutnya sembari berujar, "Nggak ada. Masalahku cuma aku lagi ingin banyak makan. Mungkin, lagi masanya PMS."

Itu juga menjadi kebiasaannya yang lain. Tapi, mungkin, mereka tidak mengingatnya. Makan banyak dan stress selalu lebih mereka ingat tentangnya. Makanya, reaksi khawatir-lah yang pertama mereka tunjukkan. Dan dia benci mengakuinya bahwa semua itu benar. 

Lukman dan Dela tidak lagi bertanya. Tampaknya, bualannya ampuh untuk menghilangkan keingintahuan mereka. 

"Tante tadi lihat kamu lagi ngobrol sama seseorang di pesta." Ibu Dela membuka topik baru. "Kalian kelihatan cocok." 

Gita hanya bisa menunjukkan senyum canggungnya. Itulah kenapa dia tidak suka Dela atau Lukman atau siapa pun menjodohkannya. Mereka akan mengawasi hubungannya, dan dia benci hal itu. 

"Namanya Dewa. Dia teman kantor Lukman." Dela membalas. Itu lebih baik sebab Gita tak perlu menjelaskan sesuatu yang tidak diketahuinya. 

"Lukman dan Dewa dekat?" 

"Tentu saja. Lukman nggak mungkin menjadikan Dewa bestman-nya kalau mereka nggak dekat. Dan juga kenalin dia sama Gita." Dela menatap Gita dengan senyum penuh arti.

"Dia kelihatan seperti pria baik-baik." Ibu Lukman berkomentar dan itu terdengar seperti Gita telah mendapatkan restu dari dua keluarga. Sayangnya, mereka bukan keluarganya. Orang tuanya tidak akan mendesaknya dengan hal begini. 

"Dia bisa memilih siapa pun yang dia suka, Dewa atau laki-laki lain." Ibu Gita, menimpali. 

Oh, Gita sungguh sangat mencintai keluarganya. 

"Tapi dia sekarang sedang jomlo, kan? Dia bisa coba pacaran dengan Dewa." Ibu Dela berkata lagi. Like daughter, like mother. Mereka suka mencampuri kehidupan seseorang. 

"Itu terserah Gita. Kami nggak pernah menuntut apa pun darinya." Ayah Gita, merespons. Dan itu seolah-olah menjadi akhir pembicaraan soal Gita dan Dewa. 

Ayahnya lebih banyak diam. Tapi, saat dia bicara, terkadang itu akan membuat lawan bicaranya diam. Dan hal itulah yang menyebabkan Gita takut mengungkapkan pernikahannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status