Share

Bab 9

Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. 

"Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. 

Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. 

Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembari mencari koneksi untuk menggapai mimpinya. 

Menyedihkan? 

Tapi, begitulah dunia bekerja. Kejam. 

"Iya, Ma. Aku pasti jaga diri di sini. Mama juga jaga diri di sana." 

Mereka saling berpelukan selama beberapa detik kemudian melepaskannya. Selanjutnya, giliran ayahnya. "Makasih sudah datang ke sini, Pa." 

"Tentu saja." Sebuah jawaban singkat, seperti kepribadian sang ayah. 

Dan yang terakhir adalah Andin. 

"Kamu nggak mau peluk aku?" tanya Gita ketika dilihatnya Andin hanya berdiri di tempatnya. Usia mereka terpaut delapan tahun, dan Andin sedang berada di tahun ketiga kuliahnya. Andin berkuliah di universitas yang sama di mana ayah mereka bekerja. 

"Kamu pergi tanpa ngomong dulu pagi tadi." 

Balasan Andin seketika membuat mata Gita melebar. "Astaga, Andin. Kamu marah gara-gara itu?" Dia menunjukkan rasa frustasinya atas jawaban absurd adiknya. Bagaimana tidak? Dia sudah mengatakan kepada Andin di malam sebelumnya dan bahkan sudah meninggalkan catatan pada di pagi harinya. Tidakkah itu cukup? 

"Tentu saja-" Andin sengaja menggantung kalimatnya dan mengubah ekspresinya "-nggak. Kamu kakak terbaikku." Lalu, dia menghampiri Gita dan memeluknya. "Makasih sudah menampungku di apartemenmu. Semoga kamu nggak kapok menerimaku kembali," candanya. 

Gita tertawa. "Kamu mesti bawa oleh-oleh kalau datang lagi nanti," balasnya dengan candaan lain. 

"Apa? Macaron?" 

Gita melepaskan pelukannya dan menatap adiknya tajam. Itu jelas merupakan ejekan untuknya. Ya, dia telah menceritakan insiden soal macaron dan Dewa di pesta pernikahan Lukman dan Dela. Dan Andin menertawakannya sebab dia lebih memikirkan macaron dibandingkan pria tampan seperti Dewa. 

"Kamu nggak boleh masuk ke apartemenku kalau kamu nggak bawa seratus macaron." Tenang, dia tidak serius mengatakannya. Siapa yang bisa makan seratus macaron dalam beberapa hari? Jika Andin sungguh-sungguh membawanya, dia akan menyuruh adiknya kembali datang setelah berhasil menjual semuanya. 

"Aku akan telepon Kak Lukman." 

"Hey, jangan ganggu pasangan yang lagi berbahagia itu." 

"Nggak akan. Aku cuma mau minta tolong Kak Lukman buat bujuk kamu agar bolehin aku masuk ke apartemenmu." 

Dasar Andin! Adiknya itu tahu bagaimana mengalahkannya. Dan dia hampir selalu berkata ya ketika bujukan Andin datang dengan rasionalitasnya. 

Sayangnya, keseruan ini tidak berlangsung lama. Mereka harus segera check-in. 

"Kamu yakin nggak mau pulang dengan kita?" tanya Lukman memastikan setelah Gita menolak tawarannya untuk pulang bersama. 

"Iya. Lagian, aku bawa mobil sendiri," tolak Gita. Itu sudah cukup untuk memberi alasan mutlak soal penolakannya. 

Lukman bereaksi canggung seolah-olah baru mengingatnya. Padahal mereka berangkat bersama-sama dari hotel. "Aku lupa." 

Tawa kecil keluar dari bibir Gita. Lukman terlihat lucu setiap kali pria itu menawarkan kebaikan tapi melupakan sesuatu lain yang penting. Jadi, hal itu menjadikan kebaikan Lukman tak sia-sia. 

"Kamu pulang saja. Dela mungkin lagi nungguin kamu." 

Dela memang tidak bersama dengan mereka. Dia menemani orang tuanya berjalan-jalan mengelilingi Jakarta. 

"Oke. Sampai ketemu lagi, Git." 

"Bye." 

Gita memperhatikan punggung Lukman yang perlahan-lahan meninggalkannya dan hilang ditelan keramaian. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon seseorang. 

Tetapi kemudian, dia mendengar suara deringan telepon yang sangat dekat dengan posisinya berdiri. Jadi, dia menoleh dan seketika terlonjak saat orang yang diteleponnya rupanya berada di belakangnya. "Kamu ngagetin aja!" 

Rangga tersenyum seraya memperpendek jarak di antara mereka. Dia menyimpan kembali ponselnya ke sakunya. "Maaf. Aku nggak ada maksud ngagetin kamu." 

"Kenapa nggak bilang kalau sudah di sini?" 

Dia mengangkat kedua bahunya dan berkata, "Aku nggak mau merusak momen berhargamu dengan keluargamu." 

Mata Gita menyipit mendengar jawaban Rangga. "Sejak kapan kamu di sini?" 

"Aku lihat kamu berpelukan dengan keluargamu." 

Itu artinya lebih dari sepuluh menit yang lalu. Apakah Rangga juga mendengar percakapannya dengan Lukman mengingat Rangga menunggu sangat dekat dengannya? 

"Apakah dia laki-laki yang kamu ceritakan?" 

"Hah?" Respons Gita sedang buruk. Dia tidak bisa menangkap maksud Rangga dengan cepat. Jelas yang dimaksud Rangga adalah Lukman. "Oh, maksudmu Lukman?" tanyanya usai menyadari semuanya. 

Rangga menganggukkan kepalanya. Sebenarnya, dia tidak mengetahui nama pria itu. Dia hanya tahu Gita menyukai sahabatnya, seperti yang diucapkannya malam itu. Namun, dia dapat menebak jika itu lelaki yang sama yang dilihatnya barusan dan meninggalkan bandara. Dan saat Gita menyebutkan namanya, ternyata tebakannya tepat. 

"Iya, dia adalah pria itu." Gita mengatakannya dengan senyum canggung. Sangat aneh rasanya membuka rahasianya sebanyak ini. 

Tiba-tiba Rangga maju dan memeluknya. Itu merupakan pelukan yang hangat dan yang dibutuhkannya setelah akhir pekan yang menguras tenaga dan mentalnya. Jadi, dia merespons dengan melingkarkan kedua tangannya ke tubuh kekar Rangga dan menyembunyikan wajahnya sejenak di bahunya. 

"Kamu punya aku sekarang. Ceritakan semua kepadaku, dan aku akan mendengarkan semuanya." 

Perkataan Rangga terasa menenangkan untuknya. Gita merasa memiliki seseorang untuk bersandar. 

"Makasih," ujar Gita, sedikit mempererat pelukannya. Dia tidak biasanya seperti ini. Walaupun memiliki Lukman dan Dela, dia jarang menunjukkan sisi lemahnya, terlebih sejak kedua sahabatnya berpacaran. Meski mereka meyakinkannya tidak ada yang berubah dalam pertemanan mereka bertiga, tetap saja itu menciptakan dinding transparan antara dirinya dan Lukman dan Dela. Lagi pula, dia tahu diri. Terlalu dalam memasuki hubungan seseorang, itu akan mengancam posisinya. Dia tidak pernah mau menghancurkan hubungan seseorang. 

Dia menyembunyikan wajahnya semakin dalam di bahu Rangga. "Apa semua pria kaya sepertimu?" bisiknya yang hanya terdengar olehnya dan Rangga. 

"Soal apa?" 

"Kamu baik banget." 

Dan Rangga hanya tertawa mendengarnya. Hal itu membuat tubuhnya bergerak tak beraturan dan memaksa Gita melepaskan pelukannya sebab kenyamanannya menghilang seiring tawa Rangga yang tak berhenti. 

"Nggak lucu, Rangga," sungut Gita dengan bibir mengerucut. Apakah dia selucu itu sehingga terus menyebabkan pria itu tertawa? 

Rangga mengurangi tawanya dan itu berakhir menjadi senyum geli. "Pertanyaanmu seperti seseorang yang baru saja bertemu penyelamatnya." 

Gita cuma mengeluarkan dengusan kesalnya. Padahal tadinya itu situasi yang mendukung tapi Rangga merusaknya. Atau Gita yang melakukannya? 

"Lupakan. Anggap saja aku nggak pernah bertanya." Gita masih kesal. Siapa pun pelakunya, tawa Rangga mengesalkannya. 

Rangga kembali tertawa. Kali ini, tawa tertahan. "Kamu tahu ada manusia baik dan buruk, kan?" Dia mulai berkata. Setelah mendapat anggukan dari Gita, dia melanjutkan, "Itu juga berlaku bagi para orang kaya. Ada orang kaya yang baik. Tapi orang kaya yang buruk juga banyak." 

Sebenarnya, Gita sudah mengetahui jawabannya. Dia bahkan punya banyak pengalaman dengan orang kaya yang berkelakuan buruk. Dia benar-benar bodoh menanyakan sesuatu seperti itu. Ini pasti akibat dari mulutnya yang seenaknya bicara. 

"Kalau begitu, makasih mau menjadi yang baik bagiku." Dia berusaha mengalihkan topik untuk menutupi rasa malunya. 

Tapi Rangga bereaksi dengan menatap lurus ke mata Gita. Itu adalah tatapan yang tajam yang seolah-olah menyelidik wanita tersebut. "Kamu nggak sedang menggodaku, kan?" 

Ucapan Rangga seketika mengembalikan kekesalan Gita. Bibirnya mengerucut dengan tatapan membunuh ke arah suaminya. Sementara Rangga, dia tertawa--lagi--tak peduli jika seseorang berniat menendangnya sangat keras. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status