Satu bencana besar sudah terlalui. Layaknya badai di tengah laut, ombak besar baru saja surut. Guncangannya memang memporak-porandakan kapal, namun tidak cukup mampu untuk menenggelamkan Arkana. Malam sudah berlalu, menyisakan rintik lembut yang lebih kecil dari tetes—remah-remah hujan melayang menabrak jendela. Sinar matahari membias pelangi.
Pemandangan pagi akan segera berlalu, ketika Banu Bhuana masuk dengan hati-hati. Ia selipkan tubuh tegap itu ke dalam ceruk pintu, lalu berdiri di sebelah ranjang gadis itu.
“Apa kamu sudah membaik?” Ia bertanya dengan suara lembut. Matanya mengawasi Arkana.
Arkana memaksakan diri untuk tersenyum. Perutnya terasa kosong. Rongga tubuhnya terasa kosong. Ia nyaris tidak bisa merasakan kegembiraan. Hanya akal yang membujuknya untuk memahami kelegaan.
“Apa Cantra baik-baik saja?” Arkana menjawab pertanyaan Banu dengan pertanyaan.
Banu sama terpaksanya dengan Arkana. Lesung pipinya tampak bingung. “Dia sedang
Beberapa menit setelah akhirnya Svaha berusaha memejamkan mata, dengan harapan bahwa ketika ia bangun nanti maka Cantra akan sadar juga. Cantra akan menyapanya, seperti biasa. Kekasihnya itu. Yang mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Svaha. Tentu Svaha mengabaikan pikiran soal bagaimana nanti kalau keluarganya sudah tahu. Mungkin mereka akan menuduhnya sebagai seorang yang berdampak buruk bagi anak mereka. Bagi si pewaris tunggal keluarga Bhuana. Lalu mereka akan memisahkan Svaha dan Cantra seperti dalam cerita-cerita tentang si kaya dan si miskin. Tapi apa penting bicara soal uang sekarang? Sementara Cantra masih belum sadarkan diri. Meski lukanya nampak begitu sepele. Sepele. Dia hanya tertusuk pisau multifungsi. Sekali. Dan itu sepele. Kecuali fakta bahwa pisau itu tepat menusuk pinggangnya. Tempat semua saraf bercokol. Entah bagaimana kejadiannya. Terlalu cepat, Svaha hanya ingat bagian di mana ia terdorong menjauh. Saat wajahnya menukik ke dalam rimbun lavend
Arkana berguling ke sisi kanan tempat tidur untuk meraih remote tv dan berguling lagi ke arah sebaliknya untuk menjangkau telepon genggamnya yang berdering. Lalu ia tekan tombol pause untuk menunda serial yang sedang ditontonnya, Arkana lalu mengangkat telepon dari Veronika. “Halo,” sapanya, berusaha seriang mungkin. “Laki-laki bernama Banu Bhuana meneleponku—” “Aku baik-baik saja. Aku hanya keracunan. Keadaan waktu itu sangat kacau. Aku tidak ingin membahasnya.” “Kau serius?” Arkana berdecak. Ia ingin lebih pandai berbohong terutama pada ibunya, tapi informasi yang ia berikan tadi terlalu defensif. “Ya, aku serius. Yang penting sekarang aku baik-baik saja. Mama menelepon untuk menanyakan keadaanku kan?” “Hh, bagus kalau begitu. Kukira aku harus pergi ke kota.” “Apa Mama semalas itu?” “Ya, kamu tahu sendiri. Aku rasa, kamu sudah cukup besar untuk menjaga diri sendiri. Tunggu kalau aku datang tiba-tiba,
“Aku tidak mencintaimu, Svaha. Pergilah dari sini.” “Eh? Apa?” tanya lelaki itu bingung. Svaha mempelajari raut wajah Cantra yang pucat. Gadis itu masih memandangnya. Kantung mata tercetak halus dan gelap di sana. Svaha berharap Cantra akan menyemburkan tawa secepatnya. Ia berharap ini hanya sebuah lelucon. Setelah semua yang mereka lalui, Cantra ingin Svaha pergi. Bagaimana bisa ia melakukannya pada Svaha? Svaha baru saja menendang sahabatnya menjauh dari lingkaran mereka. Dan sekarang apa? Secepat itukah karma terjadi? “Apa ini pengaruh bius?” Svaha pernah mendengar tentang efek setelah anestesi, sebagian orang mengalami kebingungan. Sebagian bicara terlalu jujur. Sebagian bicara ngawur. Svaha berharap yang terjadi pada kekasihnya adalah pilihan yang terakhir. Cantra sedang ngawur, ia tak bersungguh-sungguh. Cantra menggeleng. “Kamu tidak harus ada di sini. Setelah semuanya…” Tenggorokannya bergerak-gerak. Ia tidak dalam p
Apa yang Arkana sebut dengan pengalihan adalah terbangun di kamar yang berbeda dan asing pada jam enam pagi. Seorang lelaki tersungkur di sebelahnya dengan posisi tubuh yang nyaman dan telanjang. Ia mendengkur. Arkana berguling pelan, menurunkan kedua kakinya untuk memijak lantai yang masih dingin. Hembusan angin dari jendela yang terbuka membuat pori-porinya kembang. Jadi, ia segera memungut semua pakaiannya dan pergi ke kamar mandi. “Di mana ini?” gumam Arkana sambil membuka layar telepon genggam. Peta daring memberitahunya titik tepat keberadaannya. Arkana lantas mencuci muka. Ia akan pergi sebelum lelaki itu bangun dan menunda kepulangannya. Sambil mengendap, Arkana kembali kamar asing di depannya. Botol minuman keras yang terkulai kosong. Buku-buku yang berserak. Berantakan semua—ia tidak perduli. Ia hanya memastikan tidak ada satupun barangnya yang tertinggal. Agar tak ada alasan untuk kembali ke sini. “Sudah berapa lama kamu berkeliling seperti
“Kamu dan aku tahu bahwa Nirmala adalah keluarga yang dipandang bersahaja dan terhormat dari dulu. Tapi bukan karena materi. Karena keteguhan hati dan rasa simpati yang tinggi. Ibumu pekerja keras. Tapi, Ibumu tidak bersuami. Kamu tidak memiliki ayah. Sekarang seorang bayi hadir dalam keluarga kalian. Pikirkan ini, jika saja kamu bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk adikmu itu. Pendidikan yang bagus, kehidupan yang cukup, tidakkah itu akan meringankan sedikit beban ibumu? Tidak, aku tidak akan menyuapmu dan menghinamu dengan uangku. Tidak. Aku menawarkan sebuah kerjasama, sebuah simbiosis yang bisa membuat kedua belah pihak diuntungkan. Ibumu semakin tua, pensiun sudah tinggal menghitung tahun. Begitu juga aku. Ini demi cintamu pada keluarga. Juga cintamu pada Cantra. Aku seorang ayah, dan ayah akan melakukan apapun untuk anak perempuannya. Kota kecilmu itu akan terus berubah, aku tidak mau menjadi seorang investor antagonis dan memporak-porandakan nasib keluargamu. Kamu ta
“Aku tahu kamu telah banyak membantuku, Cantra. Tapi bukan berarti kamu bisa datang ke sini pagi-pagi buta dan mengatakan hal yang—tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kamu tahu kalau Tante Swan dan Savanna dalam bahaya? Pertunangan ini atas keinginan Svaha. Atau, setidaknya ia setuju.” Arkana menggosok wajahnya yang mulai terasa kaku karena kantuk. Ini masih terlalu pagi untuk membahas masalah pelik. Apa Cantra memang benar-benar tidak punya pekerjaan lain? Atau dia merasa kesepian karena Laung sudah mendekam dalam penjara? “Pertunangan ini kehendak ayahku. Dan hanya ancaman yang bisa membuat orang seperti Svaha menyetujuinya.” “Kamu kan pewaris tunggal keluarga Bhuana. Ayahmu seharusnya takut padamu.” Cantra mendesah pasrah. “Kalau memang dia takut padaku—” “Atau, mungkin saja Svaha mencintaimu dengan serius,” komentar Arkana. “Ayolah, Arkana! Kamu dan dirimu tahu kalau itu tidak benar.” Cantra gemas. “Apa seminggu berkeliling dari kamar ke k
Arkana menggumamkan sebuah kata ketika Svaha dan dirinya keluar dari kamar Cantra. Sambil menutup pintu, Svaha memperhatikan wajah sahabatnya itu—atau mantan sahabatnya itu. "Kamu bilang sesuatu?" tanya Svaha. Arkana mengangkat bahunya, memainkan bibir sebentar seolah sedang mengunyah isi pikirannya. "Ini hari terakhir liburan. Dan pestanya sudah berakhir sebelum aku sempat meminum apapun." Ia mengeluh. Svaha menyunggingkan senyum saat menyadari perempuan di depannya masihlah Arkana yang sejak dulu ia kenal. Arkana tidak berubah sikap, meski Svaha sudah menyakiti perasaannya tempo hari. Apa mungkin Arkana sudah melupakan Svaha? "Kamu mau minum? Biar kuantar ke dapur." "Tidak usah. Kamu istirahat saja. Biar kucari Banu untuk menemaniku minum sebentar." "Banu sedang mengurus perceraiannya di luar kota," ungkap Svaha. Arkana menghela nafas lagi. "Kalau begitu aku akan pulang saja." "Apa berbeda rasanya kalau aku yang menemanimu mi
Sepertinya petualangan Arkana selama seminggu, berpindah-pindah dari kamar yang satu ke kamar yang lain sudah menjadikannya seorang pengecut yang profesional. Arkana bisa dengan leluasa mengendap-endap dan kabur dari Svaha tanpa membangunkan lelaki itu. Yang semalam memang sudah bisa ditebak. Pertengkaran mereka menjelma hasrat, ego, dan hal-hal gelap yang ikut campur di dalamnya. Tapi, tidak pernah terbayangkan oleh Arkana kalau ia akan begitu menikmatinya. Bukan soal fisik saja. Soal perasaan, kalau yang itu jangan ditanya. Svaha dan Arkana pernah melakukannya beberapa kali dulu, dalam perjalanan pulang ke kota kecil Eila. Di rumah keluarga Nirmala. Mereka melakukannya nyaris di mana saja. Tidak ada yang berubah. Jelas, Arkana dan Svaha masih saling mencintai. Sekarang, setelah rencana improvisasi milik Cantra selesai dengan mulus. Arkana punya kewajiban untuk menemui Cantra. Jadi, Arkana menyelinap keluar dan mencari Cantra di tempat Arkana dan Svaha meninggalkann