'Awas saja kau, Mas! Kau bilang tak cinta, tapi dia kau biarkan duduk di pangkuanmu dengan begitu lama,' ucap batinku dengan geram."Masuk mobil," ucap Tiara sambil membukakan pintunya.Dan sekarang dia yang mengambil alih posisiku sebagai sopir.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, aku masih mengatur nafas yang terasa cepat."Gimana udah enakkan?" tanya Tiara.Aku hanya diam, kesal dengannya. Andai dia tak melarangku, sudah kujambak, kuhantam wanita itu."Jangan marah, aku hanya tak ingin kamu terlibat dalam masalah. Aku hanya takut kamu khilaf menghajar wanita itu, benar, dia akan merasakan sakit tapi nanti malah kamu yang masuk penjara," ucap Tiara panjang lebar.Aku hanya diam, sambil sesekali menghembuskan nafas pelan.Menetralkan perasaan yang campur aduk menjadi satu."Sudah, nanti kita bicarakan jika sampai di rumahmu. Aku tak ingin kamu bertindak gegabah, lalu menghancurkan apa yang sudah direncanakan," ucap Tiara lagi.Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Tiara.****Mobil sud
"I-ibu kok di sini?" tanya Mas Alif dengan nada gugup.'Kehancuran menantimu, Mas!' batinku tersenyum penuh makna."Iya, dadakan. Kangen aja sama putri Ibu." Ibu mengusap punggung tanganku."Itu siapa sama kamu?" tanya Ibu seolah-olah tak tau."D-dia ...." Mas Alif seperti kesulitan untuk menjawab.Dia menatapku seakan-akan meminta pertolongan."Dia, pembantu baru di rumah ini, Bu?" jawabku yang berhasil membuat mata Mas Alif melotot ingin keluar."Waduh, pembantu baru ya. Bagus dong, bisa bantu bersih-bersih," ucap Ibu tersenyum sumringah."Iyaa, Bu. Ya udah Mas pembantu barunya biar aku aja yang nyiapin kamar buat dia," ucapku pada Mas Alif yang masih tak percaya.Wanita di sebelah Mas Alif terlihat menahan amarah yang ingin ia luapkan."Beneran pembantu 'kan dia, Lif?" tanya Ibu dengan nada tegas.Raut wajah keterkejutan Mas Alif atas kelakuanku, berubah menjadi pucat karena tatapan Ibu."I-iya, Bu," ucap Mas Alif gugup.Aku tersenyum penuh kemenangan di sini.Awas saja kau wanita
"Kamu ingin Ibu mengetahuinya?" tanyaku tanpa menatapnya.Mas Alif terdiam, lalu bergegas mengambil air putih untuk diminumnya.Karena tergesa-gesa, dia sampai tersedak oleh kelakuannya sendiri. Kasihan.****Selesai makan malam, wanita itu disuruh Ibu untuk mencuci piring. Dia menurut saja tanpa ada perlawanan. Namun kulihat wajahnya benar-benar tercipta sebuah amarah yang dengan kuat ia pendam.Ah, biar saja.Aku melangkahkan kaki menuju kamar utama milikku dan Mas Alif, Ibu sepertinya sudah beristirahat di dalam kamar karena lelah.Tak kulihat Mas Alif di sini, mungkin saja ia sedang bersama istri keduanya.Mataku fokus pada cincin yang melingkar pada jari manis milikku.Tak percaya rasanya, jika Mas Alif benar-benar telah menghianatiku begitu dalam.Dia menciptakan sebuah rasa sakit di hati, tapi dia seolah-olah tak perduli.Kulepaskan cincin itu perlahan, lalu menyimpannya di dalam kotak perhiasan.Biarlah, anggap saja dengan ini hubunganku dan Mas Alif sudah berakhir.Klek.P
'Mampukah aku?' Hanya pertanyaan ini yang tiba-tiba muncul di dalam benakku."Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu padaku."Seratus persen Laura yakin, Bu. Toh, Mas Alif bisa bahagia tanpa harus ada Laura di sisinya," ucapku pada Ibu.Ibu hanya mengangguk."Ayo kita sarapan dulu, nanti kamu sakit. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," ucap Ibu.Aku bergegas menyelesaikan kegiatanku, lalu berjalan beriringan bersama Ibu."Apa Tiara sudah bangun, Bu?" tanyaku pada Ibu."Sudah. Dia tadi membantu Bi Narti untuk memasak." Ibu mengamit lenganku.Aku lalu membuka pintu kamar.Dan tiba-tiba sosok seseorang yang kubenci terjatuh tepat setelah pintu terbuka."Aduh ...." Terdengar suaranya yang kesakitan."Ngapain kamu?!" bentak Ibu padanya."Nguping ya, wah mau saya potong telinga kamu!" bentak Ibu kembali.Aku hanya menatap wanita itu dengan raut wajah datar."S-saya ...." Ucapannya menggantung di udara."Nggak punya adab kamu ya! Pergi kamu dari rumah ini!" teriak Ibu, tunjukn
"Aduh." Refleks kata itu yang keluar."Maaf, Mbak. Saya sengaja," ucapnya yang membuat mataku melotot.Sebentar, aku seperti kenal suara ini, batinku.Aku mendongak menatap seseorang yang berada di depanku. Mataku terbuka dengan sempurna saat menatapnya. Tak menyangka bisa bertemu dengan dia lagi.Tangannya terulur, berniat membantuku.Senyumnya benar-benar membuatku ingin menjitak kepalanya. Senyum tak berdosa."Kamu lagi, kamu lagi. Ngapain kamu di sini," ucapku setelah berdiri sambil berkacak pinggang. Kutatap dia dengan garang, bukannya takut dia malah mengejekku."Mbak lagi, Mbak lagi. Mbak mau teriak-teriak lagi ya di sini. Teriak gih, biar saya temanin." Dia melihat ke arah pantai."Enak saja, nggak lah. Justru saya cari udara segar, tapi waktu ketemu kamu sesak nafas saya jadinya." Aku mencabik kesal."Masa, buktinya nafas Mbak masih turun naik dengan santai nggak ngos-ngosan," ucapnya yang membuat aku menahan kesal. Bisa-bisanya bocah ini membuatku kesal."Halah, kamu ngapain
'Laura! Pulang kamu sekarang, jangan membangkang. Saya tunggu kamu di rumah!' bentak Mas Alif dengan suara yang menggelegar.Sampai-sampai suaranya terdengar juga oleh Ibu di sebelahku.Telepon dimatikan secara sepihak olehnya. Sepertinya Mas Alif benar-benar marah padaku.Tak ada lagi sifat lembutnya, bahkan dia memanggil namaku, tanpa awalan 'Dek'.Bulir bening membasahi pipiku."Tenang, Nak. Ada Ibu di sini," ucap Ibu sambil mengusap punggungku.Kuseka bulir bening yang mengalir dengan kasar.Dengan rasa yang berkecamuk, kuhidupkan kembali mesin mobil.Dan bergegas untuk sampai ke rumah. Ingin melihat apa yang akan dilakukan Mas Alif padaku.Tanpa sadar, mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi.Hingga suara teriakkan menyadarkanku."Laura! Sadar, di dalam mobil bukan hanya satu nyawa!" bentak Tiara diiringi dengan teriakan yang melengking.Aku lalu mengerem mobil secara mendadak, dan mengucap istighfar berkali-kali."Jangan begini, Lau! Kamu bisa saja mencelakai orang yang berada
Hancur sudah hidupku.Seseorang yang benar-benar begitu berarti, perlahan ingin pergi. Aku menyesal. Aku benar-benar sangat menyesal.Aku tau bahwa di sini akulah yang mempunyai andil paling besar untuk menyakiti. Aku juga tau semuanya terjadi karena aku yang memulai lebih awal. Kupatahkan hatinya berkali-kali tanpa rasa iba sedikit pun.Jujur, tak pernah terpikirkan olehku. Bahwa akhirnya, pernikahan yang sudah terjalin selama lima tahun, sebentar lagi di ambang kehancuran.Tak bisa!Aku tak sanggup, jika harus mengingat hal itu. Ini menyakitkan, aku tak ingin cintaku berakhir dengan sangat memilukan. Aku mencintai dia, Laura begitu pun sebaliknya. Aku tahu pasti Laura juga masih sangat mencintaiku. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa mempertahankan pernikahan ini. Apapun itu, aku akan tetap mempertahankannya. Tak peduli konsekuensi apa yang ke depan nanti akan kuterima.Kuusap bulir bening yang berada di pelupuk mata yang ingin terjun bebas. Aku merasakan sesak yang mendalam di
Entah apa yang terjadi, aku sama sekali tak ingat.Rasanya saat itu, Debi memintaku tinggal sebentar. Lalu memberikan minuman sebelum aku pergi. Setelah itu aku tak ingat apapun lagi."Mas, kamu sudah bangun?" Suara Debi mengagetkanku.Aku menatapnya yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.Astaga, apakah aku melakukannya sesuatu padanya tadi malam, pikirku."Deb ... apa kita?" tanyaku menggantung di udara. Tak sanggup rasanya melanjutkan pertanyaan ini padanya."Kenapa, Mas?" Ia bertanya balik padaku. Terlihat kulitnya yang mulus.Debi yang berdiri dengan balutan handuk di tubuhnya, membuatku bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi.Walaupun kami sudah sah, entahlah aku tak berniat sedikitpun menyentuhnya."Kenapa aku bisa berada di kamar ini, apa kita tidur bersama?" tanyaku tak sabaran."Kamu ini bicara apa, Mas. Bukankah tadi malam, kamu sendiri yang meminta untuk menginap di rumahku. Dikarenakan, hari yang mulai malam," ucapnya diiringi kekehan kecil."Apa benar begitu?