Share

3. Pingsan

Author: Yosi Hanr
last update Last Updated: 2023-01-09 16:09:33

“Selvi!”

Samar aku mendengar suara Mas Agus semakin menjauh memanggil namaku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Pandangan di sekelilingku menjadi gelap gulita.

Cukup lama rasanya aku berada dalam kegelapan sehingga aroma minyak kayu putih membuat panca Inderaku kembali berfungsi.

Hiruk pikuk di sekelilingku membuat kesadaranku semakin muncul ke permukaan.

 “Akhirnya sadar juga,” ucap suara perempuan yang terdengar familiar. Suaranya dekat sekali di telinga. Mungkin orang itu yang juga menepuk-nepuk bahuku sambil memaksa penciumanku untuk menghirup aroma minyak kayu putih.

“Alhamdulillah, matanya sudah mulai terbuka,” ucap suara lain yang juga seorang perempuan ketika kupaksa membuka kelopak mata yang terasa berat.

Aku semakin jelas mendengar suara di sekelilingku seiringan dengan penglihatanku yang mulai jernih.

“Mbak Jum,” lirih suaraku memanggil orang pertama yang mampu ditangkap netra. Cukup kaget dengan keberadaan Mbak Jum di rumahku, tetangga yang terpisah dua rumah dariku itu jarang sekali meninggalkan rumahnya karena mempunyai warung di rumahnya.

Kurasakan punggung tanganku disentuh lembut. “Saya, Mbak Sel. Gimana perasaannya, Mbak?”

Belum sempat aku menjawab, sentuhan lain pun kurasakan di tangan sebelah kanan. Kali ini lebih kecil dari tangan Mbak Jum. “Mama udah bangun? Mana yang sakit, Ma?” Suara kecil itu aku tahu milik Ayuni, putri bungsuku.

“Sudah, Nak. Mama nggak papa, kok,” kilahku sambil memaksa sudut bibir membentuk senyuman.

Wajah mungil itu menatapku sendu dengan mata terlihat sembab. Dia pasti menangis selama aku tak sadarkan diri. Di sebelahnya berdiri anak sulungku yang keadaannya tak jauh berbeda.

Kasian putriku, mereka pasti cemas melihatku pingsan. Aku membatin.

“Semua ini gara-gara papa! Jika papa tidak menendang mama, mungkin mama tidak akan pingsan.”

Suara lantang Rafni, membuatku tersentak. Tak mengira jika dia melihat kejadian tadi.

Sepertinya bukan hanya aku saja yang kaget, ruang depan rumah KPR-ku mendadak ramai seperti gaungan kawanan lebah pulang ke sarang.

Setiap kepala yang berada di sana menyuarakan pendapat mereka. Barulah aku sadar jika rumahku dipenuhi banyak orang, mungkin semua warga komplek berkumpul di sini.

“Kenapa ada banyak orang di sini, Mbak Jum?” tanyaku menyuarakan penarasan. Jika Mbak Jum saja di sini aku merasa wajar karena rumahnya memang berdekatan denganku. Namun, melihat beberapa wajah asing ikut berada di dalam rumahku tentu ada berita heboh yang membuat mereka berkumpul di sini.

“Tadi ....” Mbak Jum menjeda ucapannya, dia melirik sekilas pada Rafni yang berdiri di sampingnya.

Mbak Jum terlihat ragu-ragu untuk berbicara.

“Katakan saja, Mbak,” ujarku meyakinkan.

Mbak Jum membuang napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya, “Tadi, putri cantikmu ini berlarian di sepanjang komplek. Dia menangis histeris memanggil semua orang untuk meminta bantuan menyelamatkan kamu yang tergolek pingsan.”

“Bude bangga sama kamu, Nak. Kamu penyelamat mamamu,” lanjut Mbak Jum mengusap kepala putri sulungku.

Aku pun ikut melirik pada Rafni yang kini berlinangan air mata. Mentalnya pasti terguncang melihat kejadian hari ini.

 “Jangan menangis, Nak. Mama sudah baik-baik saja.” Tanganku terulur untuk menenangkan Rafni.

Aku mencoba bangkit, sebagai tuan rumah yang baik aku harus menyapa tamu yang berkunjung ke rumahku, meski kedatangan mereka karena kejadian yang tak mengenakkan.

 Tangan Mbak Jum bergerak bebas menyanggah punggungku ketika tiba-tiba tubuhku terhuyung kehilangan tenaga. Aku belum begitu pulih.

“Terima kasih, Mbak Jum.” Aku berucap lirih. Mbak Jum mengangguk sebagai jawaban.

Aku mendongak untuk memperhatikan setiap wajah yang kini masih memenuhi rumahku. Setelah kesadaranku pulih seutuhnya, kini banyak wajah akhirnya bisa kukenali. Beberapa dari mereka adalah rekan sesama ibu rumah tangga yang sering berjumpa di warung Mbak Jum ketika berbelanja sayur.

“Terima kasih banyak atas perhatian ibu-ibu dan bapak-bapak semua yang telah bersedia datang ke sini setelah mendengar teriakan minta tolong anak saya. Aku merasa bersyukur sekali tinggal di lingkungan yang penghuninya perhatian terhadap sesama.”

Sepatah kata kusampaikan untuk ucapan terima kasih. Meski setelah ini aku akan menjadi tranding topik di komplek ini, setidaknya aku cukup terharu atas simpati mereka.

Serempak mereka menjawab sehingga aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka ucapkan.

***

Semua orang kini telah pergi, setelah memastikan keadaanku sudah benar-benar membaik, dan setelah mereka merasa puas membicarakan masalah yang kuhadapi sampai ke akar-akarnya, bahkan mungkin dikuliti sampai habis, rumahku kembali tenang.

Hanya bersisa Mbak Jum yang sibuk di dapur mungilku untuk menyiapkan makanan untukku dan juga anak-anak.

Aku teringat memang belum makan sejak pagi, mungkin itu juga yang membuatku pingsan karena menahan emosi pada saat perut kosong.

Teringat dengan ucapan Rafni tadi, aku penasaran sejauh mana anak sulungku itu mendengar percekcokan kami. Sebelum aku masuk ke kamar tadi untuk mengambil uang di dompet Mas Agus, dua anak itu tengah bermain di depan rumah Mbak Jum.

“Nak, sini dulu,” panggilku pada Rafni yang tengah asyik menonton kartun bersama adiknya. Sementara aku masih berbaring di sofa, di belakang mereka.

Rafni beranjak mendekatiku menyadari aku memanggil dirinya. “Ada apa, Ma?” ucapnya.

Aku ragu untuk bertanya, cemas jika jawabannya nanti akan membuatku bersedih. Selama ini aku selalu menghindari pertengkaran dengan Mas Agus di depan anak-anak. Takut jika percekcokkan kami akan mengganggu perkembangan mental mereka.

“Terima kasih banyak ya, Nak. Sudah mencari pertolongan untuk Mama.” Alih-alih bertanya, aku akhirnya mengucapkan terima kasih. Sulungku yang sebentar lagi berusia sembilan tahun itu sudah mengerti keadaan darurat yang membutuhkan pertolongan orang lain.

“Rafni nggak mau kehilangan, Mama. Rafni ingin selalu bersama Mama.” Wajahnya yang polos kembali terlihat sendu ketika dia mengutarakan perasaannya.

Aku raih tangannya, menenangkan dirinya yang mulai terisak sambil berucap, “Iya, Sayang. Mama akan selalu bersama kamu dan juga Ayuni.”

“Janji kita akan selalu bersama. Tapi, nggak usah bawa papa,” ucap Rafni terlihat kesal ketika menyinggung Mas Agus.

Matanya berkilat menyiratkan kebencian yang terpendam di hatinya. Miris rasanya melihat anak sulungku itu menyimpan amarah untuk salah satu orang tuanya.

“Kenapa?”

“Papa jahat! Dia bahkan pergi setelah membuat Mama pingsan.” Suara Rafni meninggi dengan napasnya yang memburu. Mba Jum yang berada di dapur sempat menoleh pada kami mendengar luapan emosi Rafni.

Sulungku tengah berada di puncak kemarahan. Kutarik tangannya pelan supaya tubuhnya jongkok, sejajar denganku yang berbaring. Mengusap punggungnya untuk menenangkannya.

Semenjak siuman aku belum melihat batang hidung Mas Agus. Mungki kah Mas Agus pergi meninggalkan kami? Dengan suara pelan aku menggumam, “Ke mana perginya dia? Apa dia berniat menelantarkan kami di sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
DAJJAL biadab
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
waduh Agus KDRT
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   103

    Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   102

    Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   101

    Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   100

    Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   99

    Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   98

    “Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status