"Ngapain sama dompet aku? Mulai lancang kamu, ya! Mengobrak abrik barang pribadiku!” ketus Mas Agus merampas dompetnya di dekat kakiku.
“Ma-maaf, Mas.” Suaraku bergetar ketakutan. Refleks aku mundur selangkah memberi jarak di antara kami.
“Sejak kapan kamu jadi istri tak tau diri begini?” garang Mas Agus menatapku. Hatiku teriris mendengar pedas ucapannya.
“A-aku cuma mau ngambil uangmu dikit aja, Mas. Untuk membeli tahu dan tempe buat di masak hari ini.” Gugup suaraku menimpali. Aku masih terus menunduk, terlalu takut bertemu mata dengannya.
“Bukannya udah kukasih kemarin? Kemana aja uang sebanyak itu?” Suara garang Mas Agus membuatku semakin menciut.
“Tiga minggu yang lewat Mas berikan, sudah habis kemarin beli beras 2kg untuk makan beberapa hari ke depan, Mas.”
Meski takut, aku tetap harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Mas Agus pasti akan memahami keadaanku.
“Uang 1 juta kamu habiskan tiga minggu?” sentak Mas Agus tak percaya.
Tubuh tegapnya mencondong ke arahku, mengancam dengan tatapan garangnya. Aku makin beringsut, nyaliku kian lenyap mendengar bentakannya. Tanpa bisa kutahan, cairan bening lolos membasahi pipi. Aku wanita lemah yang tidak bisa mendengar orang lain bicara keras di depanku.
“Maaf, Mas,” lirihku kembali mengaku salah. Mungkin, memang aku istri yang lancang. Sudah berani membuka dompet suami.
Alih-alih bersimpati, Mas Agus justru membuang muka mendengar penyesalanku.“Nggak ada jatah belanja lagi. Ngapain kamu habiskan uang pemberianku kemarin. Uang itu untuk sampai akhir bulan. Gajian bulan depan, baru aku kasih lagi,” cetusnya berlalu meninggalkanku yang bergetar ketakutan.
Sepeninggal Mas Agus, aku terduduk lemas kehilangan tenaga. Bersimbah air mata meratapi nasib diri yang merana.
“Apa salahnya, Mas aku mengambil uangmu sedikit? Sedangkan di dompetmu terisi penuh uang seratus ribu,” lirihku berderai air mata.
Hidup di perantauan, jauh dari orang tua serta sanak saudara membuatku tidak mempunyai tempat mengadu selain suami sendiri, dan kini tumpuan itu yang mengabaikanku.
Terlebih orang tuaku memang menentang pernikahan kami, semakin membuatku kehilangan tempat untuk bertumpu.
“Menikah dengan seorang pengangguran itu sama saja kamu menyerahkan dirimu menjadi miskin. Orang seperti kekasihmu itu tidak akan pernah bisa mengubah nasibnya karena karakternya yang pemalas.” Begitu ucap papa dulu ketika aku berterus terang tentang hubunganku dengan Mas Agus setelah merahasiakannya selama 2 tahun.
Bukan tanpa alasan papa bilang begitu. Ketika aku mengajak Mas Agus datang ke rumah untuk berkenalan dengan mereka, sekaligus menyampaikan niat baiknya ingin meminangku sebagai istri, Mas Agus berterus terang jika dia belum mempunyai pekerjaan.
Semakin kuat papa dan mama melarang hubungan kami, semakin mantap pula hatiku memilih Mas Agus sebagai pendamping hidupku. Mata dan hatiku sudah dibutakan oleh cinta pada kakak kelas yang menjadi ketua Pramuka itu.
Mas Agus senior di atasku satu tahun. Kami bertemu ketika sama-sama mengikuti kegiatan Pramuka di bangku SMA. Dia yang menjadi ketua regu saat itu membuatku terpesona dengan sikap kepemimpinannya yang bertanggung jawab.
Selain itu, dia sering mengajakku main ke rumah orang tuanya selama kami berpacaran. Keluarganya tentu saja menyambutku hangat. Meski berasal dari keluarga sederhana, Mas Agus begitu sayang pada ibunya membuatku yakin dia juga akan menyayangiku dan anak-anakku kelak. Konon katanya laki-laki yang menyayangi orang tuanya juga akan menyayangi anak dan istrinya.
“Kamu adalah anakku, selama Papa masih hidup maka Papa wajib menjadi wali nasabmu, walaupun orang yang kamu nikahi tidak Papa restui. Papa tidak ingin mengiring keluarga Papa masuk dalam neraka. Suamimu adalah pilihanmu, kamu yang akan menjalani kehidupan bersama dengannya setelah menikah, maka kamu bertanggung jawab dengan pilihanmu sendiri.”
Kini, ucapan papa ketika aku bersimpuh meminta restu untuk menikah bersama Mas Agus kembali terngiang. Sudah tidak berguna jika aku menyesal sekarang, setelah pernikahan tanpa restu ini sudah kujalani sepuluh tahun.
Memang hubunganku dengan orang tua sudah kembali membaik. Bahkan dari sejak dulu, sejak kami akan menikah. Papa sendiri yang menjadi waliku ketika kami menikah. Meski Dua sejoli yang telah melahirkanku itu sudah memaafkanku, namun aku tetap mendapat konsekuensi atas keputusanku yang kekeuh memilih Mas Agus sebagai suami. Aku terpaksa meninggalkan semua kemewahan yang selama ini kunikmati.
Didepak dari rumah sehari setelah menikah adalah hukuman yang harus kuterima. Orang tua yang sebelumnya begitu menyayangiku tega mengusirku tanpa memberi bekal apa-apa. Semua fasilitas yang telah mereka berikan diambil kembali, kartu ATM, mobil serta perhiasan harus kurelakan berpindah tangan.
“Mulai sekarang tanggung jawab atas dirimu akan berpindah ke pundak suamimu. Papa dan mama tidak akan ikut campur lagi terhadap kehidupanmu. Pandai-pandailah membawa diri, supaya kamu berada di jalan yang benar,” ucap Papa melepas kepergianku. Ucapannya itu hingga kini terpatri kuat di kepalaku. Hal itu juga yang menahan mulutku supaya tidak menceritakan masalah rumah tanggaku pada papa dan mama.
Bukan hanya untuk diriku, pesan yang diberikan papa pada Mas Agus pun masih kuingat jelas. “Tolong jaga anakku baik-baik. Saya harap kamu bisa menyayangi dirinya seperti kasih sayang yang kami berikan selama ini kepadanya. Selain itu, saya juga berharap kamu bisa menghidupinya dengan layak.”
Mas Agus menjawab dengan gentle waktu itu, meski tidak ada pegangan untuk menyanggupi permintaan papa.
Dalam tangis aku berucap, “Pa, Ma. Inikah karma untukku karena mengabaikan ucapan kalian?”
Masih terisak aku terus meratapi diri. Menyesali pengorbanan yang kulakukan selama ini seakan terasa sia-sia.
Posisiku masih terduduk lemas di lantai. Tak mampu menggerakkan kerangka yang kehilangan tenaga.
Samar, terdengar derap langkah masuk ke kamar. Itu pasti Mas Agus.
Benar saja, pria yang bergelar suami itu kembali masuk dengan wajah yang lebih segar. Tapi hanya wajahnya yang bersih, mulutnya masih tetap dipenuhi luapan emosi.
“Heh! Mau sampai kapan meringkuk di situ? Pergi masak sana, aku makan!” bentak Mas Agus sambil melayangkan tendangan ke bagian pinggangku.
Kepalaku terasa berkunang dengan pandangan mulai berputar. Ditambah mendapat pukulan dari Mas Agus membuat tubuhku yang sudah lemah kian kehilangan tenaga.
Sambil menahan diri yang hampir ambruk, aku berucap, “Lebih baik kau bunuh saja aku, Mas ....”
“Selvi!”Samar aku mendengar suara Mas Agus semakin menjauh memanggil namaku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Pandangan di sekelilingku menjadi gelap gulita.Cukup lama rasanya aku berada dalam kegelapan sehingga aroma minyak kayu putih membuat panca Inderaku kembali berfungsi.Hiruk pikuk di sekelilingku membuat kesadaranku semakin muncul ke permukaan. “Akhirnya sadar juga,” ucap suara perempuan yang terdengar familiar. Suaranya dekat sekali di telinga. Mungkin orang itu yang juga menepuk-nepuk bahuku sambil memaksa penciumanku untuk menghirup aroma minyak kayu putih.“Alhamdulillah, matanya sudah mulai terbuka,” ucap suara lain yang juga seorang perempuan ketika kupaksa membuka kelopak mata yang terasa berat.Aku semakin jelas mendengar suara di sekelilingku seiringan dengan penglihatanku yang mulai jernih.“Mbak Jum,” lirih suaraku memanggil orang pertama yang mampu ditangkap netra. Cukup kaget dengan keberadaan Mbak Jum di rumahku, tetangga yang terpisah dua rumah dariku it
“Mari makan ... hidangan sudah siap.” Suara Mbak Jum membuyar lamunanku yang sedang memikirkan Mas Agus yang kabur entah ke mana. Tetangga rasa saudara itu mulai menata makanan yang selesai dimasaknya di atas meja makan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikannya nanti, dengan uang tentu tidak bisa karena aku tidak memilikinya. “Rafni, adik bawamu sini, Nak. Ini Bude ambilkan nasi untuk kalian,” ucap Mbak Jum memberi perintah pada dua anakku untuk mendekat ke meja makan.Dua bocah yang memang sudah kelaparan itu segera menghambur ke meja makan. Masing-masing langsung mengambil piring yang telah berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayurannya. “Mama sini makan juga,” panggil Ayuni menoleh ke arahku dengan mulut yang terisi penuh. “Mama biar makan di sana saja, ini Bude siapkan untuk mama. Kalian makan saja yang lahap,” tukas Mbak Jum lebih dulu sembari memperlihatkan piring di tangannya. Tidak ingin terlalu merepotkan Mbak Jum lebih banyak lagi aku berusaha bangkit. “Aku makan
“Ayo Mbak Selvi, kita lihat suamimu ke sana. Biar nanti aku cari pertolongan dengan meminta bantuan pada bapak-bapak yang lain.” Ajakan Pak Rahmad timbul tenggelam di pendengaranku.Kepalaku tengah sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Mas Agus beneran pergi secepat ini. Bagai mana hidup kami setelah ini? Masalah pendidikan ke dua anakku? Dan masih banyak lagi kecemasan yang tiba-tiba mendera. “Papa kenapa, Ma? Apa papa pingsan seperti Mama tadi?” Guncangan pelan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Putri bungsuku itu menatap cemas ke arahku. “Cepat bersiaplah, jika keselamatan Agus dipertaruhkan. Kabarnya sudah dari senja tadi dia seperti itu, aku baru dapat kabarnya barusan dari mendengar cerita beberapa pemuda yang singgah membeli rokok di warung.” Pak Rahmad kembali mendesakku. Kali ini dia terlihat mulai tak sabar dengan diriku yang lemot dalam mengambil keputusan. “Ayo kita jemput papa, Ma.” Ayuni juga ikut mendesakku melihat aku masih bergeming. Tanga
"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang."Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu."Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak mera
"Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi
"Mas, kenapa sambel dan sayur sebanyak itu kamu habiskan? Seharusnya cukup untuk makan kita sampai malam. Dan, ini aku belum makan tapi semuanya sudah ludes," cecarku didepan yang sibuk bermain ponsel. Sementara Ayuni sudah terlelap di sampingnya. Terpaksa aku melahap nasi putih yang dioles pada sambal mangkok supaya ada sedikit rasanya.Mas Agus cuek saja, seakan suaraku tidak sampai ke telinganya. Terlebih dia tidak mendongak dengan kedatanganku, tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya."Itu sisa bahan kemarin yang aku masak, Mas. Udah nggak ada apa-apa lagi di rumah yang bisa di masak. Nanti malam kita mau makan apa?" Aku kembali berucap meski Mas Agus terus mengabaikanku."Kamu pikir sendiri lah gimana supaya bisa makan. Salah sendiri kenapa kamu habiskan jatah belanja yang aku berikan," pungkas Mas Agus santai tanpa menoleh ke arahku."Mau cari di mana, Mas? Mas tahu sendiri kalau selama ini aku hanya mengandalkanmu, Mas," ujarku pasrah.Tak habis pikir melihat Mas Agus yang s
"Mulai berani kamu sekarang, ya! Berani kamu mengadukan perbuatan Mas pada ibu-ibu komplek!" tuding Mas Agus begitu aku sampai di depannya. "Udah puas menertawakan, Mas? Hah!" Tatapannya garang menatapku. Seakan mampu melahapku hidup-hidup. "Maaf, Mas. Aku pergi hanya untuk menghibur diri. Apa salahnya jika aku berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Sementara Mas juga nongkrong bersama teman-teman, Mas. Bahkan sampai pergi dengan perempuan panggilan pula." Entah apa yang membuatku mulai berani untuk melawannya. Rasanya tidak betul jika aku harus selalu mengalah. Dia yang salah."Tuh kan, liat saja! Baru sekali berkumpul dengan mereka, kamu sudah mulai berani melawan suami. Memang dasar istri benalu tidak tahu diri, masih untung aku mau menampung dan memberimu makan. Jika tidak, sudah jadi gembel kamu di sini!" Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Agus kini hanya umpatan dan kemarahan."Jaga bicara kamu, Mas! Aku ini istrimu, memang wajib kamu nafkahi," bentakku ikut meninggikan suara
“Mas, berangkat, Dek,” kata Mas Agus di depan pintu. Dia selesai memakai sepatu hendak berangkat. Sikapnya kembali biasa, seperti tidak ada bencana dalam bahtera kami.“Iya, Mas,” jawabku menyusul mendekatinya untuk mengecup punggung tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak perah lupa aku lakukan semenjak awal menikah, berharap keberkahan di sana. Mungkin saja kebiasaan kecil ini yang membuat rumah tangga kami masih bertahan. Meski hati marah, kebiasaan seakan sudah menjadi hal wajib yang harus aku lakukan.Seperti biasa Mas Agus langsung berangkat kerja setelah sarapan. Dia tidak mau tau dengan anak sulung kami yang juga akan berangkat sekolah. Baginya tugas mengantar Rafni ke sekolah adalah tanggung jawabku. Tugas dia menjamin uang jajan dan biaya sekolah Rafni terpenuhi. Walaupun belakangan dia mulai lupa dengan tanggung jawabnya.Kami hanya mempunyai satu kendaraan, yaitu sepeda motor yang selalu dipakai Mas Agus untuk pergi kerja. Makanya aku tidak bisa pergi kemana-mana karena