“Mari makan ... hidangan sudah siap.” Suara Mbak Jum membuyar lamunanku yang sedang memikirkan Mas Agus yang kabur entah ke mana.
Tetangga rasa saudara itu mulai menata makanan yang selesai dimasaknya di atas meja makan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikannya nanti, dengan uang tentu tidak bisa karena aku tidak memilikinya.“Rafni, adik bawamu sini, Nak. Ini Bude ambilkan nasi untuk kalian,” ucap Mbak Jum memberi perintah pada dua anakku untuk mendekat ke meja makan.Dua bocah yang memang sudah kelaparan itu segera menghambur ke meja makan. Masing-masing langsung mengambil piring yang telah berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayurannya.“Mama sini makan juga,” panggil Ayuni menoleh ke arahku dengan mulut yang terisi penuh.“Mama biar makan di sana saja, ini Bude siapkan untuk mama. Kalian makan saja yang lahap,” tukas Mbak Jum lebih dulu sembari memperlihatkan piring di tangannya.Tidak ingin terlalu merepotkan Mbak Jum lebih banyak lagi aku berusaha bangkit. “Aku makan di sana aja, Mbak,” ucapku menahan langkah Mbak Jum yang ingin mendekatiku. Memang setiap persendian terasa lemas, tapi aku harus bisa mengurus diri sendiri.“Yakin sudah kuat jalan ke sini, Mba Sel? Makan di sana aja, biar aku bawakan ke sana.” Tidak menghiraukan kelulusanku, Mbak Jum kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti.Aku hanya bisa pasrah ketika kepala mulai terasa sempoyongan, memaksaku untuk kembali duduk. Tenagaku belum pulih sepenuhnya.Wajar masih terasa lemas karena hanya teh manis yang masuk ke perutku usai pingsan tadi.“Ini, suap sendiri atau aku bantu suapin?” Mbak Jum meletakkan piring di atas pangkuanku sambil menawarkan bantuan.Semakin tidak enak aku membuatnya. “Biar saya makan sendiri, Mbak. Mbak Jum juga makan sana,” elakku.“Saya masih kenyang, Mbak Sel. Kalian makan lah.”Entah karena perutku yang begitu lapar, atau masakan Mbak Jum yang memang enak, mulutku tak berhenti mengunyah makanan yang disiapkannya. Sejenak aku melupakan tentang Mas Agus.“Enak, Mbak,” ujarku memuji masakan Mbak Jum.“Aah, Mbak Selvi bisa aja. Aku jadi tersipu, loh,” timpal Mbak Jum yang terus memperhatikanku melahap makanan di piringku.Nasi dalam piringku sudah tandas, tapi perut masih terasa kosong. Ingin minta tambah, segan. Mbak Ju masih memperhatikanku dengan ekor matanya. Meski fokusnya seakan sedang memperhatikan kedua putriku, tapi aku yakin dia juga mempertemukanku.“Tambah Mbak Sel?” tanya Mbak Jum ringan. Sudah pasti dia menyadari wajah mupengku yang ingin masih lanjut makan.Menahan malu, aku terpaksa mengangguk. Memang perutku masih perlu untuk di isi, nasi yang disiapkan Mbak Jum belum mencukupi untuk membuatku kenyang.“Sini, biar aku ambilkan.” Mbak Jum meraih piring di pangkuanku kemudian beranjak menuju meja makan.“Duh, jadi segan aku Mbak. Ngerepotin pean mulu.” Aku meringis menahan malu.“Halah, macam sama orang lain saja kamu. Kita loh sudah seperti saudara, masak masih segan segala.” Mbak Jum ternyata menimpali dari arah meja makan. Tangannya dengan cekatan memindahkan lauk pauk ke dalam piringku.“Seneng aku kamu banyak makan, biar cepat pulih tenagamu,” lanjut Mbak Jum.Benar juga. Semakin membaik keadaanku maka aku bisa mengurus diri sendiri dan kedua putriku. Terserah dengan Mas Agus yang entah berada di mana saat ini.“Oh ya, Mbak tau ke mana perginya Mas Agus?”Tetangga yang usianya berbeda lima tahun dengan saya mendongak sebentar mendengar ucapanku, kemudian netranya kembali melihat piring di depannya.“Nggak tau Mbak Sel. Tadi pas denger Rafni teriak minta tolong aku segera lari ke sini. Tidak memperhatikan lagi keadaan sekitar, apa lagi suamimu.” Mbak Jum berucap tetap dengan fokus mengisi piring di depannya.Ke mana perginya? Saya membatin. Tidak mungkin Mas Agus pergi kerja pada hari minggu ini.***Hingga malam Mas Agus tak kunjung pulang. Keadaanku sudah membaik, tenaga sudah pulih seutuhnya. Aku bahkan sudah bergerak merapikan rumah.Obat orang miskin itu hanya satu, asal perut kenyang, segala penyakit akan menghilang.Memang benar seperti itu kurasakan. Saat perutku sudah terisi penuh, perlahan tenagaku pulih dan pusing di kepala langsung hilang.“Papa kenapa belum pulang, Ma?” Ayuni kembali bertanya ketika aku sedang menemaninya tidur.Rafni sudah terlelap lebih dulu. Dia bahkan tidak peduli dengan papanya yang belum juga kembali, sepertinya sulungku masih memendam amarah pada bapaknya.“Kan Mama sudah bilang dari tadi kalau papa mungkin lagi banyak kerjaan, jadi harus pulang telat,” jawabku kembali berkilah. Saya tidak tahu harus memberikan alasan lain yang terdengar masuk akal.Cukup Rafni saja yang membenci Mas Agus, aku tidak ingin membuat framing buruk tentang papanya di ingatan Ayuni. Kecuali jika dia melihat dirinya sendiri seperti Rafni.“Apa benar papa udah nggak sayang sama kita, Ma? Seperti yang dibilang kakak?”Seharusnya aku menduga hal ini akan terjadi. Rafni tentu akan memprovokasi adiknya.Otakku bekerja dua kali lipat untuk mencari jawaban yang tepat. Susah menggambarkan Mas Agus sebagai orang baik, sementara hatiku menolaknya.Belum sempat aku menjawab, terdengar seseorang memanggil namaku dari luar.“Siapa itu, Bu? Mungkin saja papa. Ayo kita lihat, Ma,” ujar Ayuni antusias. Ternyata dia juga mendengar suara dari luar.Tapi aku yakin itu bukan Mas Agus, sepuluh tahun tinggal bersama aku sudah hafal suaranya.Tidak ingin mengecewakan Ayuni, aku mengajaknya keluar untuk melihat siapa yang datang. Jika dia sudah melihatnya sendiri, yang datang itu bukan papanya, dia bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Ada apa, Pak Rahmad?” sapaku pada sosok yang membelakangi pintu, ternyata suami Mbak Jum.Pak Rahmad segera berbalik, dia terlihat cemas. “Itu, Agus….”Pria yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Agus itu tidak berani melanjutkan kuliahnya ketika netranya menangkap sosok Ayuni di sampingku.Seakan memahami arti tatapannya, aku segera berucap, “Tidak apa-apa, Pak. Bicara saja.”Tanganku mengusap lembut kepala Ayumi, menenangkan putriku itu. Meski diriku ikut gelisah melihat gelagat mencurigakan Pak Rahmad, aroma-aromanya dia akan menyampaikan berita buruk.Pak Rahmad terlihat menarik napas sebelum berucap, “Suamimu pingsan di warung ujung, sepertinya dia terlalu banyak menenggak minuman keras. Coba kamu cek ke sana karena tidak ada yang bersedia membantunya.”Seperti disambar petir di siang bolong, berita yang disampaikan Pak Rahmad memang membuat jantungku hampir meloncat dari sarangnya.Dengan suara bergetar aku menggumam, “Mas Agus bisa mati jika dia kebanyakan minum. Dulu pernah kejadian seperti ini, dan dia hampir sekarat. Sekarang, dia kembali mengulanginya lagi, aku belum bisa hidup sendiri. Bagai mana aku menghidupi anak-anak ini nanti? Ketika tidak ada satu pegangan pun yang kumiliki?”Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan