Share

4

Author: Win Tampu
last update Last Updated: 2022-04-07 18:57:14

Friska akhirnya bisa bangun pagi, dan mau ikut dengan mereka ke pasar.

 Ramai sekali sepagi itu. Jalanan di luar pasar yang becek oleh hujan dini hari tadi, membuat pasar terlihat lebih semrawut dan lebih sulit buat dijalani. Lelah sekali jadinya. Setelah ke tukang daging, mereka pindah ke tukang sayur, lalu membeli bumbu dapur, dan rempah untuk membuat jamu. Bang Idris juga bersikeras untuk membeli sekarung beras isi dua puluh kilo, yang langsung dibawa oleh seorang kuli angkut, untuk dimasukkan ke mobilnya.

 "Seperti mau pesta saja banyaknya belanja'an ini," kata Sondang ketika meihat keranjang belanja yang sudah memenuhi bagian belakang mobil. 

"Sekalian buat persediaan beberapa hari," kata Idris.

 Senang sekali akhirnya, ketika mereka bisa duduk di kursi 'Bakmi Ahin', bakmi babi terkenal di sini. Sudah ramai juga yang mengantri, sehingga mereka harus sabar menunggu sampai giliran mereka tiba.

 Friska terlihat bersemangat bercakap-cakap dengan Idris. Dia bertanya ini itu tentang pekerjaan Idris, asalnya dari mana, kuliahnya dulu seperti apa. Sondang cuma mendengarkan saja, dan sesekali ikut menimpali. Dia tak berselera mengobrol panjang lebar sepagi ini, dan di tempat seriuh ini.

 "Enak sekali bakminya," kata Idris setelah suapan pertama.

 "Iya, ini bakmi terkenal di sini. Sudah ada sejak zaman Cindella," Kata Sondang. Idris dan Friska tertawa mendengar candanya.

 "Dari tadi cuma menyahut, 'ah, oh'.. Begitu diberi makan, langsung ke luar suaranya," goda Friska.

 "Itu biasalah. Kamu, kan, tadi sedang mewawancarai Bang Idris. Aku jadi pendengar saja.. Kalau aku ikutan, nanti Si Abang menyangka dia sedang dikeroyok."

 "Ih, itu bukan wawancara. Kan, biar aku kenal, makanya banyak nanya. Beda dengan kamu, enggak peduli sama orang..," Friska menjawab sambil memonyongkan mulut kepada Sondang.

 Idris tersenyum-senyum saja melihat mereka berdua saling mengganggu.

"Kalian seakrab ini. Pasti sudah berteman lama, ya?" kata Idris.

 "Kami kawan sejak awal kuliah, Bang," kata Friska. "Aku anak kost di sini. Ketemu Sondang di mata kuliah Agama. Dia ramah sekali waktu itu, beda dengan sekarang, galak.  Hahaha... Kami seangkatan, tapi beda jurusan. Akhirnya jadi akrab sampai sekarang."

 "Minggu lalu kamu enggak ke gereja?" Tanya Idris.

 Friska menunjukkan wajah tak faham atas pertanyaan Idris.

 "Dia bergereja di GKI," Sondang menjelaskan. "Baru ingat saya, Abang bisa pergi dengan Friska hari Minggu ke gerejanya. Itu gereja yang terakhir kita lihat, minggu lalu."

 "Oh, ayo, kalau Abang mau ikut ke gerejaku." Friska mengajak dengan gembira. Idris mengangguk saja.

 Dalam perjalanan pulang, Sondang bertanya, daging yang dibeli tadi, mau dimasak apa.

 "Masak apa saja, bisa.. Asal masakan rumahan, pasti enak." Kata Idris.

                                                              .**********.

Di meja makan, sapi lada hitam, dan babi kecap saling memadukan aroma, bersama dengan sayur capcai sepiring besar yang terlihat cantik sekali. Idris mendecak kagum.

 "Bagus sekali warna sayurnya."

 Tapi karena semua orang dewasa sudah makan bakmi yang tadi juga diminta Idris supaya dibungkuskan untuk orang rumah, maka yang segera bisa menikmatinya, hanya kedua keponakan Sondang yang dengan antusias mengaduk bumbu Babi kecap sebanyak-banyaknya, dengan nasi di piring mereka masing-masing.

 "Nanti kita jadi ke sungai, Bou?" Tanya keponakannya yang satu.

 "Hah, memang Bou ada janji kita mau ke sungai, ya?" Sondang berlagak lupa.

 "Iya, kan Bou janji, libur hari Sabtu, mau mengajak kami mandi ke sungai." Protes mereka.

 Sondang tertawa melihat mereka begitu galak mengingatkannya.

 "Iya, iya. Bou enggak lupa.. Makanlah yang banyak, biar enggak cepat lapar nanti waktu mandi-mandi di sungai."

 "Memang ada sungai di sini?" Tanya Idris kepada mereka.

 "Ada sungai kecil di sini. Dangkal juga. Paling cuma setinggi lutut kita. Tapi mereka suka sekali pergi ke sana," Ibu si kembar menjawab.

 "O'om mau ikut?" kedua anak kecil itu bertanya pada Idris.

 Idris tersenyum lebar mendengar pertanyaan mereka. "Memang boleh?"

 Mereka mengangguk. Idris ikut mengangguk, membuat Bang Sihol menggeleng-geleng. "Ternyata sama saja si Idris ini dengan si Sondang. Masa kecil kurang puas, nampaknya.." katanya mengganggu Idris.

 Idris tersenyum-senyum saja mendengar ucapan Bang Sihol. "Aku cuma memenuhi undangan, Bang. "

                                                                         ,**********.

  Jadi ini rupanya yang disebut sungai oleh anak-anak kecil itu.

 Lebarnya kurang lebih dua sampai tiga meter saja, dan dalamnya memang hanya selutut sampai sepaha orang dewasa.

 Airnya jernih, dan di dalam air jernih itu, mungkin sudah satu jam lamanya, kedua anak kecil itu dengan riang dan tak kenal lelah, mencari kerang dan siput di antara pasir sungai. Sesekali mereka saling memerciki satu sama lain, lalu berteriak-teriak gembira. Sondang juga sibuk membantu mereka, mengumpulkan siput-siput yang didapat, ke dalam sebuah kantong plastik.

 Idris dan Friska duduk berteduh saja di bawah pohon, yang banyak tumbuh di tepian sungai. Dedaunan yang rimbun membuat cahaya matahari tertahan, sehingga sekitar sungai terasa sejuk. Mereka berdua ‘menonton’ si Kembar dan Sondang, sambil berbincang macam-macam. Untunglah Sondang tadi teringat untuk membawa kopi di termos dan makanan kecil, sehingga sambil mengobrol, mereka jadi punya sesuatu untuk dikudap.

 "Kalau sudah bosan, kalian bisa pulang lebih dulu, kok.." kata Sondang ketika dia sedang mengambil air minum.

 "Akh, di rumah juga cuma duduk-duduk saja. Lebih baik di sini, bisa melihat sungai," Kata Friska. Idris mengangguk mengiyakan. 

“Sini masuk ke air,” ajak Sondang kepada Friska. Dia sedang duduk di atas sebuah batu dengan kakinya menendang-nendang di air. Menunggu kedua keponakannya ‘menyetor’ siput yang mereka dapat.

“Enggak, ah. Nanti basah,” tolak Friska. 

Sondang menggeleng-geleng. “Cah Ayu, kena air sungai ya, basah. Apa mau kena air keras aja, biar terbakar?” tanyanya dengan nada kemayu.  

Friska tergelak, dengan gemas melempar Sondang dengan sebatang ranting kecil. Sondang tak mau kalah, dicedoknya air dengan jemarinya, lalu menyipratkannya kepada Friska. Friska menghindar sekenanya, sambil terus tertawa. 

Si Kembar yang melihat ‘pertarungan’ mereka berdua, akhirnya ikut menyipratkan air ke arah Friska dan Idris, sambil berteriak-teriak, membuat mereka berdua melompat dengan tiba-tiba, untuk menghindari siraman air tersebut. Mereka semua akhirnya tertawa-tawa, ketika cipratan air tersebut berakhir.

Hampir jam dua belas siang, belum juga ada tanda-tanda kedua anak tersebut bosan bermain air.  Lalu telepon genggam Idris berbunyi.

 "Bang Sihol yang telepon. Katanya Diana dan Andi mau datang," Idris memberitahu kepada Sondang.

 Sondang berkata "Terima kasih, Bang, " kepada Idris, dan kemudian beranjak dari air. Dilihatnya matahari yang sudah terlihat semakin terik.

 "Kayaknya sudah cukup, deh, main airnya. Sudah makin panas sekarang," serunya kepada kedua keponakannya.

 "Sebentar lagi, Bou."

 "Lima menit, ya.."

 "Sepuluh menitlah.. Eh, lima belas.." tawar mereka. Sondang menggeleng.

 "Enggak, tujuh menitlah. Puaskan kalau mau mandi-mandi. Sudah cukuplah siputnya, sudah penuh juga kantongnya ini."

 Meski terlihat kecewa, kedua anak kecil itu menurut. Mereka segera berenang-renang ke sana kemari. Berkejaran di air sambil tertawa-tawa. Friska membantu Idris merapikan tikar dan perbekalan mereka.

 "Sudah tujuh menit.. Ayo..."

 Sebentar kemudian, mereka sudah ke luar dari air. Berjalan dengan baju basah menuju rumah yang memang cukup dekat jaraknya dari rumah mereka. Sambil berjalanpun, mereka saling mengganggu satu sama lain. Sondang juga terlihat basah celana pendeknya, namun tertutup oleh kaos panjangnya yang hanya basah sedikit.

 "Nanti kita rebus siputnya, ya, Bou." Kata si Kembar satu, sambil menyenggol kantong plastik di tangan Sondang.

 "Memang kamu berani makan siput?" Tanya Friska. Kedua kembar mengangguk.

 "Berani, enak kok. Memang Tante enggak berani?"

 "Belum pernah, sih. Nanti Tante ikut nyobalah."

 Sampai di rumah, Diana dan Andi belum kelihatan. Sondang bergegas mandi, dan mendapati Friska sedang merebus siput bersama kedua keponakannya.

 "Pakai garam dan jahe, dan sereh, kan, Bou?" kata mereka.

 "Iya. Eh, hebat kamu ya.. Bisa ingat, direbusnya pakai apa saja.." Puji Sondang kepada keponakannya.

 "Iyalah, kan, kata Bou, biar harum."

 "Pakai bumbu saoskah?" Tanya Friska.

 "Iya, pakai saos tiram saja, dicampur dengan kecap. Iris-iris saja bawang merah mentah sedikit. Mereka mau, kok, asalkan bawangnya dicacah halus," sahut Sondang.

 "Ini anak kecil, berguru ke Si Sondang, semua dimakan. Padahal Papa-Mama mereka saja enggak ada yang mau makan siput sungai," Bang Sihol menggeleng-geleng melihat kelakuan kedua anaknya yang bersemangat menunggu siput matang.

 Idris tertawa. "Tapi bagus juga, Bang. Lebih mudah buat 'survive' di masa sulit."

 "Iyalah.. Kita lihat di situ aja positifnya ya.. Herannya, mereka ini merasa Sondang ini patut sekali ditiru caranya. Entah ilmu apa yang dipakainya. Asal dia yang mengerjakan, mereka pasti langsung percaya bahwa itu pasti benar." Sambung Abangnya.

 Sondang tertawa malu mendengar ucapan Abangnya.

 "Ah, enggak pakai ilmu apa-apa. Mungkin mereka merasa berteman aja denganku, Bang. Kan, di antara kita, cuma aku yang masih sanggup kejar-kejaran dan lompat-lompatan dengan mereka. Abang, Eda, apalagi Mama, semua sudah terlalu tua.." tukasnya sambil tertawa.

 Iparnya tertawa dan kemudian menyanggah,"Bukan kami terlalu tua. Kamu yang belum bisa meinggalkan masa anak-anakmu.."

 "Hmm.. kalian rugi, kalau merasa kesenangan masa anak-anak itu, semuanya harus ditinggalkan. Makanya kalian enggak bisa mandi di sungai bersama mereka, atau mandi hujan di halaman rumah.." sangkal Sondang.

 Friska terperangah mendengar ucapan Sondang.

 "Memang kamu masih mau mandi hujan?"

 Sondang mengangguk.

 "Haduh, kau tahulah, Friska. Cuma badannya itu yang tua, tapi hatinya masih seperti anak-anak saja." Keluh Mamanya, bergabung dalam pembicaraan.

 "Wah, kenapa sih, aku dianggap masih anak-anak, hanya karena aku suka mandi hujan? Itu, kan, cuma caraku untuk bersenang-senang," protes Sondang.

 "Coba kau lihatlah orang dewasa di sekelilingmu. Siapa di sini yang masih mandi hujan? Di kampung kita ini, cuma kamu yang mencari alasan pergi ke warung, waktu hujan deras, hanya supaya bisa mandi hujan."

 Perbincangan mereka terhenti ketika terdengar bunyi gerbang dibuka. Diana dan Andi sudah datang. 

 "Kami belum terlambat buat makan siang, kan?" kata Diana ceria.

 "Belum," kata Mama dengan wajah berseri, sambil menoleh ke meja makan. 

 "Ayolah kita makan sekarang," ajak Mama, setelah selesai berkenalan dengan Andi. Mama melihat sejenak pada Sondang, seolah berkata, "Jangan lewatkan kesempatan ini." Sondang pura-pura tak memahami maksud Mama, dan berusaha untuk berada di jarak terjauh dengan Andi. 

 Karena meja makan terlalu kecil untuk mereka semua, sebagian akhirnya makan di ruang tengah, di depan TV. Sondang yang makan di ruang tengah bersama Friska dan si Kembar, merasa lega, karena  dia tak duduk semeja dengan Andi. Bukan Andi yang dia risaukan, karena lelaki itu terlihat tenang dan biasa saja, tapi Mamanya. 

 "Sepertinya tadi aku mencium aroma sangsang, tapi kenapa yang kita makan ini ternyata Babi kecap dan sapi hitam? Apa penciumanku salah?" kata Bang Sihol. Mereka tertawa.

 "Memang ada sangsang, Bang, tapi belum matang. Itu buat besok. Dimasak sekarang, supaya besok enggak terburu-buru," jawab Sondang dengan geli.

 "Oh, begitulah rupanya. Tapi enak juga babi kecap dan sapi hitam ini. Masakanmu, Ndang?" Tanya Abangnya. Sondang menggeleng.

 "Iya, enak lho masak kecapnya. Bumbunya pas sekali.." Diana menambahi.

 "Enak ya? Friska yang masak. Selamat, Fris.. Kamu lulus. Biasanya Diana ini cerewet sekali mengomentari makanan. Sekarang, tanpa kritik, hanya pujian.." kata Sondang. Friska tersipu mendengarnya.

"Wah, boleh  minta resepnyakah?" tanya Diana kepada Friska, membuat dia semakin malu.  Friska kemudian mengangguk saja, terlalu malu untuk bicara. 

"Pandai juga kamu memasak, Fris." Puji Ipar Sondang, membuat Friska semakin melambung. 

"Boleh diundang lagi minggu depan, ya, Da?" kata Sondang.

Iparnya menyahut sambil tersenyum, "Boleh..."

                                                                        .**********.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diantar Ke Rumahku   72

    “Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud

  • Diantar Ke Rumahku   71

    Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas

  • Diantar Ke Rumahku   70

    “Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b

  • Diantar Ke Rumahku   69

    Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup

  • Diantar Ke Rumahku   68

    Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda

  • Diantar Ke Rumahku   67

    Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status