Ian McFaden menghela napas lega setelah melihat kedatangan pasangan letnan-sersan itu tiba di TKP pembantaian sebuah keluarga di Auburn. "Syukurlah kalian bisa menembus badai untuk datang kemari. Kasus pembunuhan ini jelas karena mirip dengan kasus pembunuhan ajudan jaksa beberapa hari yang lalu. Mungkin kalian tertarik menanyai tetangga korban!" ujar kepala tin forensik itu berdiri berhadapan dengan Letnan Benjamin dan Sersan Rodney.Sersan Rodney pun mengiyakan saran Ian, dia berkata, "Letnan, biarkan aku yang menginterogasi tetangga korban. Silakan mengambil foto TKP beserta korban. Permisi, Gentlemen!"Kemudian pria itu pun mendekati wanita tua tetangga korban. Dia duduk berhadapan di sofa ruang tengah tak jauh dari lokasi penembakan bersama Nyonya Suzanne Brighton."Selamat malam, Nyonya Suzanne. Perkenalkan saya Sersan Rodney Bradford. Saya mewakili Kepolisian Chicago ingin menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kasus pembunuhan keluarga Barnes." Pria itu menghidupkan alat per
"Katakan ... kenapa kau menamparku, Emily?!" tuntut Rayden sembari menindih tubuh lembut itu di bawah badannya yang berukuran dua kali tubuh Emily.Dengan enggan wanita itu menjawab, "Kau mengabaikan perkataanku dan mulai berbuat cabul di pagi hari, Prince of Darkness! Menyingkir dari tubuhku sekarang juga sebelum lututku melesak ke atas—"Sembari tertawa Rayden melepaskan tubuh ramping itu dari dominasinya. "Menyerah bukan berarti kalah. Aku lebih menyukai ide untuk mencobanya di lain kesempatan," ucapnya sambil berjalan ke arah pantry.Sedangkan, Emily tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur ke kamar mandi dan juga menelepon asisten jaksanya. Dia berdiri di depan cermin wastafel. "Halo, pagi Murat. Malam yang buruk dan aku butuh jemputan pulang sebelum berangkat ke kantor. Apa kau bisa menjemputku di lantai 50 Baltimore Eclat Tower?" ujarnya cepat dan jelas setiap patah katanya seperti dirinya ketika sedang membacakan tuntutan terdakwa di persidangan.Suara di seberang sambungan
"Bagiku sudah jelas, seorang terdakwa yang bersalah di mata hukum harus mendapat pengadilan yang sepantasnya. Sekalipun ia seorang penguasa tak tersentuh," jawab Jaksa Emily Carter.Mendengar jawaban Emily yang tegas, Letnan Benjamin pun bertepuk tangan dengan rasa salut terhadap pandangan idealis jaksa wanita itu. Dia lalu berpesan, "Aku hanya bisa menjanjikan kau akan mendapat dukungan loyalitas dariku dan Sersan Rodney. Meskipun di dalam institusiku ada banyak hama dan polisi kotor yang kehilangan nuraninya akan rasa keadilan. Sepertinya kau perlu menjerat Kapten Ryan Falderson juga bila memungkinkan, Em. Dia yang membocorkan data saksi dan membahayakan nyawa mereka.""Pengadilan institusi kepolisian dengan sidang kode etik mungkin dapat menyelesaikannya, Letnan Benjamin. Kalau Anda butuh rujukan, saya bisa memberikan ke kolega yang tepat," jawab Emily sebelum kedua petugas polisi itu berpamitan dengannya untuk melakukan interogasi terhadap Henry Crawford di markas kepolisian Chica
"Untuk apakah toleransi yang Anda maksudkan, Tuan Gordon Crawford? Saya rasa Henry sedang menjalani interogasi di markas kepolisian Chicago. Bukan saya yang menanyakan kepada dia mengenai keterkaitannya atau alibinya saat kasus-kasus pembunuhan yang akhir-akhir ini terjadi di tengah kota. Letnan Roosevelt dan Sersan Bradford yang berwenang dalam hal ini," jawab Emily mencari posisi netral untuk keamanan papanya.Derai tawa senator itu terdengar keras dari ponsel Emily hingga wanita itu menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Emily, semua data akan masuk kepadamu pada akhirnya, bukan? Termasuk rekaman saksi serta interogasi Henry. Aku butuh kepastian keamanan untuk puteraku," desak Senator Gordon Crawford.Ini tak baik, pikir Emily yang mulai berjalan mondar mandir di ruangannya. Nyawa papanya atau dia harus menggagalkan kasus Crawford. Dia pun berkata, "Saya akan memastikan semua barang bukti aman di tempat penyimpanannya. Seandainya Anda sudah selesai berbincang dengan papa saya, tol
Pesan yang dikirimkan oleh Murat kepada Letnan Benjamin dan Sersan Rodney mendapat balasan usai proses interogasi Henry Crawford selesai. Memang pria busuk itu menolak bicara lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan penyidik usai ditetapkan sebagai tersangka. Namun, kini mereka akan memiliki banyak bukti untuk menjerat Henry dan menjebloskannya ke penjara.Murat membaca pesan balasan dari Sersan Rodney lalu ia mengirim pesan baru yang memberitahu bahwa ayah jaksa Emily diculik oleh Senator Gordon Crawford. Sudah berjam-jam wanita itu terlelap di pangkuannya, Murat berpikir mungkin Emily lelah secara fisik dan mental. Tadi pagi ia menjemput Emily di apartment pria Perancis itu, Mr. Dabusche. Sepertinya mereka berdua menjalani malam panas berdua.Akhirnya setelah tidur cukup lama, Emily terbangun dan membuka matanya. Ia menyadari sedang berada di pangkuan asisten jaksanya. Pria Turki itu baik sekali dan sopan, tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar terhadapnya saat dirinya kelelahan da
"Apa yang kalian inginkan?!" seru Emily kepada kedua ajudan barunya yang menodongkan moncong pistol mereka ke arahnya.Seringai jelek di wajah Julian Ramos seolah mengejek Emily yang nyawanya bak di ujung tanduk. Dia tertawa pongah lalu menjawab, "Kami hanya ingin menyelesaikan tugas yang diperintahkan oleh bos kami saja ... melenyapkan nyawa Jaksa Emily Carter." Dia memain-mainkan moncong pistol di tangan kanannya itu di depan wajah Emily.Martin Lockheart, rekannya sedikit bimbang berkata, "Apa kau yakin akan menembak wanita ini, Julian?" Tangannya yang memegang pistol jenis revolver bergetar hebat, dia sangat gugup."Ya, itu tugas kita, Martin!" sahut Julian yang sepertinya lebih berpengalaman menghilangkan nyawa orang. Namun, Murat berpikir cepat karena kedua pria tolol itu sangat berbahaya. Dia pun menarik pistol Desert Eagle miliknya dari balik punggungnya lalu dengan secepat kilat menembak perut kedua ajudan baru itu."DORRRR! DORRRR!" Dua tembakan yang terlepas beruntun dan j
Murat membiarkan Emily mandi terlebih dahulu dan dia menyeduh teh di dapur. Sedikit jengah karena ia tidak terbiasa tinggal bersama seorang wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Namun, dia berpikir semua yang dia lakukan demi keamanan jiwa Emily tanpa tujuan lainnya.Emily baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian rumahan, sebuah kaos Tshirt dengan celana pendek setengah paha. Santai dan tidak tampak resmi sama sekali. Dia menghanduki rambut coklat panjangnya yang basah seraya melayangkan pandangannya ke arah Murat yang sedang mengaduk gula dalam cangkir teh yang mengepulkan uap panas di meja pantry."Aku sudah selesai mandi, Murat. Kau bisa mandi, sepertinya kita harus membatalkan rencana kencan makan malam di luar rumah tadi karena bahaya mengintai di sekelilingku," ujar Emily sembari menjemur handuk setengah basah yang baru saja ia pakai di rak jemuran handuk di depan pintu kamar mandi.Murat membawakan cangkir teh untuk Emily ke tempat wanita itu duduk di depan
Ketika Rayden selesai mandi dan mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk berukuran sedang, dia mendengar berita dari layar TV nya di ruang tengah mengenai pengeboman mobil Jaksa Emily Rosalyn Carter serta pencobaan penembakan oleh dua ajudan barunya. Dengan segera ia berlari ke depan layar TV nya dengan panik."Shit! Bagaimana bisa sekacau ini? Dimana Emily sekarang?!" rutuk Rayden dengan perasaan kacau balau. Dia berharap wanita itu baik-baik saja dimana pun ia berada saat ini.Dengan langkah lebar pria Perancis itu menuju ke walk-in-closet miliknya lalu mencari pakaian bersih untuk dikenakan. Kemudian ia mencari ponselnya karena ia harus menghubungi Emily, menanyakan keadaannya, dan juga Rayden merindukannya seharian ini setelah wanita itu meninggalkan penthouse pagi tadi.Panggilan teleponnya diabaikan oleh Emily dan dia pun merasa gusar. "Damn! Wanita itu memang keras kepala seperti keledai. Bisa-bisanya dia mengabaikan panggilan teleponku?!" Rayden merajuk d