Share

Part 6 - Antara Sean dan Zevran

Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu...

~(Sean Reynald Tanubraja)~

"Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu.

Kami sekarang berada di parkiran mobil.  Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas.

Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli. Aku juga menatap tajam ke arahnya. Tidak seharusnya ia begini padaku. Dan aku memang benar-benar marah pada pria ini.

"Apa yang kau lakukan? Kau mau menculikku? Atau memaksaku lagi?" tanyaku dengan nada tinggi. Dan pria itu hanya diam. Menatapku sangat lekat. Entah apa yang dia pikirkan.

Aku tahu dia adalah bosku. Tapi ini dalam kondisi yang berbeda. Dia memaksaku bahkan melakukan kontak fisik denganku. Aku tak bisa menerimanya. Aku bukan perempuan lemah seperti yang ada dalam cerita romance remaja. Perempuan-perempuan itu selalu menangis kala dirundung sebuah masalah, apalagi menyangkut seorang laki-laki. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku hanya akan menangis bila hujan. Catat itu, semua kerapuhanku hanya akan muncul saat hujan. Termasuk tangisan. Hujanku adalah tanggung jawabku.

"Apa kau memang tidak berniat menjawab, Sean?!" tanyaku lagi. Kali ini dengan nada lebih tinggi lagi. Persis seperti orang yang kesetanan.

"Ya, aku akan membawamu dari sini." jawabnya penuh penekanan dan tanpa ekspresi. Hanya sorot matanya yang menampakkan kemarahan yang menyala-nyala.

"Kau tidak berhak melakukannya. Kau bukan siapa-siapaku." ucapku.

Dia tersenyum miring. "Kau milikku, Rain."

Amarahku serasa naik ke ubun-ubun mendengar perkataannya. Bagaimana dia bisa mengakui aku miliknya? Apakah aku ini barang yang bisa dimiliki sesuka hati? Apakah dia tidak berpikir bagaimana perasaanku?

"Aku bukan milikmu! Kita baru mengenal dua hari. Dan ingat, aku tidak pernah berkomitmen apa pun denganmu." kataku sambil beranjak pergi. Aku tak harus melayani seorang bos gila seperti dia.

"Dan aku akan membuatmu berkomitmen untukku." ucap Sean.

Dan ucapannya itu tadi membuat langkahku terhenti. Dadaku serasa bergemuruh mendengar perkataannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku. Aku merasakan gejolak di hatiku. Namun terasa seperti sebuah luka. Jujur saja, aku benar-benar ingin menampar wajahnya itu, namun aku tak melakukannya mengingat ia adalah bosku.

"Tolong buktikan. Dan pastikan apakah kau atau aku yang terluka." ucapku tanpa menoleh. Sejurus kemudian, aku kembali meneruskan langkahku yang sempat terhenti. Tak kupedulikan ia yang menggeram seperti orang marah.

***

Aku segera menghempaskan tubuhku dengan kasar ke tempat tidurku. Aku belum mengganti gaun yang kupakai dengan baju yang biasa kupakai di rumah. Aku merasa malas menggantinya. Aku masih mengingat bagaimana perlakuan Sean padaku tadi. Dan efeknya adalah aku langsung mengajak Zevran pulang setelah itu.

Awalnya Zevran menolak, namun melihatku yang menatapnya seperti orang yang kesetanan membuatnya mengalah. Ia pun ikut pulang bersamaku. Dan selama di mobil, kami berdua seperti orang yang asing. Diam saja tanpa ada percakapan. Sepertinya Zevran tahu kalau aku sedang tidak mood untuk diajak bicara.

Aku menghela napas kasar, mencoba menenangkan diriku yang sedang meluap-luap ini. Andai saja hari ini hujan, aku pasti akan menceritakan semuanya. Tapi sayang, nampaknya langit hari ini sedang bersahabat dengan bahagia, hingga tak nampak adanya mendung atau tanda-tanda ia akan menangis.

Aku berusaha memejamkan mata. Berusaha melepaskan semua beban pikiran yang ada di benakku, tapi tak berhasil. Aku berguling-guling kesana kemari di atas kasurku tanpa bisa memejamkan mataku.

Aku pun bangkit dari tempat tidurku, menuju ke arah meja kecil yang ada di kamarku ini. Meja itu mirip meja belajar karena memang terdapat beberapa buku dan laptop meski tak kugunakan untuk belajar, melainkan untuk bekerja.

Aku duduk di kursi yang ada di dekat meja itu. Aku meraih laptopku dan segera menyalakannya. Setelah menyala, aku membuka sebuah folder yang tersimpan di laptop itu.

Sebuah novel.

Ya, aku memang gemar menulis. Aku mulai menyukai dunia kepenulisan semenjak aku memiliki laptop ini beberapa tahun lalu. Tepatnya, ada seorang donatur wanita yang baik hati kepadaku dan memberikannya padaku.

Aku mulai mengetik lanjutan cerita novel itu. Pikiranku sibuk memilih kata dan mengetikkannya di laptop. Terkadang aku harus men-scroll up novel itu karena ada beberapa bagian cerita yang terlupa. Setelah ingat kembali, aku melanjutkan mengetik ceritanya.

Aku menulis sebuah cerita tentang seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya. Mirip seperti diriku? Memang benar. Aku seperti merefleksikan diriku sendiri dalam cerita itu. Hanya saja alur yang kubuat sedikit berbeda. Di dalam ceritaku, ibu gadis itu meninggal dunia. Sedangkan aku, aku bahkan tak tahu apakah ibuku sudah meninggal atau belum.

Mengingat tentang ibu, ingatanku kembali pada 14 tahun yang lalu. Seorang gadis berusia 12 tahun yang menangis di sebelah jasad ayah kandungnya yang kejam dan ibunya yang dibawa oleh segerombolan polisi gadungan. Bahkan saat gerombolan polisi gadungan itu tertangkap, gadis kecil itu tak pernah tahu nasib ibunya. Dan gadis kecil itu adalah aku.

Kenangan itu yang membuatku menjadi wanita yang kuat. Aku tak pernah menangis di depan orang lain, kecuali Zevran. Tentu saja karena Zevran selalu menemukanku saat hujan dan menangis.

Aku menangis saat hujan, karena dulu, untuk pertama kalinya aku menangis kehilangan adalah di saat hujan turun, di saat ibuku dibawa oleh orang-orang jahat itu. Bahkan saat polisi menyerahkanku ke panti asuhan, aku tak menangis. Apakah ada yang salah denganku? Entahlah. Aku memang sudah menjadi orang lain saat tragedi itu terjadi. Luka itu terlalu sakit untuk dilupakan.

Dua jam kemudian, aku menghentikan kegiatan menulisku. Aku menyimpan ceritaku dan menutup laptopku. Aku kehilangan ide untuk menulis. Pikiranku seakan buntu. Saat mengingat ibu, aku kembali rapuh. Aku kembali menjadi orang yang sangat rapuh. Aku tak menangis, tapi hatiku menjerit sakit. Masalahku dengan Sean tak lagi kuhiraukan.

Aku segera membuka jendela kamarku. Angin langsung berhembus masuk begitu jendela itu terbuka. Aku merasakan semilir angin itu. Kusandarkan kedua tanganku di kusen jendela. Menikmati pemandangan halaman depan rumah kontrakanku ini. Bunga-bunga yang sengaja kutanam saat aku dulu pindah kesini, sekarang sudah mekar dan warnanya pun sangat indah. Itu sedikit menghiburku.

Aku melemparkan tatapanku ke rumah yang berseberangan dengan rumah ini. Rumah Zevran. Gelap sekali. Sepertinya ia sudah tidur.

Bicara tentang Zevran, aku jadi ingat perlakuanku padanya tadi. Ia tidak salah apa-apa tapi turut menjadi korban kemarahanku.

Ah, aku jadi merasa bersalah.

Aku memikirkan sesuatu. Bagaimana jika aku memasakkannya makanan? Hitung-hitung sebagai penebus rasa bersalahku. Apalagi sekarang hari Minggu. Aku libur sehingga bisa mengobrol banyak dengannya. Dan aku akan minta maaf. Sekalian berkunjung ke rumahnya. Ya, begitu lebih baik.

Kulirik jam dinding di kamarku.

Setengah tiga pagi, ucapku dalam hati.

Pasti cukup waktu jika aku memasak sekarang supaya nanti pagi aku bisa mengantarkannya ke rumah Zevran. Baiklah, aku akan memulai sekarang.

Dengan segera aku menutup jendela kamarku. Aku segera berganti pakaian dan menuju ke dapur. Kesedihanku tadi, entah kenapa berganti dengan semangat saat aku memikirkan masakan untuk Zevran. Terbesit rasa senang di hatiku. Tapi rasa itu tak kuhiraukan.

***

Tepat pukul enam pagi, masakan yang kubuat sudah siap. Nasi bakar 3 bungkus, tiga telur mata sapi, ayam dan udang saus mentega. Semuanya lengkap dan tertata rapi dalam rantang makanan yang sudah kusiapkan. Semua itu makanan kesukaan Zevran. Aku mengetahuinya karena Zevran suka sekali makan ketiga menu itu. Saat pagi hari, ia akan makan telur ceplok, siang ia makan nasi bakar, dan malam ia akan makan ayam atau udang. Meski tidak setiap hari, tapi cukup sering ia makan ketiganya.

Ah, aku seperti istrinya saja.

Eh.....

Astaga? Apa yang kupikirkan? Lupakan.

Aku segera beranjak ke kamar mandi. Mandi dan berganti baju. Tak sampai 30 menit, aku sudah siap dengan kaos bertuliskan 'I'm in Love' dan celana training berwarna hitam yang berkombinasi dengan warna merah di beberapa bagiannya. Aku memang sengaja memakai kaos dan celana training  karena menurutku simpel dan tidak berlebihan. Anggap saja aku ingin berolahraga pagi meskipun kenyataannya tidak.

Aku segera melangkahkan kakiku menuju ke seberang jalan sambil membawa rantang makanan. Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan rumah Zevran tak kurang dari 30 detik.

Aku memencet bel rumahnya. Tak terdengar ada sahutan dari dalam. Kupencet sekali lagi. Terdengar suara langkah kaki berderap mendekat. Aku yakin sekali, itu Zevran.

Benar saja. Saat pintu terbuka, aku mendapati Zevran yang membukakan pintu. Namun seketika itu aku melongo. Zevran sedang memakai kaos tanpa lengan yang sangat ketat dan celana pendek. Dan tubuhnya basah bermandikan keringat. Dia habis ngapain?

"Rain." ucapnya yang membuatku tersadar dari lamunanku.

"Hai, Zev." balasku.

"Silakan masuk dulu, aku habis nge-gym dan belum sempat mandi. Maaf bau keringat." ucapnya sambil mempersilakan aku masuk.

Aku mengangguk. "Nge-gym? Di rumah?" tanyaku sambil beranjak masuk. Kulihat dia menutup pintu dan mengikutiku dari belakang.

"Iya, aku punya alatnya sendiri di rumah."

Aku hanya ber-oh ria mendengar jawabannya. Aku segera duduk di kursi ruang tamunya. "Aku tunggu, kamu cepetan mandi. Aku bawain kamu makanan nih." kataku sambil mengacungkan rantang berisi masakanku.

"Wah, sepertinya aku beruntung hari ini. Ada cewek yang bawain makanan." jawabnya sambil tergelak dan melenggang menaiki tangga menuju ke kamar mandi di lantai dua rumahnya.

Aku hanya tersenyum kecut. Harus kuakui, kesannya memang seperti aku yang jatuh cinta padanya atau paling parah aku ini istrinya. Tapi tak apalah. Sekali-sekali. Lagipula ini juga karena aku mau minta maaf padanya.

Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah Zevran. Suasananya, tatanan rumahnya, bahkan dekorasi rumahnya masih sama. Tidak ada perubahan. Ruang tamu, dapur yang berbatasan langsung dengan ruang tamu dan ruang makan. Minimalis dan terlihat mewah.

Aku memang pernah beberapa kali berkunjung kesini. Jadi aku sangat hapal dengan tatanan ruang di lantai satu rumahnya. Namun, aku tak pernah menginjakkan kaki di lantai dua rumah Zevran. Jadi aku tak tahu ada ruangan apa saja di lantai dua rumahnya. Menurut perkiaraanku, di lantai dua rumahnya pasti hanya ada beberapa kamar tidur dan mungkin pula ruangan olahraga.

Aku membuyarkan lamunanku saat kulihat dia menuruni tangga. Rambutnya terlihat basah. Dan aku dapat mencium aroma sabun yang sangat khas. Ya Tuhan, dia wangi sekali sehabis mandi.

Aku segera menepis pikiran kotorku itu dan mulai beranjak ke ruang makan yang bersebelahan dengan dapurnya. Zevran pernah berkata anggap saja rumah sendiri, jadi akupun menganggapnya begitu.

Aku segera menaruh makanan yang kubawa di atas piring. Kusiapkan sedemikian rupa hingga terlihat cantik. Dan setelah itu, aku menaruhnya di atas meja makan.

Kulirik Zevran yang dengan setia mengawasiku dari pintu masuk ke ruang makan. Dia menyenderkan tubuhnya ke kusen pintu dan menatapku lekat.

Aku tahu pandangan itu. Tatapan penuh cinta. Tapi tak kupedulikan.

Pertanyaannya kemarin membuatku bingung dan memutuskan untuk menyelami dahulu perasaanku. Tapi untuk sekarang, aku tidak mau memikirkannya dulu. Biarkan waktu yang menjawab. Aku hanya ingin bersahabat dengannya dulu untuk sekarang, tapi ke depannya aku pasrahkan pada Tuhan.

"Ayo!" ajakku saat aku sudah selesai menyiapkan makanannya.

Aku segera duduk di kursi. Dan Zevran mengikutiku. Ia mengambil tempat duduk di hadapanku.

"Tumben kamu membawakan makanan untukku. Ada apa ini?" tanyanya di saat aku tengah menyendokkan sepotong ayam saus mentega ke piringnya.

Aku melirik sekilas dan tersenyum.

Zevran mendengus kesal. "Jangan sampai kau berniat pamrih, Rain." Aku hanya tersenyum penuh arti. Namun sepertinya ia menangkap maksud senyumanku.

"Baiklah, katakan. Apa yang kau mau? Aku bisa gila meladeni gadis yang kucintai ini." ucapnya kesal tapi diiringi senyuman khas yang membuat lesung pipitnya nampak dan itu semakin membuatnya terlihat manis.

"Baiklah." kataku. Aku menghentikan aktivitasku menyiapkan makanan ke piringnya. Aku membenahi letak dudukku.

"Kau tahu, aku orang yang tidak suka basa-basi. Jadi, makanan ini adalah sebagai bentuk permintaan maafku padamu."

"Untuk?"

"Kejadian tadi malam. Saat aku memaksamu pulang dan mendiamkanmu selama di mobil." jawabku cepat.

"Mengapa harus minta maaf? Apakah aku terlihat marah kepadamu, ha?" tanyanya.

"Aku tak tahu. Aku hanya merasa tidak enak padamu. Setidaknya kalau kau tidak marah, kau pasti kesal. Makanya aku datang untuk menebus semua itu. Atas sikapku tadi malam." jawabku.

Dia menghela napas perlahan. Menyandarkan tubuh seksinya ke sandaran kursi. Aku hanya memandangnya penuh harap. Hatiku berdebar-debar menanti reaksinya.

Satu detik... Dua detik... Tiga detik....

Ah, aku bisa gila lama-lama begini.

"Baiklah." jawab Zevran. Dan pada akhirnya, aku bisa kembali bernapas lega.

"Tapi jangan kau ulangi lagi, ya. Aku bisa bingung setengah mati saat kau mendiamkanku." ucapnya lagi. Tegas dan penuh penekanan. Terdengar mengintimidasi.

Aku hanya menelan ludahku.

Sebenarnya, Zevran itu baik atau berpura-pura baik? Kenapa aku merasakan aura yang berbeda saat dia berkata penuh penekanan seperti itu?

"Jangan takut. Aku hanya bercanda."

Dan perkataannya itu sukses membuatku melotot garang ke arahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status