Ucapan Tuan Malik semalam, terngiang-ngiang terus dalam otaknya. Hingga membuatnya susah tidur.“Laki-laki gak jelas! Apa maksudnya dia berkata seperti itu? Memangnya aku ini pegawainya apa? Apa dia sanggup bayarin aku terus?” Alisa mengomel sendiri sambil mengikat tali sepatunya. Lalu mengambil tas punggungnya. Siap berangkat sekolah. Nenek Kusmirah juga sudah berangkat ke pasar pagi-pagi sekali untuk berjualan kue. Rencana hari ini, ia akan naik taksi ke sekolah. Setelah itu, pulangnya ia akan mampir ke toko sepeda. Dengan uang 1,5 juta kurang sedikit miliknya, ia akan membeli sepeda baru.Akan tetapi, sebelum menuruni tangga, ia teringat akan teman akrabnya, Marlena. Ia pun berlari naik tangga ke rumah Marlena yang ada di lantai 3. Alisa khawatir kalau-kalau sahabatnya itu belum bangun.Ia akan merasa sangat bersalah, jika siswi kebanggaan sekolahnya, yang selalu berprestasi dan mengharumkan nama sekolah diajang pentas seni tari itu, harus berurusan dengan guru BK karena terlamb
"Oh begitu.” Angguk Alisa paham.Seakan belum tuntas rasa penasarannya, Alisa bertanya lagi. “Kok Tuan bisa tahu rumah Marlena disini? Apa Tuan sering mengantar Lena pulang ya?” tuduh Alisa yang tidak ragu mengutarakan ganjalan di hatinya.Tuan Malik kesusahan menelan ludah. “Ehem, itu... baru hari ini saya mengantarnya pulang. Itu pun terpaksa saya lakukan, karena Bos kalian yang meminta saya untuk mengantarnya pulang.”“Dan Kebetulan juga saya pernah menghandle proyek di daerah sekitar sini. Itu sebabnya saya tahu persis daerah sini.” Kata Tuan Malik yang terpaksa harus berbohong agar tidak ketahuan.Kembali anggukan kepala diberikan Alisa karena kini sudah jelas alasannya. “Jadi, Pacarnya Marlena yang menyuruh Tuan kesini? Benar-benar Bos yang tidak bertanggung-jawab!” sindir Alisa yang terlihat geram dengan perbuatan Bosnya tersebut.“Apa? Pacarnya Marlena tidak bertanggung-jawab? Siapa yang kamu maksud itu?” hampir tersedak ludah sendiri. Tuan Malik begitu shock mendengarnya.
Malam semakin larut, Tuan Malik memijat kepalanya yang terasa berdenyut-denyut dan penglihatannya sedikit kabur, karena terlalu banyak minum minuman beralkohol.Disampingnya, tergeletak Marlena yang sudah mabuk berat. Ia bahkan meracau tidak jelas. Tertawa sendiri, bicara sendiri dan berteriak-teriak seperti orang kerasukan roh halus. Rupanya tadi, Marlena sengaja mengajak Tuan Malik untuk mau menemaninya minum-minuman keras bersama. Sengaja tidak memperbolehkan kekasihnya lepas dari sisinya barang sedetik saja. Dan Tuan Malik terpaksa meladeni, tidak ingin membuat penarinya kecewa.Ia pun terus minum bersama hingga akhirnya Marlena mabuk berat dan berakhir tidak sadarkan diri.Diambilnya ponsel dari saku celananya, dan melakukan panggilan ke nomor Riko. “Riko, apa gadis itu... Sudah pergi?” tanya Tuan Malik yang masih memijat pelipisnya. Berharap Alisa masih menunggunya, meskipun sudah hampir dua jam berlalu.“Maaf, Bos! Lisa sudah pergi dari tadi. Hampir satu jam yang lalu.” Jawab
Alisa pun melangkahkan kaki dengan riang menuruni anak tangga ke lantai 2, menemui neneknya di rumah. Setelah membersihkan tubuhnya dan berpakaian yang bersih. Alisa pun menyampaikan kejadian yang sudah menimpanya sewaktu pulang sekolah tadi. Yang menyebabkan sepedanya rusak. Tentu saja sang nenek sangat sedih mendengarnya. Ia kemudian meminta ijin keluar sebentar, sesuai nasehat Marlena sebelumnya, untuk pergi ke night club. “Nek, aku pamit dulu sebentar ya, nek! Mau ambil uang gajiku yang semalam sama Marlena.” Pamit Alisa pada neneknya yang tengah sibuk mempersiapkan adonan kue. “Arep nang endi maneh tho, nduk? Rewangi mbah wae, nggawe jajan pasar! Ora usah keluyuran bengi-bengi. Bahaya, nduk!” Pesan nenek Alisa yang bernama Kusmirah itu, yang memintanya untuk dirumah saja, membantunya membuat kue. Daripada keluyuran gak jelas malam-malam. Apalagi berbahaya diluar sana. “Aku mung sedilut, mbah! Sebentar saja. Mau ambil uang saja. Eman, mbah! Mengko duitku ilang! Biso gawe tuku
Alisa merasa begitu nelangsa. Tak sanggup bertahan, ia menjatuhkan tubuhnya hingga menyentuh tanah. Kakinya sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya yang kembali dibuat shock. Padahal pikiran, hati bahkan tubuhnya begitu lelah menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Ia mengambil tas ranselnya lalu menutupkan ke mukanya. Setelah itu, dia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. “Apa salahku, ya Allah! Hingga Kamu terus menerus menimpakan kesialan padaku?” “Apa Engkau tidak sayang padaku?” “Padahal aku selalu berbuat baik pada semua orang.” “Tapi kenapa mereka semua membenciku?” “Terus aku harus bagaimana setelah ini?” “Aku harus bagaimana?” Huu... huu... huu... Protes Alisa pada Tuhannya. Tidak terima menerima semua kenyataan ini. Menyampaikan keluh kesahnya tanpa henti. Disaat sedang serius-seriusnya melampiaskan kesedihan didalam dada, sayup-sayup terdengar olehnya sekawanan kendaraan bermotor yang mendekat. Bunyinya begitu mengganggu pendengaran. Sangat b
Ditelusurinya koridor sekolah dengan gerak cepat, menaiki tiap anak tangga hingga sampai juga didepan kelasnya. Kelas XI-2.Tampak olehnya guru pelajaran jam pertama, Bu Warni tengah sibuk mengabsen teman-temannya. Alisa pun segera masuk dengan mode merintih memegang perut.“Maaf, Bu War! Saya habis dari toilet tadi. Biasa, lagi PMS, Buk!” ucap Alisa beralasan. Ia berjalan tertatih-tatih menuju bangkunya. Sungguh akting yang sempurna.Bu Warni hanya melengos tidak peduli mendengar alasan klise Alisa, kemudian lanjut mengabsen siswanya.Sambil menahan senyum lega di dada karena tidak ketahuan, Alisa pun duduk di kursinya dan menyiapkan bukunya, mulai serius menerima pelajaran.Walaupun ia mendapat beasiswa melalui jalur titipan panti milik Dinas Sosial, namun nilai akademik Alisa cukup bagus dibanding rata-rata kelas. Peringkat ke 3 kelas, sudah cukup membuktikan kalau otaknya lumayan encer.Ting... Ting...Lonceng istirahat ke satu berbunyi.“Liz, gorenganmu mana?”“Kamu gak jualan go