“Assalamu’alaikum.”
Kinan setengah berlari ke arah pintu dan menjawab salam. Terlihat seorang wanita yang tidak ia kenali itu tengah berdiri di luar pintu pagar yang terbuka.
Sesuai dengan janji Raga, bahwa ia akan mengantarkan Nenek Lasmi untuk mengunjungi rumahnya yang sudah lama ditinggali. Selepas subuh, mereka semua sudah jalan agar menghindari macet dan agar mereka masih sempat berburu jajanan pasar kesukaan Raga.
“Wa’alaikumsalam, cari siapa ya?”
“Mau cari Nenek Lasmi, apa beliau ada di rumah?”
“Oh, ada di dalam. Maaf dengan siapa ya?”
“Astari, atau biasa dikenal sebagai Tari,” jawabnya dengan senyuman manis.
Senyuman dari bibir Kinan sontak saja memudar secara perlahan. Ia ingat betul bagaimana suami dan neneknya tengah membahas seseorang dengan nama yang persis sama.
‘Astari? Apa dia Astari mantannya Mas Raga?’ tanya Kinan dari dalam hatinya saja.
Tatapan meneliti seorang wanita bertubuh sedikit berisi tapi juga tidak bisa dikatakan gemuk. Wanita itu mengenakan riasan wajah cukup tebal untuk pada pagi hari. Rambutnya yang berwarna coklat gelap dibiarkan terurai panjang sampai ke punggung.
“Apa kamu istrinya Raga?” tanya wanita itu lagi setelah tidak mendapat respon dari Kinan.
Jantung Kinan langsung berdegup kencang.
“Kamu kenal Mas Raga?”
Bukannya menjawab, tapi wanita berambut panjang yang diurai itu mengembangkan senyumannya.
Sementara Kinan memandangnya heran dan bisa ia rasakan bahwa sesuatu yang tidak baik terpancar dari dalam tubuh wanita itu.
“Siapa itu, Kinan?” Nenek Lasmi muncul dari dalam rumah dengan tongkat di tangannya. “Loh, Astari? Benarkah itu kamu?” tanya Nenek Lasmi lagi. Kali ini dengan nada suara yang terdengar lebih ceria.
Kinan menggeser tubuhnya untuk Nenek Lasmi yang sudah berjalan mendekatinya.
“Iya, Nek. Ini Tari.” Tari mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Nenek Lasmi yang disambut dengan isakan tangis dari Nenek Lasmi itu sendiri.
Di sebelahnya Kinan tak kuasa untuk tidak mengerutkan keningnya. Merasa heran kenapa Nenek Lasmi sampe sebegitunya?
“Kenapa masih di luar? Kenapa nggak disuruh masuk?” Nenek Lasmi menoleh ke arah Kinan. Nada suaranya berbeda seratus delapan puluh derajat dibanding dengan perlakuan Nenek terhadap Tari.
“Tari baru datang kok, Nek. Baru melihat Istrinya Mas Raga, makanya tadi agak bingung.” Tari membela.
“Oh iya, kamu pasti belum kenal. Ini Kinanti, istrinya Raga. Kinan, ini Astari, mantan pacarnya Raga dulu.” Nenek Lasmi memperkenalkan mereka berdua secara resmi.
Tari mengulurkan tangannya dengan senyum merekah. Tapi Kinan menganggapnya sebagai seringaian. Mau tidak mau dirinya menerima uluran Tari.
Nenek Lasmi mengajak Tari memasuki dalam rumah. Bukan di ruang tamu, tempat ia biasanya menerima tamu melainkan langsung meminta Tari duduk di sofa tempat ruang keluarga yang hanya disekat dengan partisi.
Seolah memperkuat status bahwa Tari bukan hanya sekedar tamu bagi wanita lanjut usia itu tapi sudah dianggapnya sebagai keluarga.
“Mau minum apa, Tari?”
“Apa aja, Nek. Nggak usah repot-repot. Tari cuma sebentar kok.”
Nenek Lasmi menoleh ke arah Kinan dan memberikan isyarat kepadanya untuk membuatkan minum. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Kinan langsung melangkahkan kaki menuju dapur seraya menepis pemikiran liar di benaknya.
‘Ah, katanya kan Tari sudah menikah. Tidak ada hal yang harus aku khawatirkan,’ bisik Kinan pelan sembari menggelengkan kepalanya.
“Raga kemana, Nek?” tanya Tari lagi.
“Lagi ke toko bangunan. Beli beberapa bahan untuk benerin atap. Bocor lagi. Maklum, rumah kalau udah nggak ditempati pasti ada aja yang harus dibenerin.”
“Ah, iya aku dengar, Nenek ikut tinggal bersama Mas Raga ya?”
Nenek Lasmi membenarkan.
“Anak itu benar-benar cucu yang sangat sayang sama Neneknya. Dia takut Nenek kesepian di rumah sendiri setelah kepergian Kakeknya. Jadi dia meminta Nenek tinggal bersamanya di Kota.”
“Raga memang tidak berubah ya. Masih baik.”
Nenek Lasmi mengulas senyumnya. “Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Baik, Nek.”
Sayup-sayup Kinan bisa mendengar suara Nenek Lasmi dan Tari yang mengobrol. Karena letak ruang keluarga dan dapur tidak begitu jauh sehingga bisa memudahkan Kinan untuk sedikit mencuri dengar pembicaraan mereka.
Tak lama kemudian, Kinan kembali dengan tangan yang sudah membawa dua buah cangkir teh hangat beserta camilan yang dibelinya dari pasar kaget tadi pagi.
“Terima kasih, Kinan.” Tari mengulas senyumnya.
Kinan hanya mengangguk lalu saat hendak pergi meninggalkan Tari bersama dengan Nenek Lasmi, wanita itu kembali memanggilnya.
“Kinan? Disini aja, kita belum ngobrol banyak.” Lagi-lagi, Tari menyunggingkan senyumnya.
Senyuman itu membuat Kinan tidak nyaman. Namun, dia tidak punya pilihan lalu duduk di salah satu sofa bersama dengan Nenek Lasmi.
“Aku tidak melihat anakmu, dimana dia?” Tari melongok ke kiri dan ke kanan seolah sedang mencari.
Keheningan menyergap. Tenggorokan Kinan terasa tercekat.
“Mereka belum punya anak,” jawab Nenek Lasmi mewakili.
“Eh, maaf ya, Kinan. Aku pikir kamu sudah punya anak. Soalnya kamu dan Mas Raga menikah lebih dulu dari aku kan?”
“Iya, belum nih. Mohon doanya ya, Tari.” Kinan memaksakan senyumnya.
“Iya, pasti aku doain. Kasihan Mas Raga pasti dia udah pengen gendong anak.”
“Dan Nenek juga mau ngeliat cicit,” cetus Nenek Lasmi ikut nimbrung.
Oh hati Kinan rasanya mulai terasa tercubit-cubit. Padahal Kinan setengah berharap kalau wanita itu akan membela dirinya di depan mantan suaminya tapi malah menyudutkannya.
Dan kini mereka malah terlihat asyik mengobrol seperti sudah sekian lama tidak bertemu.
“Kamu apa kabar, Tari? Tumben kesini? Bukannya kamu tinggal di Kota?”
“Tari sudah tinggal disini lagi, Nek. Nenek belum mendengar kabarnya?”
Nenek Lasmi menggeleng pelan. Keningnya semakin mengerut dan raut wajahnya memancarkan kekhawatiran.
“Oh iya, kan Nenek udah lama nggak tinggal disini. Jadi mungkin belum tau beritanya,” gumam Tari.
“Ada apa, Tari? Apa terjadi sesuatu sama kamu?”
Lama Tari terdiam. Sementara Kinan juga membisu di sampingnya. Keheningan kembali menyergap mereka selama beberapa saat.
“Tari udah pisah, Nek. Rumah tangga Tari berantakan. Makanya Tari pulang ke rumah orang tua.”
Baik Kinan maupun Nenek Lasmi terdiam. Mereka berdua hanya menatap Tari dengan dua pandangan yang saling bertolak belakang.
Nenek Lasmi yang menatapnya dengan sumringah, seolah berita perpisahan Tari adalah sebuah kabar baik untuknya.
Sementara Kinan menatap Tari dengan penuh kengerian.
Sebuah tanda bahaya langsung muncul memberikan peringatan. Namun, belum sempat ia bisa melakukan tindakan pencegahan sebuah suara yang sangat ia kenali terdengar dari ambang pintu diiringi dengan kedatangannya.
“Eh, Raga udah pulang?” Nenek Lasmi menyambut kedatangan Raga.
“Lagi ada tamu ya, Nek? Aku lihat ada sandal di depan.”
Nenek Lasmi tampak mengulum senyumnya.
Sementara Kinanti tidak. Tentu saja.
“Coba lihat siapa yang datang?”
Detik itu juga langkah Raga terhenti. Wajahnya tampak menyiratkan keterkejutan dengan apa yang sedang ia lihat.
“Hai, Raga Satria? Lama tidak berjumpa.” Tari menyapa dengan ceria.
“Astari?” Suaranya tampak tercekat.
Kinan menatap nanar pemandangan yang ada di depannya. Nenek Lasmi yang tampak antusias melihat Astari yang terlihat malu-malu, sementara Raga yang menggarukkan lehernya canggung.
‘Semoga firasat ini tidak benar-benar terjadi, Ya Tuhan,’ batin Kinan.
***
Kinan dapat melihat dengan jelas dan cukup yakin bahwa saat ini Adrian tengah mengatupkan rahang dengan kuat. Pandangannya masih tertuju ke depan membawanya sejauh mungkin dari mantan suaminya yang ia yakini akan semakin salah mengira tentang mereka.Pandangan Kinan tertuju pada genggaman tangan Adrian yang semakin lama semakin membuatnnya merasa aman dan nyaman. Namun, pertanyaan besar kemudian muncul dari dalam benaknya.“Mas?” Kinan membuka suaranya dan menatap Adrian dengan penuh kehati-hatian.“Hmm?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.“Mas Adrian sudah datang sejak tadi?”Pria itu mengangguk. “Aku cukup sedikit mendengar percakapan kalian.”Hati Kinan mencelos. Langkahnya langsung terasa lunglai.“Jadi … dia adalah manta suamimu?”Kinan menjawab dengan anggukan singkat.Adrian mengerutkan keningnya, sekelebat bayangan dari kejadian beberapa saat yang lalu berputar kembali dalam benaknya. Menampilkan sosok pria yang sama. Si penabrak!Rahangnya kemudian mengeras. Adrian tamp
“Adrian!” Seorang pria berusia pertengahan lima puluhan dengan rambut yang sudah hampir sepenuhnya memutih itu tampak antusias menyambut kedatangan Adrian pada pagi itu. “Hai, Pi.” Adrian mengangkat sebelah tangannya seraya melangkah masuk ke ruang kerja Papi dan menghempaskan bokongnya pada sofa. “Kamu terlihat tidak bersemangat bertemu Papi, Adrian?” “Bukan begitu … aku hanya sedikit kewalahan. Sebenarnya kalau bukan karena Mami, aku mungkin lupa kalau hari ini sudah waktunya kita bertemu.” Pria yang bernama Erwin Raharja itu sontak bangkit dari kursi kebesarannya untuk menghampiri anak sulungnya. “Mau minum apa?” tanya Erwin seraya mengangkat telepon yang ada di samping sebuah kursi kulit tempat biasa ia duduk untuk memulai sebuah perbincangan. “Kopi aja mungkin?” Adrian memberikan pilihan. Sejurus kemudian Erwin menghubungi sekretarisnya yang selalu siaga di depan ruangannya itu untuk menyiapkan minuman. “So … kamu lagi sibuk rupanya?” “Begitulah.” Adrian menganggukkan kep
Kinan melangkahkan kakinya kembali ke kantor Literas dengan totebag yang membawa laptop kemanapun ia pergi. Kedatangannya itu disambut oleh Putri dengan senyuman merekah. “Mbak? Kemana aja? Kok nggak kelihatan dari kemarin?” “Lagi ada urusan aku, Put. Jadi balik kampung,” jawab Kinan santai. Ia dan Putri cukup akrab berkomunikasi via email ataupun telepon baik itu untuk urusan pekerjaan ataupun sedikit merumpi. “Oh, pantesan udah nggak dateng lagi.” Putri manggut-manggut. “Oh ya, Mbak kok nggak bilang kalau sudah kenal sama Pak Adrian?” “Oh, itu.” Kinan mengusap tengkuknya tampak kikuk. “Aku juga baru tahu ketika bertemu langsung.” “Pantesan … kalian terlihat cukup akrab.” Putri menarik kesimpulan. “Pak Adrian juga akrab dengan yang lain kan.” “Kelihatan bedanya kok, Mbak.” Putri mengibaskan tangannya santai. “Kalau sama Mbak Kinan. Beda.” Kinan mengerjap. Ini pasti karena kejadian waktu kemarin saat pria itu menggenggam tanganya dan disaksikan oleh seluruh orang yang ada di r
“Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak
“Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya
“Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “