“Nenek yakin mau ditinggal sendirian disini?” tanya Raga sekali lagi pada keesokan harinya. Dengan keyakinan penuh Nenek Lasmi berkata bahwa ia tidak ingin ikut kembali bersama Raga kembali ke ibu kota.
“Iya, Nenek mau tinggal disini lagi.”
“Kenapa, Nek?” tanya Raga lagi.
“Kok mendadak, Nek?” tanya Kinanti tak kuasa untuk menahan rasa penasarannya.
Pasalnya, semenjak kepergian Sang Kakek, Nenek Lasmi kerap kali larut dalam kesedihan yang mendalam jika berada di rumah seorang diri. Hingga hal itu membuat Sang Nenek pun merengek ingin ikut bersama Raga di kota.
“Nenek cuma kangen suasana disini yang tenang dan bisa ngobrol sama tetangga. Kalau di rumah kamu di kota kan Nenek nggak bisa kayak gitu,” tutur Nenek Lasmi kemudian berusaha keras untuk menghindari tatapan matanya.
“Bukannya Nenek juga sudah berteman dengan ibu-ibu di komplek perumahan?” tanya Kinanti dengan nada lembut namun tetap saja disalahartikan oleh Nenek Lasmi.
Ia hanya mendengus pelan. Matanya mendelik tak suka kepada Kinanti.
“Tentu beda rasanya bercengkrama sama tetangga yang juga sebenarnya saudara sendiri. Jadi Nenek juga nggak akan kesepian.”
“Tapi, Nek…” Raga memasang wajah memelas.
“Kalian nggak usahlah khawatir, Nenek pasti akan baik-baik saja. Disini banyak orang yang akan memperhatikan Nenek. Lihat kan dari kemarin banyak yang ke rumah karena mendengar Nenek pulang?”
Baik Raga maupun Kinanti sama-sama terdiam.
“Tapi nanti siapa yang akan ngurusin? Aku nggak bisa biarin Nenek ngerjain kerjaan rumah sendirian.”
“Nanti minta Esih kesini buat bantu-bantu Nenek, dia kan juga seorang janda dan pasti butuh pemasukan buat anaknya. Kamu bisa kan kasih dia upah? Upah pembantu disini nggak sebesar di kota, apalagi ini saudara sendiri,” jawab Nenek memberi solusi.
Lama Raga menatap wajah sendu Sang Nenek sebelum akhirnya ia memberikan anggukan pasrah.
“Tapi baju-baju Nenek masih banyak di rumah loh.”
“Raga, ini kan rumah Nenek. Tentu saja Nenek masih punya baju disini. Nenek memang sengaja nggak bawa semua baju ke rumah kamu,” tuturnya.
Raga terdiam. Raut wajahnya masih menunjukkan bahwa ia tidak rela dan juga khawatir.
“Kamu kan bisa kesini nengokin Nenek sekalian bawain baju.”
Dengan berat hati, pria itu harus menyetujui usulan neneknya. Setelah berkata itu, Sang Nenek tidak mau mendengar lagi perdebatan dan setengah mengusir Raga dan Kinanti agar cepat-cepat pergi dari rumahnya.
“Sudah sana, pulang. Nanti keburu malam. Besok kamu masih harus kerja kan?”
Raga memberikan anggukan lemas.
“Kinanti, urus suamimu baik-baik. Perhatikan jam makannya dan juga kualitas makanannya. Jangan ganggu dia dengan urusan rumah tangga,” ujar Nenek Lasmi tegas kepada Kinanti yang berdiri di samping Raga.
“Iya, Nek.” Kinanti mengangguk pelan, kepalanya tertunduk.
Meski Kinanti agaknya sedikit bernapas lega karena Nenek Lasmi tidak lagi tinggal bersama mereka tapi entah kenapa ia merasa ada yang aneh dari gelagat Sang Nenek semenjak kedatangan Astari tadi malam di rumah ini.
‘Semoga saja apa yang aku khawatirkan tidak berdasar,’ bisik Kinanti dalam hatinya.
Namun, rupanya hal itu menjadi sebuah awal dari segala kemungkinan terburuk yang pernah hadir di dalam benak Kinan.
Dua minggu setelah Nenek memutuskan untuk kembali ke kediamannya di kampung. Raga memutuskan untuk pulang menemui sang Nenek dengan berdalih untuk membawakan pesanan Nenek Lasmi.
Awalnya, Kinan merasa hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Tapi tetap melaksanakan perintah Nenek Lasmi. Nenek Lasmi tampak sedang berbicara dengan Astari yang ternyata sudah rutin mengunjungi Sang Nenek. Bahkan hampir setiap hari wanita itu berkunjung ke rumah Nenek.
Hal itu menimbulkan suatu tanda tanya besar dalam benak Kinan. Jadi apakah karena Astari, Nenek akhirnya mau pulang ke rumah?
***
“Mas, sepertinya aku tidak bisa ikut hari ini,” ujar Kinan setengah meringkuk di atas kasurnya.
Subuh tadi, tamu bulanan kembali hadir menambah daftar kesedihan dalam diri Kinan. Sudah menjadi sebuah kebiasaan, ketika tamu bulanan itu hadir, Kinan pasti akan meringkuk seharian tidak bisa bangun pada hari pertama.
“Kalau begitu, aku sendirian aja, nggak apa-apa ya?”
“Sebenarnya aku ingin ikut. Tapi ternyata aku datang bulan lagi hari ini. Maafin aku ya, Mas.” Kinan berkata lirih. Air mata sudah tergenang memenuhi pelupuk matanya.
“Nggak apa-apa, Sayang. Kita coba lagi nanti ya. Karena kamu lagi sakit dan permintaan Nenek nggak bisa ditunda, kamu nggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendiri?”
Kinan terdiam. Berat hatinya melepas Raga bertolak ke rumah Nenek Lasmi dimana kemungkinan besar Astari akan berada disana.
‘Apa yang akan terjadi kalau aku nggak ada disana?’
Kinan menggelengkan kepalanya keras. Berusaha untuk menepis segala pikiran buruk yang saat ini tengah berkeliaran bebas dalam benaknya.
“Aku bisa ikut kok, Mas. Habis minum obat, sakitnya akan berangsur-angsur membaik.” Kinan berusaha untuk bangkit namun tubuhnya terasa teramat lemas. Dengan sigap, Raga menahan tubuh Kinan agar tidak terjatuh.
“Kamu aja kewalahan begini. Sudah, kamu di rumah aja. Aku usahain pulang nanti malam ya. Nggak usah nunggu besok pagi.”
“Tapi, Mas. Kamu pasti capek banget kalau begitu.”
“Ya daripada kamu maksain ikut dan aku juga nggak tenang ninggalin kamu di rumah. Sedangkan aku juga sudah janji untuk bawa pesanan Nenek.” Raga berkata lirih sambil melirik bungkusan besar yang berisi makanan kesukaan Nenek yang ia temui di toko langganannya di pasar. Kalau tidak dikirim hari ini, kualitas makanannya akan jadi buruk.
“Apa kita ajak Nenek tinggal di rumah ini saja lagi ya, Mas?” tanya Kinan lagi.
“Sudah. Tapi Nenek bersikeras tidak mau. Dia masih betah disana katanya.”
“Tapi apa kamu tidak lelah kalau hari liburnya dipakai untuk perjalanan kesana kemari?” tanya Kinan hati-hati. Berusaha untuk tidak menyinggung hatinya.
Raga terdiam beberapa saat sembari menatap mata istrinya. “Awalnya iya, tapi lama kelamaan aku juga berpikir, usia Nenek sudah senja, aku nggak tahu kapan Nenek bisa pergi begitu saja. Aku ingin menggunakan waktuku sesering mungkin untuk bertemu Nenek. Kamu ingat kan? Aku sudah tidak punya orang tua dan tidak punya kesempatan untuk berbakti pada orang tua, hanya Nenek yang aku punya.”
Kinan meraih tangan Raga dan mengelus lembut sebelum akhirnya ia mendaratkan ciuman hangat pada punggung tangan suaminya.
“Aku tahu. Jangan salah artikan ucapanku ya. Aku hanya berusaha mencari titik tengahnya.”
“Aku tahu.” Raga membelai lembut pipi istrinya. “Kalau gitu, aku tinggal dulu ya, nggak apa-apa kan? Aku siapin dulu obat dan makan untuk kamu sebelum aku pergi, biar kamu nggak usah banyak bergerak hari ini ya.”
“Nanti juga akan reda sakitnya.”
Raga membelai lembut pipi Kinan. “Istirahatlah, aku akan kembali nanti malam.”
Kinan mengangguk berusaha untuk merelakan kepergian suaminya pagi itu.
Raga: Nenek jatuh dan harus dibawa ke rumah sakit.
Begitulah pesan suaminya pada malam hari sekaligus menyatakan bahwa ia tidak bisa pulang malam hari ini.
***
“Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak
“Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya
“Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “
Sepuluh menit sudah berlalu, pasca Kinan menjelaskan keadaan kepada kedua orang tuanya selama setengah jam penuh. Wajah Sang Ayah tampak mengeras. Pandangannya tak lagi menatap Kinan, putri semata wayangnya. Melainkan menunduk menatap meja kayu yang dilapisi taplak warna putih gading bermotif embos kembang. Kinan menahan napasnya. Ayahnya memang tipikal seorang ayah yang tidak banyak berbicara. Namun, kalau marah pria itu bisa terlihat cukup menyeramkan walaupun hanya dengan diamnya. Dan sekarang, ini bukanlah sesuatu yang baik. “Kenapa kamu menyembunyikan masalah sebesar ini dari kami, Kinan?” Sang Ayah akhirnya membuka suaranya. “Itu karena ….” Kinan menunduk. Tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Karena kesehatan Ayah?” Kinan menggigit bibir bawahnya. “Mestinya kamu katakan yang sejujurnya pada Ayah. Apapun kondisinya.” “Kinan nggak mau Ayah drop lagi. Makanya saat itu Kinan putuskan untuk mengikuti keinginan Mas Raga yang juga sebenarnya tidak ingin berpisah.” Ayah Kinan
Kinan melangkah memasuki sebuah gedung perkantoran yang terletak di atas pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Langkahnya agak tergesa, bulir keringat terlihat di pelipisnya. Ketika pintu lift terbuka tepat di lantai 20, sosok Adrian tepat muncul di depan lift. “Kinan?” tanyanya. Pria itu tampak terkejut. “Bukankah seharusnya kamu habis persidangan?” Kinan menarik napas panjang. “Maaf, Mas Adrian, bisa minta waktunya sebentar?” Adrian mengangguk singkat setelah menyadari raut wajah Kinan yang agak sedikit berbeda dari biasanya. Pria itu kemudian menuntun jalan menuju ruang meeting tempat pertama kali mereka bertemu. “Ada apa? Apa yang terjadi, Kinan?” “Maaf sebelumnya, Mas. Aku sudah mengirimkan dua artikel melalui email untuk finalisasi untuk materi dua minggu depan. Boleh tolong di-cek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang bisa aku perbaiki sekarang.” Kinan tampak tergagap. Wanita itu bersusah payah mengeluarkan laptop dari totebag-nya. Namun, Adrian tampak menahannya. “Ki
Setelah pertemuannya dengan Adrian, Kinan tidak menampik bahwa perkataan dari pria itu mengambil andil yang besar bagi cara pandangnya. “Apa kamu yakin dia hanya teman lamamu aja?” Pertanyaan Raras menyadarkannya dari lamunan. Saat ini, mereka sedang kembali bertemu di salah satu coffee shop yang tak jauh dari tempat tinggal Kinan. Raras bersikeras untuk menemui Kinan untuk melanjutkan pembicaraan mereka lewat telepon tempo hari yang lalu. “Yakin, Ras. Kami memang hanya beberapa kali bersinggungan semasa di kampus dulu.” Kinan menyeruput minumannya. Tapi tampaknya Raras tidak langsung mempercayainya. “Tapi kayaknya raut wajahmu agak menunjukkan hal yang lain?” Kinan mengibaskan tangannya. “Jangan mikir yang aneh-aneh, kita memang purely hanya teman.” “Oh. Kirain kalian dulunya pernah terlibat suatu rasa gitu ….” “Nggak lah, pikiran dari mana itu?” Kinan menggeleng kencang. Demi menutupi kegelisahannya, Kinan kembali menyeruput kopi dingin yang terbukti cocok diminum di siang
“Boleh?” Adrian bertanya lagi. Pintu lift masih terbuka lebar dengan tangan Adrian yang menahannya dari tombol di luar. Kinan mengerjap sekali lagi sebelum akhirnya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Pria itu menyunggingkan senyum simpul. Dengan gerakan yang luwes, Adrian melangkah memasuki lift dan berdiri di samping Kinan setelah menekan tombol lantai dasar.Sementara Kinan sendiri masih mematung di tempatnya. “Don’t get me wrong. Aku ingin mengobrol denganmu karena kita sudah lama tidak bertemu. Sebagai teman di kampus, boleh dong?” ujar Adrian. Menolehkan kepalanya, menatap Kinan dengan sorot mata yang ramah. Kinan menoleh dan mata mereka saling bertemu. Dalam sekejap saja, ia bisa merasakan pipinya memerah karena menahan rasa malu. Bukan karena salah tingkah. Tapi Kinan mengakui bahwa dirinya sempat berpikir yang tidak-tidak terhadap Adrian. “Tentu. Tentu saja boleh. Aku nggak mikir yang aneh-aneh kok.” Kinan terkekeh canggung. Pria itu hanya terkekeh pelan. Ingin
“Wah, gila sih! Dia beneran ngomong begitu?!” Raras berteriak histeris dari seberang panggilan. “Iya, kamu nggak salah denger kok, Ras.”Kinan menghubungi Raras pada malam harinya usai bertemu dengan mantan suaminya dengan Tari. Setelah meninggalkan mereka berdua dengan dramatis, Kinan agaknya cukup puas dengan sedikit mempermalukan mereka. “Tapi tindakan kamu keren banget sih, Nan! Malah harusnya kamu bisa lebih kejam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Jangan, kasihan nanti dia nggak bisa makan.” “Ckckck! Kamu itu korban, Nan. Jangan terlalu mikirin orang lain lah. Apalagi mereka benar-benar jahat sama kamu. Jangan kasihani orang yang seperti itu.” Raras berdecak. Selanjutnya ia mendengar wanita itu menceramahi dirinya yang terlalu mentingin perasaan orang lain. “Emang aku seperti itu ya?” “Bukan lagi. Mulai sekarang, kamu harus bisa cuek sama orang.” Lama Kinan tertegun. Membiarkan benaknya bekerja keras untuk memvalidasi perkataan Raras. Di tengah itu, denting notifi
Kinan menjabat tangan seorang wanita berambut pendek dan kacamata yang bertengger di wajahnya yang bulat. “Mohon bantuannya Bu Eliza. Saya nggak butuh harta gono-gini, yang penting saya ingin prosesnya bisa selesai dengan cepat.” Wanita bernama Eliza itu mengangguk mantap. “Beruntung, Ibu Kinan belum ada anak. Jadi tidak ada kasus gugatan hak asuh anak yang mungkin akan memperlambat prosesnya. Saya juga turut prihatin atas apa yang menimpa Ibu Kinan.” Kinan menyunggingkan senyum miris. Jika selama ini ia mendapatkan pandangan iba dari banyak pihak karena belum hamil-hamil juga, justru kini ia mendengar pendapat yang kontradiktif. Sejurus kemudian, Kinan keluar dari ruangan Eliza Wardhana selaku pengacara yang akan mendampingi proses perceraiannya dengan Raga menjadi sebuah langkah nyata yang berhasil ia laksanakan seminggu kemudian. Sebagai orang yang awam, tentu Kinan tidak mengerti alur untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Lagipula, tentu ia juga tidak mempersiapkan pernikaha