Kinan pikir, bahwa kehidupannya sudah cukup beruntung. Punya pernikahan idaman bersama Raga Satria yang selalu berada di sampingnya. Hingga suatu ketika, Astari, sang mantan kekasih suaminya itu muncul kembali pasca perceraiannya. Membuat Nenek Lasmi –neneknya Raga– melihat ini sebagai jawaban dari segala keresahannya, dan meminta Raga, cucu kesayangannya yang sudah tidak memiliki orang tua itu untuk menikahi Tari, hanya agar pria itu bisa punya penerus garis keturunan. Dan … ketika Raga memilih untuk menjadi cucu yang baik alih-alih suami yang baik, Kinan dihadapkan oleh situasi yang tak kalah rumitnya. Ia tak ingin dimadu, tapi suaminya memintanya bertahan. Apa yang akan Kinan pilih untuk jalan hidupnya?
View More“Kalau saja waktu itu kamu jadi nikah sama Astari, mungkin kamu nggak akan kesulitan punya anak begini,” ujar Nenek Lasmini pada suatu pagi di hari Minggu kepada Cucu Kesayangannya, Raga Satria.
Pria yang baru saja genap berusia 33 tahun itu hanya menarik napas panjang sebelum kemudian menghembuskannya sangat perlahan.
“Mungkin belum jodoh aja kali,” jawab Raga singkat.
“Belum jodoh tapi kok pacarannya lama banget. Dia itu cinta pertamamu, kan?” Nenek Lasmini mencibir pelan.
Raga memilih untuk tidak menjawab.
Diam-diam, dia melirik ke sebuah sekat tembok tanpa pintu yang mana ada istrinya, Kinanti Sahara sedang membuatkan makanan untuk mereka bertiga. Ia hanya tidak mau perkataan Neneknya akan membuat wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun terakhir itu akan membuat huru-hara.
“Dia yang nikahnya setahun lebih telat dari kamu aja bisa tuh langsung hamil. Tapi kenapa istrimu tidak bisa?”
Mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Sang Nenek membuat dirinya menghembuskan napas berat.
Sudah tiga tahun pernikahannya dengan Kinanti tapi memang belum dikarunia seorang anak. Raga tahu seberapa besar keinginan Kinanti untuk segera bisa hamil. Tapi ia juga tidak ingin membebankan hal itu kepada istrinya. Maka dari itu, Raga tidak pernah menunjukkan rasa kekecewaannya setiap kali istrinya mengatakan bahwa haid bulanannya kembali datang.
“Nek, sudahlah. Kita kan sudah pernah bahas ini. Memang belum waktunya aja kali.”
“Ya tapi mau sampai kapan? Usiamu sudah tidak muda lagi loh.”
“Nanti kami usaha lagi ya, Nek?” jawab Raga. Ia membelai lembut punggung tangan neneknya yang sudah penuh dengan keriput itu.
“Jangan kelamaan, Raga. Nenek juga nggak tau umurnya sampai kapan.”
“Nenek jangan ngomong begitu. Nenek masih sehat kok.” Raga memijat pelan lengan Lasmini.
“Ya sudah, minggu depan anterin Nenek nengokin rumah ya. Sudah lama nggak ditengok nanti rusak rumahnya.”
Raga mengiyakan dan bersyukur bahwa Nenek tidak memperpanjang obrolan sensitif di hari Minggu ini.
Sudah setahun terakhir ini Nenek ikut tinggal bersama dirinya dan Kinanti di rumah mereka di Ibu Kota. Raga khawatir jika Nenek tinggal sendirian pasca Sang Kakek berpulang setahun yang lalu, sedangkan Tantenya tinggal jauh di luar pulau sehingga tidak memungkinkan memboyong Nenek ikut bersamanya.
Lagipula, Nenek Lasmi lebih memilih tinggal bersama cucu kesayangannya. Dan jarak dari rumah Raga ke Desa terbilang cukup dekat. Hanya berjarak tiga jam perjalanan sehingga memudahkan jika harus bolak-balik.
Tanpa sepengetahuan mereka, seorang wanita bertubuh ramping berdiri mematung dari balik tembok. Tangannya yang sedang memegang nampan berisi dua buah cangkir teh hangat beserta cemilannya bergetar pelan.
***
Kinanti Sahara, wanita yang kini sudah menginjak usia 24 tahun itu sebenarnya tidak mempermasalahkan ketika suaminya berkata jika ia ingin memboyong Sang nenek ikut tinggal di rumah mereka yang sederhana.
Siapa yang tega meninggalkan seorang wanita yang sudah lanjut usia serta tubuhnya sudah ringkih itu tinggal di rumah sendiri?
Awalnya hubungan mereka berjalan baik-baik saja. Kinan merasa cukup terbantu dengan kehadiran Sang Nenek karena bisa langsung memasak bersama dengan Nenek yang memberikan resep rahasia untuk makanan cucunya yang sangat ia sayangi itu.
Tapi hal itu tidak membuat Kinanti mendapatkan ruang yang spesial di hati Lasmini.
Sejak awal dia selalu bertanya-tanya, tapi Raga menyakinkan dirinya bahwa memang sudah karakter Nenek Lasmi yang tidak bisa begitu gamblang mengungkapkan rasa perhatiannya.
“Kamu kenapa diam saja, Sayang?”
Pertanyaan suaminya yang tiba-tiba itu membuatnya tersentak. Kemudian ia menoleh dan sudah mendapati suaminya tengah memandangnya dengan tatapan penuh selidik.
Hari sudah berlalu, Kinanti lebih banyak diam. Hanya berbicara seperlunya saja kepada Nenek Lasmi, meski hari-hari biasanya juga seperti itu. Cuma bedanya kali ini ia lebih menunjukkan keengganan menemani Sang Nenek menonton televisi yang menayangkan sinetron kesukaannya.
Ada kalanya hatinya lelah.
“Aku kan lagi ngelipetin pakaian, Mas.” Kinan menjawab tanpa menatap mata suaminya.
“Tapi sepertinya dari tadi pagi sikapmu agak aneh,” ujarnya lagi.
“Aneh gimana? Perasaan Mas Raga aja mungkin.”
Kening Raga semakin mengerut. Seolah ia tahu bahwa istrinya tidak sedang baik-baik saja. Dengan lembut, ia merengkuh bahu Kinan sehingga membuat wanita itu menghentikan aktivitasnya.
Kedua mata mereka saling bertemu.
“Jawab yang jujur, Kinan. Ini bukan kamu yang biasanya.”
Kinan tahu bahwa jika dirinya tidak bisa menyembunyikan apapun dari suaminya. Perlahan ia mendesah pelan sebelum kemudian membuka mulutnya kembali.
“Kamu nggak pernah cerita soal Astari.”
Raga mengerjapkan matanya selama beberapa saat. “Kamu mendengar perbincangan aku dan Nenek tadi pagi ya?”
“Kedengaran jelas sampai ke dapur.”
Pria itu mendesah pelan kemudian menarik tangan istrinya dan mengelusnya perlahan.
“Jangan dipikirin apa kata Nenek ya, Sayang. Kamu kan tau sendiri kalau Nenek itu suka begitu kalau ngomong.”
“Kalau soal itu aku tau tapi kamu nggak menjawab pertanyaanku, Mas. Kenapa kamu nggak pernah cerita soal mantan kamu yang bernama Astari?”
“Itu semua sudah masa lalu, Sayang. Jadi aku pikir, aku nggak perlu membahas mantan.”
“Tampaknya kalian pernah berpacaran lama sekali sebelum akhirnya kamu menikahiku. Sampai-sampai Nenek bisa sayang banget sama dia.” Tersirat nada sinis dari suara Kinan.
Raga mengerutkan keningnya, menyadari apa yang sedang dirasakan oleh istrinya.
“Kamu cemburu?”
Kinan tidak langsung menjawab. Lama ia menatap suaminya dengan harapan bahwa pria itu bisa tau gejolak perasaan apa yang sedang dihadapi saat ini.
“Orangnya udah nikah, Sayang. Jangan dipikirin begitu ah. Nggak baik buat kesehatan. Apalagi kalau kita sedang program hamil kan?” Raga mengelus perut Kinan yang masih rata dengan harapan besar usaha mereka di bulan ini bisa membuahkan hasil.
“Maaf ya, Mas. Aku belum hamil aja sampai sekarang.” Kinan menggigit bibir bawahnya. Hatinya seperti teriris kerap kali tamu bulanan itu hadir. Ia tahu bahwa Raga sekuat tenaga berusaha untuk menyembunyikannya agar Kinan tidak berkecil hati.
“Nggak apa-apa, kita kan udah lakukan yang terbaik.”
“Mas?” Kinan memanggil lagi. Kali ini kalimatnya menggantung di ujung lidahnya. Seolah ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Ada apa?”
“Kamu nggak ada pikiran untuk menikah lagi kan?”
“Darimana pikiran seperti itu?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh Kinan itu sukses membuat Raga melongo.
Kinan menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya. Gelisah.
“Karena aku bukan seperti mantan kamu yang baru menikah sudah langsung dikasih amanah seorang anak.”
“Kinanti Sahara, aku sudah berjanji kepada orang tuamu untuk menjaga anak satu-satunya mereka. Jadi mana mungkin aku berbuat hal seperti itu.”
“Tapi…”
“Soal anak, nanti kita cari usaha lagi ya. Dan jangan pikirkan apa yang Nenek katakan tadi siang. Namanya juga sudah tua, kalau ngomong pasti agak ngelantur.” Raga membelai lembut punggung istrinya.
Sejurus kemudian Kinan kembali menemukan rasa aman dan nyaman jika berada di samping pria itu. Yang merupakan salah satu alasan mengapa ia menerima pinangan Raga Satria tiga tahun yang lalu. Meskipun hubungan mereka awalnya sempat mengalami sebuah pertentangan.
Ayah Kinan tidak langsung menerima niat baik Raga kala itu. Sebagai alasan utamanya karena Ayahnya sendiri merasa belum siap jika Kinan harus cepat-cepat menikah padahal baru saja lulus kuliah dan baru diterima magang di kantor yang mempertemukannya dengan Raga.
“Jangan khawatir, aku nggak akan nyakitin kamu. Aku nggak akan menikah lagi hanya karena menginginkan anak. Aku cuma mau bersama kamu selamanya.”
Perlahan Kinan mengangguk.
Kekalutan yang dialaminya sejak tadi siang perlahan sirna dan memutuskan.
‘Selama Mas Raga masih berpihak padaku. Aku akan baik-baik saja,’ ujar Kinan dengan mantap.
Dan setengah berharap bahwa suaminya benar-benar menepati janjinya.
***
Di sebuah kantor yang terletak di salah satu gedung pencakar langit tampak sibuk seperti biasanya. Di meja terpisah dari cubicle karyawan lain, yang hanya disekat dengan partisi semi transparan tanpa pintu itu tampak seseorang sedang memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Tampak dalam diamnya, benaknya sedang berkecamuk. Sudah berhari-hari ia tidak pulang ke rumah demi menghindari bertemu dengan Tari. Yang sampai detik ini masih berusaha menghubunginya tanpa henti.Perintah neneknya jelas, bahwa ia harus mencari Kinan dan meminta maaf atas perilakunya selama ini. ‘Dimana aku harus mencari kamu, Kinan?’ gumam Raga dari dalam hatinya. “Tok. Tok.” Seseorang muncul dan menyembulkan kepalanya dibalik partisi semi transparan itu sambil menyuarakan bunyi ketukan pintu. Gangguan itu sontak membuat lamunannya buyar. Pria itu mengerjap sesaat sebelum akhirnya mendongak. Seorang pria tengah menunggunya dengan gestur tubuh tak nyaman. “Kenapa, Bram?” tanyanya dengan suara sedikit ser
Nenek Lasmi membuka matanya yang sayu. Dilihatnya langit-langit kamar rumah sakit yang tampak familier satu dengan yang lainnya dengan pandangan yang kosong. Bertanya-tanya apa yang membawanya sampai harus dilarikan ke rumah sakit?Perlahan sekelebat bayangan kejadian terakhir membuatnya sadar. Walaupun, wanita itu hanya mengingat bagian semuanya menjadi gelap setelah mendengar paling mengejutkan.Diliriknya ke samping, terdapat Raga tengah duduk dengan kepala tertunduk sambil memegang tangannya yang lemah.“Raga,” panggil Nenek dengan suaranya yang masih serak dan terdengar lemah.Sontak saja Raga mendongak. “Alhamdulillah, Nenek sudah sadar. Tunggu sebentar ya, Raga panggilin dokter dulu.”“Nenek sudah tidak apa-apa.” Nenek menggelengkan kepalanya.“Diperiksa sama Dokter dulu ya, Nek.” Pria itu pun segera bangkit. Namun, Nenek menggenggam tangan Raga di sisa tenaganya.“Nenek sudah baik-baik saja. Ceritakan saja, apa yang sebenarnya terjadi?” Suaranya masih terdengar lemah.Sementar
Entah sudah berapa kali Kinan menghembuskan napas berat selagi menatap langit kelabu yang menggantung pada sore hari itu.“Seharusnya aku nggak terburu-buru membuka hati kalau ujungnya akan begini,” ujarnya lirih.Di belangannya, Raras ikut menghela napas. Tangannya terulur dan mengelus pelan punggung teman baiknya. Sudah dua hari setelah kejadian itu ia menolak untuk keluar dan bertemu dengan siapapun.Tadinya itu termasuk dengan Raras, tapi karena wanita itu paham betul dengan perubahan gelagat Kinan, maka disinilah sekarang. Tanpa perlu meminta izin, Raras sudah berdiri di depan pintu unit apartemen Kinan dan menolak pergi sebelum wanita itu luluh.“Siapa yang menyangka kalau keluarga bisa bertindak sejauh itu.”Kinan pun menoleh. Hanya menatap tapi tanpa memberikan respon.“Katamu, kalian pernah bertemu waktu masih sama-sama kuliah? Apa saat itu kamu nggak tahu bagaimana latar belakang keluarga Adrian?” kata Raras kemudian.Kinan menggeleng lemas. “Waktu itu kami hanya saling liha
Adrian hanya mampu menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Apa status itu begitu penting bagi Mami?” “Tentu saja! Kamu harus tahu posisimu sebagai siapa? Kamu bukan hanya menikah untuk diri kamu tapi juga penyatuan dua keluarga. Yang paling penting lagi, kamu membawa nama keluarga Raharja. Maka keturunanmu juga akan menyandang nama keluarga itu. Maka anakmu tidak boleh berasal dari sembarang orang!” Sekali lagi, Adrian dibuat terpukau dengan perkataan Mami yang menggebu-gebu sejurus kemudian terlihat napasnya tersengal. “Nggak semua hal yang Mami pikir terbaik adalah yang terbaik,” ujarnya kemudian. Mami mengulas senyum miring. “Mungkin kamu melupakan sesuatu, kamu juga bilang itu saat kamu mempertahankan dia yang melemparkan kotoran di muka kita!” “Semua itu nggak akan terjadi kalau misalkan Mami lebih percaya sama dia.” Rahang Adrian mengeras dan tubuhnya sudah hampir bergetar lantaran menahan gejolak perasaan di dalam tubuhnya.Sementara wanita itu menatap anak
Beberapa jam yang lalu, Adrian sudah tidak sanggup lagi berada dalam ketidakpastian perubahan sikap Kinan yang terlalu drastis.Pesannya yang terakhir tak kunjung dibalas padahal sudah jelas-jelas dibaca oleh sang penerimanya; Kinan.“Ini nggak bisa dibiarkan. Lama-lama aku bisa gila kalau begini terus.”Ia tahu bahwa pasti sedang ada yang terjadi, tapi ia tidak ingin memaksa wanita itu untuk bercerita. Maka Adrian memberikan ruang dan jarak untuknya.“Aku harus menemuinya.”Sejurus kemudian, Adrian sudah berada di kawasan menuju apartemen Kinan dengan membawa bingkisan makanan kesukaannya dengan harapan jika ia datang tanpa memberitahunya, wanita itu akan luluh dan mau menemuinya.Ketika Adrian membelokkan setir kemudi menuju lahan parkir tamu yang persis di depan pintu masuk menuju lobi, ia dikejutkan dengan seseorang yang terasa sangat ia kenal tampak baru keluar.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress sebatas betis berwarna hijau emerald lengkap dengan tas jinjing berwarna
Setelah kelahiran putri kecil mereka, rumah menjadi terasa lebih hidup. Para tetangga juga turut datang untuk menjenguk Tari dan Tarra yang menjadi bintang utama pada hari itu. “Tumben, biasanya anak perempuan itu mirip sama bapaknya banget tapi Tarra itu malah mirip ibunya ya?” ujar salah satu tetangga yang mengamati Tarra tertidur dari krib yang diberikan kelambu. “Katanya kalau anak perempuan itu harus mirip dengan bapaknya, begitu juga dengan laki-laki harus mirip dengan ibunya. Pokoknya selang-seling begitu deh. Karena kalau nggak salah satunya ada yang kalah,” kata salah satu tetangga yang usianya lebih tua dan terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang dari zaman terdahulu. “Ah, ibu-ibu ini. Itu berarti gen ibunya lebih dominan. Apa-apa jangan dikaitkan dengan mitos,” timpal salah satu tetangga lainnya.Nenek Lasmi lalu muncul dari dapur membawa nampan berisi aneka macam kue basah untuk disuguhkan. “Tarra itu mirip kakeknya. Ayahnya Raga waktu masih kecil,” tukas Nenek Lasm
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments