“Kalau saja waktu itu kamu jadi nikah sama Astari, mungkin kamu nggak akan kesulitan punya anak begini,” ujar Nenek Lasmini pada suatu pagi di hari Minggu kepada Cucu Kesayangannya, Raga Satria.
Pria yang baru saja genap berusia 33 tahun itu hanya menarik napas panjang sebelum kemudian menghembuskannya sangat perlahan.
“Mungkin belum jodoh aja kali,” jawab Raga singkat.
“Belum jodoh tapi kok pacarannya lama banget. Dia itu cinta pertamamu, kan?” Nenek Lasmini mencibir pelan.
Raga memilih untuk tidak menjawab.
Diam-diam, dia melirik ke sebuah sekat tembok tanpa pintu yang mana ada istrinya, Kinanti Sahara sedang membuatkan makanan untuk mereka bertiga. Ia hanya tidak mau perkataan Neneknya akan membuat wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun terakhir itu akan membuat huru-hara.
“Dia yang nikahnya setahun lebih telat dari kamu aja bisa tuh langsung hamil. Tapi kenapa istrimu tidak bisa?”
Mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Sang Nenek membuat dirinya menghembuskan napas berat.
Sudah tiga tahun pernikahannya dengan Kinanti tapi memang belum dikarunia seorang anak. Raga tahu seberapa besar keinginan Kinanti untuk segera bisa hamil. Tapi ia juga tidak ingin membebankan hal itu kepada istrinya. Maka dari itu, Raga tidak pernah menunjukkan rasa kekecewaannya setiap kali istrinya mengatakan bahwa haid bulanannya kembali datang.
“Nek, sudahlah. Kita kan sudah pernah bahas ini. Memang belum waktunya aja kali.”
“Ya tapi mau sampai kapan? Usiamu sudah tidak muda lagi loh.”
“Nanti kami usaha lagi ya, Nek?” jawab Raga. Ia membelai lembut punggung tangan neneknya yang sudah penuh dengan keriput itu.
“Jangan kelamaan, Raga. Nenek juga nggak tau umurnya sampai kapan.”
“Nenek jangan ngomong begitu. Nenek masih sehat kok.” Raga memijat pelan lengan Lasmini.
“Ya sudah, minggu depan anterin Nenek nengokin rumah ya. Sudah lama nggak ditengok nanti rusak rumahnya.”
Raga mengiyakan dan bersyukur bahwa Nenek tidak memperpanjang obrolan sensitif di hari Minggu ini.
Sudah setahun terakhir ini Nenek ikut tinggal bersama dirinya dan Kinanti di rumah mereka di Ibu Kota. Raga khawatir jika Nenek tinggal sendirian pasca Sang Kakek berpulang setahun yang lalu, sedangkan Tantenya tinggal jauh di luar pulau sehingga tidak memungkinkan memboyong Nenek ikut bersamanya.
Lagipula, Nenek Lasmi lebih memilih tinggal bersama cucu kesayangannya. Dan jarak dari rumah Raga ke Desa terbilang cukup dekat. Hanya berjarak tiga jam perjalanan sehingga memudahkan jika harus bolak-balik.
Tanpa sepengetahuan mereka, seorang wanita bertubuh ramping berdiri mematung dari balik tembok. Tangannya yang sedang memegang nampan berisi dua buah cangkir teh hangat beserta cemilannya bergetar pelan.
***
Kinanti Sahara, wanita yang kini sudah menginjak usia 24 tahun itu sebenarnya tidak mempermasalahkan ketika suaminya berkata jika ia ingin memboyong Sang nenek ikut tinggal di rumah mereka yang sederhana.
Siapa yang tega meninggalkan seorang wanita yang sudah lanjut usia serta tubuhnya sudah ringkih itu tinggal di rumah sendiri?
Awalnya hubungan mereka berjalan baik-baik saja. Kinan merasa cukup terbantu dengan kehadiran Sang Nenek karena bisa langsung memasak bersama dengan Nenek yang memberikan resep rahasia untuk makanan cucunya yang sangat ia sayangi itu.
Tapi hal itu tidak membuat Kinanti mendapatkan ruang yang spesial di hati Lasmini.
Sejak awal dia selalu bertanya-tanya, tapi Raga menyakinkan dirinya bahwa memang sudah karakter Nenek Lasmi yang tidak bisa begitu gamblang mengungkapkan rasa perhatiannya.
“Kamu kenapa diam saja, Sayang?”
Pertanyaan suaminya yang tiba-tiba itu membuatnya tersentak. Kemudian ia menoleh dan sudah mendapati suaminya tengah memandangnya dengan tatapan penuh selidik.
Hari sudah berlalu, Kinanti lebih banyak diam. Hanya berbicara seperlunya saja kepada Nenek Lasmi, meski hari-hari biasanya juga seperti itu. Cuma bedanya kali ini ia lebih menunjukkan keengganan menemani Sang Nenek menonton televisi yang menayangkan sinetron kesukaannya.
Ada kalanya hatinya lelah.
“Aku kan lagi ngelipetin pakaian, Mas.” Kinan menjawab tanpa menatap mata suaminya.
“Tapi sepertinya dari tadi pagi sikapmu agak aneh,” ujarnya lagi.
“Aneh gimana? Perasaan Mas Raga aja mungkin.”
Kening Raga semakin mengerut. Seolah ia tahu bahwa istrinya tidak sedang baik-baik saja. Dengan lembut, ia merengkuh bahu Kinan sehingga membuat wanita itu menghentikan aktivitasnya.
Kedua mata mereka saling bertemu.
“Jawab yang jujur, Kinan. Ini bukan kamu yang biasanya.”
Kinan tahu bahwa jika dirinya tidak bisa menyembunyikan apapun dari suaminya. Perlahan ia mendesah pelan sebelum kemudian membuka mulutnya kembali.
“Kamu nggak pernah cerita soal Astari.”
Raga mengerjapkan matanya selama beberapa saat. “Kamu mendengar perbincangan aku dan Nenek tadi pagi ya?”
“Kedengaran jelas sampai ke dapur.”
Pria itu mendesah pelan kemudian menarik tangan istrinya dan mengelusnya perlahan.
“Jangan dipikirin apa kata Nenek ya, Sayang. Kamu kan tau sendiri kalau Nenek itu suka begitu kalau ngomong.”
“Kalau soal itu aku tau tapi kamu nggak menjawab pertanyaanku, Mas. Kenapa kamu nggak pernah cerita soal mantan kamu yang bernama Astari?”
“Itu semua sudah masa lalu, Sayang. Jadi aku pikir, aku nggak perlu membahas mantan.”
“Tampaknya kalian pernah berpacaran lama sekali sebelum akhirnya kamu menikahiku. Sampai-sampai Nenek bisa sayang banget sama dia.” Tersirat nada sinis dari suara Kinan.
Raga mengerutkan keningnya, menyadari apa yang sedang dirasakan oleh istrinya.
“Kamu cemburu?”
Kinan tidak langsung menjawab. Lama ia menatap suaminya dengan harapan bahwa pria itu bisa tau gejolak perasaan apa yang sedang dihadapi saat ini.
“Orangnya udah nikah, Sayang. Jangan dipikirin begitu ah. Nggak baik buat kesehatan. Apalagi kalau kita sedang program hamil kan?” Raga mengelus perut Kinan yang masih rata dengan harapan besar usaha mereka di bulan ini bisa membuahkan hasil.
“Maaf ya, Mas. Aku belum hamil aja sampai sekarang.” Kinan menggigit bibir bawahnya. Hatinya seperti teriris kerap kali tamu bulanan itu hadir. Ia tahu bahwa Raga sekuat tenaga berusaha untuk menyembunyikannya agar Kinan tidak berkecil hati.
“Nggak apa-apa, kita kan udah lakukan yang terbaik.”
“Mas?” Kinan memanggil lagi. Kali ini kalimatnya menggantung di ujung lidahnya. Seolah ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Ada apa?”
“Kamu nggak ada pikiran untuk menikah lagi kan?”
“Darimana pikiran seperti itu?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh Kinan itu sukses membuat Raga melongo.
Kinan menunduk. Tangannya meremas ujung bajunya. Gelisah.
“Karena aku bukan seperti mantan kamu yang baru menikah sudah langsung dikasih amanah seorang anak.”
“Kinanti Sahara, aku sudah berjanji kepada orang tuamu untuk menjaga anak satu-satunya mereka. Jadi mana mungkin aku berbuat hal seperti itu.”
“Tapi…”
“Soal anak, nanti kita cari usaha lagi ya. Dan jangan pikirkan apa yang Nenek katakan tadi siang. Namanya juga sudah tua, kalau ngomong pasti agak ngelantur.” Raga membelai lembut punggung istrinya.
Sejurus kemudian Kinan kembali menemukan rasa aman dan nyaman jika berada di samping pria itu. Yang merupakan salah satu alasan mengapa ia menerima pinangan Raga Satria tiga tahun yang lalu. Meskipun hubungan mereka awalnya sempat mengalami sebuah pertentangan.
Ayah Kinan tidak langsung menerima niat baik Raga kala itu. Sebagai alasan utamanya karena Ayahnya sendiri merasa belum siap jika Kinan harus cepat-cepat menikah padahal baru saja lulus kuliah dan baru diterima magang di kantor yang mempertemukannya dengan Raga.
“Jangan khawatir, aku nggak akan nyakitin kamu. Aku nggak akan menikah lagi hanya karena menginginkan anak. Aku cuma mau bersama kamu selamanya.”
Perlahan Kinan mengangguk.
Kekalutan yang dialaminya sejak tadi siang perlahan sirna dan memutuskan.
‘Selama Mas Raga masih berpihak padaku. Aku akan baik-baik saja,’ ujar Kinan dengan mantap.
Dan setengah berharap bahwa suaminya benar-benar menepati janjinya.
***
“Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “
Sepuluh menit sudah berlalu, pasca Kinan menjelaskan keadaan kepada kedua orang tuanya selama setengah jam penuh. Wajah Sang Ayah tampak mengeras. Pandangannya tak lagi menatap Kinan, putri semata wayangnya. Melainkan menunduk menatap meja kayu yang dilapisi taplak warna putih gading bermotif embos kembang. Kinan menahan napasnya. Ayahnya memang tipikal seorang ayah yang tidak banyak berbicara. Namun, kalau marah pria itu bisa terlihat cukup menyeramkan walaupun hanya dengan diamnya. Dan sekarang, ini bukanlah sesuatu yang baik. “Kenapa kamu menyembunyikan masalah sebesar ini dari kami, Kinan?” Sang Ayah akhirnya membuka suaranya. “Itu karena ….” Kinan menunduk. Tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Karena kesehatan Ayah?” Kinan menggigit bibir bawahnya. “Mestinya kamu katakan yang sejujurnya pada Ayah. Apapun kondisinya.” “Kinan nggak mau Ayah drop lagi. Makanya saat itu Kinan putuskan untuk mengikuti keinginan Mas Raga yang juga sebenarnya tidak ingin berpisah.” Ayah Kinan
Kinan melangkah memasuki sebuah gedung perkantoran yang terletak di atas pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Langkahnya agak tergesa, bulir keringat terlihat di pelipisnya. Ketika pintu lift terbuka tepat di lantai 20, sosok Adrian tepat muncul di depan lift. “Kinan?” tanyanya. Pria itu tampak terkejut. “Bukankah seharusnya kamu habis persidangan?” Kinan menarik napas panjang. “Maaf, Mas Adrian, bisa minta waktunya sebentar?” Adrian mengangguk singkat setelah menyadari raut wajah Kinan yang agak sedikit berbeda dari biasanya. Pria itu kemudian menuntun jalan menuju ruang meeting tempat pertama kali mereka bertemu. “Ada apa? Apa yang terjadi, Kinan?” “Maaf sebelumnya, Mas. Aku sudah mengirimkan dua artikel melalui email untuk finalisasi untuk materi dua minggu depan. Boleh tolong di-cek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang bisa aku perbaiki sekarang.” Kinan tampak tergagap. Wanita itu bersusah payah mengeluarkan laptop dari totebag-nya. Namun, Adrian tampak menahannya. “Ki
Setelah pertemuannya dengan Adrian, Kinan tidak menampik bahwa perkataan dari pria itu mengambil andil yang besar bagi cara pandangnya. “Apa kamu yakin dia hanya teman lamamu aja?” Pertanyaan Raras menyadarkannya dari lamunan. Saat ini, mereka sedang kembali bertemu di salah satu coffee shop yang tak jauh dari tempat tinggal Kinan. Raras bersikeras untuk menemui Kinan untuk melanjutkan pembicaraan mereka lewat telepon tempo hari yang lalu. “Yakin, Ras. Kami memang hanya beberapa kali bersinggungan semasa di kampus dulu.” Kinan menyeruput minumannya. Tapi tampaknya Raras tidak langsung mempercayainya. “Tapi kayaknya raut wajahmu agak menunjukkan hal yang lain?” Kinan mengibaskan tangannya. “Jangan mikir yang aneh-aneh, kita memang purely hanya teman.” “Oh. Kirain kalian dulunya pernah terlibat suatu rasa gitu ….” “Nggak lah, pikiran dari mana itu?” Kinan menggeleng kencang. Demi menutupi kegelisahannya, Kinan kembali menyeruput kopi dingin yang terbukti cocok diminum di siang
“Boleh?” Adrian bertanya lagi. Pintu lift masih terbuka lebar dengan tangan Adrian yang menahannya dari tombol di luar. Kinan mengerjap sekali lagi sebelum akhirnya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Pria itu menyunggingkan senyum simpul. Dengan gerakan yang luwes, Adrian melangkah memasuki lift dan berdiri di samping Kinan setelah menekan tombol lantai dasar.Sementara Kinan sendiri masih mematung di tempatnya. “Don’t get me wrong. Aku ingin mengobrol denganmu karena kita sudah lama tidak bertemu. Sebagai teman di kampus, boleh dong?” ujar Adrian. Menolehkan kepalanya, menatap Kinan dengan sorot mata yang ramah. Kinan menoleh dan mata mereka saling bertemu. Dalam sekejap saja, ia bisa merasakan pipinya memerah karena menahan rasa malu. Bukan karena salah tingkah. Tapi Kinan mengakui bahwa dirinya sempat berpikir yang tidak-tidak terhadap Adrian. “Tentu. Tentu saja boleh. Aku nggak mikir yang aneh-aneh kok.” Kinan terkekeh canggung. Pria itu hanya terkekeh pelan. Ingin
“Wah, gila sih! Dia beneran ngomong begitu?!” Raras berteriak histeris dari seberang panggilan. “Iya, kamu nggak salah denger kok, Ras.”Kinan menghubungi Raras pada malam harinya usai bertemu dengan mantan suaminya dengan Tari. Setelah meninggalkan mereka berdua dengan dramatis, Kinan agaknya cukup puas dengan sedikit mempermalukan mereka. “Tapi tindakan kamu keren banget sih, Nan! Malah harusnya kamu bisa lebih kejam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Jangan, kasihan nanti dia nggak bisa makan.” “Ckckck! Kamu itu korban, Nan. Jangan terlalu mikirin orang lain lah. Apalagi mereka benar-benar jahat sama kamu. Jangan kasihani orang yang seperti itu.” Raras berdecak. Selanjutnya ia mendengar wanita itu menceramahi dirinya yang terlalu mentingin perasaan orang lain. “Emang aku seperti itu ya?” “Bukan lagi. Mulai sekarang, kamu harus bisa cuek sama orang.” Lama Kinan tertegun. Membiarkan benaknya bekerja keras untuk memvalidasi perkataan Raras. Di tengah itu, denting notifi
Kinan menjabat tangan seorang wanita berambut pendek dan kacamata yang bertengger di wajahnya yang bulat. “Mohon bantuannya Bu Eliza. Saya nggak butuh harta gono-gini, yang penting saya ingin prosesnya bisa selesai dengan cepat.” Wanita bernama Eliza itu mengangguk mantap. “Beruntung, Ibu Kinan belum ada anak. Jadi tidak ada kasus gugatan hak asuh anak yang mungkin akan memperlambat prosesnya. Saya juga turut prihatin atas apa yang menimpa Ibu Kinan.” Kinan menyunggingkan senyum miris. Jika selama ini ia mendapatkan pandangan iba dari banyak pihak karena belum hamil-hamil juga, justru kini ia mendengar pendapat yang kontradiktif. Sejurus kemudian, Kinan keluar dari ruangan Eliza Wardhana selaku pengacara yang akan mendampingi proses perceraiannya dengan Raga menjadi sebuah langkah nyata yang berhasil ia laksanakan seminggu kemudian. Sebagai orang yang awam, tentu Kinan tidak mengerti alur untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Lagipula, tentu ia juga tidak mempersiapkan pernikaha
Butuh tiga hari untuk Kinan akhirnya bangkit dari keterpurukannya. Tangisannya berhenti di hari ini, menyisakan ruang hampa yang cukup besar di hatinya. Bohong jika Kinan mengatakan bahwa rasa cintanya sudah menguap begitu saja. Ia pernah jatuh hati dengan dalam pada pria yang mencuri hatinya dan pria yang pertama kali membuktikan keseriusannya di depan kedua orang tuanya. Meski pada akhirnya perjuangannya harus dibuang begitu saja. Kehadirannya tak cukup membuat Raga mempercayainya lagi. Sudah cukup, Kinan. Semua tinggal persoalan waktu. Kinan bangkit dari ranjang dan berjalan untuk membuka tirai jendela kamar hotel. Sinar matahari langsung menyergap matanya dan sontak saja langsung memenuhi seluruh ruangan. Seolah menamparnya bahwa hidupnya masih bisa berjalan meski kemarin sedang diterpa kegelapan. Langkah selanjutnya ialah membersihkan diri sekaligus menyegarkan badannya selama tiga hari ini hanya berdiam diri di kamar hotel. Yang ia lakukan hanya tidur dan bangun hanya untu
Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa ia akan menyeret kopernya keluar dari rumah yang sudah ditempatinya seumur rumah tangganya berjalan bersama Raga Satria, suaminya –kini mantan suaminya dan pernah hidup tentram damai sebelum perusak rumah tangga itu mulai menggerogoti pernikahannya. Di depan pagar rumah, Kinan menolehkan kepala dan menatap sekali lagi rumah yang menjadi saksi bisu pernikahan yang akhirnya harus ia lepaskan. “Mestinya sejak dulu aku menyerah,” gumamnya lirih. “Mestinya aku nggak luluh sama ucapannya,” lanjutnya kemudian sebelum akhirnya berbalik badan dan kembali menyeret kopernya. Hari masih siang dengan sinar matahari yang sudah setinggi ubun-ubun kepalanya. Kinan menegakkan kepalanya meski hal itu menjadi sangat menarik perhatian oleh orang yang melihatnya. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil taksi tanpa penumpang terlihat melintas. Kinan dengan cepat melambaikan tangan untuk mencegat taksi tersebut. Kinan buru-buru membuka pintu belakang dan membiarkan Sa