Share

Dibalik Bayangan Masa Lalu
Dibalik Bayangan Masa Lalu
Author: Win

Bab 1

Mobil HRV  itu meluncur di jalan seperti seekor gajah yang ramping. Mobil itu menikung tajam di belokan, suara mesinnya mendengung rendah dan dalam hingga terdengar seperti seekor hewan pemangsa.

Adina Bandiani sedang berlutut  di kebun bunganya yang subur, menggali tanah di antara semak-semak di bawah bunga lili dan memaki serangga-serangga kecil yang sedang berpesta pora melahap tanamannya, ketika deru mesin mobil itu menarik perhatiannya. Dia menengok ke belakang mengamati mobil itu, lalu mulai panik ketika mobil itu berhenti berhenti di depan rumahnya.

"Ya ampun, apakah sudah sesiang itu?" Gumamnya. Dia meletakkan sekopnya lalu berdiri dan mengibaskan tanah basah yang menempel di lututnya.

Tangannya terangkat untuk mengusap poni dari keningnya sebelum Adina menyadari kalau dia mengenakan sarung tangan berkebunnya yang tebal. Adina segera melepaskannya dan menaruhnya di samping sekop, sambil terus memperhatikan si pengemudi keluar dari mobil itu dan mulai berjalan memasuki halaman rumahnya.

Adina melirik arlojinya dan melihat kalau dia tidak lupa waktu. Pria itulah yang datang terlalu pagi untuk pertemuan mereka dan akibatnya, Adina tidak bisa memberi kesan pertama yang baik. Kepanasan, berkeringat dan kotor bukan penampilan yang baik untuk bertemu dengan seorang klien. Padahal dia sangat membutuhkan bayarannya.

Sambil memaksakan sebuah senyum, Adina berjalan menyambut tamunya, dengan gelisah berusaha mengingat  apakah rumah dan studionya sudah cukup rapi ketika dia tinggalkan tadi waktu dia memutuskan untuk berkebun selama satu jam. Dia sudah berencana untuk merapikannya sebelum tamunya tiba.

Penampilannya mungkin acak-acakan, tapi Adina tidak mau kelihatan bisa di intimidasi. Keramahan yang di tambah dengan rasa percaya diri adalah satu-satunya cara untuk menutupi penampilannya yang tidak menguntungkan saat ini.

Pria itu masih beberapa langkah darinya ketika Adina menyapanya. "Halo." Katanya sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya waktu kita tidak tepat. Saya pikir Anda tidak akan datang sampai waktu yang sudah kita sepakati sebelumnya."

"Aku sudah memutuskan bahwa sudah waktunya permainan kotormu itu di akhiri." Katanya dengan nada kasar.

Sepatu Adina sedikit terpeleset saat dia berhenti mendadak. Dia memiringkan kepalanya kebingungan. "maaf, saya..."

"Siapa kau sebenarnya, nona?" Tanya pria itu.

"Bandiani. Anda sangka siapa?" Tanya Adina kebingungan.

"Aku tidak tahu siapa namamu. Peran apa yang sedang kau mainkan sekarang?" Tanya pria itu lagi.

"Peran?" Adina memandang ke sekelilingnya, seolah-olah pohon besar di halaman rumahnya dapat memberinya jawaban atas interogasi yang aneh ini.

"Kenapa kau terus menerus mengirimiku surat-surat itu?" Tanya pria itu dengan nada menuntut.

"Surat? Apa maksudmu?" Tanya Adina kebingungan.

Pria itu jelas marah dan kebingungan Adina tampaknya semakin membuatnya murka. Pria itu melangkah cepat ke arahnya seperti seekor elang mengincar tikus sawah, hingga Adina  harus mengangkat kepalanya untuk menatapnya. Matahari yang cerah berada di balik tubuh tinggi pria itu, sehingga yang terlihat hanya siluetnya saja.

Pria itu berambut coklat, tinggi, ramping dan mengenakan celana panjang santai dan kaus. Dia memakai kacamata hitam, sehingga Adina tidak bisa melihat matanya, tapi dengan melihat ekspresi dan cara berdirinya yang begitu garang, Adina lebih suka tidak melihat matanya. 

"Saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan.." Adina memulai.

"Surat-surat itu, nona. Surat-surat itu." Kata pria itu dengan menekankan kata-katanya sambil mengatupkan giginya yang putih.

"Surat apa?" Tanya Adina.

"Tidak usah pura-pura." Jawab Pria itu sambil memasang wajah yang datar.

"Apakah anda yakin kalau anda berada di alamat yang benar?" Tanya Adina, melihat ke sekelilingnya.

Pria itu kembali melangkah maju. "Aku berada di alamat yang benar." Katanya geram.

"Sepertinya tidak." Adina tidak suka di tekan seperti itu, terutama oleh seorang pria yang tidak dia kenal tentang sesuatu yang sama sekali tidak dia ketahui. "Entah anda gila atau mabuk, tapi bagaimana pun juga, anda salah. Saya bukan orang yang anda cari dan saya minta anda segera meninggalkan rumah saya saat ini juga."

"Tadi kau sedang menungguku. Aku bisa melihatnya dari caramu menyambutku." Kata pria itu.

"Tadinya saya pikir anda adalah orang dari biro iklan." Jawab Adina.

"Yah, saya bukan orang dari biro iklan." Sambung pria itu.

"Syukurlah." Adina tidak suka kalau harus berbisnis dengan seseorang yang begitu pemarah dan tidak masuk akal seperti orang ini.

"Tapi kau tahu betul siapa aku." Kata pria itu, membuka kacamata hitamnya.

Napas Adina tercekat dan dia mundur satu langkah karena dia ternyata memang mengenal pria itu. Dia memegang dadanya untuk menahan jantungnya yang berdebar cepat. "Derek." Bisiknya.

"Betul. Aku Derek Emir, persis seperti yang kau tulis di surat-surat itu." Jawab Pria itu tajam.

Adina terkejut melihat pria itu setelah bertahun-tahun lamanya, berdiri hanya beberapa senti di hadapannya. Kali ini pria itu bukan hanya sosok yang di kenalnya di surat kabar atau layar tv. Sosok asli pria itu ada di hadapannya. Tahun demi tahun berlalu namun penampilan pria itu masih tetap sama.

Adina ingin tetap berdiri dan terus memandang pria itu, tapi Derek memandangnya dengan tatapan jijik dan sama sekali tidak mengenalnya. "Mari masuk Derek." Ajak Adina dengan lembut.

Beberapa orang tetangga yang sedang menikmati cuaca akhir pekan yang cerah sambil berkebun, berhenti bekerja atau menyirami tanamannya untuk memperhatikan mobil dan tamu Adina Bandiani.

Tamu pria yang datang ke rumahnya bukanlah sesuatu yang aneh. Banyak kliennya yang pria dan kebanyakan melakukan konsultasi dengannya di rumah. Umumnya tamu-tamu pria yang datang adalah eksekutif resmi, dan mengenakan setelan bisnis. jarang sekali yang berkulit tan dan berwajah bintang film, dan mengendarai mobil mewah.

Wilayah hunian ini bukanlah pemukiman mewah seperti yang ada di sekitarnya. Sebagian besar penduduk di situ berusia separuh baya dan mengendarai sedan yang biasa-biasa saja. HRV yang berhenti di wilayah itu tentu saja memancing rasa ingin tahu. Dan sepanjang ingatan para tetangganya, Adina Bandiani tidak pernah bertengkar dengan siapa pun.

Sepatu karetnya berdecit saat dia berbalik dan Derek Emir mengikutinya hingga masuk ke dalam rumah. Kelembapan di luar sana membuat udara AC terasa nyaman. Tapi karena tubuh Adira basah karena keringat, udara yang dingin malah membuatnya merinding. Atau mungkin karena kenyataan kalau Derek ada di belakangnya yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Lewat sini." Adina mengajaknya melewati lorong yang luas dan menuju teras belakang yang berkaca, yang juga menjadi studionya. Adina merasa seperti dia berada di tempat persembunyiannya  ketika dia berada di teras belakang. Membuatnya lebih santai dan  membuatnya lebih mampu menghadapi kenyataan mengagumkan kalau Derek Emir tanpa di sangka-sangka kembali memasuki hidupnya lagi.

Saat Adina berbalik agar bisa berhadapan dengan pria itu, mata Derek yang biru jernih sedang mengamati sekeliling studio. Matanya segera memandang mata Adina.

"Jadi?" Tanyanya ketus, menaruh kedua tangannya di pinggangnya, jelas pria itu sedang menunggu penjelasan lengkap atas sesuatu yang sama sekali tidak di ketahui Adina.

"Aku tidak tahu apa-apa tentang surat apa pun yang kau sebut itu." Kata Adina berbalik menghadap pria itu.

"Surat-surat itu di kirimkan dari alamat ini." Kata Derek.

"Kalau begitu ada kesalahan dari kantor pos." Sambung Adina.

"Tidak mungkin. Tidak sampai lima kali selama beberapa minggu. Dengar nona, eh.. siapa tadi?" 

"Adina Bandiani." Jawab Adina, dia menyebutkan nama lengkapnya kali ini.

Pria itu memandangnya sekilas dengan rasa ingin tahu. "Aku sudah melajang selama tiga puluh delapan tahun. Sudah sangat lama dari masa remajaku. Aku tidak ingat setiap wanita yang aku tiduri."

Jantung Adina kembali berdegup tidak karuan dan dia langsung menghirup napas dengan cepat. "Aku tidak pernah tidur denganmu."

Pria itu membuka kakinya sedikit dan memiringkan kepalanya dengan sombong. "Kalau begitu bagaimana mungkin kau mengaku sudah memiliki anak laki-laki dariku? Seorang anak laki-laki yang keberadaannya tidak pernah aku ketahui sampai aku menerima suratmu yang pertama beberapa minggu yang lalu."

Adina tidak mampu berkata-kata. Dia bisa merasakan kalau wajahnya memucat. Rasanya seolah bumi di bawa kakinya terbuka lebar.

"Aku tidak pernah punya anak. Dan aku ulangi sekali lagi, aku tidak pernah mengirimkanmu selembar surat pun." Adina menunjuk ke arah kursi. "Bagaimana kalau kau duduk dulu." Dia tidak menawarkan itu demi sopan santun atau untuk kenyamanan pria itu. Dia khawatir kalau dia tidak segera duduk, lututnya tidak akan tahan lagi untuk menahan tubuhnya.

Derek memikirkan tawarannya selama beberapa saat, menggigit sudut bibirnya dengan marah sebelum bergerak menuju sebuah kursi rotan. Dia duduk di sudutnya. 

Adina merasa telanjang dan rapuh saat mata taja pria itu bergerak mengamati dirinya, wajahnya, rambutnya yang acak-acakan dan lututnya yang kotor.

"Kau mengenalku." Kata Derek.

"Siapa pun yang menonton tv atau membaca surat kabar pasti mengenal anda. Anda adalah pilot yang paling terkenal saat ini." Jawab Adina sambil mengangkat bahunya dengan acuh.

"Karena itu aku jadi sasaran paling empuk bagi setiap orang sinting yang mencari korbannya." Kata Derek dengan nada sinis.

"Aku bukan orang gila!" Balas Adina menaikkan nada suaranya.

"Kalau begitu kenapa kau mengirimiku  surat-surat itu? Kau tahu, cara seperti itu sudah sangat umum. Aku mendapat lusinan surat setiap harinya."

"Selamat untukmu." Kata Adina dengan nada tidak kalah sinisnya dari Derek.

"Tidak semuanya surat dari penggemar. Ada beberapa orang-orang yang membenciku dan aku juga menerima banyak tawaran untuk menikah mau pun tawaran-tawaran aneh yang lain." Katanya datar.

"Kau beruntung sekali." Sindir Adina.

Derek mengacuhkan sindirian Adina dan terus berbicara. "Tapi surat-suratmu berbeda. Kau adalah orang pertama yang mengatakan kalau aku adalah ayah dari anakmu."

"Apakah anda mengerti? Saya sudah bilang kalau saya tidak pernah punya anak. Bagaimana kau bisa menjadi ayahnya?" Tanya Adina dengan frustasi.

"Itulah maksudku." Sambungnya.

Adina berdiri. Demikian juga dengan Derek. Dia mengikuti Adina yang berjalan menuju meja gambarnya dan menyibukkan diri membereskan pensil-pensil sketsanya dan kuas-kuas catnya ke dalam berbagai wadahnya.

"Kau juga orang pertama yang mengancam akan membeberkan hal itu seandainya aku tidak melakukan apa pun yang kau minta." Kata Derek membeberkan isi surat itu.

Adina berbalik dan Derek berada sangat dekat dengannya. "Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk mengancammu? Kau adalah malaikat yang di agung-agungkan sebagai pahlawan ketika kau berhasil menerbangkan pesawat yang hampir jatuh dan mendaratkannya dengan selamat. Oh, dan juga ada parade yang meriah untuk menyambutmu dan para kru. Kalau aku yang bukan apa-apa ini berani menentang orang seterkenal dirimu, aku pasti sudah gila atau bodoh. Aku bisa memastikan kalau aku bukan dua-duanya."

"Kau memanggilku Derek."

Setelah ucapannya yang panjang lebar itu, ucapan tiga kata dari pria itu membuat Adina terkejut. "Apa?"

"Kau pertama kali mengenaliku, kau memanggil namaku." Kata Derek mengingatkan Adina tentang pertemuan mereka di awal tadi.

"Itu memang namamu, kan?" Tanya Adina bingung.

"Tapi biasanya orang yang berpapasan di jalanan akan memanggil nama belakangku bukan panggilan akrab seperti Derek. Kecuali kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya." Jawab Derek.

Adina mengelak pernyataan itu. "Apa yang di minta dari surat-surat yang kau tuduhkan itu?"

"Uang." Jawab Derek singkat.

"Uang? Konyol sekali."

"Lalu pemberitahuan pada publik atas keberadaan anakku." Sambung Derek.

Adina melepaskan diri dari impitan Derek dan meja gambarnya. Kedekatan mereka membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia mulai mengatur tumpukan sketsanya yang bertebaran di atas meja kerjanya. "Aku adalah orang yang mandiri, yang mampu memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku tidak akan pernah menuntut uang darimu maupun dari orang lain."

"Ini adalah perumahan yang indah. Rumah yang besar." Kata Derek memulai.

"Milik orang tuaku." Jawab Adina.

"Mereka ada di sini sekarang?" Tanya Derek melihat sekeliling.

"Tidak. Ayahku sudah meninggal dan ibuku terserang stroke beberapa bulan yang lalu dan tinggal di rumah perawatan." Adina membanting tumpukan sketsanya dan berbalik menghadap Derek. "Aku sanggup menghidupi diriku sendiri. Apa urusanmu dengan semua hal ini?"

"Aku rasa korban harus mengenal orang akan memerasnya." Katanya dengan suara parau.

Mata pria itu kembali menelusuri tubuh Adina. Kali ini perlahan dan penuh dengan penilaian. Adina melihat mata itu berhenti di dadanya yang nyaris tidak bisa di tutupi oleh kausnya.

"Kupikir kau harus pergi sekarang." Kata Adina. "Sebentar lagi aku akan kedatangan tamu dan aku harus bersiap-siap."

"Siapa yang kau tunggu? Orang dari biro iklan itu? Kau menyebutnya waktu aku tiba tadi." Kata Derek.

"Dia berjanji untuk datang dan melihat sketsa-sketsa yang aku tawarkan untuk memperoleh bayaran." Balas Adina.

"kau seniman?" Tanya Derek.

"Desainer." Jawab Adina kembali menatap sketsanya.

"Kau bekerja di mana?" Tanya Derek lagi.

"Bekerja sendiri." Jawab Adina singkat.

"Sekarang kau sedang mengerjakan proyek apa?" Tanya Derek penasaran.

"Sampul buku telepon." Jawab Adina.

Alis Derek terangkat. "Kau mendapatkan banyak uang kalau begitu."

"Aku belum mendapat pekerjaannya." Kata Adina sambil mengangkat bahunya.

"Kau sangat membutuhkan bayarannya?" 

"tentu saja. Sekarang kalau kau..." Adina mulai berjalan melewati Derek.

Pria itu menahan lengannya saat Adina berusaha untuk melewatinya untuk berjalan ke pintu depan. "Pasti sulit, hidup dari satu bayaran ke bayaran lainnya sementara kau harus mengurus rumah ini dan membiayai perawatan ibumu."

"Aku bisa mengatasinya." Jawab Adina sambil menatap mata Derek

"Tapi Kau tidak kaya." Sanggah Derek.

"Memang tidak." Kata Adina mengakuinya.

"karena itulah kau mengirimiku surat-surat ancaman itu, kan? Untuk mendapatkan uang dariku?" 

"Tidak. Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah mengirimkanmu surat apa pun." Jawab Adina dengan frustasi.

"Pemerasan adalah kejahatan serius, kau tahu itu, kan?"

"Dan tuduhanmu itu terlalu konyol untuk aku lakukan. Sekarang, tolong lepaskan lenganku." Kata Adina tajam.

Derek melepaskan tangannya. "kau terlihat cukup pandai."

"Apakah itu sebuah pujian?" Tanya Adina.

"Kalau begitu kenapa kau mengirim surat-surat kaleng padaku, lalu menulis alamatmu di amplopnya?"

Adina tertawa lembut penuh keheranan dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya. Atau barusan itu hanya jebakan? Mana surat-surat itu? Apakah aku boleh melihatnya? Mungkin setelah aku membaca surat itu aku bisa memberimu penjelasan."

"Apakah aku bodoh? Aku tidak akan menyerahkannya padamu supaya kau bisa menghancurkan buktinya."

"Ya ampun." Adina mengangkat kepalanya menatap wajah pria itu. "Kau benar-benar serius dengan semua ini?"

"Awalnya tidak. Kau hanyalah salah satu dari sekian banyak orang sinting. Tapi setelah surat yang kelima, waktu kau mulai mengancam, aku pikir sudah saatnya aku berhadapan langsung denganmu." Kata Derek.

"Aku tidak termasuk tipe wanita yang akan menuduh pria mana pun juga sebagai ayah dari anakku." Kata Adina tersinggung dengan ucapan pria itu.

"Bahkan pria yang sangat terkenal sepertiku?" Tanya Derek sambil mengangkat alisnya.

"Tidak." Jawab Adina dengan nada yakin.

"Seorang pria yang akan kehilangan segalanya jika sampai terlibat skandal?"

"Benar! Lagi pula aku kan sudah bilang kalau aku tidak pernah punya anak." Kata Adina meyakinkan pria itu.

Mereka mendengar pintu depan di buka dan di banting kembali. Ada suara seseorang berlari di ruang depan. Lalu seorang remaja laki-laki yang tinggi kurus berlari menuju pintu. 

"Ma, cepat lihat, ada mobil yang di parkir di depan rumah kita. Mobilnya sangat keren!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status