Share

Bab 2

Dalam keheningan yang mencekam, Adina bisa mendengarkan detak jantungnya sendiri. Dia berusaha untuk tetap terlihat tenang di hadapan putranya, meskipun itu sulit. Setelah beberapa detik, diam-diam dia melirik ke arah Derek Emir. Pria itu sedang memandang Bobby. Rasa tidak percaya sangat jelas terlihat di wajah tampan pria itu.

Bobby akhirnya mulai berbicara. "Kau Derek Emir!"

"Bobby, sopan sedikit kalau berbicara." tegur Adina.

"Maaf ma, tapi ini adalah Derek Emir! Derek Emir ada di rumahku." Kata Bobby tanpa mengubah nada suaranya.

Sang pilot mengubah ekspresi kebingungan di wajahnya dengan senyumnya yang khas, dia terlihat sudah kembali tenang. "Bobby? Senang berkenalan denganmu." Derek melangkah maju dan menjabat tangan anak remaja itu.

Di seberang ruangan Adina mencengkeram sisi meja kerjanya untuk menopang tubuhnya. Tinggi tubuh Bobby nyaris sama dengan Derek. Rambut cokelatnya persis sama, matanya juga sama birunya. Hanya saja Bobby masih terlalu kurus. Tapi pada akhirnya, dia pasti akan memiliki tubuh yang berisi. Genetiknya sudah di tentukan saat Bobby masih dalam kandungan. Untuk melihat bagaimana rupanya dua puluh lima tahun mendatang. Bobby hanya perlu mengamati pria yang sedang menjabat tangannya saat ini.

Untungnya Bobby terlalu kagum melihat sang pilot berada di rumahnya hingga dia tidak menyadari kemiripan mereka. Dengan penuh semangat dia langsung membalas jabatan tangan Derek.

"Aku punya postermu di kamarku. Maukah anda menandatanganinya untukku? Aku tidak percaya ini. Apa yang anda lakukan di sini? Ulang tahunku masih beberapa minggu lagi." Kata Bobby bersemangat dan memandang Adina dan tertawa. "Inikah hadiah yang istimewa yang kau bilang itu? Oh sebentar, aku tahu. Kau sudah memintanya untuk berpose untuk di gambar? Benar, kan?"

Derek berbalik dan menghadap Adina. Tatapannya menyala-nyala seperti kobaran api. Walaupun di tatap seperti itu Adina tetap berusaha balik menantangnya. Derek terlihat curiga sekaligus kebingungan. "Berpose?"

"Aku.. aku.." Adina kebingungan kebingungan dengan situasi yang ada di hadapannya.

"Aku terlanjur buka kartu sebelum mama sempat meminta, ya? Maaf ma," Kata Bobby pada Derek. "Mama melamar pekerjaan  untuk membuat sampul depan buku telepon. Kemarin malam dia bilang ingin meminta anda untuk berpose sebagai buku sampulnya."

"Apa dia menceritakan alasannya?" Tanya Derek tanpa berbalik menatap Bobby.

"Menurutnya kau adalah pilot yang paling tampan." Jawab Bobby sambil tersenyum.

"Begitu ya." Kata Derek pelan. "Aku merasa tersanjung."

"Maukah anda melakukannya?" tanya Bobby dengan nada penuh harap.

Derek mengalihkan tatapannya dari Adina dan kembali menatap Bobby. "Tentu saja aku mau. Kenapa tidak?"

"Wah, hebat." Kata Bobby kegirangan.

"Tidak usah repot-repot." Sela Adina. "Aku sudah mengerjakan sketsa kasarnya." dengan acuh dia menunjuk tumpukan sketsa yang berada di belakangnya.

"Coba kita lihat." Kata Derek. 

"Sketsa-sketsa ini belum siap untuk di tunjukkan." Kata Adina cepat.

"Bukankah kau berencana untuk menunjukkan pada orang dari periklanan itu?" Tanya Derek.

"Benar, tapi dia ahli dalam bidang ini. Dia tahu perbedaan antara sketsa kasar dan rancangan yang sudah jadi." Balas Adina.

"Aku juga tahu. Dan aku ingin melihatnya." Derek sedang menantang Adina. Adina menyadari tatapan Derek dan dia tahu kalau dia juga sangat licik. Adina tidak punya pilihan lain kecuali menurut keinginannya.

"Baiklah." Kata Adina berlawanan dengan suaranya yang terdengar agak senang, dia menunjukkan senyum datar saat dia mengulurkan beberapa sketsa pada Derek.

"Aku tahu, itu kau!" Teriak Derek, kembali menatap Adina dengan tatapan tajamnya yang menuntut. "Kau sudah sangat mengenal wajahku dengan baik."

"Mama memang ahlinya, paling hebat." Kata Bobby dengan bangga. "Dia bahkan bisa menggambar baju pilotnya dengan teliti."

Adina merampas kembali gambar yang di buatnya. "Karena semua gambarku sudah kau setujui, sepertinya sudah tidak ada alasan bagiku untuk menahanmu lebih lama lagi di sini. Terima kasih banyak atas kunjungan..."

Bel pintu memotong kata-katanya.

"Biar aku yang buka." Kata Bobby langsung berjalan ke arah pintu depan, namun segera berhenti dan berbalik. "Kau belum pergi, kan?"

"Tidak." Jawab Derek. "Aku akan tetap di sini." 

"Bagus!" Bobby kembali berjalan menuju ke arah pintu depan ketika seseorang membunyikan bel untuk ke dua kalinya.

Derek berjalan mendekati Adina dan memegang ke dua lengan wanita itu dan meremasnya. "Tadi kau bilang kau belum punya anak." Desis Derek dengan suara pelan yang penuh kemarahan.

"Aku memang belum punya anak." Jawab Adina singkat.

"Lalu anak yang tadi kau sebut siapa?" Tanya Derek.

"Aku bukan ibunya." Jawab Adina.

"Dia memanggilmu mama." Kata Derek dengan menuntut.

"Benar, tapi..." 

"Dan dia sangat mirip denganku." Kata Derek memotong perkataan Adina.

"Dia..." Adina memulai dengan sabar.

"Tapi aku tidak ingat pernah tidur denganmu."

Adina memutar matanya. "memang tidak pernah! Kau tidak mengenalku saat kau melihatku tadi, kan?"

"Tidak. Tapi ada beberapa hal yang tidak akan aku lupakan." Kata Derek lalu menarik Adina ke dalam pelukannya. Sebelum wanita itu sempat bereaksi, Bibir Derek sudah menempel pada bibir Adina dengan menuntut dan memeluk Adina semakin mendekat padanya.

Kepala Derek tesentak kaget dan dia menatap Adina yang sama terkejutnya dengannya sebelum mendorong Adina dan melepaskan pelukannya.

Untung saja semua terjadi dalam hitungan detik, karena Bobby berjalan masuk bersama dengan calon klien yang sedang Adina tunggu.

Saat mereka berdua tiba di studio, Derek langsung berjalan dan bersandar ke meja kerja Adina, memasang wajah tanpa ekspresi.

"Henri." Sapa Adina menahan napas. "Maafkan penampilanku, aku sedang berkebun waktu Derek Emir mampir." Katanya sambil menunjuk ke arah Derek.

Adina tidak perlu khawatir Henri memperhatikan penampilannya. Pria itu bahkan tidak melirik ke arahnya.

"Sebuah kejutan yang menyenangkan." Kata Henri bersemangat. Direktur biro iklan itu melangkah maju untuk menjabat tangan dengan Derek. "Senang bertemu denganmu." 

Setelah itu dia menoleh ke arah Adina. "Adina, kau tidak pernah bilang kalau kau mengenal pahlawan nasional kita ini."

"Pilot Derek adalah model untuk sambul buku itu." Kata Bobby.

"Kalau aku mendapatkan pekerjaannya, Bobby." Potong Adina.  "bagaimana kalau kau melihat sketsa yang sudah kubuat?"

"Aku akan mengajak Bobby jalan-jalan sementara kalian bekerja." Kata Derek.

"Maksudmu, naik mobilmu?" Tanya Bobby. Dia menjerit dan melompat kegirangan. 

"Bobby, jangan menyentuh apa pun." Kata Adina.

"Dia akan baik-baik saja." Kata Derek.

"Kemana kalian pergi?" Tanya Adina dengan ragu.

"Hanya jalan-jalan di sekitar sini." jawab Derek sambil mengangkat bahu

"Berapa lama?" Tanya Adina khawatir.

"Tidak lama."

Adina ingin memarahi pria itu karena memberikan jawaban yang tidak jelas. Dia ingin bersikap tegas dan mengatakan tidak boleh. Bobby tidak boleh pergi ke mana pun bersama dengan Derek.

Tapi dengan adanya Henri, dia tidak punya pilihan lain kecuali bersikap ramah. Walaupun Henri adalah temannya sekali pun. Adina sadar kalau Derek sengaja mengambil kesempatan ini. 

"Apa kau sudah kenal lama dengannya?" Tanya Henri dengan ragu-ragu.

Adina menoleh dan melihat teman yang baru dia kenal beberapa bulan itu yang sangat ingin tahu. Pria itu tidak berani bertanya tentang hubungan antara Derek dan Bobby pada Adina. "Aku belum lama kenal dengannya." Jawab Adina dengan dingin.

Dua puluh menit kemudian Henri pergi. Adina yakin kalau pria itu menyukai sketsa-sketsa yang dia tunjukkan. Sambil memasukkan sketsa-sketsa itu ke dalam tas kerja yang di bawanya Henri mengingatkan Adina kalau ada dua orang lainnya yang sedang di pertimbangkan dan keputusan akhir semua tergantung pada komite gabungan dengan para perusahaan telepon.

"Hanya saja, sketsamu lebih unik dari pada dua orang lainnya." Kata Henri.

"Apakah itu buruk?" Tanya Adina khawatir.

Ini bukan kali pertama dia bekerja sama dengan Henri. Bisa di bilang hampir semua pekerjaannya dia kerjakan bersama dengannya.

"Tidak juga." Jawab Henri sambil tersenyum. "Tapi mungkin juga sudah saatnya kita sedikit memperbarui desain lama yang turun termurun itu. Aku akan segera mengabarimu kalau hasilnya sudah keluar. Mungkin memakan waktu sekitar satu atau dua minggu."

Adina mengantar tamunya sampai ke pintu depan dan mengawasi pria itu sampai dia pergi, dia melihat sepanjang jalan mencari mobil Derek yang sama sekali tidak kelihatan. Dengan cemas, dia meremas tangannya. Kemana mereka pergi? Apa yang mereka bicarakan? Apa Derek juga menyerang Bobby dengan lusinan pertanyaan yang tidak bisa di jawab oleh anak itu?

Sebelum kepalanya jadi lebih pusing, Adina memutuskan untuk mandi. 

Dia merasa lega saat mendengar suara-suara dari kamar tidur Bobby saat dia selesai mandi. Dia melangkah masuk lewat pintu yang sedang terbuka lebar dan melihat Bobby sedang menatap Derek yang sedang menceritakan pengalamannya saat menerbangkan pesawat.

"Kau tidak takut?" tanya Bobby.

"Tidak. Kami sudah berlatih berulang kali, jadi kami sudah tahu apa yang akan kami hadapi." Jawab Derek.

"tapi mungkin saja ada sesuatu yang terjadi di luar kendali kalian." Kata Bobby.

"tentu saja, tapi aku sadar kalau aku memiliki kru dalam pesawat dan kru lainnya yang ada di ruang kontrol yang bisa memastikan kalau semuanya berjalan lancar." jawab Derek.

"Bagaimana rasanya saat pesawat akan terbang?" Tanya Bobby dengan penasaran.

Derek menatapnya. "Menegangkan. Tidak ada yang bisa menandinginya."

Bobby menatapnya dengan kagum. "Apa yang kau pikirkan waktu itu?"

"Aku berdoa supaya aku tidak merasa untuk pergi ke toilet." jawab Derek.

Bobby tertawa. "benarkah?"

"Benar. Dan aku juga berpikir 'Ini dia. Ini yang memang aku impikan, yang aku inginkan. Aku terlahir untuk menjadi seorang pilot. Inilah saatnya.'" Kata Derek.

Tatapan kagum di ajah Bobby membuat Adina semakin cemas. "Maaf aku mengganggu." Katanya dari depan pintu. "Tapi aku harus pergi ke rumah perawatan sekarang dan Bobby kau akan terlambat untuk latihan sepak bola."

Bobby berguling di atas kasurnya dan langsung berdiri menghadap Adina. "Bagaimana dengan meetingnya dengan om Henri tadi?"

"Dia menyukai sketsaku tapi dia tidak bisa menjanjikan apa pun." Adina melihat arlojinya. "Kau harus pergi Bobby." 

"Kau bermain sepak bola?" Tanya Derek yang juga ikut berdiri.

"Aku berada di garis pertahanan tim sekolah. Kami akan jadi juara di pertandingan daerah nanti." Jawab Bobby dengan banggan.

"Aku senang mendengar kepercayaan dirimu." Kata Derek sambil tersenyum lebar.

"pelatih menyuruh kami berlatih keras kalau kami ingin menjadi juara." Jawab Bobby.

"kalau begitu kau sebaiknya pergi latihan."  Kata Derek.

"Apakah kau masih disini sampai aku pulang?" Tanya Bobby.

"Tidak." jawab Adina dengan tegas. "Aku yakin kalau dia masih punya banyak pekerjaan, Bobby. Hati-hati naik sepedanya. kau sudah bawa kunci rumah?"

"Sudah." Jawab Bobby dan berbalik pada Derek. "Selamat tinggal, terima kasih sudah mau menandatangani posterku."

"Sama-sama." Kata Derek. 

Mereka berjabatan tangan. baru kali ini Adina melihat Bobby terlihat tidak bersemangat pergi latihan sepakbola.

Bobby meninggalkan mereka berdua dan menuruni tangga dan menoleh sesekali untuk memandang Derek. Adina benar-benar memastikan sampai Bobby keluar dari pintu depan sebelum menatap Derek.

"Aku harus pergi ke rumah perawatan..." Adina memulai.

Derek menghalangi langkah Adina dan memotong omongannya. "Aku minta jawaban yang jujur darimu. Apakah dia anakku?"

Air mata mengambang di mata Adina. Dia menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya. "Bobby adalah anakku." Bisiknya.

"Dia pastinya punya ayah." Derek mengangkat dagu Adina dengan jarinya. "Apakah dia anakku?"

Adina menatapnya dengan tatapan menyerah. "benar. Dia adalah anakmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status