Share

Bab 3

Derek mencengkeram lengan atas Adina. "Aku akan mengantarmu."

"Kau tidak perlu melakukannya." Kata Adina.

"Kita perlu bicara." Kata Derek tajam.

"Tidak ada yang perlu di bicarakan." Balas Adina.

"Tentu saja ada." Kata Derek, dia mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti di depan wajah Adina. "Kau baru saja mengakui kalau anak remaja itu adalah anakku. Aku akan menempel terus padamu sampai aku mendapatkan jawaban. Sekarang, aku akan mengantarmu."

Adina tidak bisa memberontak, pria itu mencengkeram lengannya dengan sangat kuat saat mereka menuruni tangga. Selain itu, Adina merasa kalau sudah saatnya Derek mengetahui semuanya. 

"Kunci rumahmu." Kata Derek. "Kau tidak punya alarm untuk mencegah pencurian?"

"Tidak." Jawab Adina malu.

"Kau seharusnya memasangnya. Rumah ini besar dan mudah di dobrak." Kata Derek.

Mereka berjalan menuju trotoar tempat mobil Derek terparkir. Adina masuk ke kursi penumpang sementara Derek mengitari mobilnya untuk duduk di belakang kemudi.

"Lewat mana?" tanya Derek.

Adina memberi tahu arah ke mana mereka akan pergi. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di jalan tol. Adina mencengkeram ujung kursi kuat-kuat. Pria itu menyetir mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mata Derek lebih sering memperhatikannya dari pada memperhatikan jalanan.

"Apa yang kau lihat?" Tanya Adina merasa terganggu dengan cara Derek menatapnya.

"Kau. Kau sangat mungil. Kau tidak terlihat bisa mengandung seorang anak dan rasanya aneh karena aku tidak ingat pernah tidur denganmu." Jawab Derek sambil menggelengkan kepalanya.

Mata pria itu menelusuri wajahnya kemudian ke lehernya dan ke dadanya dan paha Adina. Tatapannya yang intens membuat Adina merasa telanjang. Ingin rasanya dia menutup dirinya dengan kedua tangannya.

"Aku mungkin sedang mabuk saat itu." Kata Derek dengan suara parau. "Kalau tidak, kurasa aku akan mengingat pernah tidur denganmu."

"Aku tidak pernah tidur denganmu." Adina memandang ke depan ke kaca yang gelap, dia merasa terlalu lemah untuk bertatapan dengan Derek. "Bobby bukan anakku."

"Kalau begitu..."

"Bobby adalah anak dari kakakku. Kau dan dia tidur bersama." Adina mengangkat bahu dan melirik pria itu sekilas. "Kita akan keluar dari jalur sebelah kanan."

Derek menyalip sebuah mobil. Pengemudinya langsung menekan klakson. 

"Jadi maksudmu, kakakmu mengandung anakku, begitu?"

"Bukan ceritanya, dia memang mengandung anakmu." Jawab Adina.

Tiba-tiba Derek menjadi lebih marah. "Dari mana kau tahu kalau Bobby adalah anakku?" Adina menatapnya dengan tajam. "Baiklah, aku mengakui kalau dia memang sedikit mirip denganku. Tapi itu tidak membuktikan apa-apa."

"Aku tidak perlu membuktikannya." Kata Adina tajam. "Terserah padamu, kau mau percaya atau tidak, itu sama sekali bukan urusanku. Belok kanan di jalan itu."

Dengan tidak sabar Derek menunggu lampu hijau dan langsung tancap gas ketika lampu langsung berubah warna. "Itu pantinya." Kata Adina dengan lega saat mereka memasuki jalan masuk menuju panti. "Kau bisa menurunkan aku di pintu samping." 

Panti itu adalah sebuah bangunan sederhana yang di danai oleh sebuah gereja, pemandangannya indah dan staffnya sangat berkualitas. Strok yang di derita ibu Adina tidak membuatnya lumpuh total tapi membuatnya cukup lemah hingga membutuhkan pengawasan sepanjang hari. Menitipkan ibunya di panti adalah sebuah keputusan terberat yang di lakukan Adina.

Ketika Derek menghentikan mobilnya di pintu samping, Adina langsung membuka pintu dan turun dari mobil kemudian berbalik menatap Derek.

"Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan semua surat tentang Bobby padamu, tapi yang pasti itu bukan aku. Aku tidak berpikir untuk memberitahumu tentang Bobby ataupun sebaliknya. Aku juga tidak butuh apa pun darimu, apa lagi uang. Jadi kerjakan saja apa yang harusnya kau kerjakan dan biarkan aku mengerjakan pekerjaanky dan anggap saja hari ini tidak pernah terjadi. terima kasih untuk tumpangannya." Kata Adina kemudian menutup pintu mobil. 

Sudah tujuh belas tahun dia tidak bertemu dengan Derek. Dia ingat dengan jelas ketika pria itu melambaikan tangannya pada mereka waktu itu lalu berbalik dan berlari ke arah pantai, terlihat seperti seorang pria muda yang bersemangat dan tampan.

Saat itu hati Adina hancur ketika mengucapkan selamat tinggal pada pria itu. Kali ini dia tidak mengizinkan dirinya menoleh ke belakang sebelum memasuki bangunan itu.

Adina menemani ibunya sampai dua jam lebih. Selama itu ibunya lebih sering tidur, hanya sesekali menggumamkan beberapa kata yang tidak di mengerti Adina. Ketika Adina bkeluar dari kamar ibunya, dia melihat Derek sedang berjalan mondar mandir di lorong. Para perawat di balik meja perawat memperhatikannya dengan bersemangat.

"kau masih di sini?" Tanya Adina bingung. Emosinya sudah terkuras setelah bertemu dengan ibunya.

"bagaimana caranya kau pulang?" Tanya Derek tanpa mempedulikan pertanyaan Adina.

"Taksi." jawab Adina singkat.

Derek menggelengkan kepalanya dan menuntun Adina ke pintu keluar. "Kau harusnya jangan naik sembarang taksi." Beberapa menit berjalan mereka sudah berada kembali di dalam mobil Derek.

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Derek.

"Tidak begitu baik." Jawab Adina sambil tersenyum sedih.

"Aku turut prihatin." Kata Derek setelah terdiam beberapa detik.

"Mereka terus memberinya obat. Dia juga sering merasa pusing. Saat dia tenang, dia selalu membicarakan ayahku dan Deolinda. Dia juga sering menangis." Kata Adina.

"Di pantai, kan?" Tanya Derek.

"Maksudmu tempat kita bertemu dulu?" Kata Adina seolah tahu apa yang sedang di bicarakan Derek.

Benar saja, Derek mengangguk.

"Benar." Jawab Adina, dia bertanya-tanya berapa banyak yang bisa di ingat pria itu. "Villa yang di sewa oleh keluargaku saat itu berdekatan dengan villa yang di sewa oleh keluargamu."

Derek menyipitkan matanya. "Kalian berdua kakak-beradik."

Adina menghembuskan napas. "Deolinda adalah kakakku, dan aku Adina."

"Deolinda dan Adina. Aku ingat sekarang. Kakakmu sangat cantik." Kata Derek.

Adina menganggukkan kepalanya. "Kau benar."

"Saat itu kau masih kecil."

"Lima belas tahun." Kata Adina mengoreksinya.

"Dan ayahmu adalah seorang pendeta, kan? Aku ingat kita harus bersembunyi untuk minum bir." Kata Derek sambil tertawa kecil.

"kau membujuk Deolinda untuk ikut minum bersamamu." Adina mengoreksinya.

Derek tertawa. "Tapi kau tidak mau. Dia selalu menyebutmu sok suci dan sebagainya."

"Kami memang memiliki sikap yang berbeda." Kata Adina.

Derek terdiam, seolah sedang merenungkan perkataan Adina. "kalau Deolinda tidur denganku, dia mungkin juga tidur dengan banyak pria lainnya."

"Dia baru berumur tujuh belas tahun saat itu. Kau adalah pria pertamanya." Jawab Adina.

"Tujuh belas? Aku kira umurnya sudah lebih dari itu." Kata Derek dengan muram.

"Dia memang terlihat lebih tua dari usianya." Kata Adina pelan.

"Dan tingkah lakunya juga. Tingkah lakunya sudah tidak seperti anak remaja yang berusia tujuh belas tahun. Aku ingat bagian dadanya saat dia memakai bikini. Tubuhnya seperti wanita dewasa waktu itu." Kata Derek.

"Aku tidak akan memperdebatkan hal itu." Balas Adina. Entah kenapa dia merasa kesal karena Derek mengingat tubuh kakaknya. Tentu saja itu tidka membutanya terkejut, hanya saja dia berharap pria itu berhenti membahasnya.

Derek berbelok ke tempat parkir sebuah cafe. "Kau sepertinya butuh minum."

"Aku lebih suka kalau kau mengantarku pulang." Balas Adina cepat.

"Dengar." Kata Derek dengan kesabaran yang mulai habis. "Kau sedikit terguncang dan sedih. Apakah kau tidak merasa haus. Mungkin kopi atau teh bisa membuatmu merasa lebih baik? Aku tidak mengajakmu mabuk-mabukkan dan tidur denganku. Apakah kau masih akan sok suci seperti dulu sampai tidak mau minum kopi atau teh dengan seorang pria?"

Tanpa menunggu jawaban Adina, Derek melangkah keluar dari mobilnya dan membanting pintu. Dia memutar ke pintu penumpang. Adina melihat beberapa orang di sekitar langsung mengenali Derek ketika mereka berjalan menuju sebuah tempat duduk di pojokan. 

"Apakah ini selalu terjadi kemana pun kau pergi?" tanya Adina merasa tidak nyaman.

"maksudmu tingkah laku orang-orang itu? Acuhkan saja." Kata Derek.

Adina berusaha melakukannya, tapi hal itu bukan hal yang mudah karena dia sendiri juga sedang di perhatikan sama seperti yang mereka lakukan pada Derek. Ketika pelayan mendekati meja mereka sambil memberikan daftar menu dan sekaligus meminta tanda tangan Derek. Pria itu memberikannya sambil memesan dua cangkir kopi.

"Jadi, apa yang dia lakukan?" Tanya Derek setelah pelayan itu pergi.

"Siapa?" Tanya Adina.

"kakakmu. Apa yang dia lakukan setelah dia tahu kalau dia hamil?"

"Dia ingin menggugurkannya." jawab Adina dengan jujur.

Dari seberang meja dia bisa merasakan reaksi Derek yang berubah tegang. Dia melihat tangannya mengepal.

"Kenapa dia tidak melakukannya?" Tanya Derek.

Adina merasa sulit membicarakan hal ini. Saat itu merupakan saat yang paling menggemparkan dalam keluarganya. Saat itulah mereka mulai tercerai berai. Setelah itu mereka tidak lagi menjadi orang yang sama.

"Linda menceritakan rencananya padaku." Kata Adina setengah berbisik. "Suatu malam setelah makan malam, Linda bilang kalau dia ingin bicara padaku. Dia bilang padaku kalau dia sedang hamil. Dia takut. hal itu membuatku lebih takut karena aku belum melihatnya begitu kacau. kami terjaga sepanjang malam, menangis bersama, memikirkan apa yang harus kami lakukan. Kami tidak mungkin pergi mencarimu. Kau sudah bergabung dengan sebuah maskapai. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. tapi aku tidak menyangka dia mau menggugurkannya, membuang bayinya seperti sampah. Bagaimana pun juga itu adalah seorang bayi, sebuah kehidupan yang kalian ciptakan." Adina terdiam, dengan hati-hati menatap Derek. "Aku tidak tahan memikirkannya. Dan aku tahu kalau ibu dan ayahku lebih suka memilikibayi itu dari pada harus menggugurkannya begitu saja."

"jadi kau memberitahu rencananya pada orangtuamu?" Tanya Derek.

"benar. Mereka melarangnya. Linda sangat marah pada kami semua. kehamilannya yang berlangsung selama sembilan bulan itu sama sekali tidak menyenangkan. Kemudian lahirlah Bobby." Kata Adina sambil tersenyum lembut mengingat wajah bayi yang baru saja lahir itu. "Dan kami semua mencintainya."

"Bahkan Linda juga?" tanya Derek ragu.

Adina menatap Derek dengan tersenyum. "Dia akhirnya mencintai Bobby. Anak itu sangat menggemaskan dan tampan."

Derek menatap Adina, merasa masih ada yang belum wanita itu ceritakan. tapi kopi yang mereka pesan sudah datang membuat Adina menghentikan ceritanya. 

"Kenapa Bobby tidak bersama dengan Linda sekarang?" tanya Derek ketika pelayan pergi.

"Deolinda sudah meninggal. Waktu Bobby masih berumur lima tahun." Jawab Adina.

"Apa yang terjadi?" tanya Derek kemudian minum kopinya.

"kecelakaan mobil. Orangtuaku sangat berduka. Ayahku terkena serangan jantung dan meninggal di tahun yang sama. Sejak saat itu aku tinggal bersama ibuku dan Bobby." Jawab Adina.

Mereka terdiam selama beberapa menit. Adina menyesap kopinya pelan, masih merasa tidak nyaman dengan tatapan mata beberapa orang di sekeliling mereka.

"Aku selalu memakai kondom." Kata Derek tiba-tiba.

Kopi panas tumpah di atas tangan Adina, membuat tangannya melepuh dan merah. "Apa?"

Dengan tenang Derek mengambil beberapa tisu dan menempelkan pada meja yang terkena tumpahan kopi. "Tanganmu baik-baik saja?"

"Tidak apa-apa." Adina berbohong.

Derek memanggil pelayan dan meminta mentega dingin padanya. Pelayan dengan cepat kembali dengan piring berisi mentega dan menyerahkannya pada Derek.

"terima kasih." Kata Derek pada pelan itu sambil tersenyum.

"Aku bisa melakukannya sendiri." Kata Adina.

"Berikan tanganmu."

Adina akhirnya memberikan tangannya yang merah. Dengan dua jari, Derek mencolek mentega dingin dan mengusapkan pada tangan Adina.

"Setiap kali aku tidur dengan seorang wanita, aku selalu memakai pengaman." Kata Derek pelan. "Selalu."

"Berarti kau masih belum percaya kalau Bobby adalah anakmu?" Tanya Adina. Suaranya sama sekali tidak terdengar normal. Rasa perih pada tangannya membuat suaranya parau dan serak. Atau mungkin karena sentuhan Derek. Saat jari-jari pria itu terus meluncur di antara jari-jari Adina, membuatnya merinding. Dengan enggan Adina menarik tangannya dari pria itu.

"Coba saja kau pikir." Kata Derek. "Sebelum hari ini, aku bahkan tidak tahu kalau dia ada. Apa kau ingin aku langsung menerima dan mempercayai penjelasanmu mentah-mentah?"

Adina menarik napas dengan jengkel. "Aku tidak mengharapkan apa pun darimu." Kata Adina dingin.

"Dan aku bukan tipe pria yang bisa begitu saja bersikap tidak peduli saat mendengar kalau aku mungkin punya seorang anak. Wajar saja kalau aku menjadi emosi. Begini saja, aku akan menanyakan beberapa pertanyaan dan kau jawab dengan jujur." Kata Derek.

"Tanya saja apa yang ingin kau ketahui." Kata Adina.

"bagaimana mungkin Bobby adalah anakku kalau aku sudah sangat berhati-hati?" Tanya Derek.

"Mungkin waktu itu kau tidak menggunakannya." Jawab Adina sambil mengangkat bahu.

"Bagaimana kau bisa tahu? Apakah ini semacam permainan? Apakah kau berada di sana?" Tanya Derek dengan nada tajam. Adina mengambil tasnya dan Derek meraih lengannya. "Maaf. Ucapanku tidak pantas. Maafkan aku Adina."

Mungkin karena mendengar pria itu menyebut namanya untuk pertama kalinya setelah belasan tahun atau mungkin karena Adina merasa perlu menjelaskan persoalan ini dan dia kembali meletakkan tasnya.

"Aku bisa mengerti kalau kau menganggap Linda murahan." Kata Adina tajam. "Linda yang bilang padaku kalau waktu itu kau tidak memakainya pada suatu malam." Adina menatap Derek.

"Aku mengerti. Teruskan."

"Saat itu dia tidak ingin kau berhenti, jadi dia berbohong padamu. Dia bilang padamu kalau dia minum pil." Kata Adina pelan.

Derek terdiam sebentar dan kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingat."

"Kau sudah minum bir sepanjang hari." Kata Adina menjelaskan.

"Kalau begitu mungkin kejadiannya memang seperti itu."

"Tidak penting apakah Bobby adalah anakmu atau bukan." Bisik Adina. "Hidup kita akan tetap berlanjut seperti biasanya."

"Kau melupakan satu hal yang penting, Adina." Kata Derek tajam.

"Apa?" tanya Adina.

"Surat-surat itu." jawab Derek menekankan suaranya.

Adina mengangkat tangannya. "Berapa kali harus aku katakan padamu kalau bukan aku yang menulis surat-surat itu?"

"Kalau bukan kau berarti ada orang lain yang menulisnya. Kau bilang kau tidak ingin apa pun dariku." Kata Derek.

"Memang tidak." Sanggah Adina cepat.

"Tapi siapa pun yang menulis surat itu, dia meminta sesutau dariku. Dan berarti Bobby dan aku berada dalam bahaya."

"Kau tidak berpikir kalau seseorang berniat mencelakainya, kan?" tanya Adina mulai panik.

"Aku tidak tahu. Mungkin tidak, mungkin iya."

Adina mengigit bibir bawahnya dengan cemas. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Hanya saja kau perlu waspada untuk sementara waktu. Kita harus mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini. Siapa menurutmu?" tanya Derek menatapnya.

"Entahlah. Bobby mirip sekali denganmu, orang baru akan menyadarinya kalau kalian berdiri berdampingan." Kata Adina jujur.

"Bagaimana dengan dokter yang membantu kelahirannya?" Tanya Derek.

"Kami pindah jauh dari tempat itu sudah sangat lama, aku tidak pernah mendengar kabarnya. Lagi pula, dia tidak tahu siapa ayah dari bayi Linda." Jawab Adina sambil menggelengkan kepalanya.

"Mungkinkah Linda menceritakan semuanya pada sahabatnya?" Tanya Derek lagi.

"Kurasa tidak. tapi siapa yang tahu. Menurutmu ada orang yang tahu dan memutuskan untuk memerasmu?" tanya Adina.

"Mungkin saja. Bagaimana dengan orang-orang di panti tempat ibumu di rawat?"

"Panti itu di jalankan oleh sebuah gereja. Mereka memberi potongan harga karena ayahku adalah pendeta di sana, jadi sebaiknya singkirkan pikirkan burukmu itu." Jawab Adina tajam.

"Aku hanya..."

"Diam dan dengarkan aku Derek. Aku mencintai Bobby dan Bobby mencintaiku. Sejauh ini yang kau pikirkan hanya bagaimana akibatnya terhadap nama baikmu yang sudah sangat terkenal itu. Tapi kau tidak ingin memikirkan bagaimana akibatnya terhadap Bobby. Dia sedang berada di usia yang rentan, sangat mudah terpengaruh. Dan aku tidak ingin apa pun yang terjadi bisa merusak kehidupannya termasuk mengetahui kalau ayahnya adalah seorang pilot yang hebat dan berbakat yang hanya akan tidur dengan wanita kalau dirinya sudah memakai pengaman. Kalau kau melakukan atau mengatakan apa pun yang bisa mencelakai Bobby, kau akan berharap kau tidak akan pernah mengenalku." Kata Adina lebih tajam dari sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status