Sudah ada yang menunggu Derek saat dia tiba di rumahnya. Dua-duanya perempuan. Satunya berambut pirang dan satunya berambut hitam pekat. Keduanya berwarna cokelat. Yang satunya berkaki dua, dan yang satunya berkaki empat. Yang satunya terlihat sangat marah dan yang satunya terlihat gembira.
Seekor anjing bernama Luna, berlari menyeberangi pekarangan yang di tata rapi oleh tukang kebun yang belum pernah Derek lihat. Mereka datang saat dia sedang pergi bekerja dan pergi dengan meninggalkan tagihan di kotak surat. Seorang pengurus rumah membereskan rumahnya dengan cara yang sama. Tempat tinggalnya tidak seperti tempat tinggal seorang pria lajang.
Luna nyaris membuatnya jatuh ketika anjing itu melompat pada Derek dan mencoba menjilat wajahnya. "Hai Luna." Kata Derek sambil mendorong anjing itu dengan penuh sayang. Derek membungkuk lalu memungut koran sore dan menggaruk belakang telinga anjing itu. Kemudian dia melempar koran dan Luna dengan gerakan melompat langsung mengejar koran itu.
Derek berjalan menghampiri seorang wanita berambut pirang yang baru saja di cat yang menatapnya dengan marah. Dia tidak yakin bisa menenangkan wanita itu. Untuk ke sekian kalinya, dia berharap semua perempuan dalam hidupnya tidak rumit dan mudah di ajak bergaul seperti Luna.
"Hai." Sapa Derek sambil memasang sebuah senyuman.
"kau hanya terlambat satu jam." kata gadis itu dengan kesal. "Anjing itu nyaris menelanku hidup-hidup waktu aku masuk tadi."
"Dia memang tidak menyukai wanita." Jawab Derek.
Derek mengeluarkan surat dari kotak pos dan memilah-milah. Hanya satu surat yang menarik perhatiannya. Amplop putih yang polos di tulis dengan tulisan tangan yang sudah mulai dia kenal. Dia menyelipkannya ke saku celananya dan meletakkan surat lainnya di sebuah meja sambil melangkah masuk.
"Hanya itu yang bisa kau katakan padaku?" Kata wanita itu. Luna menyerbu masuk dengan koran di mulutnya. Wanita itu menunjuk Luna dengan pandangan menuduh. "Dia nyaris merobek stocking-ku waktu dia mencakari kakiku."
"Dia hanya melindungi rumahku dari penyusup." Kata Derek dengan nada bosan.
"Penyusup? Kau sendiri yang memberiku kunci rumah, dan nomor kode sistem pengamanmu dan menyuruhku untuk langsung masuk." Pekik wanita itu.
"benarkah? kapan aku melakukannya?" tanya Derek.
"Waktu kau mengajakku untuk berkencan malam ini." Kata wanita itu sambil memutar matanya.
"Kita ada janji kencan?" Tanya Derek dengan kebingungan.
Gadis itu lebih muda sepuluh tahun dari Derek, dia memiliki wajah yang biasa saja dan kaki yang sangat panjang dan juga memiliki kulit kecokelatan yang selalu membuat Derek bergairah. Semua pria yang dia kenal pasti akan iri kalau dia bisa tidur dengan gadis itu.
Tapi hari itu sangat menyebalkan. Derek sedang tidak ingin bersusah payah menenangkan seorang wanita yang marah.
"Kau tidak ingat kalau kita ada janji kencan?" Kata gadis itu dengan nada marah.
"Tidak." jawab Derek dengan acuh.
"Kita bertemu minggu lalu di pesta."
Derek tidak ingat pesta mana yang gadis itu maksud. Setelah begitu banyak pesta yang di datanginya. Derek bahkan tidak ingat apa yang telah terjadi padanya sebelum Adina menatapnya dengan matanya yang serius dan tegas.
"Dengar, um..?"
"Susan!" Kata wanita itu dengan jengkel, mengetahui kalau Derek tidak mengingatnya membuat darahnya mendidih.
"Susan, aku minta maaf." Kata Derek. "Aku, um, hari ini aku ada masalah pribadi sehingga membuatku terlambat. bagaimana kalau kita kencan lain kali saja?"
"Kau mengusirku?" Kata gadis itu dengan nada tidak percaya.
Derek memperhatikan bibir gadis itu yang merah basah dan matanya yang menuntut. "Begitulah. Mana kunciku?"
Susan mencoba memancing Derek tapi tidak mendapat reaksi darinya, lalu dia meletakkan kunci pintu ke tangan pria itu dengan kasar.
Luna menggeram dan mengertakkan giginya saat mendengar sepatu hak tinggi Susan yang bergema berjalan menuju pintu depan. Setelah pintu di banting di belakangnya, anjing itu menatap Derek dengan ekspresi puas.
"Dasar anjing pencemburu. Mau cemilan?" Kata Derek pada anjingnya.
Luna mengikuti Derek menyusuri rumah, Derek mengambil sebuah cemilan anjing dan memberikannya pada Luna. Kemudian sambil melamun dia memberi makan ikan yang beraneka warna dalam akuarium yang di bangun di dinding yang memisahkan ruang makan dan dapur.
Derek mengambil amplop dari sakunya dan membaca surat itu. Ancaman untuk membeberkan hal ini lebih tajam dari yang sebelumnya. Dia membaca surat itu berulang-ulang dan tenggelam dalam teka-teki siapa yang mengiriminya surat itu.
Dia duduk di samping Luna yang sedang sibuk menggigit cemilannya di atas sofa. Dia sudah melupakan wanita tadi. Pikirannya hanya tertuju pada anak yang tadi di temuinya.
"Anak yang sangat tampan." Kata Derek pada Luna yang senang karena bergabung dalam lamunan pribadi pemiliknya hingga dia mencondongkan wajahnya untuk menjilat tangan Derek. Pria mana pun akan bangga memiliki anak seperti Bobby Bandiani... Bobby Emir.
Anak itu di didik dengan baik dan sopan. Biar pun dia kegirangan setengah mati, dia tetap ingat untuk berterima kasih sesudahnya. Derek merasa puas dengan cara Adina mendidik anaknya.
Anaknya?
Apakah dia sudah siap untuk mengakuinya?
Sampai hari ini, liburan itu hanya kenangan yang indah dan samar-samar. Apa yang diketahuinya tentang Adina dan keluarganya? Bisa saja wanita itu hanya seorang penipu yang sudah ahli yang berpura-pura menjadi orang baik agar bisa mencapai tujuannya. Wanita itu pasti akan meraup banyak keuntungan jika Derek mengakui Bobby sebagai anaknya. membesarkan anak zaman sekarang tidaklah mudah. Sebagai satu-satunya bujangan di kantor, dia sering mendengar rekan kerjanya terus-menerus mengeluhkan besarnya biaya untuk membesarkan anak remaja.
Bekerja paruh waktu mungkin menguntungkan pada waktu tertentu, tapi penghasilannya tidak tetap. Mungkin saja wanita itu sedang kehabisan uang akibat biaya perawatan ibunya dan kemudian dia menyusun rencana licik sebagai cara cepat untuk mendapatkan uang.
Tapi wanita itu benar-benar marah ketika Derek terang-terangan menuduhnya. Tubuhnya memang kecil tapi dia bisa meledak seperti sebuah dinamit. Dan benar-benar menggairahkan.
Derek mengumpat lalu berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambil sekaleng bir. Sewaktu dia meminum birnya, Luna dengan patuh duduk di atas kakinya. Dia memikirkan semua kemungkinan jika anak remaja laki-laki masuk ke dalam kehidupannya. Tidak ada lagi wanita-wanita. Dan kalau dia terbang, siapa yang akan...
"Gila!" Jeritnya. "Anak itu belum tentu anakku."
Tapi ketika dia berjalan menuju pancuran shower kamar mandi, dia tersenyum mengingat bagaimana heboh dan girangnya Bobby, dan kemudian mengerutkan keningnya mengingat bagaimana dia mencium wanita yang di panggil mama oleh Bobby. Dia mengerutkan kening karena ciuman itu begitu singkat tapi sangat intens. Ciuman itu nyaris membuat kepalanya meledak. Ciuman itu adalah satu-satunya alasan mengapa wanita pirang tadi sama sekali tidak membangkitkan selera dan gairahnya malam ini.
"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan."Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby."Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi."Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby."Dua puluh ribu?""Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina."Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"
"Cola dingin satu." Kata Adina."Dua."Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?""Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek."Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Ayo, cobalah." Kata Derek sambil menawarkan tiram mentah yang sudah di beri irisan lemon untuk di makan Adina."Tidak terima kasih. Melihatnya saja sudah geli." Jawab Adina.Derek membuka cangkak dengan bibirnya dan menelan benda licin itu sepenuhnya. Adina bergidik. Derek tertawa puas. "Ini baus untukmu, katanya bisa meningkatkan tenagamu." "Berarti tidak cocok untukku, karena dari awal aku sudah memiliki banyak tenaga." Jawab Adina. "Bisa saja." Kata Derek sambil menatap gaun Adina Adina tersipu malu dan berusaha mengalihkan perhatian Derek. "Hati-hati nanti Susan cemburu." "Siapa?" Tanya Derek bingung.Adina menganggukkan kepalanya ke arah seorang wanita berambut pirang yang terlihat baru saja di cat yang mempesona. Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna merah dan sedang menggandeng lengan seorang pilot yang baru saja bercerai."Oh, dia." Kata Derek dengan tidak peduli dan kembali mengarahkan pandangannya pada Adina. "Dia hanya salah satu dari penggemarku.""Tadi aku sem