"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan.
"Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby.
"Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.
Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi.
"Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby.
"Dua puluh ribu?"
"Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina.
"Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"
Pensil Adina terjatuh dan menggelinding di lantai. "Apa yang dia lakukan di sini?" Ulang Adina dengan nada lemah. "Kau tahu kenapa dia ada di sini."
"Kenapa tidak memberitahuku kalau mama sudah menghubunginya? Maksudku, mama biasanya memberitahuku terlebih dahulu."
"Aku tidak benar-benar menghubunginya. Aku, menelepon kantornya dan bertanya apakah aku boleh menggunakan wajahnya untuk sketsaku. Dan aku rasa mereka ingin melihatku dulu sebelum memberiku izin dan mereka langsung mengirimnya sendiri ke sini. Aku sama kagetnya denganmu waktu dia muncul di sini."
Adina belum pernah berbohong pada Bobby sepanjang hidupnya, kecuali kalau saat-saat Bobby bertanya tentang ayahnya termasuk dalam hitungan. Semua itu adalah kebohongan yang sah-sah saja, kebohongan demi kebaikan yang bermaksud untuk melindungi Bobby, bukan kebohongan seperti kebohongan besar yang baru saja dia katakan.
"Oh, aku senang bertemu dengannya. Menurutmu, dia keren atau tidak?" Tanya Bobby dengan nada yang penuh semangat.
"Dia keren." Jawab Adina dengan tersenyum.
"Tadinya aku pikir dia mungkin adalah orang yang sombong sekali, tapi ternyata dia itu seperti orang lain pada umumnya." Kata Bobby.
"Dia memang orang, Bob." Kata Adina dengan setengah tertawa.
"Ayolah ma, kau tahu maksudku." Kata Bobby sambil cemberut.
"Aku tahu." Jawab Adina singkat.
"Menurut mama, apakah dia akan ingat padaku atau tidak? Mungkinkah dia akan kembali lagi ke sini?" Tanya Bobby bersemangat kembali.
Adina berdiri dan berjalan ke arah Bobby dan menyibakkan rambut yang jatuh di atas alis anaknya itu, yang harus membuatnya mengangkat lengannya tinggi-tinggi. Hal ini menyadarkannya kalau Bobby sudah tumbuh dengan cepat, Salah satu hal yang tidak dia sukai. Waktu berlalu sangat cepat. Sangat cepat.
"Aku tidak yakin kalau kita akan bertemu dengan Derek lagi, Bob." Kata Adina dengan lembut.
Pikiran Adina kembali melayang pada perjalanan pulang dari cafe ke rumahnya yang di lewati dalam keheningan. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan sopan pada Derek saat pria itu mengantarnya sampai di depan rumahnya. Pria itu tidak memperlambat tapi dengan marah dia langsung pergi. Marah atas teguran keras yang Adina berikan padanya. Adina sama sekali tidak menyesali ucapannya. Pria itu pantas untuk menerimanya karena menuduh Adina adalah seorang pembohong dan juga seorang pemeras.
"Aku tidak ingin kau terlalu berharap untuk bisa bertemu dengan Derek lagi. Dia sangat sibuk dan harus bertemu dengan banyak orang, belum lagi dia juga harus pergi bekerja." Kata Adina berusaha menenangkan Bobby.
"Aku tahu." Kata Bobby. "Tapi aku rasa dia menyukaiku. Seandainya saja kita bisa berteman dengannya, bukankah itu akan menyenangkan, benar kan, ma?"
Tenggorokan Adina tercekat, wajahnya berubah pucat tapi dia berusaha untuk tetap tenang dan tersenyum pada anak remaja itu dan memeluknya sambil menggoyangkan tubuhnya. "Sebaiknya kau cepat pergi tidur. Kau pergi istirahat. Pertandingan tinggal beberapa hari lagi."
"Oke." Kata Bobby. Seperti yang selalu dia lakukan jika keluar dari ruangan tempat Adina bekerja, Bobby melompat untuk menyentuh langit-langit lalu berlari keluar menuju ke kamarnya.
Adina mendengar langkah kaki Bobby yang berdebam di tangga ketika anak itu melompati dua anak tangga sekaligus. Bukannya tersenyum sayang seperti yang bisa dia lakukan, tapi kali ini air matanya yang malah menetes.
Surat. Surat-surat kaleng itu. Sejak Deolinda, kakaknya memberitahunya kalau dia sedang mengandung anak dari Derek Emir, Adina sering mengkhayal bagaimana rupa dari anak itu nanti, dan bagaimana anak itu akan membawa pria itu kembali dalam kehidupannya. Dalam bayangannya, hal itu selalu menjadi alasan yang sangat menyesakkan sama seperti Bobby membutuhkan transplantasi ginjal atau transfusi darah saat dia masih kecil, dan buka suatu hal sepele seperti selembar surat kaleng.
Tapi sekarang Derek sudah masuk kembali ke dalam kehidupannya. Dan pria itu sangat menawan, jauh lebih tampan dari belasan tahun lalu. Matanya yang jernih itu tidak pernah pudar dari ingatan Adina, bahkan mata itu semakin bersinar. Senyumnya yang penuh dengan percaya diri, cara berdirinya yang santai, gaya jalannya yang angkuh yang menunjukkan kalau dia adalah seorang pilot, dan bagaimana sinar matahari menyinari rambutnya, semuanya di kenang Adina dengan pedih, karena semua itu terpendam di dalam hati Adina selama belasan tahun tanpa di ketahui siapa pun.
Kenangan-kenangan itu tidak hilang oleh kesedihan yang di deritanya setelah kematian kakak dan ayahnya dan kesehatan ibunya yang juga semakin memburuk. Semua kenangan tentang Derek telah bertahan dalam perjuangannya untuk meraih gelar sarjana, bekerja, dan sekaligus mengurus Bobby. Semua kenangan itu mematikan semua hubungan cinta yang belum sempat berkembang.
Dan kini satu-satunya pria yang pernah di cintainya hadir kembali ke dalam hidupnya. Untuk ke dua kalinya, masa depan Adina terletak di tangan pria itu. hanya saja sekarang pria itu mungkin sudah menyadarinya.
Adina setengah menyalahkan dirinya sendiri atas kecemasan yang dia rasakan. Dia bisa saja menertawakan tuduhan atas surat-surat itu yang di tunjukkan padanya, langsung menyangkal dan memberitahu Derek kalau seseorang sedang mengerjainya, mungkin orang yang sedang membutuhkan uang dan ingin mendapatkannya dengan mudah setelah melihat Bobby dan menyadari kemiripan di antara mereka berdua.
Tapi hati nurani Adina tidak membiarkannya mengambil jalan pintas itu. ketika dia di tanya, hati nuraninya tidak memberinya pilihannya lain kecuali mengatakan hal yang sebenarnya pada Derek.
Celakanya, reaksi Derek atas jawaban yang jujur itu akan berpengaruh besar pada hidup mereka semua. Seandainya Bobby akhirnya menyadari kalau Derek adalah ayah yang selalu dia cari, dan Derek menolaknya, bagaimana Bobby dapat mengatasi penolakan itu?
Atau seandainya Derek memutuskan untuk menerima anaknya, bagaimana Adina bisa menjalani hidup tanpa Bobby? Anak itu adalah satu-satunya sisi baik dan positif dalam hidupnya. Derek telah memberikan Bobby baginya. Bagaimana jika sekarang Derek ingin mengambilnya?
Adina menunduk dan menatap tangannya yang tersiram kopi. warna merahnya sudah mulai hilang. Dia memejamkan matanya dan mengenang kembali bagaimana jari-jari Derek mengusap tangannya.
Dia mencintai Derek Emir dengan gairah yang tidak terbalas yang membuatnya sakit. Dia menyayangi putra pria itu dengan rasa cinta yang besar. Derek tidak pernah menjadi miliknya. Dan mulai hari ini, dia terancam akan kehilangan Bobby.
"Cola dingin satu." Kata Adina."Dua."Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?""Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek."Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Ayo, cobalah." Kata Derek sambil menawarkan tiram mentah yang sudah di beri irisan lemon untuk di makan Adina."Tidak terima kasih. Melihatnya saja sudah geli." Jawab Adina.Derek membuka cangkak dengan bibirnya dan menelan benda licin itu sepenuhnya. Adina bergidik. Derek tertawa puas. "Ini baus untukmu, katanya bisa meningkatkan tenagamu." "Berarti tidak cocok untukku, karena dari awal aku sudah memiliki banyak tenaga." Jawab Adina. "Bisa saja." Kata Derek sambil menatap gaun Adina Adina tersipu malu dan berusaha mengalihkan perhatian Derek. "Hati-hati nanti Susan cemburu." "Siapa?" Tanya Derek bingung.Adina menganggukkan kepalanya ke arah seorang wanita berambut pirang yang terlihat baru saja di cat yang mempesona. Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna merah dan sedang menggandeng lengan seorang pilot yang baru saja bercerai."Oh, dia." Kata Derek dengan tidak peduli dan kembali mengarahkan pandangannya pada Adina. "Dia hanya salah satu dari penggemarku.""Tadi aku sem
Keesokkan harinya Derek muncul di muka pintu rumah Adina jam sebelas siang. Adina terkejut melihat pria itu. Sejak percakapan mereka di teras di pesta malam kemarin, sikap Derek terasa kaku dan menjaga jarak. Ketika Derek mengantar Adina hingga sampai di muka pintu rumahnya semalam, pria itu mengucapkan selamat malam dengan sopan dan menciumnya dengan cepat di pipinya yang menandakan kalau dia senang karena malam itu sudah berakhir. Itu sebabnya kunjungan ini sama sekali tidak Adina duga."Apakah kau sedang sibuk?" Tanya Derek yang masih berdiri di depan pintu."Aku sedang bekerja." jawab Adina singkat.Tubuh Adina di penuhi dan berbau cat dan penampilannya juga berantakan. Rambutnya yang semalam tertata rapi sekarang sudah kusut. Rambutnya sudah kembali menjadi ikal pendek dan tipis yang menggantung di sekitaran wajahnya yang kecil. Gaun yang di kenakan Adina tadi malam sudah digantung di dalam lemari kayu di kamarnya. Pagi ini Adina hanya mengatakan celana pendek dan kaus yang sama