Share

Bab 5

"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan.

"Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby.

"Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.

Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi.

"Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby.

"Dua puluh ribu?"

"Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina.

"Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"

Pensil Adina terjatuh dan menggelinding di lantai. "Apa yang dia lakukan di sini?" Ulang Adina dengan nada lemah. "Kau tahu kenapa dia ada di sini."

"Kenapa tidak memberitahuku kalau mama sudah menghubunginya? Maksudku, mama biasanya memberitahuku terlebih dahulu."

"Aku tidak benar-benar menghubunginya. Aku, menelepon kantornya dan bertanya apakah aku boleh menggunakan wajahnya untuk sketsaku. Dan aku rasa mereka ingin melihatku dulu sebelum memberiku izin dan mereka langsung mengirimnya sendiri ke sini. Aku sama kagetnya denganmu waktu dia muncul di sini."

Adina belum pernah berbohong pada Bobby sepanjang hidupnya, kecuali kalau saat-saat Bobby bertanya tentang ayahnya termasuk dalam hitungan. Semua itu adalah kebohongan yang sah-sah saja, kebohongan demi kebaikan yang bermaksud untuk melindungi Bobby, bukan kebohongan seperti kebohongan besar yang baru saja dia katakan.

"Oh, aku senang bertemu dengannya. Menurutmu, dia keren atau tidak?" Tanya Bobby dengan nada yang penuh semangat.

"Dia keren." Jawab Adina dengan tersenyum.

"Tadinya aku pikir dia mungkin adalah orang yang sombong sekali, tapi ternyata dia itu seperti orang lain pada umumnya." Kata Bobby.

"Dia memang orang, Bob." Kata Adina dengan setengah tertawa.

"Ayolah ma, kau tahu maksudku." Kata Bobby sambil cemberut.

"Aku tahu." Jawab Adina singkat.

"Menurut mama, apakah dia akan ingat padaku atau tidak? Mungkinkah dia akan kembali lagi ke sini?" Tanya Bobby bersemangat kembali.

Adina berdiri dan berjalan ke arah Bobby dan menyibakkan rambut yang jatuh di atas alis anaknya itu, yang harus membuatnya mengangkat lengannya tinggi-tinggi. Hal ini menyadarkannya kalau Bobby sudah tumbuh dengan cepat, Salah satu hal yang tidak dia sukai. Waktu berlalu sangat cepat. Sangat cepat.

"Aku tidak yakin kalau kita akan bertemu dengan Derek lagi, Bob." Kata Adina dengan lembut.

Pikiran Adina kembali melayang pada perjalanan pulang dari cafe ke rumahnya yang di lewati dalam keheningan. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan sopan pada Derek saat pria itu mengantarnya sampai di depan rumahnya. Pria itu tidak memperlambat tapi dengan marah dia langsung pergi. Marah atas teguran keras yang Adina berikan padanya. Adina sama sekali tidak menyesali ucapannya. Pria itu pantas untuk menerimanya karena menuduh Adina adalah seorang pembohong dan juga seorang pemeras.

"Aku tidak ingin kau terlalu berharap untuk bisa bertemu dengan Derek lagi. Dia sangat sibuk dan harus bertemu dengan banyak orang, belum lagi dia juga harus pergi bekerja." Kata Adina berusaha menenangkan Bobby.

"Aku tahu." Kata Bobby. "Tapi aku rasa dia menyukaiku. Seandainya saja  kita bisa berteman dengannya, bukankah itu akan menyenangkan, benar kan, ma?" 

Tenggorokan Adina tercekat, wajahnya berubah pucat tapi dia berusaha untuk tetap tenang dan tersenyum pada anak remaja itu dan memeluknya sambil menggoyangkan tubuhnya. "Sebaiknya kau cepat pergi tidur. Kau pergi istirahat. Pertandingan tinggal beberapa hari lagi."

"Oke." Kata Bobby. Seperti yang selalu dia lakukan jika keluar dari ruangan tempat Adina bekerja, Bobby melompat untuk menyentuh langit-langit lalu berlari keluar menuju ke kamarnya.

Adina mendengar langkah kaki Bobby yang berdebam di tangga ketika anak itu melompati dua anak tangga sekaligus. Bukannya tersenyum sayang seperti yang bisa dia lakukan, tapi kali ini air matanya yang malah menetes.

Surat. Surat-surat kaleng itu. Sejak Deolinda, kakaknya memberitahunya kalau dia sedang mengandung anak dari Derek Emir, Adina sering mengkhayal bagaimana rupa dari anak itu nanti, dan bagaimana anak itu akan membawa pria itu kembali dalam kehidupannya. Dalam bayangannya, hal itu selalu menjadi alasan yang sangat menyesakkan sama seperti Bobby membutuhkan transplantasi ginjal atau transfusi darah saat dia masih kecil, dan buka suatu hal sepele seperti selembar surat kaleng.

Tapi sekarang Derek sudah masuk kembali ke dalam kehidupannya. Dan pria itu sangat menawan, jauh lebih tampan dari belasan tahun lalu. Matanya yang jernih itu tidak pernah pudar dari ingatan Adina, bahkan mata itu semakin bersinar. Senyumnya yang penuh dengan percaya diri, cara berdirinya yang santai, gaya jalannya yang angkuh yang menunjukkan kalau dia adalah seorang pilot, dan bagaimana sinar matahari menyinari rambutnya, semuanya di kenang Adina dengan pedih, karena semua itu terpendam di dalam hati Adina selama belasan tahun tanpa di ketahui siapa pun.

Kenangan-kenangan itu tidak hilang oleh kesedihan yang di deritanya setelah kematian kakak dan ayahnya dan kesehatan ibunya yang juga semakin memburuk. Semua kenangan tentang Derek telah bertahan dalam perjuangannya untuk meraih gelar sarjana, bekerja, dan sekaligus mengurus Bobby. Semua kenangan itu mematikan semua hubungan cinta yang belum sempat berkembang.

Dan kini satu-satunya pria yang pernah di cintainya hadir kembali ke dalam hidupnya. Untuk ke dua kalinya, masa depan Adina terletak di tangan pria itu. hanya saja sekarang pria itu mungkin sudah menyadarinya.

Adina setengah menyalahkan dirinya sendiri atas kecemasan yang dia rasakan. Dia bisa saja menertawakan tuduhan atas surat-surat itu yang di tunjukkan padanya, langsung menyangkal dan memberitahu Derek kalau seseorang sedang mengerjainya, mungkin orang yang sedang membutuhkan uang dan ingin mendapatkannya dengan mudah setelah melihat Bobby dan menyadari kemiripan di antara mereka berdua.

Tapi hati nurani Adina tidak membiarkannya mengambil jalan pintas itu. ketika dia di tanya, hati nuraninya tidak memberinya pilihannya lain kecuali mengatakan hal yang sebenarnya pada Derek.

Celakanya, reaksi Derek atas jawaban yang jujur itu akan berpengaruh besar pada hidup mereka semua. Seandainya Bobby akhirnya menyadari kalau Derek adalah ayah yang selalu dia cari, dan Derek menolaknya, bagaimana Bobby dapat mengatasi penolakan itu?

Atau seandainya Derek memutuskan untuk menerima anaknya, bagaimana Adina bisa menjalani hidup tanpa Bobby? Anak itu adalah satu-satunya sisi baik dan positif dalam hidupnya. Derek telah memberikan Bobby baginya. Bagaimana jika sekarang Derek ingin mengambilnya?

Adina menunduk dan menatap tangannya yang tersiram kopi. warna merahnya sudah mulai hilang. Dia memejamkan matanya dan mengenang kembali bagaimana jari-jari Derek mengusap tangannya.

Dia mencintai Derek Emir dengan gairah yang tidak terbalas yang membuatnya sakit. Dia menyayangi putra pria itu dengan rasa cinta yang besar. Derek tidak pernah menjadi miliknya. Dan mulai hari ini, dia terancam akan kehilangan Bobby.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status