Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?"
"Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.
Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi."
"Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengkan kepalanya.
"Ya. Sama seperti aku menyukai makanan enak, The Beatles, dan Berhubungan intim." Jawab Derek dengan menunjukkan senyum sombongnya.
"Aku rasa aku baru mengerti. Aku tidak berpikir kalau jika masalah ini terbongkar ke publik akan bisa mempengaruhi kariermu." Kata Adina mengangguk pelan.
"Maskapai tidak akan memecatku. Tapi mereka akan mendapat kritikan yang buruk yang bisa menghancurkan karierku sebagai pilot. Aku akan di suruh untuk mengajar semua hal yang sebenarnya ingin aku lakukan sendiri." Kata Derek cemberut. "Intinya, siapa pun yang mengancamku, tahu betul betapa berartinya pekerjaan ini bagiku."
"Bukan aku." Kata Adina cepat sambil menunjuk dirinya sendiri. "Lebih baik bagi Bobby dan juga aku kalau semuanya tetap seperti dulu. Jika semua orang tahu kau adalah ayahnya mungkin hanya akan mengacaukan hidup Bobby."
"Kenapa begitu?" Tanya Derek terlihat tersinggung.
"Karena kau adalah kau. Apa yang akan kau lakukan dengan seorang anak laki-laki yang sedang beranjak remaja?" Tanya Adina.
"lebih sering menghadiri pertandingan sepak bola." Kata Derek sambil mengangkat bahunya.
"Dan lebih jarang pergi ke pesta liar." Tambah Adina.
"Kelihatannya kau terus memantau kegiatanku." Kata Derek dengan pandangan curiga.
Adina terdiam. Pria itu tidak perlu tahu kalau hal pertama yang di carinya di koran setiap pagi adalah berita apa pun tentang dirinya. Fotonya sering menghiasi halaman ke tiga pada topik berita masyarakat.
"Peluitnya sudah di tiup." Kata Adina menghidari percakapan itu dan kembali memusatkan perhatian ke lapangan.
Tim Bobby berhasil menyerang tim lawan dan mencetak gol di awal babak ke dua hingga menyamakan kedudukan. Tapi ketegangan memuncak ketika waktu yang tersisa di babak ke dua tinggal dua menit lagi. Sepertinya akan ada perpanjangan waktu. Semua orang di stadion berdiri dan menjerit sampai suara mereka terdengar serak ketika menyemangati para pemain yang semangatnya mulai memudar.
"Di sini. Berdiri di sini supaya kau bisa melihat lebih jelas." Kata Derek pada Adina. Tangannya memeluk pinggang wanita itu dan menaikkannya di atas kursi di tempat duduknya. "Lebih jelas?"
"Sangat jelas." Jawab Adina. Untuk pertama kalinya sejak pertandingan di mulai, Adina dapat melihat lapangan tanpa tehalang dari orang-orang.
"Tidak!" teriak Adina dan juga semua orang di bangku penonton mengerang ketika usaha tim Bobby untuk mencentak gol ke gawang tim lawan gagal. "Ambil bolanya, Bob! Ambil dan... begitu!" Teriak Adina lagi. Adina melompat-lompat di atas bangkunya. Derek memeluk pinggangnya dari samping, menjaganya agar tidak jatuh. "hati-hati, jangan sampai jatuh." Teriaknya lagi, lalu Adina memaki ketika seorang pemain lawan merebut bola dari Bobby, yang sedang mengiring bole dengan lihai ke arah gawang tim lawan. "Rebut kembali, Bob!" Adina menjerit-jerit ketika dengan cepat Bobby merebut bolanya kembali dari sela-sela kaki pemain lawan tanpa menjatuhkannya. "Tiga puluh detik lagi Bob! Yang lain bantu dia! Hadang anak itu! Ya Tuhan, dia terus melakukan hal kotor itu dari awal pertandingan! wasit! Itu pelanggaran!" Teriak Adina menunjuk dengan penuh tuduhan. "hei, mana kacamatamu? Dua puluh detik! Bobby..."
kata-katanya yang terakhir tidak terdengar karena sorak sorak terdengar ketika Bobby menendang bola melewati penjaga gawang tim lawan dan mencetak angka kemenangan. Hiruk piruk terjadi di lapangan, di pinggir lapangan, di bangku penonton. para pendukung tim bersorak-sorak kegirangan.
Yang paling heboh, tentu saja Adina dan Derek. hanyut dalam kegembiraan yang meluap-luap. Adina berbalik dan mendarat dalam pelukan Derek. Dan Derek mengangkat Adina tinggi-tinggi, memeluknya erat-erat dan memutar-mutarnya di antara bangku penonton.
"Aku tidak percaya." Teriak Adina, tertawa dan menangis sekaligus. dia menunduk dan tersenyum melihat wajah Derek. Derek menengadah dan membalas senyumnya.
Lalu senyum mereka hilang dan mereka berpandangan dengan aneh. Mata mereka menatap dengan perasaan yang berbeda. Tapi sama bahagianya.
Mereka baru menyadari kalau sebelah tangan Derek sedang menopang bagian bawah tubuh Adina dan tangan Derek yang lain menahan punggungnya. Lengan Adina melingkari leher Derek. Lututnya berada di pinggul Derek dan dadanya sejajar dengan mulut pria itu.
Derek menurunkannya pelan-pelan, hingga posisi mereka berbalik dan Adina yang kini harus mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Derek dengan matanya yang melebar dan tidak bisa di pahami. Pelan-pelan Adina melepaskan pelukannya di leher Derek, tapi justru tangannya memegang dada bidang pria itu.
Efeknya bagi seluruh indranya begitu mengejutkannya hingga untuk beberapa saat Adina hanya saat menatap pria itu. Derek terlihat sama terkejutnya, tapi dialah yang bicara untuk memecah keheningan antara mereka.
"Anakmu pencetak gol yang hebat."
"terima kasih." jawab Adina dengan suara serak. Tiba-tiba menyadari kalau dia masih menyentuh dada pria itu, hingga dia langsung menarik tangannya. Walaupun Derek sudah melepaskan pelukannya, Adina masih bisa merasakan kehangatan tangan pria itu di tubuhnya.
"Mau bergabung di sana?" Tanya Derek menunjuk pada kerumunan orang di lapangan.
Pertandingan sudah berakhir. Di lapangan para pemain melakukan upacara kemenangan. Masing-masing memegang cola kaleng dan mengocok kuat-kuat sebelum di buka, lalu menyiramkannya pada teman satu timnya.
"tentu saja." jawab Adina tertawa. Bersama-sama mereka lari menuruni tangga stadion, melangkahi pembatasnya dan lari memasuki lapangan. Bobby menyambut mereka. Dengan gembira dia menyambut Adina ke dalam pelukannya yang basah karena keringat dan memutar-mutar ibunya, sama seperti yang di lakukan Derek sebelumnya.
"Kau benar-benar hebat, Bob!" Kata Adina menepuk-nepuk punggung anaknya dan memberinya ciuman yang tidak pernah di tolak oleh Bobby.
"Selamat." kata Derek sambil menepuk bahu Bobby lalu mereka berjabatan tangan.
"Terima kasih sudah mau datang." Kata Bobby dengan tersenyum malu. "kami semua mau makan pizza. Semua anggota tim. Om mau ikut?"
"Dengan senang hati."
"Kalau begitu nanti kita bertemu di luar. Kamu harus menerima pialanya." Kata Bobby.
Bobby dan pelatihnya menerima piala dari para panitia di tengah lapangan. Derek berdiri di samping Adina dan lengannya melingkari bahu Adina. Dia meremas bahu Adina dengan lembut ketika Bobby melangkah maju untuk menerima piala sebagai pemain terbaik dan juga berkesempatan untuk memberikan pidato kemenangan mewakili timnya.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih pada para pimpinan sekolah yang mendukung kami. Dan juga untuk teman-teman dan orang tua kami, terima kasih untuk dukungan kalian semua!" Penonton bersorak dan Bobby harus menunggu hingga sorakannya reda. "Aku menerima piala ini atas nama seluruh anggota tim yang sudah bermain sangat baik."
Derek membungkuk dan mendekatkan bibirnya di telinga Adina. "Dia juga pandai berpidato."
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta