LOGINSemua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.
Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.
“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.
Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.
Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?
“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.
“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah.
Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?” tanya Sandra, matanya menyapu ruangan gelap.
“A… aku di sini, Mah,” jawab Madeline pelan.
Tak lama, lampu menyala. Semua mata tertuju padanya—Madeline berdiri di sudut, pipinya basah air mata.
“Madie! Kamu kenapa, sayang?” Sandra langsung menghampiri.
Marcus menimpali tenang, “Dia takut gelap. Aku datang menenangkannya.”
Lancar, tanpa jeda. Seolah ia benar-benar percaya kebohongan itu.Madeline menatapnya penuh benci. Tapi di bawah amarah itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang ia benci karena nyata.
Hugo menepuk bahu Marcus. “Syukurlah kau ada di situ. Ayo, istirahat. Besok berangkat pagi.”
Mereka pun masuk ke kamar masing-masing. Begitu punggung orangtuanya menghilang, Marcus menatap Madeline lama, bibirnya terangkat samar.
“Tidurlah, kelinci kecil.” Tangannya sempat menyentuh rambutnya sebentar sebelum pergi. Madeline terdiam, menatap pintu yang tertutup. Ia tak tahu apa yang lebih menakutkan—Marcus, atau dirinya sendiri.Keesokan harinya, udara dingin pegunungan menyambut keluarga mereka yang sedang glamping. Tenda dome kaca memantulkan cahaya api unggun; suasananya terlalu damai untuk menyembunyikan rahasia sebesar itu.
Madeline duduk dekat api, menggenggam mug cokelat panas. Marcus di seberangnya, sesekali melirik diam-diam.
“Bagaimana usaha pet hotel-mu, Madie?” tanya Hugo riang.
“Lancar, Pah. Sudah banyak review bagus.” Madeline berusaha ceria.
“Wah bagus! Ada pelanggan laki-laki yang menarik?” goda Hugo.
“Pah!” seru Madeline, pipinya memerah.
Sandra tertawa, “Anak kita masih fokus kerja, Yah.”
“Ya tapi Mamah mau gendong cucu, dong,” tambahnya ringan.
Marcus menegakkan tubuh, jemarinya berhenti memotong daging. Piring di tangannya bergetar sebelum jatuh dan pecah.
“Maaf, tanganku licin,” katanya datar.
Suasana jadi canggung. Hugo berdeham. “Kalau kamu sendiri, Marcus, kapan kenalkan pasanganmu?”
Marcus diam lama. Pandangannya menempel pada wajah Madeline. Ia bisa melihat betapa gadis itu gugup, menunduk dalam.
“Ada,” jawabnya akhirnya.
Semua menatap, terkejut.
“Siapa wanita beruntung itu?” tanya Hugo penasaran.
Marcus tersenyum samar. “Papa sudah mengenalnya.”
Hugo mengernyit. “Siapa maksudmu?”
Belum sempat dijawab, dua staf glamping datang, meminta izin memeriksa panel listrik di area mereka. Hugo dan Sandra pun pergi sebentar.
Begitu langkah orangtuanya menjauh, Marcus berdiri. Pandangan matanya menajam.
“Jadi, laki-laki di pet hotel itu menarik, ya?” suaranya berat.
Madeline menatapnya was-was. “Kamu salah paham.”
Marcus melangkah mendekat, menekan tubuhnya ke dinding. “Kamu pikir aku bisa diam kalau tahu ada yang lain selain aku?”
Madeline menggigil, antara takut dan marah. “Kamu kakak tiriku!”
Marcus menunduk, napasnya panas di telinganya. “Justru itu masalahnya. Aku berusaha menahan diri, tapi setiap kali kamu pura-pura tak ingat malam itu…”
Tangannya mengepal, lalu perlahan ia mundur, menahan diri di detik terakhir.“Kamu pikir aku nggak tahu cara berhenti, Madie?” suaranya lirih tapi dingin. “Aku cuma belum mau membuatmu benci seutuhnya.”
Marcus pergi, meninggalkan Madeline yang terduduk di lantai, menangis tanpa tahu apakah air matanya lahir dari takut… atau dari rasa lain yang lebih kelam.
Kedua pria tampan yang pernah saling mencintai itu, kini memandang tajam satu sama lain. Sorot mata mereka jelas menyimpan amarah yang mereka pendam masing-masing. Mereka tidak mempedulikan keadaan sekitar mereka. Tidak juga peduli kepada pelayan yang segera berlari ketakutan setelah mengantarkan pesanan makanan milik Gavin. "Bukankah keterlaluan kalau kau juga menargetkan ibuku? " Marcus memandang Gavin dengan tatapan suram. Sementara Gavin hanya tersenyum miring mendengarnya, "Wanita itu adalah ibu Madeline, " suara Gavin terdengar dingin. "Perempuan yang merupakan selingkuhan kekasih ku sendiri. " "Gavin!!" Marcus membentak. Urat di pelipisnya terlihat menonjol, menunjukan seberapa kuat ia menahan emosinya agar tidak meledak. "Kau telah menyakiti hatiku, " tanpa mempedulikan amarah Marcus, Gavin tetap memandang pria di depannya datar. "Bukankah adil kalau aku juga mengacaukan hidup orang yang telah menjadi sumber dari rasa sakit hatiku? " Dengan raut wajah
Gavin tersenyum miring, saat melihat pria di depannya menatapnya tajam. Dagunya bergerak menunjuk kursi yang tersedia. "Duduklah... " Marcus tetap tenang, ia duduk perlahan menatap datar seseorang dari masa lalunya ini. Tak ada getaran... Dulu saat mereka masih bersama, Marcus bisa merasakan kehangatan yang menyeruak di dadanya setiap kali mereka bertemu.. Sekarang pikiranya justru dipenuhi dengan senyuman manis milik Madeline. "Mengejutkan sekali, akhirnya kamu menelpon ku kembali setelah sekian lama.. " suara Gavin terdengar lembut, tapi siapapun yang mendengarnya dapat menangkap kegetiran yang ada. "Masa lalu adalah masa lalu... " Marcus tak ingin berkomentar banyak tentang hubungan mereka dulu. Baginya apa yang sudah berlalu adalah moment yang sudah terlewati. Tidak lebih. "Benar.. " Pandangan Gavin terlihat tenang saat menatapnya. "Aku sampai lupa, bahwa kita benar-benar sudah tak memiliki hubungan lagi.. " Itu adalah sindiran. Marcus menyadari bahwa mere
Selama beberapa hari, Hugo dan Marcus telah berupaya menekan pendapat netizen yang terus menyerang Toko roti milik Sandra, dengan berbagai macam kecaman dan komentar negatif. Sedangkan, Sandra masih tidak berani melihat ponsel miliknya sejak berita itu meledak. Akhirnya, Madeline lah, yang mengambil alih untuk memberi pernyataan permintaan maaf, menggunakan sosial media bisnis milik Sandra guna mengurangi opini publik. Tapi entah bagaimana, berita ini terus meluas dan bahkan berberapa selebriti dan influencer kelas atas ikut membuka suara, mengomentari berita yang semakin viral. "@jxfoodies , laki-laki berusia 35 tahun, memiliki nama asli Galen Araka, belum menikah dan sudah menjalani profesinya sebagai food reviewer selama 2 tahun... " Rex Pranadipa, laki-laki berusia 28 tahun ini adalah asisten pribadi baru Marcus yang ia hire, guna mengurangi beban kerja yang semakin bertambah. Ia menyerahkan dokumen yang berisi data milik Galen yang sudah Marcus minta. Marcus memb
Saat tiba dirumah, Madeline segera membuka pintu rumahnya, ia masuk disusul Gavin yang berjalan dibelakangnya. "Mah..., " Sandra yang tengah menonton televisi menoleh. Saat melihat putrinya yang memanggil, senyum tipis tersungging di bibirnya. Wajahnya masih pucat. Lingkaran hitam di bawah matanya membuat kondisi Sandra terlihat kian suram. "Tante..., " Gavin menganggukan kepalanya, menyapa dengan sopan. Senyum Sandra semakin melebar saat melihat seseorang yang ia tahu sebagai sahabat putranya juga datang. Kedua tangan Gavin membawa bunga yang telah ia pesan dan buah-buahan yang telah Madeline beli di supermarket saat mereka bertemu tadi. "Gavin.. masuk, nak," Sandra menyambut ramah. "Bunga yang cantik untuk wanita yang hebat." Gavin memberikan bunga di tangannya dengan gestur membungkuk. Sandra tertawa dibuatnya. "Cantik sekali.. " Sandra melihat bunga di tangannya. Sejenak, ia mengernyit saat melihat bunga berwarna merah tua dipadu dengan warna kuning yan
Gavin memarkirkan mobilnya dengan mulus. Pria itu turun dan dengan cepat berputar membuka pintu samping mobilnya, tempat dimana Madeline duduk. "Ayo turun, " Gavin tersenyum ramah. Tertegun sebentar, Madeline mencoba mengulas senyum. Gadis itu turun, dan mereka berjalan beriringan memasuki toko florist yang dituju. Madeline mencoba menenangkan dirinya. Walaupun masih canggung, tapi Gavin tidak menunjukkan gerakan yang mengintimidasi seperti sebelumnya. Aroma mawar segar menyambut mereka saat pintu kaca terbuka. Rak-rak penuh bunga berdiri rapi, dengan warna-warna lembut yang menenangkan mata. "Selamat Datang di Velvet Rose, ada yang bisa saya bantu kak? " Seorang pramuniaga yang bertugas menyambut dengan antusias saat Gavin dan Madeline melangkah masuk. Gavin memandang deretan bunga yang berjajar rapi. Kepalanya menoleh melihat pramuniaga yang masih senantiasa berdiri, siap untuk melayani. "Aku ingin campuran rangkaian bunga Dahlia hitam dan Hyacinth kuning, tolo
Madeline menimbang apel di tangannya. Matanya dengan jeli melihat buah itu dengan cermat. "Coba tekan apelnya dengan lembut. Jika terasa keras dan padat, itu kualitas apel yang bagus. " Suara berat di belakangnya, mengejutkan Madeline. Gadis itu membalikkan tubuhnya, melihat siapa yang berbicara. "Kak.. Gavin?"" suara Madeline terdengar ragu. Gavin melangkah mendekat, tangannya dengan lihai memilih beberapa apel di depannya dengan teliti. Tangannya sigap memasukannya dalam plastik yang tersedia dan menimbangnya. "Apel-apel ini sudah ku pilihkan, ambilah.. " tangan pria itu menyodorkannya ke Madeline. Madeline terdiam menatapnya sesaat, tapi tangannya tetap terulur mengambilnya. "Makasih kak.. " mencoba bersikap biasa, gadis itu tersenyum melihat Gavin yang memandangnya. Gavin tersenyum, raut wajahnya terlihat sangat tenang. "Kamu sangat menyukai buah? " mata pria itu melirik ke dalam troli Madeline yang berisi beberapa buah di dalamnya. Madeline tersenyum







