Share

Chapter 4

Auteur: kakakjutex
last update Dernière mise à jour: 2025-10-07 11:17:40

Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.

Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.

“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.

Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.

Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?

“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.

“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah.

Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.

“Madie mana?” tanya Sandra, matanya menyapu ruangan gelap.

“A… aku di sini, Mah,” jawab Madeline pelan.

Tak lama, lampu menyala. Semua mata tertuju padanya—Madeline berdiri di sudut, pipinya basah air mata.

“Madie! Kamu kenapa, sayang?” Sandra langsung menghampiri.

Marcus menimpali tenang, “Dia takut gelap. Aku datang menenangkannya.”

Lancar, tanpa jeda. Seolah ia benar-benar percaya kebohongan itu.

Madeline menatapnya penuh benci. Tapi di bawah amarah itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang ia benci karena nyata.

Hugo menepuk bahu Marcus. “Syukurlah kau ada di situ. Ayo, istirahat. Besok berangkat pagi.”

Mereka pun masuk ke kamar masing-masing. Begitu punggung orangtuanya menghilang, Marcus menatap Madeline lama, bibirnya terangkat samar.

“Tidurlah, kelinci kecil.” Tangannya sempat menyentuh rambutnya sebentar sebelum pergi.

Madeline terdiam, menatap pintu yang tertutup. Ia tak tahu apa yang lebih menakutkan—Marcus, atau dirinya sendiri.

Keesokan harinya, udara dingin pegunungan menyambut keluarga mereka yang sedang glamping. Tenda dome kaca memantulkan cahaya api unggun; suasananya terlalu damai untuk menyembunyikan rahasia sebesar itu.

Madeline duduk dekat api, menggenggam mug cokelat panas. Marcus di seberangnya, sesekali melirik diam-diam.

“Bagaimana usaha pet hotel-mu, Madie?” tanya Hugo riang.

“Lancar, Pah. Sudah banyak review bagus.” Madeline berusaha ceria.

“Wah bagus! Ada pelanggan laki-laki yang menarik?” goda Hugo.

“Pah!” seru Madeline, pipinya memerah.

Sandra tertawa, “Anak kita masih fokus kerja, Yah.”

“Ya tapi Mamah mau gendong cucu, dong,” tambahnya ringan.

Marcus menegakkan tubuh, jemarinya berhenti memotong daging. Piring di tangannya bergetar sebelum jatuh dan pecah.

“Maaf, tanganku licin,” katanya datar.

Suasana jadi canggung. Hugo berdeham. “Kalau kamu sendiri, Marcus, kapan kenalkan pasanganmu?”

Marcus diam lama. Pandangannya menempel pada wajah Madeline. Ia bisa melihat betapa gadis itu gugup, menunduk dalam.

“Ada,” jawabnya akhirnya.

Semua menatap, terkejut.

“Siapa wanita beruntung itu?” tanya Hugo penasaran.

Marcus tersenyum samar. “Papa sudah mengenalnya.”

Hugo mengernyit. “Siapa maksudmu?”

Belum sempat dijawab, dua staf glamping datang, meminta izin memeriksa panel listrik di area mereka. Hugo dan Sandra pun pergi sebentar.

Begitu langkah orangtuanya menjauh, Marcus berdiri. Pandangan matanya menajam.

“Jadi, laki-laki di pet hotel itu menarik, ya?” suaranya berat.

Madeline menatapnya was-was. “Kamu salah paham.”

Marcus melangkah mendekat, menekan tubuhnya ke dinding. “Kamu pikir aku bisa diam kalau tahu ada yang lain selain aku?”

Madeline menggigil, antara takut dan marah. “Kamu kakak tiriku!”

Marcus menunduk, napasnya panas di telinganya. “Justru itu masalahnya. Aku berusaha menahan diri, tapi setiap kali kamu pura-pura tak ingat malam itu…”

Tangannya mengepal, lalu perlahan ia mundur, menahan diri di detik terakhir.

“Kamu pikir aku nggak tahu cara berhenti, Madie?” suaranya lirih tapi dingin. “Aku cuma belum mau membuatmu benci seutuhnya.”

Marcus pergi, meninggalkan Madeline yang terduduk di lantai, menangis tanpa tahu apakah air matanya lahir dari takut… atau dari rasa lain yang lebih kelam.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 8

    Jemari Marcus mengepal kencang. Tapi seperti biasa, ia lihai untuk mengendalikan emosi nya. Wajahnya tetap tenang. Tapi aura ancaman keluar dari tubuhnya. "Marcus?" Madeline terkejut saat melihatnya tiba di pet hotelnya. Martin menoleh, keningnya berkerut saat seorang pria tiba dan mentapnya tajam. "Lihat siapa ini?" senyum miring pria itu terlihat samar, langkahnya perlahan mendekati 'kelinci kecilnya'. "Kak... ini temanku Martin," Madeline buru-buru menjelaskan. "Martin, teman kuliah Madeline" tangannya terulur kepada Marcus yang menatapnya intens. "Marcus..." tangannya menjabat erat Martin. Terlalu erat. Martin menatap mata Marcus. Ia bisa merasakan ketidaksukaan dari tatapannya. "Maddie... aku titip Zico ya," sambil menyerahkan anjingnya. "Martin, aku isi formulirnya dulu ya sebentar..." Madeline bisa merasakan ketegangan diantara dua pria yang sedang berhadapan. Ia berlalu bersama Zico dalam pelukannya. "Jadi teman kuliah?" Marcus membuka suara. "Ya, kam

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 7

    Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat. “DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Po

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 6

    Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir. “Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu. “Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.“Gapapa.” Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, la

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 5

    Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.Ia menyambar bibir Madeline.Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya. “Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis. “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya se

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 4

    Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah. Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?”

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 3

    “Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.Sandra tampak lega. “Syukurl

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status