Share

3

Kesepakatan Terjadi

Hening sejenak karena aku terdiam membisu sambil berpikir keras, bagaimana bisa sebuah gender ditentukan oleh manusia itu sendiri? Kekuatan apa yang kupunya untuk bisa memastikan kalau anak yang bakal kukandung nanti adalah berjenis laki-laki? Ternyata mudah sekali orang kaya memaksakan kehendaknya pada orang lemah sepertiku ini.

"Bukankah itu hak prerogatif Tuhan, kenapa--"

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Itu seperti mengadu nasib. Simpel saja, kalau diatas merestui, maka kamu aman. Namun sebaliknya kalau apa yang kamu berikan tidak sesuai dengan yang kuinginkan, maka … terima juga akibatnya. Terserah kalau kamu anggap aku jahat, tapi bukankah itu setimpal dengan apa yang sudah kukeluarkan?"

Aku hanya mampu menghela napas. Belum apa-apa sudah merasakan beban yang sangat berat. Mundur pun sudah tidak bisa karena uangnya sudah digunakan.

"Soal ibumu jangan khawatir, operasinya berhasil. Ia sudah dipindah ke ruang perawatan," lanjutnya kemudian.

Ibu? Aku sampai melupakannya. Segera kusambar tas, mencari ponselku ingin menghubungi Varel. Namun benda pipih itu tidak ditemukan di dalam sana. Bahkan di saku celanaku juga kosong. 

"Cari ini?" Alisa menggenggam sebuah ponsel di tangannya. 

Ponselku. Bagaimana bisa ada padanya? Seingatku ada di dalam tas.

"Untuk sementara benda ini aku yang simpan. Semua ini demi menjaga kerahasiaan. Namun kamu tenang saja, apapun yang berkaitan dengan ibu dan adikmu, apalagi kalau itu urgent pasti kuberitahu." Ponselku dimasukkannya ke dalam tas di samping badannya.

"Mbak, tolong kasih saya kesempatan untuk nelpon Varel--adik saya, sekali saja. Saya cemas, saya ingin mendengar suara beserta kabar dari ibu langsung darinya. Setelah itu, silakan Mbak ambil lagi ponselnya," bujukku mencoba merayunya.

Alisa berdecak, ia terlihat berpikir. "Ya sudah, tanda tangani dulu surat perjanjian itu, baru ponsel ini kuserahkan ke kamu." Ia mencebik tidak suka.

"I-iya, saya akan tanda tangan. Ini." Dengan cepat kububuhi tanda tanganku di pojok paling bawah akhir di lembaran kertas tersebut dan memberikannya pada Alisa.

Aku sudah pasrah. Tidak bisa berkutik sama sekali.

"Ini. Bicaralah! Di sini saja." Ponselku dikembalikannya. Aku menganggukkan kepala dan berjalan sedikit menjauh darinya.

Ada puluhan panggilan dan tiga pesan dari Varel--adikku. Pasti dia khawatir karena aku tidak mengangkat teleponnya.

"Halo, assalamualaikum." 

"Waalaikumussalam, Rel. Operasi Ibu--"

"Alhamdulillah lancar Mbak. Ini Varel di ruang rawat Ibu. Beliau belum sadar. Kata dokter masa kritisnya sudah lewat. Bi Titin juga sudah datang. Mbak kemana aja? Telepon Varel tidak dijawab. Varel cemas, Mbak." Terdengar helaan napas di ujung telepon. Ia bertanya tanpa jeda padaku.

"Maaf, ini Mbak lagi di …." Mataku melirik ke Alisa. Dia menatapku seolah sedang mengamati. "Lagi di jalan. Sinyalnya sedikit buruk. Mbak nggak bisa telepon kamu lama-lama. Tolong jaga Ibu ya. Mbak sebelumnya sudah minta tolong Bi Titin buat jaga Ibu juga. Nanti kamu kasih uang juga ke Bibi sebagai balas jasanya. Mbak tutup ya teleponnya." Aku melirik lagi ke Alisa. Dia masih menatapku dengan mengetukkan jarinya ke meja membentuk sebuah irama. Seolah itu adalah perhitungan waktuku untuk bicara.

Telepon kumatikan dan dengan ragu memberikannya ke Alisa.

"Sudah baca 'kan poin nomor 8? Tidak boleh menghubungi siapapun dan memberitahukan posisimu saat ini."

Ya, aku tahu ada poin itu.

"Kamu tahu kenapa aku memilihmu? Kenapa bukan perempuan lainnya?" Alisa kembali bertanya setelah ponselku di tangannya.

"Kamu kira aku memilihmu asal? Tidak. Aku sudah menyelidikimu berbulan-bulan. Mencari tahu asal usul keluargamu dan berdebat panjang dengan suamiku. Arik tidak tahu wanita seperti apa yang kupilihkan untuknya. Ia juga menolak permintaanku untuk tidur denganmu. Namun aku memaksa, dan selama ini keinginanku tidak pernah ditolaknya. Ya, secinta itulah ia denganku." 

Aku mengernyit. Benarkah? Ucapannya membuatku sedikit penasaran akan sosok lelakinya tersebut. Jadi namanya Arik.

Alisa meraih cangkir yang berada di depannya.

"Maaf, aku tidak menyuguhkanmu minuman." Alisa menyesap pelan minumannya dan meletakkannya kembali di atas meja.

"Mau minum?" tawarnya kemudian.

Aku menggeleng isyarat menolak.

"Pekerjaanmu adalah misi rahasia. Hanya kita bertiga yang tahu. Keluarga besar kami pun tidak mengetahuinya. Nanti setelah kamu dinyatakan positif hamil, aku akan berpura hamil juga. Setelah bayi yang kamu kandung itu lahir, maka dia akan menjadi anakku, seolah aku yang mengandungnya. Kamu paham kan ada poin itu juga di sana?"

Sedetail itu ia mengingat setiap poin yang tertulis di sana.

"Kenapa harus dirahasiakan dari keluarga besar kalian? Kenapa harus melakukan misi yang aneh begini? Terlalu berisiko, adopsi anak adalah solusi yang paling baik dan aman," ungkapku mengeluarkan salah satu uneg-uneg yang ada di dalam hati. Aku feeling hal ini bakal menjadi masalah di kemudian hari.

"Inilah yang kubenci darimu. Kamu terlalu pintar dan banyak tanya. Namun aku memang harus memilih perempuan yang pintar sepertimu karena menurut penelitian, kepintaran anak itu diwariskan dari genetik ibunya."

"Artinya pekerjaan ini bakal dipenuhi dengan kebohongan, aku seperti sedang mempermainkan hidup." Aku bergumam sendiri.

Seharusnya aku tidak datang mengemis ke wanita ini.

"Apa?" Ternyata Alisa mendengar gumamanku.

"Ti--tidak. Bukan apa-apa," elakku menghindar.

"Beristirahatlah. Besok kamu akan bertemu dengan suamiku, dia akan datang menjemputku pulang."

"Pulang? Jadi rumah ini?"

"Ini rumah yang bakal kamu diami untuk sementara waktu. Sesuai dengan yang kujelaskan waktu itu. Fasilitas rumah. Aku sendiri punya rumah yang lainnya yang ditinggali. Yang ini hanya villa tempat kami menjauh dari hiruk-pikuk keramaian. Cukup aman untuk bersembunyi, tapi jangan berpikir untuk kabur, karena di luar ada penjaga yang kutempatkan. Tidak sembarang orang juga untuk bisa masuk sini. Nikmatilah tinggal di sini. Setelah kamu menikah nanti, suamiku juga bakal sering berkunjung ke rumah ini. Namun ingat poin tiga, jangan pernah jatuh cinta padanya. Terlintas sedikit saja niat itu, abaikan. Buang jauh-jauh. Yang berhak atasnya hanyalah aku. Camkan itu, ini hanyalah misi dan pekerjaanmu, aku mengingatkan."

Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Kenapa Alisa takut sekali aku bakal jatuh cinta pada suaminya? Setampan dan sehebat apa suaminya tersebut? Aku selalu bersikap profesional dalam bekerja. Yah, bekerja. Anggaplah kali ini begitu juga. Kerja.

Dilihat dari penampilan dan ceritanya yang menikah hampir sepuluh tahun. Aku bisa menebak kalau Alisa menikah di usia 20 tahunan, maka umur Alisa saat ini diperkirakan sekitar 30 keatas. Begitupun mungkin suaminya yang ia bilang teman kecilnya. Pasti mereka sepantaran. Sedang aku baru genap di usia 20 tahun. Mungkin berbeda sekitar sepuluh tangan juga dari mereka. 

Tidak. Aku yakin tidak akan jatuh cinta pada lelaki yang sangat tunduk pada istrinya. Tipeku bukan om-om seperti itu.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
hidup ini sebuah pilihan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status