Kesepakatan Terjadi
Hening sejenak karena aku terdiam membisu sambil berpikir keras, bagaimana bisa sebuah gender ditentukan oleh manusia itu sendiri? Kekuatan apa yang kupunya untuk bisa memastikan kalau anak yang bakal kukandung nanti adalah berjenis laki-laki? Ternyata mudah sekali orang kaya memaksakan kehendaknya pada orang lemah sepertiku ini.
"Bukankah itu hak prerogatif Tuhan, kenapa--"
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Itu seperti mengadu nasib. Simpel saja, kalau diatas merestui, maka kamu aman. Namun sebaliknya kalau apa yang kamu berikan tidak sesuai dengan yang kuinginkan, maka … terima juga akibatnya. Terserah kalau kamu anggap aku jahat, tapi bukankah itu setimpal dengan apa yang sudah kukeluarkan?"
Aku hanya mampu menghela napas. Belum apa-apa sudah merasakan beban yang sangat berat. Mundur pun sudah tidak bisa karena uangnya sudah digunakan.
"Soal ibumu jangan khawatir, operasinya berhasil. Ia sudah dipindah ke ruang perawatan," lanjutnya kemudian.
Ibu? Aku sampai melupakannya. Segera kusambar tas, mencari ponselku ingin menghubungi Varel. Namun benda pipih itu tidak ditemukan di dalam sana. Bahkan di saku celanaku juga kosong.
"Cari ini?" Alisa menggenggam sebuah ponsel di tangannya.
Ponselku. Bagaimana bisa ada padanya? Seingatku ada di dalam tas.
"Untuk sementara benda ini aku yang simpan. Semua ini demi menjaga kerahasiaan. Namun kamu tenang saja, apapun yang berkaitan dengan ibu dan adikmu, apalagi kalau itu urgent pasti kuberitahu." Ponselku dimasukkannya ke dalam tas di samping badannya.
"Mbak, tolong kasih saya kesempatan untuk nelpon Varel--adik saya, sekali saja. Saya cemas, saya ingin mendengar suara beserta kabar dari ibu langsung darinya. Setelah itu, silakan Mbak ambil lagi ponselnya," bujukku mencoba merayunya.
Alisa berdecak, ia terlihat berpikir. "Ya sudah, tanda tangani dulu surat perjanjian itu, baru ponsel ini kuserahkan ke kamu." Ia mencebik tidak suka.
"I-iya, saya akan tanda tangan. Ini." Dengan cepat kububuhi tanda tanganku di pojok paling bawah akhir di lembaran kertas tersebut dan memberikannya pada Alisa.
Aku sudah pasrah. Tidak bisa berkutik sama sekali.
"Ini. Bicaralah! Di sini saja." Ponselku dikembalikannya. Aku menganggukkan kepala dan berjalan sedikit menjauh darinya.
Ada puluhan panggilan dan tiga pesan dari Varel--adikku. Pasti dia khawatir karena aku tidak mengangkat teleponnya.
"Halo, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, Rel. Operasi Ibu--"
"Alhamdulillah lancar Mbak. Ini Varel di ruang rawat Ibu. Beliau belum sadar. Kata dokter masa kritisnya sudah lewat. Bi Titin juga sudah datang. Mbak kemana aja? Telepon Varel tidak dijawab. Varel cemas, Mbak." Terdengar helaan napas di ujung telepon. Ia bertanya tanpa jeda padaku.
"Maaf, ini Mbak lagi di …." Mataku melirik ke Alisa. Dia menatapku seolah sedang mengamati. "Lagi di jalan. Sinyalnya sedikit buruk. Mbak nggak bisa telepon kamu lama-lama. Tolong jaga Ibu ya. Mbak sebelumnya sudah minta tolong Bi Titin buat jaga Ibu juga. Nanti kamu kasih uang juga ke Bibi sebagai balas jasanya. Mbak tutup ya teleponnya." Aku melirik lagi ke Alisa. Dia masih menatapku dengan mengetukkan jarinya ke meja membentuk sebuah irama. Seolah itu adalah perhitungan waktuku untuk bicara.
Telepon kumatikan dan dengan ragu memberikannya ke Alisa.
"Sudah baca 'kan poin nomor 8? Tidak boleh menghubungi siapapun dan memberitahukan posisimu saat ini."
Ya, aku tahu ada poin itu.
"Kamu tahu kenapa aku memilihmu? Kenapa bukan perempuan lainnya?" Alisa kembali bertanya setelah ponselku di tangannya.
"Kamu kira aku memilihmu asal? Tidak. Aku sudah menyelidikimu berbulan-bulan. Mencari tahu asal usul keluargamu dan berdebat panjang dengan suamiku. Arik tidak tahu wanita seperti apa yang kupilihkan untuknya. Ia juga menolak permintaanku untuk tidur denganmu. Namun aku memaksa, dan selama ini keinginanku tidak pernah ditolaknya. Ya, secinta itulah ia denganku."
Aku mengernyit. Benarkah? Ucapannya membuatku sedikit penasaran akan sosok lelakinya tersebut. Jadi namanya Arik.
Alisa meraih cangkir yang berada di depannya.
"Maaf, aku tidak menyuguhkanmu minuman." Alisa menyesap pelan minumannya dan meletakkannya kembali di atas meja.
"Mau minum?" tawarnya kemudian.
Aku menggeleng isyarat menolak.
"Pekerjaanmu adalah misi rahasia. Hanya kita bertiga yang tahu. Keluarga besar kami pun tidak mengetahuinya. Nanti setelah kamu dinyatakan positif hamil, aku akan berpura hamil juga. Setelah bayi yang kamu kandung itu lahir, maka dia akan menjadi anakku, seolah aku yang mengandungnya. Kamu paham kan ada poin itu juga di sana?"
Sedetail itu ia mengingat setiap poin yang tertulis di sana.
"Kenapa harus dirahasiakan dari keluarga besar kalian? Kenapa harus melakukan misi yang aneh begini? Terlalu berisiko, adopsi anak adalah solusi yang paling baik dan aman," ungkapku mengeluarkan salah satu uneg-uneg yang ada di dalam hati. Aku feeling hal ini bakal menjadi masalah di kemudian hari.
"Inilah yang kubenci darimu. Kamu terlalu pintar dan banyak tanya. Namun aku memang harus memilih perempuan yang pintar sepertimu karena menurut penelitian, kepintaran anak itu diwariskan dari genetik ibunya."
"Artinya pekerjaan ini bakal dipenuhi dengan kebohongan, aku seperti sedang mempermainkan hidup." Aku bergumam sendiri.
Seharusnya aku tidak datang mengemis ke wanita ini.
"Apa?" Ternyata Alisa mendengar gumamanku.
"Ti--tidak. Bukan apa-apa," elakku menghindar.
"Beristirahatlah. Besok kamu akan bertemu dengan suamiku, dia akan datang menjemputku pulang."
"Pulang? Jadi rumah ini?"
"Ini rumah yang bakal kamu diami untuk sementara waktu. Sesuai dengan yang kujelaskan waktu itu. Fasilitas rumah. Aku sendiri punya rumah yang lainnya yang ditinggali. Yang ini hanya villa tempat kami menjauh dari hiruk-pikuk keramaian. Cukup aman untuk bersembunyi, tapi jangan berpikir untuk kabur, karena di luar ada penjaga yang kutempatkan. Tidak sembarang orang juga untuk bisa masuk sini. Nikmatilah tinggal di sini. Setelah kamu menikah nanti, suamiku juga bakal sering berkunjung ke rumah ini. Namun ingat poin tiga, jangan pernah jatuh cinta padanya. Terlintas sedikit saja niat itu, abaikan. Buang jauh-jauh. Yang berhak atasnya hanyalah aku. Camkan itu, ini hanyalah misi dan pekerjaanmu, aku mengingatkan."
Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Kenapa Alisa takut sekali aku bakal jatuh cinta pada suaminya? Setampan dan sehebat apa suaminya tersebut? Aku selalu bersikap profesional dalam bekerja. Yah, bekerja. Anggaplah kali ini begitu juga. Kerja.
Dilihat dari penampilan dan ceritanya yang menikah hampir sepuluh tahun. Aku bisa menebak kalau Alisa menikah di usia 20 tahunan, maka umur Alisa saat ini diperkirakan sekitar 30 keatas. Begitupun mungkin suaminya yang ia bilang teman kecilnya. Pasti mereka sepantaran. Sedang aku baru genap di usia 20 tahun. Mungkin berbeda sekitar sepuluh tangan juga dari mereka.
Tidak. Aku yakin tidak akan jatuh cinta pada lelaki yang sangat tunduk pada istrinya. Tipeku bukan om-om seperti itu.
Perkenalan"Hei! Jangan ngelamun. Kamu lagi mikirin suamiku?" Tepukan keras Alisa di bahuku, cukup mengagetkan. Aku sampai melebarkan mata mendengarnya menebak dengan tepat."Tidak! Aku baru ingat kalau lupa bawa baju kemari. Maaf," ujarku mengubah topik dan memang benar kalau telah lupa membawa pakaianku ke sini. Aku datang dengan tangan kosong. Bahkan tidak tahu bakal dibawa kemari dan langsung tinggal di rumah ini. Kukira cuma bertemu begitu saja dengan Alisa, seperti di restoran waktu itu."Soal pakaian, kamu tenang saja. Semua sudah tersedia. Kamu tinggal pilih. Nanti Neni yang akan mengantarkanmu ke kamar.""Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku.Neni? Apakah dia itu perempuan yang mengantarkanku ke ruangan ini?"Ini kamu pegang
Lelaki yang KubenciAku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena pe
Dibawa ke hotel"Hotel? Kenapa ke sini?" Selidikku, bertanya pada Alisa, setelah melihat mobil yang kami tumpangi ternyata memasuki sebuah area halaman hotel bintang lima."Nanti kamu juga tahu," jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan sibuk dengan ponselnya.Aku terus melihat ke arah samping, mengamati sekitar. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman. Kalau sudah begini, feelingku mengatakan akan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi."Pakai!" Alisa memberikan sebuah kacamata hitam, dan memintaku untuk mengenakannya. Ia juga membenarkan cardiganku sebelum turun dari mobil."Diam dan ikuti aku. Jangan bicara sebelum aku memintamu bicara," sambungnya mengingatkan.Ingin bertanya lebih, tapi ia sudah mengisyaratkan untuk diam. Aku
Ditinggal Berdua"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa."Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis mey
Ditinggal Pergi"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit."Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat."Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.Matanya mendel
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se