Share

4

Perkenalan

"Hei! Jangan ngelamun. Kamu lagi mikirin suamiku?" Tepukan keras Alisa di bahuku, cukup mengagetkan. Aku sampai melebarkan mata mendengarnya menebak dengan tepat.

"Tidak! Aku baru ingat kalau lupa bawa baju kemari. Maaf," ujarku mengubah topik dan memang benar kalau telah lupa membawa pakaianku ke sini. Aku datang dengan tangan kosong. Bahkan tidak tahu bakal dibawa kemari dan langsung tinggal di rumah ini. Kukira cuma bertemu begitu saja dengan Alisa, seperti di restoran waktu itu.

"Soal pakaian, kamu tenang saja. Semua sudah tersedia. Kamu tinggal pilih. Nanti Neni yang akan mengantarkanmu ke kamar."

"Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku.

 Neni? Apakah dia itu perempuan yang mengantarkanku ke ruangan ini?

"Ini kamu pegang satu, simpan yang baik. Yang satunya lagi untukku." Alisa memberikan satu lembar surat perjanjian tersebut padaku. Ada tiga lembar dan sisanya ia yang pegang.

"Beristirahatlah! Aku juga mau tidur. Kalau ada apa-apa tinggal panggil Neni. Dia yang bertugas mengurus keperluan orang yang ada di rumah ini. Tunggu, biar kupanggilkan dia."

Alisa berjalan ke sudut ruangan dan menelepon seseorang dari telepon rumah yang terletak di atas nakas. Hanya berucap 'datanglah!' maka tidak beberapa lama, perempuan yang dipanggilnya tersebut datang.

"Bawa Luna ke kamarnya dan urus ia dengan baik," titah Alisa pada perempuan muda berusia sekitar 20 tahunan ke atas. perempuan itu menatapku sebentar lalu menganggukkan kepala manut pada perintah majikannya. Kalau tebakanku tidak salah, aku dengannya hanya beda setahun atau dua tahun. Entah siapa yang lebih tua. Kami seperti sepantaran.

"Baik, Nyonya. Mari Nyonya Luna ikuti saya." Alisa mengerjap memintaku mengikuti Neni. Aku manut dan melangkah di belakang perempuan yang mengenakan seragam merah muda tersebut.

"Panggil aku Luna saja, jangan pakai kata nyonya. Aku risih mendengarnya, karena tidak terbiasa," ucapku memulai obrolan. Senyum kusunggingkan menyapanya ramah.

"Maaf Nyonya. Nyonya Alisa sudah memerintahkan begitu, kami tidak berani membantah," jawabnya.

"Nanti juga terbiasa," lanjutnya lagi dengan mengulas senyum tipis.

Apa Neni tahu untuk apa aku tinggal di sini?

"Sepertinya kita sepantaran, karena itulah kuminta panggil nama saja. Ya?" Kucoba membujuknya lagi berharap bisa berteman dengannya, tapi dia menggelengkan kepala.

Aku berdecak dalam hati. Sepertinya yang bekerja di sini sangat patuh pada Alisa. 

"Ini kamar Nyonya. Silakan masuk," ujar Neni membukakan pintu sebuah kamar untukku.

Kamar yang besar. Ini seperti tiga kamar di rumahku yang kecil dijadikan satu. Luas sekali.

Neni masih menuntunku dan membawaku ke bagian kiri ruangan. Ada sebuah pintu yang menghubungkanku ke ruangan lainnya, dan itu sepertinya masih di dalam kamar ini.

Neni berhenti tepat di sebuah lemari besar. 

"Ini pakaian Nyonya Luna, sudah dipersiapkan dan boleh pilih sesuka hati." Neni membuka lemari besar dua pintu tersebut yang berisi banyak pakaian. Mataku takjub melihat pakaian yang tersedia di sana. Semuanya tampak bagus dipandang mata. Pasti mahal. 

Neni juga membuka lemari di sebelahnya yang sudah dapat kutahu apa isinya karena depannya terbuat dari kaca transparan. Banyak tas terpajang di sana.

"Nyonya juga bisa menggunakannya sesuka hati," tunjuknya pada tas yang tersusun rapi di sana.

"Apa ini punya Mbak, eh Kak Alisa?" Aku selalu salah memanggil namanya. Seingatku Alisa memintaku memanggilnya kakak.

 Lagi-lagi Neni menggeleng. "Ini khusus disediakan untuk Nyonya Luna. Nyonya Alisa memilikinya sendiri, di kamarnya.

Aku tidak percaya. Ada sekitar sepuluh tas di dalam lemari kaca ini dan semua brand mahal dan terkenal. Kalau ini khusus untukku, maka punya Alisa pasti jauh lebih banyak dari ini. Kalau kupikir mau kemana juga memakai barang branded ini. Bukankah aku bakal terkurung di rumah ini untuk beberapa bulan lamanya.

Neni masih menunjukkan beberapa barang padaku. Aku hanya terpaku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Semuanya kata Neni khusus untukku. Serapi ini persiapan Alisa. Ia seperti yakin aku bakal menerima tawarannya. Apa mungkin dia punya kandidat lainnya andai aku menolak? Entah, aku sudah lelah menebak.

Neni lalu menunjukkan yang lainnya seperti kamar mandi dan perlengkapannya. Tidak ada yang luput dari jangkauan Neni untuk diperlihatkannya padaku.

"Apa ada yang ingin Nyonya tanyakan?" tanyanya melihatku diam saja mengikutinya sedari tadi. Sepertinya semua sudah ia tunjukkan padaku.

"Hm … apa ada perlengkapan sholat?" Pertanyaan itu terlontar karena aku belum melihat benda tersebut dari semua yang ditunjukkan Neni.

"Mukena?" Satu alisnya naik saat bertanya. Aku mengangguk.

 "Nyonya mau sholat?" tanyanya lagi dengan mengernyitkan dahi.

"Iya," jawabku mantap karena Neni sepertinya meragukan pertanyaanku.

"Hm … sepertinya tidak ada, eh bukan. Maksudnya belum ada. Nanti saya tanyakan Nyonya Alisa, dulu." Neni seperti kebingungan menjawab pertanyaanku.

"Kalau bisa sekarang ya, atau maaf, apa kamu muslim?" Neni mengangguk pelan. 

Aku tersenyum melihatnya. "Pinjam punyamu saja. Itupun kalau boleh."

"Hm … iya, kalau Nyonya tidak keberatan menggunakan bekas saya nanti akan saya ambilkan."

"Oh, nggak pa-pa. Yang penting bersih."

Neni hanya mengangguk dan izin keluar kamar. Aku menghela napas panjang setelah kepergiannya. Merebahkan diri ke kasur empuk dengan ukuran king size. Mungkin aku terlihat munafik, habis mengikat diri ke perjanjian yang dilarang agama, lalu mengingat beribadah seolah ingin menghapus dosa yang barusan kulakukan. Kupikir itu lebih baik daripada mengabaikannya sama sekali. Siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memaafkan semua dosaku.

***

Ayam berkokok menandakan pagi telah tiba. Aku yang sudah menyelesaikan sholat subuh masih mengurung diri di kamar. Bingung harus berbuat buat apa karena tidak ingin bertindak semaunya di rumah yang tampak asing bagiku.

Aku mematut diri di depan cermin menatap wajah dengan kantung mata yang besar. Efek semalaman tidak tidur, ditambah juga menangis meratapi kebodohanku sampai ke rumah ini. Kata menyesal pun sudah tidak ada artinya. 

Ketukan pintu terdengar olehku yang berada di dalamnya. Aku bergegas menuju arah suara.

Neni. Dia menyapaku ramah meski wajahnya menampakkan keheranan. Pasti wajahku ini yang dipertanyakannya.

"Bagaimana cara menghilangkannya?" Tunjukku ke arah mata. Neni hanya menghela napas lalu masuk ke dalam kamar lebih dulu. Ia membuka laci meja rias dan mengambil sesuatu dari sana. 

"Ini Nyonya. Semoga bisa menyamarkannya," ucapnya sembari mengulurkan sebuah krim padaku. 

"Terima kasih," jawabku.

Kulihat Neni berjalan ke arah walking closet. Aku hanya mengedikkan bahu mengabaikan apa yang dilakukannya di sana.

"Tolong Nyonya kenakan ini." Ia datang dengan membawa sebuah dres polos berwarna marun dengan dua kancing di atas dan ada tali belt di pinggangnya.

"Aku bisa milih sendiri," tolakku karena aku tidak suka mengenakan dres. Keseharianku biasanya mengenakan celana panjang.

"Ini perintah Nyonya Alisa." Aku melongo.

Apa semua tentangku harus diatur olehnya? Bahkan sampai ke pakaian apa yang harus kukenakan. Apa itu karena aku sudah menggunakan uangnya atau aku yang secara tidak langsung telah dibelinya? pertanyaan itu terlintas di benakku. 

"Kalau kutolak?" tanyaku akhirnya.

"Saya sarankan Nyonya Luna mematuhinya. Kumohon. Kalau Nyonya Luna menolak, maka saya yang bakal kena imbasnya karena saya yang ditugaskan mengurus keperluan Nyonya." 

Dengan menghela napas berat, kuterima pasrah pakaian yang bukan seleraku tersebut.

Setelah berganti pakaian, Neni masih berada di kamarku. Ia juga yang mendandaniku dari wajah hingga rambut. Untuk apa? Ini sepertinya terlalu berlebihan.

"Tuan besar akan datang, Nyonya Alisa meminta saya untuk menyiapkan Nyonya Luna secantik mungkin."

Neni tahu betul dengan apa yang ada di benakku. Belum ditanya, ia sudah memberitahukan. Apa semua orang di rumah ini pandai meramal?

***

"Kemarilah Luna. Ayo duduk di sebelahku." 

Aku yang baru memasuki ruang makan merasa canggung dengan penampilanku sendiri. Kata Neni, aku cantik. Namun sayangnya aku tidak pede melihat diri sendiri di depan cermin. Apa harus begini penampilanku hanya untuk bertemu calon suami? Pantaskah kusebut laki orang sebagai calon suami? Entah, aku tidak tahu harus bagaimana menyebutnya. 

Aku memilih kursi yang berseberangan dengannya.

"Suamiku lagi di toilet, sebentar lagi dia akan duduk." 

Sepertinya Alisa mengetahui kebingunganku yang menatap ke piring berisi roti di meja seberangku, di sebelah Alisa, tapi orang yang duduk di sana tidak ada.

Ternyata suami Alisa sudah datang. Jadi yang duduk di seberangku itu dia? Tapi, Kapan datangnya? Aku memang mendengar suara deru mobil pada waktu subuh, tapi sayangnya tidak berani mencari tahu itu mobil yang datang atau pergi.

"Ekhem." Suara dehaman seseorang dari arah belakang, membuatku semakin gugup. Roti yang kumakan ini rasanya sampai tidak enak. Aku yakin itu orangnya. Suami Alisa.

"Sini Sayang kuperkenalkan kamu sama Luna. Orang yang akan melahirkan anak kita." Wajah Alisa berbinar bahagia saat menyambut lelaki tercintanya.

Deg.

Anak kita? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman saat Alisa mengatakan hal tersebut. Rasanya aku ingin sekali pergi dari tempat ini.

Aku juga tidak berani melihat ke depan. Kepala kutundukkan seolah lebih tertarik ke makanan yang berada di piringku. Dapat kulihat dari ekor mataku kalau lelaki tersebut mengenakan jas hitam, stelan pakaian kerja. Dia sudah serapi ini, padahal waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Badannya tegap, dengan suara bariton khas lelaki dewasa. Entah seperti apa wajahnya. Aku belum tahu.

"Luna, lihat ke depan. Ini suamiku. Namanya Atalarik Bara Wijaya. Biasanya dipanggil Arik."

Atalarik Bara Wijaya? Nama itu apakah nama yang sama dengan orang yang kukenal? Tidak, semoga bukan, bisa saja mirip.

Kepala kutegakkan, mendongak ke depan. Mataku sampai membelalak lebar terkejut melihat sosok yang berada di depanku.

Dia? Benar, dia Pak Arik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status