"Aku tidak sengaja bertemu dengan beliau di restoran kemarin waktu kita mau ke sini." Kembali aku bersuara membuka pertemuan tak sengajaku kemarin.
"Di--" jedanya bertanya dengan kening berkerut.
"Iya, di restoran yang kita singgahi waktu itu, dan maaf aku nggak cerita," selaku memberitahukan.
"Terus? Memangnya kamu kenal wajah ibu mertuaku?"
Aku menggeleng. "Awalnya nggak, tapi rasanya memang pernah lihat atau ketemu, nah pas buka galeri foto di ponsel Mas, aku lihat fotonya dan langsung mengenali kalau orang yang kemarin kutemui itu memang ibunya Kak Alisa." Aku berhenti sejenak menghela napas dalam sebelum menceritakan kembali detail pertemuan kemarin dan apa saja yang sempat kami bicarakan waktu itu.
"Oh," ucap Pak Arik. Sesingkat itu balasannya menanggapi ceritaku mengenai ibu mertuanya
"Ponsel?" ulangku memastikan."Iya, ponselnya Arik biar aku saja yang pegang. Bukankah sama kamu?" Tangan Alisa masih terulur di depanku.Dengan berat hati kuserahkan ponsel Pak Arik padanya."Terima kasih," ucap Alisa dengan senyum terkembang setelah ponsel itu berada di tangannya. Dibukanya ponsel tersebut sejenak lalu meletakkannya diatas meja."Ini alasan kenapa kusita ponselmu waktu itu." Alisa menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa."Untuk menghindari masalah. Untuk menghindari orang luar tahu siapa kamu di hidup kita. Itu semua sudah aku rencanakan dengan matang, sayangnya karena kesalahanmu, satu orang lagi jadi tahu keberadaanmu di keluarga Bara Wijaya," lanjutnya kemudian.Aku hanya diam menyimaknya bicara sambil meremas kedua tangan. Padahal yan
"Mas? Mas Arik …." goda Alisa memanggil Pak Arik dengan senyum jahil ke arahnya. Aku dibuat heran."Apaan Lis, nggak lucu," delik Pak Arik terlihat tak suka."Mas Arik, aku panggil begitu juga ya?" Masih menggoda dengan senyum merekah tak pudar dari kedua sudut bibirnya."Lis!" Pak Arik melotot ke arah Alisa dan memanggil namanya penuh penekanan.Alisa malah tertawa terbahak jadinya. Sedang Pak Arik berjalan lebih dulu meninggalkan aku dan Alisa dengan wajah masam.Ada apa dengan mereka? Kukira Alisa bakal marah padaku karena panggilan tersebut, ternyata malah sebaliknya. Dia menjadikan itu lelucon dan menggoda Pak Arik yang tampak tak suka dipanggilnya begitu."Ayo, Lun." Ditariknya tanganku dan memaksaku melangkah beriringan dengannya.
"Mas, langsung pergi ke kantor atau ikut kami?" Aku dan Alisa sudah berada di dalam mobil. Lagi-lagi Alisa menggoda suaminya."Alisa!" Pak Arik melotot ke arah istri pertamanya itu.Alisa tertawa. Aku pun ikutan terkekeh kecil. Sorot mata Pak Arik langsung menatapku tajam lewat kaca spion di depannya. Dia pasti mendengar tawaku. Dengan cepat bibir ini mengatup rapat.Sampai di mall, kami ke pusat perbelanjaan. Alisa tetap menggamit erat lenganku. Banyak barang yang dipilihnya. Katanya untuk persediaan selama di apartemen, tapi menurutku itu terlalu banyak karena baru seminggu yang lalu Pak Arik berbelanja melengkapinya."Ini banyak buku parenting juga buat kamu. Dibaca ya." Alisa memberikan banyak buku padaku. Kapan dia membelinya? Apa pas di mall? Dia sempat pergi sendiri dan memintaku duduk untuk istirahat. Dia takut
Astaga, pake acara mau bersin segala lagi. Kenapa di waktu yang tidak tepat. Tidak ingin ketahuan sedang menguping pembicaraan mereka, terpaksa aku menjauh takut suara bersinku terdengar.Merasa cukup jauh karena sudah berada di ruang tengah, setengah wajah yang sengaja kututup dengan satu tangan akhirnya dapat kulepaskan. Namun rasa gatal ingin bersinnya malah hilang.Kalau tahu begini jadinya, aku akan memilih tetap berada di sana guna mendengarkan isi lanjutan percakapan mereka.Satu kursinya milik siapa?Satu kalimat yang keluar dari bibir Alisa membuatku berpikir keras. Apa maksudnya, mungkinkah satu kursi itu untukku?Tidak. Aku terlalu percaya diri meyakini kalau Pak Arik juga cinta denganku. Kenyataannya tidak semanis yang kuinginkan, aku hanyalah wanita yang ditiduri
"Luna, kita sudah sampai. ini rumah mertua kita. Ingat seperti yang kusampaikan sebelumnya, katakan yang seperlunya saja sesuai dengan apa yang sudah kuajarkan." Alisa mengingatkanku tentang apa yang harus dan tidak boleh kukatakan saat berada di rumah ini. Pak Arik yang duduk di depan hanya menatap ke arahku sebentar. Sejak kedatangannya ke apartemen untuk menjemput kami, dia tidak banyak bicara.Kuanggukkan kepala tanda mengerti.Kami masuk ke dalam secara bersamaan. Alisa menggamit lenganku dan kami berjalan beriringan diikuti Pak Arik yang membawakan koper kami. Rasa gugup kurasakan saat pintu besar terbuka lebar di hadapan.Tampak seorang wanita dewasa berdiri dengan senyum terkembang menyambut hangat kedatangan kami. Dia tidak sendiri, ada perempuan muda lainnya berdiri di sebelahnya."Tolong Ana, bawakan koper ini.
"Satu lagi. Kalau Axel kemari, pindahlah ke kamar tamu, kamar paling ujung sebelah kanan. Itu kosong. Jangan di sini. Aku tidak tahu sedekat apa kamu dengan Alisa hingga dia memintamu tidur di kamar ini. Setahuku waktu di pesta itu kalian tidak dekat, dan sepintar apa kamu sampai bisa mendekatinya dan menjadikanmu asisten pribadinya."Aku tersenyum kecut. Nampak jelas kalau ibunya Arik tidak suka padaku. Apalagi tudingannya barusan membuat hatiku sakit. Perih rasanya. Tidak seperti dalam bayanganku."Turunlah ke bawah, saat aku ingin ke atas, Alisa memintaku memanggilmu juga sekalian untuk ikut makan malam dengan kami. Lain kali bersikaplah tahu diri dan menyesuaikan diri sebagai apa kamu di sini. Jangan karena menantuku itu terlalu baik, lalu kamu seenaknya aja memanfaatkan kebaikannya itu dengan bersikap di luar batas.""Maksudnya?" Aku ingin mendengar
"Bu, jangan dipaksa. Nanti dia ngambeknya ke aku. Marahnya ke aku, bisa nggak mau makan segala. Nangis-nangis nggak berhenti. Drama sekali Bu, padahal lagi hamil," bujuk Pak Arik mencoba menjelaskan. Ini penolakan halus dari Pak Arik atas saran ibunya.Aku menoleh ke arah lelaki yang sedang bicara ini. Apa benar Alisa seperti itu atau hanya akal-akalannya saja. Apa sedramatis itukah Alisa?"Nggak ada, apaan sih Rik," rajuk Alisa dengan suara manjanya membantah."Sudahlah Bu, biarkan saja. Benar kata Arik jangan dipaksa. Ini anak pertama mereka loh setelah sepuluh tahun menunggu." Pak Bara angkat bicara."Iya deh, Ibu ngalah. Jadi kapan kalian ke Bali-nya?""Lusa, Bu." Alisa menjawab pasti."Kalian ini. Ya sudah kalau begitu besok saja kita acara tasyakurannya
Aku ditarik sampai keluar rumah. Bahkan dipaksa masuk ke dalam mobilnya. Satpam di depan pun tidak berani menolong karena yang membawaku adalah anak majikannya sendiri, Axel.Saat kejadian juga tidak ada orang yang sadar kalau aku sebenarnya ditarik paksa, karena lenganku digamitnya mesra, seolah kami adalah sepasang kekasih. Ingin berontak pun tidak mungkin, karena bakal membuat kegaduhan dan aku tidak ingin disalahkan atas kejadian tersebut."Axel, please … lepas! Kamu mau bawa aku kemana?" Aku tidak dapat berkutik lagi karena pintu mobil telah dikuncinya."Ke suatu tempat. Kita harus bicara.""Kan, kita bisa bicara di sana, nggak perlu pergi dari rumah ini. Bagaimana kalau Kak Alisa mencariku?" Aku mencoba mengelak, mencari alasan."Cuma sebe