Share

8

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2022-01-18 17:11:18

Ditinggal Pergi

"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun. 

Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit.

"Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat.

"Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.

Aku menggeleng dengan memaksakan senyum. 

Matanya mendelik tajam. Lalu berjalan menjauh menuju kamar mandi.

"Ingat! Beli yang ketutup, kalau perlu dengan hijabnya," katanya lagi sebelum berlalu masuk kamar mandi.

Aku melongo dengan alis yang saling bertaut. 

Apa maksudnya? Lagipula kemana aku membelinya? Apa dia mengizinkanku keluar dari hotel ini?

***

"Cari apa?" Aku menghentikan pergerakanku mencari sesuatu, dan menoleh ke sumber suara.

"A--aku," ucapku tergagap melihat penampilan Pak Arik yang sudah mengenakan pakaian. Ia terlihat mempesona meski hanya mengenakan pakaian santai.

Pantas Yasmin dulu tergila-gila pada lelaki ini. Semakin berumur kuakui ia semakin tampan. 

"Sudah dibeli?" tanyanya lagi setelah memangkas jarak.

"Gimana caraku beli? Masa aku turun dengan pakaian ini?" Balasku menyoroti pakaianku sendiri. Untung aku cepat sadar dan mengendalikan diri agar tidak terhanyut dalam pesonanya.

"Kan bisa lewat hape, beli online. Otak pintar itu dipake, jangan dianggurin. Pasti kamu tidak akan terjebak di sini bersamaku," ejeknya dengan menempelkan telunjuknya ke dahiku.

Aku mencebik. 

"Hapeku disita istrimu, bagaimana bisa aku memesannya lewat sana." Tidak tinggal diam, kubalas ucapannya.

Pak Arik menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghampiriku kembali.

"Kenapa menerima tawaran istriku?" Lelaki di hadapanku duduk seraya menyugar rambut basahnya.

"Kenapa bertanya lagi. Apa istrimu tidak memberitahukan alasanku?" Aku berbalik bertanya padanya.

Pak Arik membuang napas kasar seraya memalingkan wajahnya.

"Alisa ingin sekali memiliki anak. Padahal aku sudah bilang kalau aku akan menerimanya, apa adanya. Namun dia menyangkal. Katanya hidup tanpa anak bagai sayur tanpa garam, hambar. Ia juga takut kalau aku bermain dibelakangnya lalu menghasilkan anak di luar nikah. Paling parah katanya aku menikahi wanita lain diam-diam tanpa sepengetahuannya, karena itulah ia mencarikan sendiri wanita itu untukku. Yaitu, kamu. Apalagi keluargaku sedikit me--"

"Apa?" tanyaku penasaran karena Pak Arik menghentikan kalimatnya tiba-tiba.

"Ini hapeku, pakai saja. Pesan pakaian sesuka hatimu." Pak Arik mengubah topik pembicaraan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan memberikannya padaku. Lelaki yang baru beberapa menit yang lalu sah menjadi suamiku itu beranjak pergi keluar kamar. Meninggalkan aku yang terbengong mendengar ceritanya yang setengah jalan, ditambah ponselnya yang berada di tanganku.

"Sial," umpatku pelan saat tahu ponselnya terkunci. 

"Ngasih hape tapi nggak bisa dibuka begini sama aja bohong. Mana kutahu apa passwordnya." Aku ngedumel seraya melempar ponselnya ke atas tempat tidur.

Merasa sudah kegerahan dengan pakaian pengantin, kuputuskan lagi mencari sesuatu sebagai pakaian ganti. Kubuka kembali lemari pakaianku, menatap isinya sekilas, lalu menutup pintunya kembali sambil bergidik ngeri. Aku tidak akan mengenakan baju kurang bahan tersebut, apalagi dengan modelnya yang bisa diterawang. Baru kali ini melihat secara langsung pakaian yang bernama lingerie, dan rasanya menggelikan harus mengenakan pakaian tersebut di hadapan Pak Arik. Alisa ternyata benar-benar menginginkan aku secepatnya berhubungan badan dengan suaminya, supaya dapat membuahkan janin di perutku. Segitu ngototnya kah ia ingin punya anak?

"Sudah?"

"Astagfirullah," ucapku terkejut mendengar suara Pak Arik. Lagi-lagi lelaki dingin ini mengangetkanku.

"Apa kamu berniat ingin mengenakan pakaian itu?" Baru saja kulihat Pak Arik berdiri di depan pintu, sekarang ia sudah berada di hadapanku.

"Tidak!" jawabku cepat dengan menggelengkan kepala.

"Lalu?" Lelaki di hadapanku ini bersedekap, menyelidik.

"Hape Bapak terkunci. Bagaimana saya bisa menggunakannya," ungkapku memelas. Kusodorkan ponsel itu ke arahnya.

"Oh, iya. Maaf. Ini, pakai yang ini saja." Pak Arik mengeluarkan ponsel satunya lagi.

Aku mengambil ponsel yang ia berikan. 

"D******d dulu aplikasi belanja onlinenya, karena aku tidak pernah menggunakan aplikasi itu. Biasanya Alisa dan itu juga dari ponselnya," Pak Arik berujar kembali.

Aku menurut dan mendownload aplikasi belanja yang sering kugunakan.

"Bolehkah juga aku memesan peralatan sholat? Karena mukenaku tertinggal di rumah." Sedikit ragu kuutarakan hal tersebut.

Pak Arik menatapku dengan mengernyitkan alisnya. Ia seperti terheran mendengar pertanyaanku. "Terserah. Kamu bisa pesan apapun yang kamu inginkan," jawabnya kemudian.

"Aku keluar sebentar, tidurlah lebih dulu, tidak perlu menungguku. Soal malam ini kamu kubebaskan." Pak Arik pergi setelah mengatakan hal tersebut.

Dibebaskan? Aku tersenyum bahagia. Apa maksudnya malam ini Pak Arik tidak akan menyentuhku? Semoga.

***

Pakaian yang kupesan telah datang. Aku segera berganti pakaian dan bebersih di kamar mandi. Tidak lupa menjalankan ibadah sholat. Kewajiban satu ini tidak boleh kuabaikan. Meskipun tidak tahu apakah dosaku nanti akan diampuni oleh-Nya, atau tidak. Setidaknya aku tidak ingin jadi hamba-Nya yang lalai.

Pak Arik memang telah pergi, entah kemana. Aku tidak ingin pusing memikirkan. Bahkan ada baiknya ia tidak kembali dan membiarkanku sendirian di hotel ini. Ia tidak terlihat di dalam kamar hotel ini setelah kujelajahi satu per satu setiap ruangan yang ada di dalamnya. Mungkin ini yang namanya kamar presidential suite. Isinya mirip seperti yang ada di rumah dengan perabotan yang lengkap dan super mewah, dan ini untuk pertama kalinya aku menginap di hotel bintang lima.  

Meski Pak Arik bilang tidak akan menyentuhku, tetap saja aku perlu kewaspadaan. Aku pun belum siap untuk melakukan hal tersebut dengannya. Mungkin butuh waktu dulu, agar kami bisa saling beradaptasi. 

Mumpung Pak Arik belum pulang, kubuat pembatas di tengah-tengah atas kasur dengan meletakkan dua bantal di sana. Jadi, kalau Pak Arik masuk dan melihatnya, maka ia akan teringat dengan perkataannya sebelumnya kalau ia tidak akan menyentuhku malam ini.

Rasanya sedikit lega karena bisa bernapas sejenak setelah sebelumnya cukup tegang.

Aku yang sudah bersiap tidur dengan memejamkan mata, mengerjap kembali setelah terdengar nada dering ponsel yang berada di atas nakas, dan ponsel itu milik Pak Arik. Penasaran, kuintip karena ingin tahu nada apa itu. Sepertinya bukan panggilan masuk, tapi nada pesan, karena ada gelembung pesan tampil di depan layar ponsel. 

Dari Alisa.

Tidak ada romantisnya, masa' nama kontak untuk istrinya hanya nama saja, bukan ditulis istri atau nama kesayangan seperti pasangan suami-istri lainnya.

[Rik, malam ini kalian harus melakukannya, ingat perjanjian kita.]

Aku tercengang membaca isi pesannya. Keningku sampai mengkerut saat membacanya.

Apa maksud dari pesan Alisa? Perjanjian apa yang ia buat dengan suaminya sendiri? Apa ada hubungannya denganku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibayar Satu Miliar   94

    Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah

  • Dibayar Satu Miliar   93

    POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d

  • Dibayar Satu Miliar   91

    POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint

  • Dibayar Satu Miliar   90

    "Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,

  • Dibayar Satu Miliar   89

    POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka

  • Dibayar Satu Miliar   88

    Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status