Ditinggal Berdua
"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.
Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?
Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa.
"Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.
Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis meyakinkannya kembali kalau kakaknya ini baik-baik saja.
"Varel harap begitu." Bola matanya yang hitam legam menatapku sekilas, lalu menunduk menatap kebawah.
"Minta alamat rumahnya. Kalau ada yang penting, Varel bisa menemui Mbak segera."
Alamatnya? Aku sendiri tidak tahu pasti dimana alamat rumah itu berada. Aku tidak mengenal daerah tersebut dengan baik.
"Kamu jangan khawatir, Rel. Orangnya Kak Alisa memantau kamu dan Ibu. Mereka selalu memberitahukan Mbak, tentang keadaan kalian. Kalau pun ada yang penting, kamu hubungi saja nomor Mbak," jawabku mengelak.
"Varel sudah sering menghubungi Mbak, tapi sayangnya nggak pernah diangkat. Mbak juga nggak pernah menghubungi Varel, apa Mbak kehabisan pulsa?" tanyanya tersenyum getir. Aku tahu itu sindiran.
Tentu saja teleponnya tidak diangkat, ponselku kan dengan Alisa, tapi tidak mungkin kukatakan seperti itu.
"Mana? Biar Varel isi." Ia menadahkan tangannya ke arahku yang diam membeku belum menjawab pertanyaannya.
"Maaf, Mbak memang sengaja nggak angkat, takut kangen." Kuraih tangannya yang masih mengambang di udara dan menggenggamnya erat. Lagi-lagi Varel membuang napas kasar.
"Malam ini Mbak tinggal di sini?"
Aku menganggukkan kepala dengan melengkungkan sudut bibir ke atas.
Varel berdiri. Genggaman tangan kami terurai. "Semoga Mbak bahagia. Kalau mereka jahatin Mbak, bilang Varel. Mati pun akan Varel jabani." Aku menggeleng membantah dugaannya, tapi air mata malah ingin mendesak keluar dari kedua sudut mata.
"Varel tahu mereka bukan orang sembarangan. Entahlah, apa yang semua Mbak katakan itu benar atau bohong, yang jelas, Varel sangat mencemaskan Mbak. Varel bukan anak kecil lagi, Mbak, yang bisa dibohongi." Aku yang berdiri menghadapnya, terduduk kembali ke tepian ranjang.
"Mbak nggak perlu mengirimkan Varel uang lagi, Varel akan kerja," lanjutnya membuatku menarik tangannya.
"Please Rel. Kamu nggak boleh kerja. Kamu fokus sekolah saja dan jaga Ibu. Kalau kamu nggak nurutin perintah Mbak, maka Mbak akan marah dan nggak mau lagi ketemu kamu."
"Mana mungkin Varel bisa menggunakan uang itu kalau Mbak di sini menderita?"
"Nggak, Mbak bahagia. Pak Arik orangnya baik. Begitupun Kak Alisa. Nanti setiap seminggu sekali Mbak akan hubungi kamu biar kamu yakin kalau Mbak baik-baik saja."
"Mbak beneran bahagia menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain? Mbak bukan orang seperti itu." Varel masih mencercaku.
"Yang jemput kamu kesini itu anak buahnya Kak Alisa. Dia itu istrinya Pak Arik. Dia yang meminta Mbak, jadi madunya, bukan Pak Arik atau Mbak yang nawarin diri Rel, percaya sama Mbak."
"Dengan cara memaksa begitu?"
"Itu karena kamu melawan," balasku menyalahkannya.
Varel akhirnya diam.
"Bagaimana keadaan Ibu? Apa beliau nanyain Mbak? Ibu baik-baik saja kan?" Kuganti topik setelah Varel berhenti mencercaku.
Varel mengangguk mengiyakan. "Ibu sudah sadar, tapi masih dirawat untuk melihat perkembangan kesehatannya. Varel bilang sesuai dengan apa yang Mbak pinta. Mbak kerja di luar kota, dan Ibu percaya. Tapi …."
"Tapi apa?" tanyaku tak sabar.
Hening sesaat seperti ada yang dipikirkannya.
"Tidak apa. Janji ya Mbak, kalau ada apa-apa, tolong hubungi Varel. Cuma Mbak Luna, satu-satunya saudara yang Varel punya sekarang. Jangan menutupi apapun lagi dari Varel."
Aku mengangguk dan memeluknya. Air mata luruh juga keluar setelah kutahan kuat sedari tadi. Aku mengucapkan kata maaf berulang kali di dalam hati untuknya.
***
Aku berdiam diri di kamar setelah Varel dan Alisa pulang. Aku juga sempat melihat bagaimana Pak Arik dan istrinya saling berpamitan. Dapat kulihat cinta itu di mata Pak Arik saat ia memeluk istrinya. Entah apa yang diucapkannya, yang jelas Alisa meneteskan air mata di pundak lelaki tersebut.
Derit pintu kamar yang dibuka, terdengar olehku yang duduk di tepi ranjang. Aku memalingkan wajah ke sisi dinding mengetahui kedatangan seseorang. Aku yakin itu Pak Arik. Siapa lagi yang berada di kamar hotel ini setelah aku, kalau bukan dia.
"Mau sampai kapan pakaian itu kamu kenakan?" Aku mendongak ke arahnya, menatap sekilas lelaki yang sedang membuka pakaian atasnya. Iya, pakaian pengantin ini masih melekat di badanku.
"Di lemari ujung sana ada pakaian yang bisa kamu kenakan." Sorot mata tajamnya mengarah ke dua lemari yang berada di dekat sudut kamar. "Alisa bilang ia sudah membawakan pakaianmu," sambungnya kemudian.
Syukurlah ternyata ada pakaian ganti yang bisa kugunakan. Aku sampai lupa bertanya dimana mereka menyimpan pakaianku sebelum berganti kebaya pengantin ini, karena di kamar mandi tidak kutemukan.
Aku hanya menoleh sebentar lalu menatap ke sisi jendela kaca, mengamati lalu lintas kendaraan dari ketinggian kamar hotel ini.
"Mau ke kamar mandi?" Dia bertanya lagi.
Aku kembali menatapnya, tapi secepatnya berpaling karena dia sudah tidak mengenakan pakaian atas.
"Aku mau ke kamar mandi, biasanya lama. Kalau kamu mau, duluan saja." Lagi, suara bariton itu berucap kembali.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, bapak saja duluan," tolakku tanpa berani menatapnya. Setelah itu tidak terdengar balasan sahutan darinya.
Kudengar suara pintu dibuka dan ditutup setelahnya. Pasti Pak Arik yang masuk kamar mandi. Ada sedikit kelegaan melihatnya menghilang dari pandangan.
Kuedarkan pandangan ke segala sisi kamar. Aku bingung harus bersikap bagaimana setelah dia keluar dari kamar mandi. Apakah kami harus melakukan "hubungan itu" malam ini agar secepatnya pernikahan ini usai dan pekerjaanku selesai?
Kuputuskan berganti pakaian dulu, mumpung lelaki tersebut sedang di kamar mandi.
Bergegas aku menuju ke lemari pakaian. Keningku mengernyit setelah melihat isinya. Sampai kepalaku menunduk ke bawah mencari sesuatu yang lain. Di dalam sana hanya ada lima pakaian yang tergantung di hanger, dan aku tidak mungkin mengenakan salah satunya. Kucoba membuka lemari satunya yang bersisian dengan lemari yang baru saja kubuka. Isinya pakaian laki-laki semua. Itu pasti milik Pak Arik. Aku mendesah dan menutup kembali dengan gontai.
"Apa yang kamu cari di sana?"
"Hah!" Aku sampai terpekik sendiri.
Pak Arik? Aku berbalik menghadapnya. Ia berdiri di depan kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit ke pinggang.
"A--aku," jawabku tergagap. Bingung bagaimana menjelaskannya. Lagipula kenapa ia keluar secepat ini, bukankah katanya akan lama di dalam sana?
"Pakaianmu di sebelah sana. Yang dihadapanmu itu isinya pakaianku." Ia menghampiri.
"Itu, lemarimu. Minggir! Aku mau ambil sesuatu," titahnya membuatku menggeser badan sedikit ke samping, tepat berdiri di lemari sebelumnya.
"Heh! Kenapa masih berdiri saja? Kamu bisa ambil pakaianmu dan lantas--"
Ia yang membuka lemari di depanku terpaku melihat isi dalamnya. Menatapku setelahnya, lalu kembali menoleh ke dalam lemari pakaian tersebut. Mimik wajahnya mirip seperti raut wajahku diawal membuka lemari tersebut. Kaget.
Ditinggal Pergi"Nggak usah dipake, aku lagi nggak mood." Lemari pakaianku ditutupnya. Pak Arik menggaruk kepalanya sembari menggeser tubuhnya ke depan lemarinya. Membuka kembali pintu lemari tersebut, dan berdiri di depannya tanpa pergerakan apapun.Nggak mood, apa maksudnya? Lagian Om songong ini cari apaan? Lama amat. Didorong rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mengintip sedikit."Kamu beli saja baju yang lain, jangan model gitu. Lagi pula malam ini udaranya panas, mungkin suhu AC-nya bakal kunaikkan," ucapnya, sedikit terkaget melihat kepalaku meneleng ke arahnya. Pintu lemari ditutupnya dengan cepat."Ngapain?" tanyanya sewot saat aku ketahuan ingin mengintip.Aku menggeleng dengan memaksakan senyum.Matanya mendel
Pasangan yang AnehKrek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakuk
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
"Bersiaplah Lun, kita akan pergi." Alisa mengambil ponselnya dan ingin beranjak dari ruangan ini, tapi kucegat."Kenapa Kak Alisa melakukan itu?" tanyaku mencengkram lengannya."Itu apa?" jawabnya menyorot tajam ke tanganku.Segera kulepaskan cengkeramanku."Tentang semalam.""Ada apa dengan semalam?" Alisa kembali duduk. Terkesan kasar saat bertanya, tidak selembut biasanya. Mimik wajahnya nampak jelas kalau dia sedang marah padaku. Pasti karena perlakuan suaminya barusan. Kenapa aku yang jadi imbasnya?"Aku yakin Kak Alisa paham maksudku dengan semalam. Untuk apa Kakak melakukan hal itu kalau akhirnya Kak Alisa cemburu." "Cemburu?" Alisa tersenyum kecut. Dia menatapku dengan mata galaknya. "Kalau tidak begitu, apa malam
"Sudah lama tidak melihatmu di cafe. Aku rindu."Astaga, apa yang dikatakannya? Aku sekilas menatap ke arah Alisa yang membalasku dengan tatapan penuh tanya, lalu kutundukkan wajah yang terasa terbakar dengan jemari yang sedingin es. Aku malu, gugup, semua jadi satu. Semoga Alisa tidak berpikir macam-macam dengan apa yang barusan dikatakan oleh Axel.Lelaki yang masih berdiri di depanku ini malah tersenyum semringah tanpa beban setelah mengatakan hal tersebut. Menyebalkan.***Alisa membawa kami ke ruangannya. Aku tahu dia ingin menginterogasi kami. Aku terpaksa duduk di sebelah Axel yang berhadapan dengan Alisa."Ini, minumlah. Jangan terlalu sering menunduk, itu menyulitkanku untuk melihat wajah cantikmu."Astaga! Apa lagi ini? Tanpa malu ia menggodaku di hadapan A
"Arik itu suamiku, Lun. Wajahnya tidak jauh beda dengan Axel. Nanti kukenalkan padanya." Alisa menimpali."Oh, i--iya," jawabku seraya memijit pelipis mata, terasa pusing mengetahui mereka di lingkaran yang sama.kakak-adik."Xel, jauhi Luna. Dia temanku.""Kok gitu, Kak. Aku serius Kak, dengannya. Seharusnya didukung. Aku hampir stres mencari keberadaannya saat mengetahui dia berhenti bekerja di cafe. Aku seperti kehilangan separuh napasku."Aku masih menundukkan wajah ke bawah. Bukan karena kaget mendengar pernyataan Axel, tapi karena sudah keseringan mendengarnya bicara gombal dan selebay itu. Aku tahu lelaki di sebelahku ini tidak mengindahkan sama sekali pandangannya dariku. Dia selalu agresif. Bahkan dulu pernah bilang ingin menemui ibuku dan datang melamar ke rumah. Untunglah ha