Share

7

Ditinggal Berdua

"Jadi soal dapat kerjaan di luar kota itu semua bohong?" Varel memulai pertanyaan setelah kami diberi Izin Alisa untuk bicara berdua sebelum ia pulang.

Aku mengangguk tidak berani menatapnya. Pandangan kuarahkan ke cermin yang memantulkan bayanganku yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tidak menyangka bisa secantik ini, tapi sayang raut wajahku menampakkan kesedihan di sana. Apa Varel juga melihatnya begitu?

Dapat kudengar hembusan napas kasar Varel melihat responku. Ia pasti kecewa.

"Selama ini Mbak tinggal dimana? Boleh Varel tahu? Apa di hotel ini?" Kembali ia bertanya menyelidik.

Aku menggelengkan kepala. "Bukan, tapi di sebuah rumah yang besar, Rel. Kamu tenang saja. Mbak di sana dilayani dengan sangat baik. Mereka baik dan ramah," jawabku tersenyum tipis meyakinkannya kembali kalau kakaknya ini baik-baik saja.

"Varel harap begitu." Bola matanya yang hitam legam menatapku sekilas, lalu menunduk menatap kebawah.

"Minta alamat rumahnya. Kalau ada yang penting, Varel bisa menemui Mbak segera."

Alamatnya? Aku sendiri tidak tahu pasti dimana alamat rumah itu berada. Aku tidak mengenal daerah tersebut dengan baik.

"Kamu jangan khawatir, Rel. Orangnya Kak Alisa memantau kamu dan Ibu. Mereka selalu memberitahukan Mbak, tentang keadaan kalian. Kalau pun ada yang penting, kamu hubungi saja nomor Mbak," jawabku mengelak.

"Varel sudah sering menghubungi Mbak, tapi sayangnya nggak pernah diangkat. Mbak juga nggak pernah menghubungi Varel, apa Mbak kehabisan pulsa?" tanyanya tersenyum getir. Aku tahu itu sindiran. 

 Tentu saja teleponnya tidak diangkat, ponselku kan dengan Alisa, tapi tidak mungkin kukatakan seperti itu.

"Mana? Biar Varel isi." Ia menadahkan tangannya ke arahku yang diam membeku belum menjawab pertanyaannya.

"Maaf, Mbak memang sengaja nggak angkat, takut kangen." Kuraih tangannya yang masih mengambang di udara dan menggenggamnya erat. Lagi-lagi Varel membuang napas kasar.

"Malam ini Mbak tinggal di sini?"

Aku menganggukkan kepala dengan melengkungkan sudut bibir ke atas.

Varel berdiri. Genggaman tangan kami terurai. "Semoga Mbak bahagia. Kalau mereka jahatin Mbak, bilang Varel. Mati pun akan Varel jabani." Aku menggeleng membantah dugaannya, tapi air mata malah ingin mendesak keluar dari kedua sudut mata. 

"Varel tahu mereka bukan orang sembarangan. Entahlah, apa yang semua Mbak katakan itu benar atau bohong, yang jelas, Varel sangat mencemaskan Mbak. Varel bukan anak kecil lagi, Mbak, yang bisa dibohongi." Aku yang berdiri menghadapnya, terduduk kembali ke tepian ranjang.

"Mbak nggak perlu mengirimkan Varel uang lagi, Varel akan kerja," lanjutnya membuatku menarik tangannya.

"Please Rel. Kamu nggak boleh kerja. Kamu fokus sekolah saja dan jaga Ibu. Kalau kamu nggak nurutin perintah Mbak, maka Mbak akan marah dan nggak mau lagi ketemu kamu." 

"Mana mungkin Varel bisa menggunakan uang itu kalau Mbak di sini menderita?"

"Nggak, Mbak bahagia. Pak Arik orangnya baik. Begitupun Kak Alisa. Nanti setiap seminggu sekali Mbak akan hubungi kamu biar kamu yakin kalau Mbak baik-baik saja."

"Mbak beneran bahagia menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain? Mbak bukan orang seperti itu." Varel masih mencercaku.

"Yang jemput kamu kesini itu anak buahnya Kak Alisa. Dia itu istrinya Pak Arik. Dia yang meminta Mbak, jadi madunya, bukan Pak Arik atau Mbak yang nawarin diri Rel, percaya sama Mbak."

"Dengan cara memaksa begitu?"

"Itu karena kamu melawan," balasku menyalahkannya.

Varel akhirnya diam. 

"Bagaimana keadaan Ibu? Apa beliau nanyain Mbak? Ibu baik-baik saja kan?" Kuganti topik setelah Varel berhenti mencercaku.

Varel mengangguk mengiyakan. "Ibu sudah sadar, tapi masih dirawat untuk melihat perkembangan kesehatannya. Varel bilang sesuai dengan apa yang Mbak pinta. Mbak kerja di luar kota, dan Ibu percaya. Tapi …."

"Tapi apa?" tanyaku tak sabar.

Hening sesaat seperti ada yang dipikirkannya.

"Tidak apa. Janji ya Mbak, kalau ada apa-apa, tolong hubungi Varel. Cuma Mbak Luna, satu-satunya saudara yang Varel punya sekarang. Jangan menutupi apapun lagi dari Varel."

Aku mengangguk dan memeluknya. Air mata luruh juga keluar setelah kutahan kuat sedari tadi. Aku mengucapkan kata maaf berulang kali di dalam hati untuknya.

***

Aku berdiam diri di kamar setelah Varel dan Alisa pulang. Aku juga sempat melihat bagaimana Pak Arik dan istrinya saling berpamitan. Dapat kulihat cinta itu di mata Pak Arik saat ia memeluk istrinya. Entah apa yang diucapkannya, yang jelas Alisa meneteskan air mata di pundak lelaki tersebut.

Derit pintu kamar yang dibuka, terdengar olehku yang duduk di tepi ranjang. Aku memalingkan wajah ke sisi dinding mengetahui kedatangan seseorang. Aku yakin itu Pak Arik. Siapa lagi yang berada di kamar hotel ini setelah aku, kalau bukan dia.

"Mau sampai kapan pakaian itu kamu kenakan?" Aku mendongak ke arahnya, menatap sekilas lelaki yang sedang membuka pakaian atasnya. Iya, pakaian pengantin ini masih melekat di badanku.

"Di lemari ujung sana ada pakaian yang bisa kamu kenakan." Sorot mata tajamnya mengarah ke dua lemari yang berada di dekat sudut kamar. "Alisa bilang ia sudah membawakan pakaianmu," sambungnya kemudian.

Syukurlah ternyata ada pakaian ganti yang bisa kugunakan. Aku sampai lupa bertanya dimana mereka menyimpan pakaianku sebelum berganti kebaya pengantin ini, karena di kamar mandi tidak kutemukan.

Aku hanya menoleh sebentar lalu menatap ke sisi jendela kaca, mengamati lalu lintas kendaraan dari ketinggian kamar hotel ini. 

"Mau ke kamar mandi?" Dia bertanya lagi.

Aku kembali menatapnya, tapi secepatnya berpaling karena dia sudah tidak mengenakan pakaian atas.

"Aku mau ke kamar mandi, biasanya lama. Kalau kamu mau, duluan saja." Lagi, suara bariton itu berucap kembali.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, bapak saja duluan," tolakku tanpa berani menatapnya. Setelah itu tidak terdengar balasan sahutan darinya.

Kudengar suara pintu dibuka dan ditutup setelahnya. Pasti Pak Arik yang masuk kamar mandi. Ada sedikit kelegaan melihatnya menghilang dari pandangan.

Kuedarkan pandangan ke segala sisi kamar. Aku bingung harus bersikap bagaimana setelah dia keluar dari kamar mandi. Apakah kami harus melakukan "hubungan itu" malam ini agar secepatnya pernikahan ini usai dan pekerjaanku selesai?

Kuputuskan berganti pakaian dulu, mumpung lelaki tersebut sedang di kamar mandi. 

Bergegas aku menuju ke lemari pakaian. Keningku mengernyit setelah melihat isinya. Sampai kepalaku menunduk ke bawah mencari sesuatu yang lain. Di dalam sana hanya ada lima pakaian yang tergantung di hanger, dan aku tidak mungkin mengenakan salah satunya. Kucoba membuka lemari satunya yang bersisian dengan lemari yang baru saja kubuka. Isinya pakaian laki-laki semua. Itu pasti milik Pak Arik. Aku mendesah dan menutup kembali dengan gontai.

"Apa yang kamu cari di sana?" 

"Hah!" Aku sampai terpekik sendiri.

 Pak Arik? Aku berbalik menghadapnya. Ia berdiri di depan kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit ke pinggang.

"A--aku," jawabku tergagap. Bingung bagaimana menjelaskannya. Lagipula kenapa ia keluar secepat ini, bukankah katanya akan lama di dalam sana?

"Pakaianmu di sebelah sana. Yang dihadapanmu itu isinya pakaianku." Ia menghampiri. 

"Itu, lemarimu. Minggir! Aku mau ambil sesuatu," titahnya membuatku menggeser badan sedikit ke samping, tepat berdiri di lemari sebelumnya.

"Heh! Kenapa masih berdiri saja? Kamu bisa ambil pakaianmu dan lantas--"

Ia yang membuka lemari di depanku terpaku melihat isi dalamnya. Menatapku setelahnya, lalu kembali menoleh ke dalam lemari pakaian tersebut. Mimik wajahnya mirip seperti raut wajahku diawal membuka lemari tersebut. Kaget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status