Pasangan yang Aneh
Krek! Suara knop pintu dibuka, bergegas kupejamkan mata. Aku berpura tidur dengan hati berdegup kencang. Gugup.
Saking gugupnya, suara derap langkah kaki yang kuyakini milik Pak Arik terdengar keras di telingaku. Suara itu mendekat.
Selimut sudah kunaikkan sebatas leher. Mengamankan tubuhku sendiri dari pandangan liar Pak Arik sebelum pintu itu berhasil dibukanya.
Indra pendengaranku menangkap suara layar ponsel yang disentuh. Aku yakin ponsel yang sempat kuintip isinya itu telah berpindah ke tangannya.
Pasti dia sedang membaca pesan dari istrinya--Alisa. Aku masih penasaran sekaligus takut dengan isi pesan tersebut. Kata 'kalian' itu maksudnya apa? Apakah aku dan dia atau dia dan orang lain? Perjanjian apa yang sedang mereka lakukan?
Deg. Dadaku berdegup kencang tatkala merasakan sentuhan tangan kekar itu di keningku. Ia mengusap lembut kepalaku dua kali, lalu beranjak pergi karena kasur busa yang kutiduri terasa bergoyang saat ia beranjak bangun.
"Halo." Suara Pak Arik menyapa seseorang. Siapa yang sedang ia hubungi? Aku mencoba membuka lebar pendengaran dengan mata tertutup.
"Iya, aku sudah tidur dengannya."
Deg. Apa maksudnya itu tidur denganku? Kenapa Pak Arik berbohong? Bukankah dia baru saja masuk ke kamar ini, kapan tidurnya? Eh, apa maksudnya tidur yang itu?
"Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau sampai setahun, ia tidak hamil juga?"
Apa sedang membicarakan ku?
"Itu rahasia Tuhan, Lis. Mau aku tidur dengan siapapun kalau Dia tidak memberi juga, kita bisa apa, kita tidak bisa mengubahnya," lanjutnya lagi. Tampak kegusaran dari nada suaranya.
Ternyata itu Alisa. Ia masih memantau kami. Memastikan aku dan Pak Arik telah melakukan ritual malam pertama seperti yang diharapkannya. Mungkin pesan tadi menanyakan hal tersebut. Aku heran bagaimana mungkin seorang istri bisa setegar itu memaksa suaminya bersama wanita lain untuk mendapatkan keturunan, apakah tidak tebersit rasa cemburu di hatinya?
"Tidurlah Alisa, sudah malam. Kesehatanmu sama pentingnya untukku."
Aku masih menelinga. Yang terdengar olehku sekarang adalah suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali. Suara sahutan dari Pak Arik pun tidak terdengar lagi sama sekali. Sepertinya Pak Arik keluar dari kamar.
Sekarang banyak teka-teki bermunculan tentang suami-istri tersebut. Istrinya melakukan perjanjian denganku. Namun mereka berdua juga melakukan sebuah kesepakatan bersama, apa itu?
Lama kutunggu, sosok yang sempat keluar kamar itu tidak menampakkan batang hidungnya di kamar ini. Aku sampai menguap beberapa kali menahan kantuk yang mendera, yang memaksaku untuk memejamkan mata.
***
"Kosong? Dia tidak tidur di sini?" gumamku terkejut, bertanya sendiri sembari merenggangkan otot kedua tangan, saat melihat tempat tidur ukuran besar ini hanya dihuni olehku. Aku ketiduran, yang berbeda hanyalah dua bantal pembatas yang sudah kususun di tengah malah berubah posisi. Kedua bantal tersebut bertumpuk di ujung sebelah kanan tempat tidur.
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Tidak ada. Tidak terlihat sosok lelaki tersebut. Lalu, tidur dimanakah dia?
Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul lima subuh. Aku beringsut turun dari tempat tidur dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Aku berencana akan mencari keberadaannya setelah sholat subuh.
"Astagfirullah," ucapku beristighfar. Aku tersentak kaget setelah keluar dari kamar mandi melihat Pak Arik terbaring di atas tempat tidur. Kukucek mataku untuk memastikan kalau penglihatanku tidak salah.
"Bukankah tadi tidak ada? Kapan masuknya?" gumamku bicara sendiri.
Kuhampiri sosok yang sedang tertidur pulas di kasur yang sama dengan yang kutiduri barusan.
Kusentuh kakinya yang terbalut selimut dengan sepelan mungkin jangan sampai ia terbangun.
Benar, ini Pak Arik. Aku menggelengkan kepala rasa tidak percaya, tapi itu memang dia.
"Doa apa yang kamu panjatkan, boleh tahu?"
"Hah?"
Pak Arik? Aku menoleh ke arahnya yang sedang menatapku masih dengan mengenakan mukena. Jangan-jangan lelaki ini tidak tidur, tapi memperhatikanku sedari tadi.
"Rahasia," jawabku tidak ingin memberitahu. Bersikap cuek, mengabaikannya dengan membereskan alat sholat dan meletakkannya ke sofa di samping tempat tidur.
"Apakah kamu yakin doamu akan dikabulkan? Aku yang sudah lama tidak sholat, selalu dipermudahkannya dalam berurusan," timpalnya lagi membuat hatiku tergelitik heran.
"Maaf, mungkin karena itu kamu belum diberinya anak," balasku menyindirnya.
Pak Arik tersenyum getir. "Bukan, itu karena aku tidak pernah memintanya."
Sombong sekali orang ini? Aku yakin karena itulah ia tidak diberikan amanah untuk dititipkan seorang anak. Merasa hebat karena selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Padahal dia tidak tahu mungkin saja Tuhan sedang menguji imannya.
"Kalau Alisa nanti tanya tentang malam kita, bilang saja kita sudah melakukannya." Langkahku terhenti mendengar ucapannya.
"Maksudnya?" Aku yang sudah di depan pintu kamar ingin berniat keluar, berbalik menghadapnya.
"Aku yakin kamu paham maksudku. Ikuti saja perintahku. Aku akan membebaskanmu dari pernikahan kontrak ini."
"Bapak serius?" tanyaku mendekat.
"Berhenti memanggilku bapak, aku bukan ayahmu," sewotnya menatapku tajam.
"Lalu, apa?"
"Lagipula aku tidak setua itu. Panggil nama seperti Alisa memanggilku, atau apalah, terserah. Aku hanya tidak ingin orang mengira kita itu ayah dan anak."
Aku mengangguk saja, mengiyakan.
"Hm … Mas yakin akan membatalkan perjanjianku dengan Alisa?"
"Kamu memanggilku Mas? Alisa saja tidak pernah memanggilku begitu?" Dari nada suaranya ia seperti tidak menyukai aku memanggilnya begitu.
Aku mencebik. "Lantas aku harus panggil apa? Arik? Itu tidak sopan. Manggil bapak juga tidak boleh. Mau kupanggil Abang? Eh, nggak cocok buat seorang direktur. Lagipula panggilan mas itu lebih baik daripada kupanggil Om so--"
"Om apa?" selidiknya membuatku takut.
"Eh, anu … om. Iya om-om maksudnya."
Pak Arik berdecak. "Ingat, ikuti saja apa perintahku, jangan membantah. Itupun kalau kamu memang ingin terbebas dari perjanjian ini. Kecuali kamu memang berniat jadi istri keduaku, terserah. Aku hanya bilang kalau aku tidak bisa mencintaimu seperti aku mencintai istriku." Pak Arik bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Aku terpaku mendengar pernyataannya.
Jadi benar yang dikatakan Alisa kalau suaminya sangat mencintainya. Begitukah?
***
"Mas mau sarapan apa?" Aku berusaha bersikap ramah.
"Memangnya kamu mau ngapain?" tanyanya mengamatiku yang berdiri di hadapannya.
"Ehm … masak. Di kulkas ternyata ada telur, siapa tahu Mas mau makan--"
"Tidak perlu repot mengurusku. Sarapan sudah kupesan, sebentar lagi juga datang."
"Oh," tukasku singkat. Memaksa mengulas senyum untuk menyembunyikan kekecewaan. Entahlah, tetiba saja ingin bersikap baik layaknya seorang istri sungguhan. Namun ternyata tidak diharapkan.
Terdengar suara ketukan dari arah depan kamar. Aku dan Pak Arik serempak menoleh ke sana.
"Biar aku saja," cegatnya menghentikan langkahku pergi.
Aku memilih duduk di sofa, ditempatnya duduk barusan.
"Ini sarapan spesial untuk sepasang pengantin baru." Suara itu? Aku menerka siapa yang datang.
Alisa? Ia datang menggandeng mesra tangan suaminya ditemani satu orang berpakaian pegawai hotel yang sedang mendorong meja troli yang kuyakini berisi makanan.
"Kak Alisa, pagi," sapaku ramah saat ia berdiri di hadapan. Ia menatapku lama seperti sedang memindai penampilanku.
"Pagi," jawabnya merangsek memelukku setelahnya.
"Bagaimana tidurmu, nyenyak?"
Aku mengangguk pasti seraya mengulas senyum.
"Ya, kelihatannya kamu memang tidur nyenyak. Berbeda dengan suamiku yang terlihat kurang tidur. Aneh, seharusnya kalian itu berpenampilan yang sama. Kan malam tadi kalian …?" Ia menjeda ucapannya dengan senyum menyeringai menatapku. Aku malah menatap ke arah Pak Arik bertanya lewat sorot mata harus menjawab apa. Aku bingung bagaimana menanggapi kecurigaan Alisa.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Pak Arik ke Alisa.
"Belum, karena inilah aku datang sepagi ini untuk sarapan bareng kalian. Banyanganku kalian masih tertidur nyenyak." Alisa tersenyum sembari menyiapkan piring untuk suaminya. Ia juga yang menata makanan sarapan kami di atas meja.
Lagi-lagi aku dan Pak Arik saling pandang.
"Lun, baju khusus yang kusiapkan di lemari, kamu kenakan kan malam tadi?"
"Baju?" Aku tergagap. Pasti lingerie itu maksudnya.
"Alisa, sebaiknya kita makan saja. Jangan membahas apapun di meja makan."
Teguran Pak Arik dibalasnya dengan anggukkan kepala.
"Sayang, tolong ambilkan satu gelas lagi. Gelasnya cuma ada dua," pinta Alisa ke Pak Arik.
"Kalau gitu, kita minum segelas berdua."
Alisa melirik ke arahku. Lalu tersenyum kembali.
"Tidak, itu tidak adil. Kita ada tiga orang, jadi biar adil bagaimana kalau minum segelas bertiga," balas Alisa dengan menatapku dan suaminya bergantian.
Apa?! Aku berdecak kaget.
Pak Arik mengembuskan napas kasar.
"Iya, aku ambilkan." Lelaki tanpa senyum itu terpaksa beranjak pergi ke arah dapur.
"Benar kamu sudah tidur dengan suamiku?" tanya Alisa setelah kepergian suaminya.
"Iya," jawabku, sesuai permintaan Pak Arik, aku berbohong.
"Berapa ronde?"
"A--apa?" Tak menyangka bakal ditanya soal hal tersebut.
"Hm …." Aku Kebingungan harus menjawab apa.
"Biasanya denganku, tiga. Kamu lihat ada tanda lahir di paha dekat selak*ngannya?
Astaga, pertanyaan apa lagi ini? Mana kutahu? Aku yakin ini pertanyaan menjebak, lalu aku harus jawab apa?
"Ehm … tanda itu--""Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.***"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes kar
Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan.Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain."Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati."Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil."Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat se
Malam Panas"Pintunya dikunci dari luar," ucap Pak Arik, tampak panik memberitahu.Dikunci? Kenapa? Dan siapa yang menguncinya? Yang membuatku heran, ada apa dengan tubuhku, aku kesulitan mengontrolnya."Pak, ada apa dengan saya, rasanya …," ucapku terbata, terdengar mendesah dengan mencengkram kuat sprei kasur.Tak ada sahutan dari Pak Arik. Ia terpaku di depan pintu. Ada yang aneh dengan dirinya. Lelaki yang terjebak bersamaku di kamar ini, terlihat mengepalkan dengan kuat kedua tangannya ke dinding. Apakah dia sedang menahan marah karena pintu kamar ini terkunci?Aku yang sudah tidak tahan lagi, mendatanginya. Baru saja tangan ini menyentuh lengan kekarnya, tetiba ….Pak Arik menyergapku dengan mengunci badanku dalam rengkuhannya. Ia membungkam mulutku dengan bibirnya hingg
"Bersiaplah Lun, kita akan pergi." Alisa mengambil ponselnya dan ingin beranjak dari ruangan ini, tapi kucegat."Kenapa Kak Alisa melakukan itu?" tanyaku mencengkram lengannya."Itu apa?" jawabnya menyorot tajam ke tanganku.Segera kulepaskan cengkeramanku."Tentang semalam.""Ada apa dengan semalam?" Alisa kembali duduk. Terkesan kasar saat bertanya, tidak selembut biasanya. Mimik wajahnya nampak jelas kalau dia sedang marah padaku. Pasti karena perlakuan suaminya barusan. Kenapa aku yang jadi imbasnya?"Aku yakin Kak Alisa paham maksudku dengan semalam. Untuk apa Kakak melakukan hal itu kalau akhirnya Kak Alisa cemburu." "Cemburu?" Alisa tersenyum kecut. Dia menatapku dengan mata galaknya. "Kalau tidak begitu, apa malam
"Sudah lama tidak melihatmu di cafe. Aku rindu."Astaga, apa yang dikatakannya? Aku sekilas menatap ke arah Alisa yang membalasku dengan tatapan penuh tanya, lalu kutundukkan wajah yang terasa terbakar dengan jemari yang sedingin es. Aku malu, gugup, semua jadi satu. Semoga Alisa tidak berpikir macam-macam dengan apa yang barusan dikatakan oleh Axel.Lelaki yang masih berdiri di depanku ini malah tersenyum semringah tanpa beban setelah mengatakan hal tersebut. Menyebalkan.***Alisa membawa kami ke ruangannya. Aku tahu dia ingin menginterogasi kami. Aku terpaksa duduk di sebelah Axel yang berhadapan dengan Alisa."Ini, minumlah. Jangan terlalu sering menunduk, itu menyulitkanku untuk melihat wajah cantikmu."Astaga! Apa lagi ini? Tanpa malu ia menggodaku di hadapan A
"Arik itu suamiku, Lun. Wajahnya tidak jauh beda dengan Axel. Nanti kukenalkan padanya." Alisa menimpali."Oh, i--iya," jawabku seraya memijit pelipis mata, terasa pusing mengetahui mereka di lingkaran yang sama.kakak-adik."Xel, jauhi Luna. Dia temanku.""Kok gitu, Kak. Aku serius Kak, dengannya. Seharusnya didukung. Aku hampir stres mencari keberadaannya saat mengetahui dia berhenti bekerja di cafe. Aku seperti kehilangan separuh napasku."Aku masih menundukkan wajah ke bawah. Bukan karena kaget mendengar pernyataan Axel, tapi karena sudah keseringan mendengarnya bicara gombal dan selebay itu. Aku tahu lelaki di sebelahku ini tidak mengindahkan sama sekali pandangannya dariku. Dia selalu agresif. Bahkan dulu pernah bilang ingin menemui ibuku dan datang melamar ke rumah. Untunglah ha
Aku menatap langit-langit dengan degupan jantung yang bertalu. Suaranya terdengar sampai ke gendang telinga karena keheningan yang menyergap kami berdua. Aku sampai tak berani menoleh ke sebelah, ke arah laki-laki yang merupakan suamiku sendiri."Kenapa belum tidur? Ada yang kamu pikirkan?" Aku terkejut saat mendengarnya bertanya padaku. Apa ia memperhatikanku? Refleks kepala ini menoleh ke arahnya. Seketika kami saling tatap. Sepertinya wajah Pak Arik lebih dulu menghadap ke arahku. Ada debaran yang tidak bisa dijelaskan saat kedua netra saling bertemu. Semakin dalam aku menatapnya, semakin besar debaran itu kurasakan.Aku yang tidak sanggup berlama-lama menatapnya, memilih memalingkan wajah."Kak Alisa tidak menginap di sini, apa Bapak tidak tahu?" Dengan berani aku bertanya, karena hal itulah yang saat ini sedang mengganjal di benakku. Membuatku sulit memejamkan mata. Ke
Aku mendesah, menghela napas berat. "Bukankah aku istrimu yang sah juga secara agama? Setidaknya perlakukanku seperti itu, jangan meninggalkanku setelah kita melewati malam kita. Aku …." Kutundukkan wajah mencoba menutupi mata yang mulai berkaca-kaca."aku merasa seperti seorang p*l*c*r yang dihempaskan setelah usai diteguk madunya." Sekuat tenaga kata itu berhasil kuucapkan. Kugigit bibir menahan getir di hati.Pak Arik mendekat. Ia menunduk mensejajarkan tingginya dan mencondongkan tubuhnya ke arahku."Bukankah kamu yang memilih diperlakukan seperti itu? Aku hanya mengabulkan keinginanmu, membantumu secepatnya menyelesaikan pekerjaanmu, lalu kamu bisa pulang dengan membawa uang satu milyar tersebut."Deg. Mataku melebar mendengar penuturannya. Ada yang berdenyut nyeri tapi tidak berdarah. Sehina itukah ak