Arya melangkah ringan memasuki komplek parkiran gedung rektorat. Rudy baru saja mengirim pesan padanya terkait pengajuan beasiswa S2-nya. Rudy meminta Arya untuk memeriksa ulang pengajuannya dan melengkapi kekurangan dokumen paling lambat lusa.. "Selamat Siang, Pak Arya." Hasan tersenyum lebar begitu melihat yuniornya itu berjalan menuju gedung administrasi rektorat. "Siang, Pak Hasan." "Ada kabar beasiswanya?" "Belum tahu ini, Pak. Saya disuruh datang untuk mengecek kelengkapan dokumen dan melengkapi kekurangan dokumen, paling lambat lusa. " "Sepertinya tidak akan lama lagi prosesnya. Tinggal menunggu jawaban, sekitar tiga minggu dari pengajuan untuk seleksi dokumen, dan satu bulan lagi untuk seleksi beasiswa." "Iya." "Semoga lancar, Pak Arya. Saya doakan bisa segera berangkat ke universitas yang diinginkan." "Aamiin. Terima kasih doanya, Pak." Arya bergegas menemui Rudy. Ia sendiri baru setengah jam yang lalu menjejakkan kaki di kampus. Angka di arjolinya menunjuk ke angka
"Jika kamu membuka amplop itu, berarti kamu setuju dan menerima perjodohan ini." Dermawan sangat serius dengan perkataannya.Arya terlihat sedikit meragu, tapi sejatinya pendiriannya sudah berubah sejak mengetahui Sari, istri tamu yang diundang papanya untuk makan malam bersama di rumah mereka adalah ibu dari Dinda, gadis yang hendak dilamarnya minggu depan. Tidak ada yang melihat senyum tipis penuh arti, yang terbit di kedua ujung bibir Arya.Tidak ada alasan bagi Arya untuk menolak perjodohan itu, karena gadis yang hendak dijodohkan dengannya adalah gadis pilihan hatinya, yang belum sempat ia ungkapkan kepada orang tuanya.Arya mengeluarkan selembar foto berukuran 4R, dan menatap wajah yang terpampang di sana. Arya dengan cepat memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop. Wajahnya terlihat datar dan tanpa ekspresi, menimbulkan rasa khawatir Dermawan dan Anggun."Arya?" panggil Anggun lembut. Ia sungguh berharap Arya akan menerima gadis itu sebagaimana dirinya.Arya tidak menjawab, m
Sari dan Broto baru tiba di rumah pukul sepuluh malam. Dinda sudah berpelukan erat dengan guling kesayangannya, sedangkan Dani masih berkutat dengan game di ponselnya.Begitu mendengar suara mesin mobil yang masuk ke garasi, Dani segera beranjak dari kasurnya. Ia ingin tahu seperti apa calon adik iparnya. Seorang pria muda tampan dan mapan, atau justru pria berumur empat puluh tahun dengan perut buncit dan kepala botak."Gimana, Ma?" Dani langsung mencegat Sari yang baru saja keluar dari mobil."Gimana apanya?""Ya itu. Calon adik ipar Dani. Saingan papa atau saingan Dani?"Sari mendelik. "Jangan jadi anak yang nggak sopan!""Loh? Nggak sopan gimana sih, Ma? Kan Dani cuma minta gambaran, saingan mudanya sama Dani atau saingaan tuanya sama papa. Gitu aja kok.""Menurut kamu yang kemarin ke rumah sakit itu muda atau tua?""Lah itu mah, nggak usah ditanya, Ma. Pasti udah ada fanbase-nya itu."Sari tersenyum senang. "Ya itu. Calon adik ipar kamu nggak jauh-jauh dari itu."Wajah Dani langsu
Cuti Arya sudah habis. Kini, ia kembali melangkah menuju ruangannya. Jam sembilan pagi. Suasana kampus sudah cukup ramai. Melewati beberapa kelompok mahasiswa yang sedang menunggu jadwal berikutnya, Arya sibuk membalas sapaan hangat para penggemar mudanya itu. Ada rasa senang sekaligus capek karena ia harus menebar senyum meski sekedar senyum simpul untuk membalas itu semua. Teriakan kecil terdengar setelah ia melewati mereka. Seperti mereka baru saja bertemu dengan idol kesayangan. "Pak Arya!" Seketika Arya menghentikan langkahnya. Ia langsung memutar tubuhnya ke arah kiri, menyunggingkan senyum ala kadarnya. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?" "Saya mau bertanya sesuatu apakah boleh?" tanya Mona sambil memainkan ujung rambutnya, maksud hati ingin terlihat imut dan menggemaskan di mata Arya. "Silakan." Arya melirik seklias arlojinya. "Apakah Bapak bersedia datang ke pernikahan kakak saya?" Arya terkejut. "Untuk apa? Saya tidak kenal dengan kakak kamu." "Iya. Maksud saya, sebagai
"Mitaaaa!" Dinda berteriak kencang di ponselnya ketika panggilan yang ia buat dijawab Mita. "Apaan sih teriak-teriak, Din?! Gua belum budek." Mita yang baru bangun tidur siang, menggeliatkan badannya. "Lu tu ye! Dapat berapa duit dari doi?" "Berapa duit gimana?" Mita belum paham. "Lu nerima sogokan doi kan terus lu berani-beraninya kasih alamat rumah gua ke dia." Dinda di puncak amarahnya. Ia tidak paham mengapa besti-nya sendiri tega mengkhianati dirinya. "Ooh itu." Begitu dirinya paham jika penyebab Dinda naik pitam karena alamat rumahnya dibagikan kepada Arya, Mita justru bersikap santai. "Ooh itu? Lu cuma ngomong 'Ooh, itu?" Dinda melotot tidak percaya. Lagi-lagi Dinda lupa jika Mita tidak ada di depannya saat ini, sehingga Mita tidak bisa melihat bagaimana seramnya wajah Dinda saat ini. "Eh, Din. Bukan tanpa maksud ya gua ngelakuin ini. Melihat lu berdua gua jadi gemes sendiri, tau nggak??Gemesssss banget! Alhasil, ketika Pak Arya manggil gua di kampus kemarin, dan minta
"Pak Arya kemana aja kemarin?" Mega mensejajarkan langkahnya begitu melihat pria idamannya turun dari taksi online, berwarna putih. Arya sedikit terkejut melihat kedatangan Mega yang tidak ia duga sama sekali. Untungnya, Arya sudah memperhitungkan semuanya "Kenapa naik taksi online, Pak? Kan Pak Arya bisa telpon saya, biar saya yang jemput Pak Arya," tawar Mega kini tanpa rasa sungkan. "Kemarin main ke rumah teman sampai lupa waktu. Tahu-tahu sudah malam. Mau balik kampus sudah capek. Jadi ya, saya tinggal di sini saja mobilnya," jawab Arya sambil melambaikan tangan lengkap dengan senyum manisnya ketika terdengar suara klakson dari mobil yang mengantarnya. Mega melirik ke arah mobil yang baru saja menurunkan Arya. Ia seperti pernah melihat mobil itu, dan senyum Arya bukanlah senyum yang biasa. Mega sangat tahu itu. Senyum yang sangat menawan yang hanya pernah ia lihat ketika Arya bersama seseorang. Mega menjadi tegang ketika ia ingat dengan seseorang yang ia maksud, sedangkan Ar
Dinda dan Mita, keduanya sama-sama menuju bagian administrasi kampus. Mita ke bagian wisuda sedangkan Dinda ke bagian pendidikan yang mengatur jadwal sidang. Ia ingin mencari kepastian tentang penyelenggaraan sidang skripsi yang dimajukan satu bulan lagi."Beneran dimajukan, Mbak?" tanya Dinda pada petugas administrasi."Iya, betul. Satu bulan lagi tapi tanggalnya belum pasti. Bisa jadi, kalau dihitung dari tanggal sekarang, jatuhnya tiga minggu lagi, malah nggak sampai satu bulan."Dinda benar-benar tidak menyangka dengan pengumuman hari ini. Penantiannya tidak lama lagi akan berujung. Ia akan bisa menyelesaikan kuliahnya yang hanya tinggal selangkah lagi. "Kalau timnya, apakah sudah keluar juga, Mbak?" "Hmm, sudah. Kemarin hasil rapat salah satunya itu, tapi mungkin baru akan ditempel di papan pengumuman dua minggu lagi.""Oh. Kok lama amat? Kenapa nggak sekarang aja?""Kan harus dilaporkan dulu ke dekan terus ke pusat.""Oh, begitu. Ya udah. Terima kasih informasinya, Mbak."Dinda
Dinda menelan ludahnya. Senjata makan tuan. Niat hatinya hanya untuk memancing dengan kalimat iseng, tapi dirinya justru dibuat salah tingkah sendiri dengan jawaban dari Arya. "Bagaimana jika saat saya jemput kamu besok, saya sekalian saja bertemu dengan papa kamu? Saya sepertinya sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi." "Tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk apa?" "Untuk melamar kamu." Tenggorokan Dinda tercekat. Ia merasa jika ada tulang ayam yang tiba-tiba menyangkut di tenggorokannya. "Pak. Jangan bercanda! Masih pagi. Nggak enak dilihat Pak Yono, kalau saya tertawa sendirian. Ntar saya dikira apa tertawa sendiri. " "Saya serius." Arya benar-benar serius dengan perkataannya. "Sidang skripis dimajukan bisa jadi salah satu pertanda jika kita memang harus bergerak cepat. Di samping itu, saya ingin ketika beasiswa saya diterima, kamu ada untuk membantu persiapan keberangkatan saya, sekaligus menemani saya di sana." "Sebentar-sebentar. Beasiswa bagaimana? Saya menemani k
Indra menghentikan mobilnya sesaat ketika seorang wanita cantik keluar dari mobil sedan berwarna putih. Mobil itu yang baru saja berhenti di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Ia tertegun sejenak. Ada rasa deg-deg-an yang perlahan merambat dalam hatinya. Hatinya mulai berdesir. Raut wajah wanita sangat mirip dengan sosok yang terus terbayang dalam ingatannya."Dinda? Itu beneran Dinda?" Indra mematikan mesinnya. Ia hendak keluar dari mobil. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, mengirim sinyal jika kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang."Iya. Sebentar lagi saya sampai. Persiapkan dulu buku tugasnya. Saya akan langsung ke kelas." Indra buru-buru kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas, membiarkan mobil hitamnya meninggalkan pelataran depan kampus fakultas ekonomi. Indra berharap dapat melupakan sejenak wanita yang begitu mirip dengan gadis yang beberapa tahun ini selalu muncul dalam pikirannya. Ia berjalan dengan langkah kelas menuju ruang bahasa. Kelas s
Pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Sudah hampir satu jam, Mita berada di kamar itu. Bukan tanpa alasan ia berlama-lama di sana. Kecurigaan Dinda beberapa hari lalu berhasil mengganggu pikirannya. Penolakannya terhadap pertanyaan Dinda justru mendatangkan keraguan dalam dirinya.Mita pagi hari tadi menyempatkan diri pergi ke apotek. Ia mulai merasa terganggu. Namun, akal sehatnya masih sama. Tidak mungkin kecurigaan Dinda itu benar. Demi menghilangkan rasa penasaran yang mulai menghinggapi hatinya, Mita membeli testpack. Itulah mengapa ia menolak ajakan Dinda untuk menemani sahabatnya itu ke kampus.Dan kini, Mita terpaku pada benda kecil di tangan kanannya. Kecepatan jantungnya mulai bertambah seiring dengan waktu. Kedua netranya menatap serius ke lapisan being yang berada di tengah. Tangannya diam tak bergerak sedikitpun.Ia menahan napas ketika semburat warna mulai tampak di sana. Perlahan tapi pasti, warna putih di bawah lapisan bening itu mulai berubah. Satu warna perlahan mu
"Apakah kamu memiliki rencana lain untuk mendekati istriku?" tanya Arya penuh selidiki. Wajahnya begitu mengerikan, membuat Denny kehilangan selera makannya."Mas!" tegur Dinda kesal. "Apa-apan, sih? Jangan lupa kalau dia sudah menyelamatkan saya, dari niat buruk Bu Mega waktu itu."Arya merasa tertampar dengan peringatan Dinda. Benar. Seharusnya dia tidak harus bersikap cemburu seperti sekarang ini. Seharusnya dia tidak lagi mempermasalahkan rasa Denny yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan."Maaf."Dinda menggelengkan kepalanya. Ia yakin, ada kejadian yang membuat mood Arya seburuk ini. Akan tetapi, dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu karena masih ada Denny bersama mereka."Tidak apa-apa, Pak Arya. Wajar, kok. Sikap waspada seorang pria yang sangat mencintai wanitanya. Saya bisa memaklumi. Jika saya berada di posisi itu, pasti saya akan melakukan hal yang sama." "Thanks."Mereka mulai menyantap menu yang mereka pesan. Kali ini, Arya dan Dinda tidak seperti biasa. Mereka men
"Ada Bu Arya?" ulang Susi dengan ekspresi bingung yang tidak dapat ia tutupi. Ia tidak memahami bisikan Rini barusan. "Bukannya dia jadi IRT ya?" Rini tidak menjawab melainkan sibuk menata ekspresi wajahnya. Susi mengikuti kemana arah Rini menghadap sekarang, lalu menjadi salah tingkah sendiri.Susi lantas menginjak kaki salah satu rekannya yang masih sibuk mengoceh, hingga obrolan seru itu berhenti tiba-tiba. "Se-Selamat Pagi, Bu Arya," sapa Rini dengan sangat ramah. Siapa yang tidak mengenal sosok Dinda? Mahasiswi pintar yang tertunda kelulusannya karena sikap tidak profesional sang pembimbing, yang tidak lain dan tidak bukan wanita yang baru saja meninggalkan gedung itu."Selamat Pagi." Wajah Dinda yang cantik menjadi semakin cantik karena senyum manisnya. Dinda sengaja datang ke kampus untuk mencari informasi program magister untuk Dani."Ada yang bisa kami bantu, Bu?""Saya sedang mencari informasi program magister manajemen."Keempat pasang telinga yang ada di balik meja infor
"Semua sama. Tidak ada perlakuan yang beda." Kembali Arya menegaskan perihal penundaan rekrutmen tenaga dosen di kampusnya.Indra menggigit sedikit bagian dalam bibirnya. Aura rektor muda di depannya sangat mendikte dirinya. Ia yang baru empat bulan diterima sebagai asisten dosen, harus berulang kali menelan salivanya. "Menjadi asisten dosen di kampus-?" Arya kembali mengangkat wajahnya dari lembaran curriculum vitae milik Indra."Baru lima bulan, Pak.""Dapat informasi darimana?" "Dari teman, Pak. Pak Subagyo adalah teman sharing saya di lembaga pendidikan Bahasa Inggris EFC. Karena beliau sering keluar kota mengikuti training, sehingga beliau membutuhkan seorang asisten dosen. Dan kebetulan, mata kuliah yang diampu Pak Subagyo adalah jurusan saya, saya menyambut baik tawaran itu."Arya mengangguk paham. Mungkin ia perlu membicarakan hal ini dengan Subagyo suatu hari nanti.Kening Arya mendadak berkerut sesaat. Ada hal menarik yang ia temukan. Namun, ia segera menepis pikiran burukn
"Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kasi
Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d
"Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro
"Gimana kalau kita jodohin dengan Bu Mega?"Wajah Dinda langsung berubah kaku dan dingin. Sama sekali tidak enak dipandang dan membuat suasana di ruang keluarga kediaman Broto menjadi tegang."Lu kalau becanda jangan kelewatan ya, Mit! Denger nama dia aja gua emosi, gimana lagi dengan keluarga gua?"Mita menggigit bibir bawahnya. Mulutnya sangat lancang mengutarakan ide gila yang tiba-tiba saja melintas di otaknya, hanya karena geram dengan ancaman Dani."Sorry, Din. Gua nggak ada maksud buat -" Mita menjadi salah tingkah."Lu udah kenal gua lama'kan? Harusnya udah sangat tahu dong, kalau gua masih nyimpen dendam ma dia dan sakit hati gua ke itu orang belum kelar?"Mita mengangguk berulang. Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal, jujur dia tidak ada niat untuk membuat Dinda naik pitam lagi karena teringat sosok musuh bebuyutannya."Kalaupun dijodohin sama dia, gua percaya Dani pasti menolak mentah-mentah. Orang yang pernah bikin adiknya hampir gila, dia jadikan istri? Dia pasti me