Share

4. Awal Permainan

Menghadapi orang licik tidak bisa serampangan. Salah-salah malah jadi boomerang. Apalagi orang seperti Mbak Lastri. Kalau saja santet dibolehkan. Tentu hal itu akan menjadi pilihan terbaik. Membunuh tanpa menyentuh. Amazing bukan? 

Ya, sekali lagi. Kalau saja hal itu diperbolehkan, tapi agama yang kuanut melarang untuk berbuat demikian. Jangan sampai lah, hidup di dunia sudah susah. Di akhirat jadi semakin menderita. 

Detak jam dinding rumah bergerak seirama dengan jantungku. Kutuntaskan dulu pekerjaan rumah. Masalah Ibu mertua yang meminta jatah kontrakan. Biar nanti Mas Bram yang selesaikan. 

Satu-satunya target saat ini adalah mengembalikan keharmonisan rumah tanggaku. Membuat suamiku kembali percaya dan mengorek informasi darinya. Sungguh, aku penasaran sekali. Foto apa yang ia maksud kemarin. Sampai hati ia menyebutku murahan.

*** 

Jualanku jadi terbengkalai. Gara-gara gawai yang rusak, aku jadi tudak bisa promosi lagi. Mumpung belum terlalu siang aku akan pergi saja menuju konter. Kalau dibetulkan, rasanya tidak akan mungkin. Jadi, beli baru sajalah.

Aku bersiap untuk pergi. Kunyalakan mesin motorku dengan Kia dalam gendongan. Aku sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Didikan orang tuaku dari kecil sangat bermanfaat kurasa. Dulu setiap Ibu menyuruh dan mengajari ini itu, aku selalu mengeluh. Namun, setelah menikah. Hal sepele pun jadi berharga. Pengajaran orang tua tidak pernah sia-sia. 

Jalanan tampak lenggang. Mungkin karena sudah siang, orang-orang jadi malas untuk bepergian. Untungnya Kia tidak rewel. Allah maha baik. Buah hatiku sangat tenang dalam dekapan. Lelap terpejam. Seolah memahami keadaanku.

Cepat kuparkir motor begitu tiba di depan konter. Kukeluarkan gawai dari dalam saku.

"Mas, ini bisa dibenerin, nggak?" tanyaku sambil menyerahkan gawai pada penjaga toko. Tadinya ingin beli yang baru saja, tapi riwayat chatku dan Mbak Lastri ada di situ. Aku butuh bukti. 

"Oh, ini harus dicek dulu, Mbak. Dibongkar dalamnya."

"Berapa lama, Mas?" 

"Tergantung kondisinya. Kalau misal parah dan harus ganti komponen. Ya, bisa seminggu lebih. Itu pun kalau sparepartnya ada di sini. Kalau enggak, ya harus nunggu kiriman dulu." 

"Jadi?"

"Ya, seperti kata saya tadi. Kalau mau nungguin, ya monggo." 

Aku diam. Berpikir sejenak. 

"Ya udah deh, Mas. Gimana baiknya aja." 

Kuputuskan untuk menunggu. Bagaimana pun riwayat chatku dan Mbak Lastri ada di situ. Aku juga tidak kepikiran untuk mencadangkan pesan. Huft! Harusnya aku bisa lebih waspada lain kali. 

Kuserahkan gawaiku setelah sebelumnya mengambil simcard di dalamnya. Mengisi pada gawai yang baru.

Setelah bertukar nomor dengan penjaga konter. Aku langsung kembali menuju motorku. Pulang. 

Pandangan mataku tanpa sengaja menangkap seseorang yang dua hari ini membuat hati gatal. Mbak Lastri. Ia bersama Hasan sedang berjalan beriringan. Tampak beberapa tas belanja di genggaman tangannya. Dasar orang baru kaya! Shoping terus, hutang tidak dipikirkan!

Kutarik napas pelan dan mengembuskannya secara kasar. Dongkol juga muak bergumul jadi satu dalam hati. Ingin kuluapkan, percuma. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Aku tidak punya bukti apa pun. Mendamprat orang tak tahu diri itu tidak bisa dengan gegabah.

***

Kia menggeliat saat motor berhenti tepat di depan rumah. 

"Sebentar ya, Sayang. Kita masuk di dalam dulu."

Kutepuk dan kuayun Kia sambil berjalan menuju daun pintu. Bersamaan itu terdengar Azan Dzhuhur berkumandang.

Gegas aku masuk ke dalak rumah. Kukunci dengan selot pintu dari dalamnya. Tidak ingin kejadian tadi pagi terulang. Jangan sampai Ibu mertua kembali nyelonong masuk tanpa izinku. 

Kutidurkan Kia di dalam kamar. Sambil berbaring, kususui putriku itu. Tangan kiriku sudah menggenggam gawai baru. Nomor juga sudah terpasang sempurna. 

Jemariku sudah menari-nari. Satu aplikasi berwarna biru terbuka. F******k. Ya, aku masih ingat betul. Ada akun Mbak Lastri di daftar pertemananku.

Kucari namanya. Bolak-balik ku ketik di kolom search dan mencari. Tetap saja akunnya tidak ada. Memoriku melesat beberapa waktu yang lalu. 

Jangan-jangan akun FBku juga diblokirnya? Dih!

Tidak hilang cara. Dia pikir akunku cuma satu? Oke, baiklah. 

Segera aku beralih akun. Kuingat betul nama akun milik Mbak Lastri. Kuketik dengan segera. Lantas dalam hitungan detik pencarian berhasil ditemukan. 

Lastri Atmadja. 

Aku ternganga. Tampak jelas itu akun milik Mbak Lastri. Ck! Bahkan akun F******k milikku pun diblokirnya. Mantan tetangga gak ada akhlak!

Jemariku sudah sangat gatal. Kusentuh nama akunnya. Membuka profil utama milik Mbak Lastri. 

Kugerakkan kedua mata menyisir status-status yang ditulisnya. 

[Senengnya di sini banyak tetangga. Nggak seperti yang dulu. Udah sepi, tetangga satu aja pelitnya nggak ketulungan.]

Ya Tuhan! Apa dia menyindirku? 

[ Jangan iri melihat orang lain bahagia. Orang miskin juga berhak kaya. Biasa juga nggak pernah nyapa. Giliran orang dapet arisan, langsung kepanasan. Tetangga, oh tetangga.]

Seperti ada asap yang keluar dari kepalaku. Segininya, sih Mbak Lastri. Mual sekali membaca tulisannya. 

[Kukira baik ternyata ada maunya. Genitin suami tetangga, kok sampai segitunya.]

Cukup! Mataku panas. Dadaku sesak. Mbak Lastri dan celotehan di statusnya. Sungguh ia membakar hati. 

Awas kau, Mbak! Dasar tak tahu diuntung. 

Selama ini, manis di depan doang rupanya. Busuk sekali hatimu, Mbak. Kapok aku tuh sudah baik dan percaya sama kamu. 

Hatiku gatal sekali. Cepat kuklik permintaan pertemanan padanya. Jangan salah, akun yang kupakai ini adalah berjenis kelamin laki-laki. Ia sudah barang tentu tidak akan pernah curiga.

Tidak lama satu notif muncul. Kubaca dengan segera. 

Lastri Atmadja menerima permintaan pertemanan anda. 

Done!

Kita tunggu tanggal mainnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status