Menghadapi orang licik tidak bisa serampangan. Salah-salah malah jadi boomerang. Apalagi orang seperti Mbak Lastri. Kalau saja santet dibolehkan. Tentu hal itu akan menjadi pilihan terbaik. Membunuh tanpa menyentuh. Amazing bukan?
Ya, sekali lagi. Kalau saja hal itu diperbolehkan, tapi agama yang kuanut melarang untuk berbuat demikian. Jangan sampai lah, hidup di dunia sudah susah. Di akhirat jadi semakin menderita.
Detak jam dinding rumah bergerak seirama dengan jantungku. Kutuntaskan dulu pekerjaan rumah. Masalah Ibu mertua yang meminta jatah kontrakan. Biar nanti Mas Bram yang selesaikan.
Satu-satunya target saat ini adalah mengembalikan keharmonisan rumah tanggaku. Membuat suamiku kembali percaya dan mengorek informasi darinya. Sungguh, aku penasaran sekali. Foto apa yang ia maksud kemarin. Sampai hati ia menyebutku murahan.
***
Jualanku jadi terbengkalai. Gara-gara gawai yang rusak, aku jadi tudak bisa promosi lagi. Mumpung belum terlalu siang aku akan pergi saja menuju konter. Kalau dibetulkan, rasanya tidak akan mungkin. Jadi, beli baru sajalah.
Aku bersiap untuk pergi. Kunyalakan mesin motorku dengan Kia dalam gendongan. Aku sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Didikan orang tuaku dari kecil sangat bermanfaat kurasa. Dulu setiap Ibu menyuruh dan mengajari ini itu, aku selalu mengeluh. Namun, setelah menikah. Hal sepele pun jadi berharga. Pengajaran orang tua tidak pernah sia-sia.
Jalanan tampak lenggang. Mungkin karena sudah siang, orang-orang jadi malas untuk bepergian. Untungnya Kia tidak rewel. Allah maha baik. Buah hatiku sangat tenang dalam dekapan. Lelap terpejam. Seolah memahami keadaanku.
Cepat kuparkir motor begitu tiba di depan konter. Kukeluarkan gawai dari dalam saku.
"Mas, ini bisa dibenerin, nggak?" tanyaku sambil menyerahkan gawai pada penjaga toko. Tadinya ingin beli yang baru saja, tapi riwayat chatku dan Mbak Lastri ada di situ. Aku butuh bukti.
"Oh, ini harus dicek dulu, Mbak. Dibongkar dalamnya."
"Berapa lama, Mas?"
"Tergantung kondisinya. Kalau misal parah dan harus ganti komponen. Ya, bisa seminggu lebih. Itu pun kalau sparepartnya ada di sini. Kalau enggak, ya harus nunggu kiriman dulu."
"Jadi?"
"Ya, seperti kata saya tadi. Kalau mau nungguin, ya monggo."
Aku diam. Berpikir sejenak.
"Ya udah deh, Mas. Gimana baiknya aja."
Kuputuskan untuk menunggu. Bagaimana pun riwayat chatku dan Mbak Lastri ada di situ. Aku juga tidak kepikiran untuk mencadangkan pesan. Huft! Harusnya aku bisa lebih waspada lain kali.
Kuserahkan gawaiku setelah sebelumnya mengambil simcard di dalamnya. Mengisi pada gawai yang baru.
Setelah bertukar nomor dengan penjaga konter. Aku langsung kembali menuju motorku. Pulang.
Pandangan mataku tanpa sengaja menangkap seseorang yang dua hari ini membuat hati gatal. Mbak Lastri. Ia bersama Hasan sedang berjalan beriringan. Tampak beberapa tas belanja di genggaman tangannya. Dasar orang baru kaya! Shoping terus, hutang tidak dipikirkan!
Kutarik napas pelan dan mengembuskannya secara kasar. Dongkol juga muak bergumul jadi satu dalam hati. Ingin kuluapkan, percuma. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Aku tidak punya bukti apa pun. Mendamprat orang tak tahu diri itu tidak bisa dengan gegabah.
***
Kia menggeliat saat motor berhenti tepat di depan rumah.
"Sebentar ya, Sayang. Kita masuk di dalam dulu."
Kutepuk dan kuayun Kia sambil berjalan menuju daun pintu. Bersamaan itu terdengar Azan Dzhuhur berkumandang.Gegas aku masuk ke dalak rumah. Kukunci dengan selot pintu dari dalamnya. Tidak ingin kejadian tadi pagi terulang. Jangan sampai Ibu mertua kembali nyelonong masuk tanpa izinku.
Kutidurkan Kia di dalam kamar. Sambil berbaring, kususui putriku itu. Tangan kiriku sudah menggenggam gawai baru. Nomor juga sudah terpasang sempurna.
Jemariku sudah menari-nari. Satu aplikasi berwarna biru terbuka. F******k. Ya, aku masih ingat betul. Ada akun Mbak Lastri di daftar pertemananku.
Kucari namanya. Bolak-balik ku ketik di kolom search dan mencari. Tetap saja akunnya tidak ada. Memoriku melesat beberapa waktu yang lalu.
Jangan-jangan akun FBku juga diblokirnya? Dih!
Tidak hilang cara. Dia pikir akunku cuma satu? Oke, baiklah.
Segera aku beralih akun. Kuingat betul nama akun milik Mbak Lastri. Kuketik dengan segera. Lantas dalam hitungan detik pencarian berhasil ditemukan.
Lastri Atmadja.
Aku ternganga. Tampak jelas itu akun milik Mbak Lastri. Ck! Bahkan akun F******k milikku pun diblokirnya. Mantan tetangga gak ada akhlak!
Jemariku sudah sangat gatal. Kusentuh nama akunnya. Membuka profil utama milik Mbak Lastri.
Kugerakkan kedua mata menyisir status-status yang ditulisnya.
[Senengnya di sini banyak tetangga. Nggak seperti yang dulu. Udah sepi, tetangga satu aja pelitnya nggak ketulungan.]
Ya Tuhan! Apa dia menyindirku?
[ Jangan iri melihat orang lain bahagia. Orang miskin juga berhak kaya. Biasa juga nggak pernah nyapa. Giliran orang dapet arisan, langsung kepanasan. Tetangga, oh tetangga.]
Seperti ada asap yang keluar dari kepalaku. Segininya, sih Mbak Lastri. Mual sekali membaca tulisannya.
[Kukira baik ternyata ada maunya. Genitin suami tetangga, kok sampai segitunya.]
Cukup! Mataku panas. Dadaku sesak. Mbak Lastri dan celotehan di statusnya. Sungguh ia membakar hati.
Awas kau, Mbak! Dasar tak tahu diuntung.
Selama ini, manis di depan doang rupanya. Busuk sekali hatimu, Mbak. Kapok aku tuh sudah baik dan percaya sama kamu.
Hatiku gatal sekali. Cepat kuklik permintaan pertemanan padanya. Jangan salah, akun yang kupakai ini adalah berjenis kelamin laki-laki. Ia sudah barang tentu tidak akan pernah curiga.
Tidak lama satu notif muncul. Kubaca dengan segera.
Lastri Atmadja menerima permintaan pertemanan anda.
Done!
Kita tunggu tanggal mainnya.
Kubuat akun kloninganku semenarik mungkin. Jika bukan demi menjerat si Lastri. Aku tidak akan pernah bersusah payah seperti ini. Ia pikir aku perempuan lemah? Diam saja melihat semua perbuatannya. Tidak segampang itu, Mbak.Orang licik tidak bisa dilawan dengan otot. Kudu mikir pake otak. Kalau kuturuti hawa nafsu. Emosi menjadi saat bertemu dengan Mbak Lastri. Bisa-bisa aku yang kena getah sendiri. Dan ia semakin ngelunjak tak tahu diri.Kulihat lagi laman profil utama milik Mbak Lastri. Menscroll isi di dalamnya. Aku tersenyum miris. Statusnya julid sekali padaku. Menghina dan mencaci maki. Pantas saja akunku diblokirnya. Agar ia bebas bercuap-cuap di sosial media tanpa sepengetahuanku.Kuketik sebaris pesan untuk Mbak Lastri. Kebetulan mesenggernya berwarna hijau. Artinya ia sedang on saat ini. [Makasih udah dikonfirm. Salam kenal ya.]Send.Tidak lama kulihat pesanku sudah terbaca dan ada keterangan mengetik di sana. Mbak Lastri merespon pesanku.[Sama-sama. Salam kenal juga.]Sa
Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak. Sejak Mas Bram bilang ada Mbak Lastri dan Mas Rudi di rumah Ibu. Perasaanku jadi kembali tak menentu. Dugaanku pada wanita tak tahu diri itu terus saja buruk. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Kulihat Mas Bram sudah terpejam. Ia lelap sekali. Maklum, kami usai memadu kasih. Kutunaikan kewajibanku sebagai istri dengan baik. Demi merekatkan kembali hubungan yang telah renggang. Masalah rumah tangga tak melulu hadirnya pelakor sebagai orang ke tiga. Contohnya saat ini. Pihak lain yang ternyata membuat retak rumah tanggaku adalah tetangga sendiri yang sama sekali tak pernah kusangka sebelumnya. *** Malam beranjak semakin matang. Perlahan aku bergerak menuruni ranjang. Kuraih gawai milik Mas Bram di atas nakas. Barusan, layar benda pipihnya berkedip-kedip. Aku penasaran. Siapa gerangan yang menghubungi malam-malam begini. Mataku bergerak menyusuri layar yang menyala. Banyak sekali pesan yang masuk dan belum sempat dibuka. Kebanyakan
Segumpal daging itu bernama hati. Kita tidak pernah tahu apa saja isi di dalamnya. Sebab, tak jarang tampilan banyak yang menipu. Dari luar tampak baik. Namun, isi di dalamnya ....Sungguh berbanding terbalik.*** Untuk yang ke sekian kalinya. Hari baru tiba di Kota kelahiranku. Surabaya. Pagi ini, kota yang terkenal dengan julukan Kota Pahlawan itu, disambut mesra oleh rintik hujan yang cukup padat. Bunyi tetesannya yang terdengar nyaring. Beradu dengan atap seng di belakang rumahku. Aku masih bergelung di bawah selimut yang sama. Bersama Mas Bram, suamiku. Meski sudah pukul tujuh pagi, tapi kami masih diam di atas pembaringan. Udara yang dingin sebab mentari tak kunjung memancarkan sinarnya. Semakin membuat kami berdua malas untuk pergi ke mana-mana. Usai shalat subuh tadi, Mas Bram bilang ingin kembali terpejam. Katanya, ia akan masuk kerja pukul sepuluh siang. Ada rapat internal di perus
Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau menempel sempurna di dindingnya. Tanpa halaman, tanpa pula pagar pembatas jalan. Aku tersenyum miris. Bukan menilai bentuk bangunannya. Melainkan, menilai betapa penghuninya sangat tak tahu diri. "Eh, Mbak Inamah. Mau ke mana?" tanya seseorang yang tak lain adalah Mbak Leli. Kebetulan ia sedang melihatku mengamati rumah Bu Yuyun. Kontrakan yang ditempati Mbak Lastri. "Ini, mau ke rumah Mbak Lastri. Udah lama nggak ketemu," ujarku sambil tersenyum.Melihat Mbak Leli, aku sedikit deg-degan. Teringat dengan mimpi waktu itu. Ya, betapa horornya ia di dalam mimpi. Menyeretku dan menuduh tanpa barang bukti. Meski hal itu hanyalah sebuah mimpi. Rupanya mampu mempengaruhi isi kepalaku. Hingga dalam keadaan sadar pun. Ada sedikit rasa ketakutan. "Oh, Mbak Lastri, ya? Tadi sih ketemu pas lagi belanja sayur," ucap Mbak Leli. "Oh, begitu." Aku tersenyum. "Berarti se
"Hueeeeeek! Huueeeek!" Mbak Lastri terus saja muntah. Mukanya memerah. Hidungnya pun berair. Wajah dan rambut sama-sama kusut. Puas!"Kurang ajar sekali kamu! Hueeeeeeek!" teriaknya sambil terus muntah-muntah. "Keluar dari rumahku! Sekarang!" ia histeris dengan telunjuk jari mengarah pada daun pintu. Mengusirku. Dih! Enak aja! Urusan masih belum selesai."Apa? Mbak bilang aku kurang ajar? Ngaca, dong!" sengitku. "Kalau kamu nggak keterlaluan, aku juga nggak bakalan begini!" Kutarik napas pelan. Tak tega sebenarnya memperlakukan Mbak Lastri seperti itu. Sudut hati menjerit bahwa ini salah. Tapi, aku sudah terlanjur kalap. Emosi melihat sikap dan ucapannya. Ia sama sekali tak mau mengakui kesalahan. Bahkan, tak juga mau bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Aku tersulut. Gemuruh dalam dadaku membuncah. "Salah apa aku sama kamu, Mbak! Hah?! Tega benar
Kuklik cepat foto-foto tersebut. Kupicingkan mata melihat detail pesan chat di dalamnya. Huft! Syukurlah. Kuembus napas lega saat melihat bahwa nomor dan fotoku di blur oleh Mbak Lastri.Jika ia ingin mencemarkan namaku. Kenapa tanggung sekali? Kenapa harus diblur segala? Sebenarnya apa motif ia melakukan ini semua? [Gimana jadinya kalau ada tetangga yang genitin suami kita?]Tulisnya. Dih! Amit-amit. Iseng, kucoba menulis komen di statusnya. Belum juga kutulis. Tapi, begitu melihat komentar yang berjibun. Ku urungkan niatku. [Wah, gila banget. Jangan di blur dong. Ayo viralkan!][Harus digaruk ulat bulu seperti itu][Buang ke tempat sampah! Bumi hanguskan orang seperti itu!]Skip!Banyak sekali komentar netizen. Begitu pedas, serta sangat mudah menghakimi tanpa tahu kebenarannya yang pasti.Belum juga tombol kem
Kita Flashback dulu ya ❤Menembus ruang dan waktu. Tujuh tahun silam. Di sebuah kota yang terkenal dengan pesisir pantainya. Tuban. Seorang perempuan berambut hitam lurus sepunggung. Ia tengah berdiri menghadap ke arah matahari terbenam. Senja sudah merangkak naik, namun ia memilih tetap diam. Menunggu seseorang. Lastri Atmadja. Gadis berusia dua puluh satu tahun. Berparas ayu dengan kulit sawo matang ciri khas gadis pribumi. Badannya ramping. Ia memakai setelan rok berwarna hitam dan atasan baju motif bunga-bunga lily. Sesekali ia melihat ke sekeliling. Sejauh mata melempar pandang. Tak juga ditemuinya batang hidung Bram. Lelaki yang telah membuatnya jatuh hati. Gelisah menunggu. Ia lalu mengecek gawai miliknya. Gawai butut dengan karet gelang yang mengikat. Satu pesan masuk membuat gawai tersebut bergetar. Lastri tersenyum. Rupanya sang kekasih hati membalas pesannya. [Tunggu aku, Sayang. Sebentar lagi tiba.]Lastri mendesah. Rupanya ia harus kembali bersabar untuk menunggu.Bu
"Masih lama, Mas?" tanya Lastri pada Bram ketika di perjalanan."Masih, Dek." Bram menggenggam lembut jemari tangan Lastri. Mereka sedang berada di dalam transportasi umum. Bus. Perjalanan dari Kota Tuban ke Kota Surabaya tak sampai memakan waktu setengah hari. Namun terasa begitu lama bagi Lastri yang tak pernah bepergian jauh. "Tidurlah dulu, nanti kalau sudah tiba aku bangunkan."Disandarkannya kepala Lastri di pundak kanan Bram. Seketika saja gadis itu terpejam. Menyelami dunia mimpi selama di perjalanan. *** Tepat pukul tiga sore. Bus yang ditumpangi Bram dan Lastri tiba di terminal Purabaya Bungurasih. Bram mengusap pelan kepala Lastri, membangunkan. Lastri mengerjap. Diamatinya para penumpang yang menurunkan aneka barang dari bagasi. Bersiap untuk turun. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya terkejut. Saking lelapnya ia sampai tak menyadari pergerakan bus yang berhenti. "Iya."Gegas Lastri dan Bram menyiapkan diri. Mereka lantas ber