Home / Romansa / Diblokir Tetangga / 4. Awal Permainan

Share

4. Awal Permainan

Author: Amaliyah Aly
last update Last Updated: 2022-06-28 21:44:00

Menghadapi orang licik tidak bisa serampangan. Salah-salah malah jadi boomerang. Apalagi orang seperti Mbak Lastri. Kalau saja santet dibolehkan. Tentu hal itu akan menjadi pilihan terbaik. Membunuh tanpa menyentuh. Amazing bukan? 

Ya, sekali lagi. Kalau saja hal itu diperbolehkan, tapi agama yang kuanut melarang untuk berbuat demikian. Jangan sampai lah, hidup di dunia sudah susah. Di akhirat jadi semakin menderita. 

Detak jam dinding rumah bergerak seirama dengan jantungku. Kutuntaskan dulu pekerjaan rumah. Masalah Ibu mertua yang meminta jatah kontrakan. Biar nanti Mas Bram yang selesaikan. 

Satu-satunya target saat ini adalah mengembalikan keharmonisan rumah tanggaku. Membuat suamiku kembali percaya dan mengorek informasi darinya. Sungguh, aku penasaran sekali. Foto apa yang ia maksud kemarin. Sampai hati ia menyebutku murahan.

*** 

Jualanku jadi terbengkalai. Gara-gara gawai yang rusak, aku jadi tudak bisa promosi lagi. Mumpung belum terlalu siang aku akan pergi saja menuju konter. Kalau dibetulkan, rasanya tidak akan mungkin. Jadi, beli baru sajalah.

Aku bersiap untuk pergi. Kunyalakan mesin motorku dengan Kia dalam gendongan. Aku sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Didikan orang tuaku dari kecil sangat bermanfaat kurasa. Dulu setiap Ibu menyuruh dan mengajari ini itu, aku selalu mengeluh. Namun, setelah menikah. Hal sepele pun jadi berharga. Pengajaran orang tua tidak pernah sia-sia. 

Jalanan tampak lenggang. Mungkin karena sudah siang, orang-orang jadi malas untuk bepergian. Untungnya Kia tidak rewel. Allah maha baik. Buah hatiku sangat tenang dalam dekapan. Lelap terpejam. Seolah memahami keadaanku.

Cepat kuparkir motor begitu tiba di depan konter. Kukeluarkan gawai dari dalam saku.

"Mas, ini bisa dibenerin, nggak?" tanyaku sambil menyerahkan gawai pada penjaga toko. Tadinya ingin beli yang baru saja, tapi riwayat chatku dan Mbak Lastri ada di situ. Aku butuh bukti. 

"Oh, ini harus dicek dulu, Mbak. Dibongkar dalamnya."

"Berapa lama, Mas?" 

"Tergantung kondisinya. Kalau misal parah dan harus ganti komponen. Ya, bisa seminggu lebih. Itu pun kalau sparepartnya ada di sini. Kalau enggak, ya harus nunggu kiriman dulu." 

"Jadi?"

"Ya, seperti kata saya tadi. Kalau mau nungguin, ya monggo." 

Aku diam. Berpikir sejenak. 

"Ya udah deh, Mas. Gimana baiknya aja." 

Kuputuskan untuk menunggu. Bagaimana pun riwayat chatku dan Mbak Lastri ada di situ. Aku juga tidak kepikiran untuk mencadangkan pesan. Huft! Harusnya aku bisa lebih waspada lain kali. 

Kuserahkan gawaiku setelah sebelumnya mengambil simcard di dalamnya. Mengisi pada gawai yang baru.

Setelah bertukar nomor dengan penjaga konter. Aku langsung kembali menuju motorku. Pulang. 

Pandangan mataku tanpa sengaja menangkap seseorang yang dua hari ini membuat hati gatal. Mbak Lastri. Ia bersama Hasan sedang berjalan beriringan. Tampak beberapa tas belanja di genggaman tangannya. Dasar orang baru kaya! Shoping terus, hutang tidak dipikirkan!

Kutarik napas pelan dan mengembuskannya secara kasar. Dongkol juga muak bergumul jadi satu dalam hati. Ingin kuluapkan, percuma. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Aku tidak punya bukti apa pun. Mendamprat orang tak tahu diri itu tidak bisa dengan gegabah.

***

Kia menggeliat saat motor berhenti tepat di depan rumah. 

"Sebentar ya, Sayang. Kita masuk di dalam dulu."

Kutepuk dan kuayun Kia sambil berjalan menuju daun pintu. Bersamaan itu terdengar Azan Dzhuhur berkumandang.

Gegas aku masuk ke dalak rumah. Kukunci dengan selot pintu dari dalamnya. Tidak ingin kejadian tadi pagi terulang. Jangan sampai Ibu mertua kembali nyelonong masuk tanpa izinku. 

Kutidurkan Kia di dalam kamar. Sambil berbaring, kususui putriku itu. Tangan kiriku sudah menggenggam gawai baru. Nomor juga sudah terpasang sempurna. 

Jemariku sudah menari-nari. Satu aplikasi berwarna biru terbuka. F******k. Ya, aku masih ingat betul. Ada akun Mbak Lastri di daftar pertemananku.

Kucari namanya. Bolak-balik ku ketik di kolom search dan mencari. Tetap saja akunnya tidak ada. Memoriku melesat beberapa waktu yang lalu. 

Jangan-jangan akun FBku juga diblokirnya? Dih!

Tidak hilang cara. Dia pikir akunku cuma satu? Oke, baiklah. 

Segera aku beralih akun. Kuingat betul nama akun milik Mbak Lastri. Kuketik dengan segera. Lantas dalam hitungan detik pencarian berhasil ditemukan. 

Lastri Atmadja. 

Aku ternganga. Tampak jelas itu akun milik Mbak Lastri. Ck! Bahkan akun F******k milikku pun diblokirnya. Mantan tetangga gak ada akhlak!

Jemariku sudah sangat gatal. Kusentuh nama akunnya. Membuka profil utama milik Mbak Lastri. 

Kugerakkan kedua mata menyisir status-status yang ditulisnya. 

[Senengnya di sini banyak tetangga. Nggak seperti yang dulu. Udah sepi, tetangga satu aja pelitnya nggak ketulungan.]

Ya Tuhan! Apa dia menyindirku? 

[ Jangan iri melihat orang lain bahagia. Orang miskin juga berhak kaya. Biasa juga nggak pernah nyapa. Giliran orang dapet arisan, langsung kepanasan. Tetangga, oh tetangga.]

Seperti ada asap yang keluar dari kepalaku. Segininya, sih Mbak Lastri. Mual sekali membaca tulisannya. 

[Kukira baik ternyata ada maunya. Genitin suami tetangga, kok sampai segitunya.]

Cukup! Mataku panas. Dadaku sesak. Mbak Lastri dan celotehan di statusnya. Sungguh ia membakar hati. 

Awas kau, Mbak! Dasar tak tahu diuntung. 

Selama ini, manis di depan doang rupanya. Busuk sekali hatimu, Mbak. Kapok aku tuh sudah baik dan percaya sama kamu. 

Hatiku gatal sekali. Cepat kuklik permintaan pertemanan padanya. Jangan salah, akun yang kupakai ini adalah berjenis kelamin laki-laki. Ia sudah barang tentu tidak akan pernah curiga.

Tidak lama satu notif muncul. Kubaca dengan segera. 

Lastri Atmadja menerima permintaan pertemanan anda. 

Done!

Kita tunggu tanggal mainnya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diblokir Tetangga   129. ENDING

    Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu.  Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada

  • Diblokir Tetangga   128. Hasil USG

    Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil.  "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,

  • Diblokir Tetangga   127. Pamit

    "Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni

  • Diblokir Tetangga   126. Melebur Bersama Duka

    Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan  ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh

  • Diblokir Tetangga   125. Hancur dan Berserakan

    Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja

  • Diblokir Tetangga   124. Wejangan Ibu Mertua

    Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status