Kubuat akun kloninganku semenarik mungkin. Jika bukan demi menjerat si Lastri. Aku tidak akan pernah bersusah payah seperti ini. Ia pikir aku perempuan lemah? Diam saja melihat semua perbuatannya. Tidak segampang itu, Mbak.
Orang licik tidak bisa dilawan dengan otot. Kudu mikir pake otak. Kalau kuturuti hawa nafsu. Emosi menjadi saat bertemu dengan Mbak Lastri. Bisa-bisa aku yang kena getah sendiri. Dan ia semakin ngelunjak tak tahu diri.
Kulihat lagi laman profil utama milik Mbak Lastri. Menscroll isi di dalamnya. Aku tersenyum miris. Statusnya julid sekali padaku. Menghina dan mencaci maki. Pantas saja akunku diblokirnya. Agar ia bebas bercuap-cuap di sosial media tanpa sepengetahuanku.
Kuketik sebaris pesan untuk Mbak Lastri. Kebetulan mesenggernya berwarna hijau. Artinya ia sedang on saat ini.
[Makasih udah dikonfirm. Salam kenal ya.]
Send.
Tidak lama kulihat pesanku sudah terbaca dan ada keterangan mengetik di sana. Mbak Lastri merespon pesanku.
[Sama-sama. Salam kenal juga.]
Satu balasan kuterima. Aku tersenyum, celah mulai terbuka dengan sendirinya. Good.
[Saya Ryan. Mbak namanya siapa? Boleh kenalan?]
Kuembus napas pelan sambil mengatur deguban dalam dada. Rasanya seperti aneh saja. Terlalu agresif mengajak kenalan lebih dulu. Ya, meski ini demi penyelidikan. Tetap saja. Aku deg-degan. Takut ketahuan atau Mbak Lastri tak lagi merespon.
Ting!
Satu pesan masuk. Kubuka cepat. Rupanya dari mesengger. Mbak Lastri membalas lagi.
[Boleh. Panggil aja aku Lastri. Btw, kamu orang mana?]
Dih! Gayung bersambut. Ia meresponku dengan baik. Oke, kita lanjutkan sandiwara ini.
[Orang mana aja boleh. Usia brapa nih? Udah nikah?] balasku tak kalah cepat.
[Enaknya udah nikah apa belum ya? Coba lihat sendiri. Menurut kamu, gimana?]
Aku terbelalak. Kedua mataku membulat sempurna. Bukan membaca pesan yang dikirim Mbak Lastri. Akan tetapi, ia melampirkan sesuatu yang tak pernah terbayang olehku.
Begitu percaya dirinya ia mengirim foto selfie. Baru juga berteman dengan akunku. Dih, gini ngatain aku genit. Lha, sendirinya?
Boleh kusebut ia gampangan?
Kuabaikan pesan barusan. Biarkan Mbak Lastri penasaran dengan akun yang kugunakan tadi. Ternyata ada manfaatnya juga punya akun kloningan. Sering ku update dulunya. Setelah ini, mantan tetangga itu akan kepo dengan foto-fotoku.
Biarkan saja. Biar ia tertarik. Nanti saat sudah tiba waktunya. Akan banyak kejutan yang kuberikan untuk Mbak Lastri.
Kututup segera aplikasi mesenggerku. Putri kecilku sudah terlelap tidur. Sementara ia terpejam. Aku harus mengerjakan tugas rumah yang lain.
***
Setiap masalah pasti ada akar rumit yang harus dipecahkan. Dan dalam masalah ini, Mbak Lastri adalah biang kerok yang sudah melibatkan banyak orang. Termasuk Mas Bram, suamiku.
Sudah kupikirkan matang-matang. Aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk suamiku hari ini. Sebagai permintaan maafku. Atas hal yang ia nilai buruk dari omongan mantan tetangga.
Kia masih terjaga dalam gendongan. Kutatap binar matanya. Wajah mungil gadis kecilku itu membuat hati terenyuh. Betapa indah ciptaan sang pencipta. Aku bahagia setiap kali melihatnya. Kukecup kening dan pipi anakku. Kubisikkan doa untuknya. Semoga ia tidak bernasib sama sepertiku. Berharap agar Allah berikan jodoh yang terbaik. Terutama dalam agama dan akhlaknya.
Tidak sepertiku. Yang harus terpaksa menikah karena perjanjian kedua Bapak kami. Ya, aku dan Mas Bram menikah bukan atas dasar cinta. Melainkan paksaan. Itulah sebab, tak banyak yang kuketahui dari suamiku. Andai boleh memilih, saat tahu Mas Bram orang yang bertemperamen tinggi. Tentu aku akan mundur teratur sebelum ikatan terjalin. Karena setiap kali marah, suamiku akan dengan mudah melayangkan tangannya.
Aku tersentak saat mendengar deru mesin mobil suamiku. Mas Bram sudah pulang. Ia terlambat sekali. Biasanya paling telat jam enam. Tapi, ini sudah hampir jam delapan.
Cepat aku berjalan menuju daun pintu. Membuka untuknya.
"Assalamualaikum," ucap Mas Bram sambil nyelonong masuk. Tidak sedikit pun menatap ke arahku. Bahkan, Kia juga dilewatinya begitu saja.
"Mas!" panggilku sambil mensejajari langkahnya.
"Iya?"
Kuraih punggung tangan Mas Bram kemudian menciumnya takzim.
"Salim dulu," kataku lalu melepasnya kembali.
"Oh, iya. Lupa. Mas buru-buru," ucapnya salah tingkah. Ia lalu berjalan masuk ke dalam. Meninggalkanku.
Sikapnya aneh sekali. Entah perasaanku saja atau memang benar adanya. Punggung tangannya tadi tanpa sengaja kuendus bau wangi. Seperti bau parfum, tapi ....
Ah, sudahlah. Suamiku bukan orang seperti itu.
***
Usai makan malam, kuhampiri suamiku yang sedang duduk termenung di depan televisi. Ia mudah marah, tapi juga mudah lupa. Kulihat sejak makan malam tadi sikapnya kembali normal. Tidak mengungkit masalah kemarin.
Kia sudah kutidurkan di keranjang bayinya. Kini, ada waktu untukku bisa berdua saja bersama Mas Bram. Banyak yang ingin kukorek darinya. Hanya saja, aku harus kembali mendapat kepercayaan lebih dulu.
"Mas," panggilku lirih.
Mas Bram menoleh. Ia menatap ke arahku. Satu senyuman terulas di bibirnya. "Iya, kenapa?" tanyanya.
Aku mendekat. Duduk tepat di sampingnya. Kusandarkan kepala di pundak Mas Bram.
"Mas sudah ke rumah Ibu," ucapnya tiba-tiba. Baru saja aku ingin bercerita. Ia sudah membuka suara lebih dulu. "Di sana juga ada Mbak Lastri dan suaminya."
Deg!
Kenapa lagi ini? Baru juga aku ingin mencairkan suasana. Kenapa harus membahas dua manusia itu.
Jangan-jangan mereka hendak mengompori lagi? Memfitnahku lagi?
"Ibu mengundang mereka ke rumah. Dan Mas Dengar, sepertinya mereka akan balik ngontrak di sebelah."
Napasku tercekat mendengar kalimat Mas Bram barusan. Benarkah ini? Mereka bakal balik ngontrak di sebelah rumahku? Wah, masuk kabar buruk atau kabar baik, ya?
"Oh. Bagus dong, Mas," timpalku cepat sambil senyum-senyum.
"Kenapa emang? Kamu seneng ada Mas Rudi lagi di sini?" Sengit Mas Bram bertanya. Ia terbakar cemburu seketika. Aku paham sekali.
"Enggak. Bukan itu," sanggahku.
"Lha, kenapa?"
Aku diam. Tak menjawab sepatah kata pun pertanyaan Mas Bram.
Biarkan saja dua orang itu balik ke sini. Tikus sudah siap masuk kandang. Tak perlu dipancing atau pun diundang.
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin