Share

3. Fitnah Keji

‘Datang saja ke sini kalau masih punya nyali. Toh, nama kamu sudah tercemar sampai ujung gang.’

Masih terngiang ucapan Mbak Lastri dalam panggilan tadi. Teganya mencemarkan namaku. Ah, entahlah, fitnahan apa yang telah ia buat. Kupikir ia perempuan yang tidak tahu diri saja. Menghindari hutang dengan memilih berpindah rumah, tapi dugaanku salah. Rupanya ia dan Mas Rudi cukup licik juga. 

“Ya Allah, ampuni segala dosa dan khilafku,” lirihku menahan sesak di dada. 

Kepalaku pusing. Memikirkan masalah yang datang bertubi-tubi. Tentang Ibu yang meminta jatah kontrakan. Tentang ulah Mbak Lastri dan suaminya yang tidak tahu diri. Juga tentang Mas Bram yang ... ah, aku tidak sanggup melanjutkannya.

Andai Mas Bram berdiri di sisiku. Percaya dengan apa yang kukatakan. Tentu hal seperih ini tidak akan terlalu menyiksa. Karena sebesar-besarnya masalah akan menjadi ringan saat ada belahan hati yang turut menopang. Akan tetapi, Mas Bram  tidak mau mendengarkan kata-kataku. Maka, jalan satu-satunya adalah mendatangi rumah Mbak Lastri di kontrakan Ibu Yuyun. Memaksanya untuk berkata jujur di depan Ibu dan Mas Bram. Demi kehormatan juga harga diriku.

*** 

Aku tengah berbaring sambil menyusui Kia. Hanya ia yang terlihat menghiburku di saat seperti ini. Dengan memeluk dan menciuminya saja aku bisa menemukan sedikit ketenangan. Nyaman. 

Kuhirup napas dalam-dalam. Sesak di dada yang kurasakan, tidak sedikitpun menghilang. Lagi-lagi memikirkan Mbak Lastri.

“Bodoh sekali kau, Inamah!” rutukku pada diri sendiri.  Jika saja aku tidak mudah percaya pada orang lain. Tidak mudah kasihan pada orang lain dan lebih teliti jika hendak meminjami uang pada seseorang. 

Iya, semua bermula karena satu hal yang bernama uang. Hanya masalah lembaran kertas berwarna merah itu, jadinya berbuntut panjang begini. Niat hati ingin membantu, justru diri sendiri yang tertimpa musibah. 

Puas menyusui Kia. Tidak ingin menunggu waktu lebih lama. Kuayunkan kaki untuk segera menemui Mbak Lastri.

"Mau ke mana, Mbak Inamah?" tanya Bu Darmi saat tidak sengaja berpapasan denganku. Beliau orang yang cukup disegani di daerah sini. 

"Mau ke belakang, Bu. Ada perlu," ucapku seraya mencium punggung tangan Bu Darmi.

"Ke rumah Mbak Lastri, ya? Tadi Ibu juga lihat mertuamu di sana. Rame banget banyak orang. Ada apa ya, Nduk?” terang Bu Darmi yang membuatku terpaku. Beragam tanya muncul dalam benak. Ibu di rumah Mbak Lastri? Banyak orang? Apa yang terjadi? 

"Nduk, he. Kok, malah bengong!" Bu Darmi menyenggol lenganku.  Membuat lamunan buyar dan nyaliku menciut. Sepertinya aku akan balik saja ke rumah.

 

"Ah, nggak papa, Bu. Saya mau balik dulu. Nggak jadi pergi. Ada yang kelupaan," kataku buru-buru. 

Bu Darmi mengernyit bingung. Aku tidak ingin semakin memperkeruh keadaan. Akan lebih baik jika nanti saja aku temui Mbak Lastri. Sepertinya aku salah perhitungan.

 

"Mbak Inamah! Itu, Mbak Inamah!"

Terdengar suara teriakan memanggil saat aku hendak membalik badan. Kulihat Mbak Leli dan Bu Halimah mendekat. Mereka tinggal di gang belakang. 

“Dasar pelaokr! Ayo cepet ikut!” Lenganku dicengkeram erat oleh Bu Halimah saat beliau tiba tepat di depanku. Wajahnya tampak murka. 

"Ada apa ini? Tenang dulu, ada apa?" Bu Darmi melepas tangan Bu Halimah. 

"Udah, deh. Bu Darmi nggak tahu apa-apa. Ayo, ikut kita ke rumah Mbak Lastri biar jelas. Tahu apa yang terjadi!" Mbak Leli mendesis. Ia menatapku tak suka. 

Perasaanku semakin tidak keruan. Aku dipaksa ikut tanpa bisa menolak. Hingga tibalah kaki ini di rumah Mbak Lastri, tepatnya kontrakan milik Ibu Yuyun. Di sana sudah ada beberapa warga yang berkumpul. Termasuk Ibu Mertua dan Pak RT. 

"Tuh, orangnya sudah datang!" 

"Dasar gatel! Udah punya suami masih saja ganjen sama laki orang!"

"Duh, tampilannya aja tertutup! Itu kelakuan gak ada baik-baiknya!"

Beragam cacian kudapatkan dari para warga. Mengiringi langkahku memasuki rumah Mbak Lastri. 

Aku digiring bagai orang pesakitan. Tuduhan yang orang-orang ucapkan membuat hati dan kepalaku berdenyut nyeri. Sakit! Setega ini. Sejahat ini kamu, Mbak!

Kupeluk erat Kia dalam dekapan. Ia tampak sangat gelisah. Maafkan ibu, Nak.

"Dasar munafik! Cuih!" 

"Buka aja kerudungnya! Telanjangi sekalian!" 

Suara penghakiman terus menyudutkanku. Aku terpojok dengan satu hal yang sama sekali tidak kuketahui. Benar. Fitnah jauh lebih kejam dari pembunuhan. Terlebih yang memfitnah adalah ia yang dulunya kita beri pertolongan. Ingin tahu rasanya bagaimana? Sakit!

"Sudah! Sudah, Bu! Kita dengarkan dulu penjelasan dari Mbak Inamah!" Pak RT menengahi. 

Di atas kursi ruang tamu. Kulihat Ibu membuang muka. Sementara Mbak Lastri terlihat menarik segaris senyuman ke samping kiri. Ia ... licik sekali. 

Pak RT berjalan mendekat. Disodorkannya sebuah gawai yang menyala. 

"Lihat sendiri dan jelaskan, ini semua maksudnya apa?" tanya Pak RT.

Aku menelan saliva. Kuraih gawai dari Pak RT dengan tangan bergetar. Melihat sendiri apa yang menjadi perbincangan orang-orang selama ini. Juga fitnahan dari Mbak Lastri. Mataku terbelalak. Beberapa foto di dalam gawai itu membuat dadaku sesak. 

Brakk!

Orang-orang terperanjat. Kubanting sudah gawai yang diberikan Pak RT dengan keras.

"Ini fitnah!" teriakku melengking. "Foto-foto itu jelas bukan aku! Editan semua! Jahannam kamu, Lastri!" 

Aku kalap. Berlari dengan cepat menuju kursi Mbak Lastri. Kujambak rambutnya. Ia mengerang, meringis pula kesakitan.

"Aduuuh!" jeritnya.

Tidak peduli. Aku sudah cukup diam dengan sikapnya. Kutampar dan kucakar wajahnya berkali-kali.

"Sakit! Sakiiit!" teriaknya sambil melindungi diri. 

"Tega kamu! Hah! Dasar perempuan licik! Kere munggah bale! Gak tau diri! Ditulung malah mentung!" racauku sambil terus bergerak meluapkan emosi.

"Sudah! Sudah! Hentikan!" Pak RT melerai. 

Tanggung, aku sudah naik pitam. Tidak kuhiraukan cekalan tangan Pak RT. Semakin Mbak Lastri kesakitan, semakin puas hatiku. Perempuan itu tidak bisa melawan. Aku sudah kesetanan. Entah kekuatan dari mana hingga aku bisa sesadis begini. 

"Teruskan! Lakukan saja! Banyak saksi di sini! Kamu bisa dijerat masuk jeruji besi! Lakukan! Dasar perempuan gatal!" Mbak Lastri mengumpat.

"Gatal?! Aku gatal? Kau itu yang tak tahu diri! Sudah hutang nggak bayar! Pake acara fitnah ke segala arah! Setan berwujud manusia kamu, Mbak!" bentakku emosi.  Kujambak rambutnya hingga kurasakan beberapa helai tergenggam. 

"Aaaaaaaarrrrgggggghhhhh!" Mbak Lastri menjerit kesakitan. 

Puas! Aku puas sekali! Wajahnya memerah. Ia kesakitan, tapi aksiku tidak kunjung kuakhiri. 

Byurrrrr!

"Uhuk! Uhuk!" 

Aku terbatuk. Napasku tersengal. Dadaku bergemuruh. Tersentak kaget, aku terbangun gelagapan. Rupanya tadi hanya sebuah mimpi. 

"Oh, bagus kamu, ya! Dasar menantu pemalas! Jam segini malah tidur!" Ibu mertua berkacak pinggang. 

"Maaf, Ibu. Inamah ketiduran," ujarku sambil mengusap sisa air di wajah. Ibu menyiramku dengan air. Ya, selancang ini. Beliau punya kunci ganda. Karena bagaimana pun. Rumah yang kutempati adalah rumah Ibu mertua.  Bebas keluar masuk rumah tanpa izin lebih dulu. 

"Minta maaf terus! Kelakuan nggak berubah! Jam segini tidur! Enak sekali kamu, hah?!" cecarnya. 

Kutarik napas pelan. Malas berdebat dengan Ibu. Beliau pasti masih mengungkit masalah uang kontrakan. Ah, lagi-lagi masalah uang.  Kupijit kening sendiri. Mimpi tadi, benar-benar terasa nyata. Tapi, aku ingat betul semua adegan di dalamnya. Mungkin itu akan terjadi jika aku gegabah menemui perempuan licik macam Mbak Lastri. Baiklah. Aku akan bermain cantik saja.

"Inamah minta maaf. Tadi lagi pusing. Pas nyusuin Kia, malah tertidur,” terangku pada Ibu. Kuembus napas pelan. 

"Ibu tidak perlu khawatir. Uang kontrakan Mbak Lastri. Bakal Inamah ganti setiap bulan," sambungku lagi. 

Ibu berdecak, tapi kemudian kulihat senyum terkembang di pipinya. Sudah bisa kutebak. Ya, tidak dapat dipungkiri bahwa uang merubah segalanya. Uang juga bisa merubah keadaan. 

“Ibu pegang ucapanmu, Inamah. Awas saja kalau berbohong!” ucap Ibu penuh dengan penekanan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status