Share

Bab 3

Lelaki yang mengenakan baju berwarna putih itu menepis kasar tangan Wisnu. Perlahan Wisnu pun menarik kembali uluran tangannya.

"Abah!" sentak Asma menaikkan nada suaranya seraya menatap nanar kepada Abah.

"Siapa yang mengundang kalian datang ke sini?" cetus Abah dengan wajah kesal.

"Bukankah Abah sudah bilang sama kamu, Asma. Selama kamu masih menjadi istri dari lelaki miskin ini jangan pernah injakan kakimu di rumah Abah!" ucap Abah penuh penekanan.

Tubuh Asma seketika bergetar hebat. Seluruh pasang mata yang berada di pesta itu menatap pada Wisnu dan juga Asma dengan tatapan aneh. Suara menggelegar apa cukup menarik perhatian para tamu undangan.

"Abah!" Asma menaikkan nada suaranya menatap nyalang pada lelaki bertubuh kurus tinggi yang berdiri di hadapannya.

"Umi yang mengundang mereka datang ke sini, Abah!" cetus Umi dengan suara bergetar. Butiran bening sudah memenuhi pelupuk mata tua itu.

"Untuk apa Umi mengundang mereka, bikin malu saja!" cetus Rani dengan nada sinis, membuang wajahnya dari tatapan nyalang Asma.

"Sudah Bang, lebih baik kita pergi saja dari sini!" Asma menarik kasar pergelangan tangan Wisnu yang sedari tadi memilih untuk diam.

"Tunggu Asma!" Wanita dengan gamis putih dah kerudung senada itu menarik pergelangan tangan Asma hingga langkah Asma terhenti.

"Jangan pergi, Asma!" seru Umi berlinang air mata.

"Lepaskan Asma, Umi! Asma dan Abang adalah orang miskin. Tidak pantas kami berada diacara mewah seperti ini," balas Asma melirik sinis kepada Rani dan Abah secara bergantian.

"Biarkan saja dia pergi, Umi. Kamu tidak perlu mencegah anak kamu itu pergi bersama lelaki miskin itu. Memangnya dia kira, hidup ini bisa kenyang makan cinta!" ucap Abah dengan nada menghina.

Asma menepis kasar tangan Umi. Ia bergegas menarik tangan Wisnu berjalan menuju pintu keluar.

****

Wisnu mengusap lembut bahu Asma yang terisak. "Sudah Neng, sudah! Jangan menangis," tutur Wisnu.

Semenjak kepulangannya dari rumah Abah, Asma terus saja menangis. Ucapan Abah benar-benar sangat melukai hati Asma. Keluarganya sudah mempermalukan mereka di depan umum dan di depan keluarga besarnya.

"Abah sudah sangat keterlaluan, Bang!" Asma menoleh dengan wajah sembab menatap kepada Wisnu.

"Iya Neng, Abang tau kok! Neng yang sabar ya!" Wisnu menyelipkan rambut pajang Asma yang menutupi sebagian wajahnya pada kedua telinga wanita itu.

"Kenapa Abang hanya diam saja! Harusnya Abang kan bisa membela aku, Bang!" protes Asma.

"Neng, bukannya Abang tidak mau membela Neng Asma. Hanya saja ...!"

"Aku capek Bang! Hidup dalam penghinaan hanya karena kita miskin." Wajah Asma terlihat begitu menyedihkan membuat Wisnu merasa sangat Iba sekali.

"Sabar Asma. Bukankah kaya atau miskin di mata Allah itu adalah sama, sayang!" tutur lembut Wisnu.

"Sudah Bang, aku capek sama Abang!" cetus Asma kesal.

Wanita itu bangkit dari bangku dan berjalan cepat menuju kamarnya.

Bruak!

Asma membanting daun pintu kamar dengan keras. Seperti rasa sakit hati yang sedang ia rasakan saat ini.

"Neng, Neng Asma, buka pintunya Neng!" teriak Wisnu dari balik pintu kamar yang tertutup.

Tidak ada sahutan apa pun dari dalam kamar Asma. Hanya ada tangis Asma yang terdengar begitu menyayat hati.

"Neng, tolong buka pintunya untuk Abang, Neng!" Wisnu mengetuk pintu kamar itu beberapa kali. Berharap Asma mau membukakan pintu untuknya.

Wisnu terduduk lesu di depan pintu. Wajahnya terlihat berpikir. "Neng, Abang tau Neng pasti sangat kecewa. Karena Abang belum bisa membuat Neng bahagia. Tapi Abang janji sama Neng Asma, suatu saat nanti Abang pasti akan membuat Neng bahagia," tutur Wisnu.

*****

Udara dingin semakin menusuk tulang. Asma menarik selimut menutupi tubuhnya. Wanita itu baru tersadar jika ia sudah terbangun dari tidurnya. Beberapa saat Asma diam sejenak di atas ranjang. Mencoba mengingat-ingat kejadian yang terjadi sebelum ia tertidur. 

"Abang!" lirih Asma melirik pada jam dinding yang berada di kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Biasanya, setiap selesai salat subuh Wisnu akan menyempatkan diri untuk membaca kita suci Alquran hingga Asma terbangun karena suara merdu lelaki itu. Tapi kini semua terasa begitu hening sekali.

Asma membuka kembali selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat ia merapikan selimut yang masih menutupi tubuh Akbar. Asma baru baru teringat, sebelum ia masuk ke dalam kamar. Dirinya sempat mengunci pintu kamar itu dari dalam.

Asma membuka pintu kamar. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi, tidak ada siapapun. 

"Di mana Abang?" lirih Asma dengan perasaan bingung. "Apakah Bang Wisnu marah padaku?" pikirnya.

Asma berjalan menuju dapur. Di dalam ruangan itu juga tidak ada siapapun. Kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan dapur pun terlihat kosong, tidak ada siapapun.

"Apa mungkin Bang Wisnu salat di masjid ya!" Asma berusaha berpikir positif pada Wisnu yang tidak ia temukan di manapun.

Matahari mulai merangkak naik. Udara dingin yang sejak pagi menyergap mulai terasa hangat menyentuh pori-pori kulit. 

Asma semakin cemas. Karena lelaki itu juga tak kunjung pulang.

"Ustad Ahmad, apakah suami saya masih berada di Masjid?" tanya Asma pada imam masjid yang kebetulan melintas di depan rumahnya.

Lelaki paruh baya itu menggeleng lembut. "Tidak, justru saya mau menanyakan kepada Neng Asma. Sudah beberapa hari ini Mas Wisnu kok nggak pernah kelihatan di masjid," tutur imam masjid itu membuat Asma tercekat.

Kedua bola mata Asma membulat penuh melihat pada lelaki yang berada di hadapannya. "Jadi Bang Wisnu tidak berada di Masjid ya, Ustadz?" 

Lelaki itu kembali menggeleng. "Tidak ada Neng!" serunya.

****

Baru kali ini Asma menginjakkan kakinya di perkebunan tempat Wisnu bekerja. Hampir empat tahun menjalani biduk rumah tangga, lelaki yang memiliki tutur kata lembut itu sama sekali tidak mengizinkan Asma untuk datang ke tempat kerjanya. Jika bukan karena mencari Wisnu, Asma tidak akan datang ke perkebunan terbesar yang berada di tempatnya.

"Sepertinya ini adalah tempat kerja Bang Wisnu," monolog Asma menyapu pandangannya ke sekeliling.

Wanita yang mengenakan gamis tosca itu berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah perkebunan teh milik keluarga Sangir. Perkebunan teh dengan luas berhektar-hektar itu semua adalah milik Perusahaan Sangir dan di tempat inilah Wisnu bekerja.

"Cari apa Mbak?" Seseorang menghadang langkah kaki Asma. 

Asma mengedarkan pandangannya ke sekeliling perkebunan teh. Berjajar rapi para pemetik teh dengan membawa bakul yang digendong di atas punggung mereka. Asma berharap salah satu diantara mereka adalah Wisnu, suaminya. Sebelum ia menjatuhkan tatapan pada lelaki yang berdiri di hadapannya.

"Saya mau cari suami saya, Tuan!" ucap Asma.

"Siapa nama suami, Mbak?" tanya lelaki itu.

"Wisnu, Tuan!" lirih Asma.

"Sebentar ya, saya lihat dulu pada data nama buruh yang bekerja di sini," ucap lelaki itu, sesaat ia terlihat membuka sebuah buku besar yang berada di tangannya.

Asma terlihat cemas. Sesekali ia mengigit bibir bawahnya menatap getir pada lelaki yang berada di depannya.

"Maaf Mbak, buruh kami tidak ada yang bernama Wisnu!" 

Deg!

Mata Asma seketika gerimis. "Apa? Apakah Tuan yakin. Sudah tiga tahun suami saya bekerja di sini, Tuan." Asma terkejut dengan ucapan lelaki itu.

"Bisakah Tuan lihat lagi, siapa tahu nama suami saya terselip pada daftar nama itu," pinta Asma.

"Baiklah!" jawab lelaki itu kembali membuka buku besar yang berada di tangannya. 

Asma terlihat semakin gusar dengan wajah cemas.

"Maaf Mbak, nama itu memang tidak ada di sini. Bahkan saya sudah melihat pada daftar nama buruh empat tahun yang lalu. Tetapi tetap saja nama Wisnu tidak ada di sini."

Sejenak Asma mematung dengan hati yang kacau. Ia tidak tau harus berbuat apalagi. Gerimis yang membasahi pipinya semakin deras. 

"Terimakasih, Tuan!" lirih Asma memutar tubuhnya meninggalkan perkebunan teh dengan perasaan yang campur aduk.

*****

Bersambung .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status