Lelaki yang mengenakan baju berwarna putih itu menepis kasar tangan Wisnu. Perlahan Wisnu pun menarik kembali uluran tangannya.
"Abah!" sentak Asma menaikkan nada suaranya seraya menatap nanar kepada Abah."Siapa yang mengundang kalian datang ke sini?" cetus Abah dengan wajah kesal."Bukankah Abah sudah bilang sama kamu, Asma. Selama kamu masih menjadi istri dari lelaki miskin ini jangan pernah injakan kakimu di rumah Abah!" ucap Abah penuh penekanan.Tubuh Asma seketika bergetar hebat. Seluruh pasang mata yang berada di pesta itu menatap pada Wisnu dan juga Asma dengan tatapan aneh. Suara menggelegar apa cukup menarik perhatian para tamu undangan."Abah!" Asma menaikkan nada suaranya menatap nyalang pada lelaki bertubuh kurus tinggi yang berdiri di hadapannya."Umi yang mengundang mereka datang ke sini, Abah!" cetus Umi dengan suara bergetar. Butiran bening sudah memenuhi pelupuk mata tua itu."Untuk apa Umi mengundang mereka, bikin malu saja!" cetus Rani dengan nada sinis, membuang wajahnya dari tatapan nyalang Asma."Sudah Bang, lebih baik kita pergi saja dari sini!" Asma menarik kasar pergelangan tangan Wisnu yang sedari tadi memilih untuk diam."Tunggu Asma!" Wanita dengan gamis putih dah kerudung senada itu menarik pergelangan tangan Asma hingga langkah Asma terhenti."Jangan pergi, Asma!" seru Umi berlinang air mata."Lepaskan Asma, Umi! Asma dan Abang adalah orang miskin. Tidak pantas kami berada diacara mewah seperti ini," balas Asma melirik sinis kepada Rani dan Abah secara bergantian."Biarkan saja dia pergi, Umi. Kamu tidak perlu mencegah anak kamu itu pergi bersama lelaki miskin itu. Memangnya dia kira, hidup ini bisa kenyang makan cinta!" ucap Abah dengan nada menghina.Asma menepis kasar tangan Umi. Ia bergegas menarik tangan Wisnu berjalan menuju pintu keluar.****Wisnu mengusap lembut bahu Asma yang terisak. "Sudah Neng, sudah! Jangan menangis," tutur Wisnu.Semenjak kepulangannya dari rumah Abah, Asma terus saja menangis. Ucapan Abah benar-benar sangat melukai hati Asma. Keluarganya sudah mempermalukan mereka di depan umum dan di depan keluarga besarnya."Abah sudah sangat keterlaluan, Bang!" Asma menoleh dengan wajah sembab menatap kepada Wisnu."Iya Neng, Abang tau kok! Neng yang sabar ya!" Wisnu menyelipkan rambut pajang Asma yang menutupi sebagian wajahnya pada kedua telinga wanita itu."Kenapa Abang hanya diam saja! Harusnya Abang kan bisa membela aku, Bang!" protes Asma."Neng, bukannya Abang tidak mau membela Neng Asma. Hanya saja ...!""Aku capek Bang! Hidup dalam penghinaan hanya karena kita miskin." Wajah Asma terlihat begitu menyedihkan membuat Wisnu merasa sangat Iba sekali."Sabar Asma. Bukankah kaya atau miskin di mata Allah itu adalah sama, sayang!" tutur lembut Wisnu."Sudah Bang, aku capek sama Abang!" cetus Asma kesal.Wanita itu bangkit dari bangku dan berjalan cepat menuju kamarnya.Bruak!Asma membanting daun pintu kamar dengan keras. Seperti rasa sakit hati yang sedang ia rasakan saat ini."Neng, Neng Asma, buka pintunya Neng!" teriak Wisnu dari balik pintu kamar yang tertutup.Tidak ada sahutan apa pun dari dalam kamar Asma. Hanya ada tangis Asma yang terdengar begitu menyayat hati."Neng, tolong buka pintunya untuk Abang, Neng!" Wisnu mengetuk pintu kamar itu beberapa kali. Berharap Asma mau membukakan pintu untuknya.Wisnu terduduk lesu di depan pintu. Wajahnya terlihat berpikir. "Neng, Abang tau Neng pasti sangat kecewa. Karena Abang belum bisa membuat Neng bahagia. Tapi Abang janji sama Neng Asma, suatu saat nanti Abang pasti akan membuat Neng bahagia," tutur Wisnu.*****Udara dingin semakin menusuk tulang. Asma menarik selimut menutupi tubuhnya. Wanita itu baru tersadar jika ia sudah terbangun dari tidurnya. Beberapa saat Asma diam sejenak di atas ranjang. Mencoba mengingat-ingat kejadian yang terjadi sebelum ia tertidur. "Abang!" lirih Asma melirik pada jam dinding yang berada di kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Biasanya, setiap selesai salat subuh Wisnu akan menyempatkan diri untuk membaca kita suci Alquran hingga Asma terbangun karena suara merdu lelaki itu. Tapi kini semua terasa begitu hening sekali.Asma membuka kembali selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat ia merapikan selimut yang masih menutupi tubuh Akbar. Asma baru baru teringat, sebelum ia masuk ke dalam kamar. Dirinya sempat mengunci pintu kamar itu dari dalam.Asma membuka pintu kamar. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi, tidak ada siapapun. "Di mana Abang?" lirih Asma dengan perasaan bingung. "Apakah Bang Wisnu marah padaku?" pikirnya.Asma berjalan menuju dapur. Di dalam ruangan itu juga tidak ada siapapun. Kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan dapur pun terlihat kosong, tidak ada siapapun."Apa mungkin Bang Wisnu salat di masjid ya!" Asma berusaha berpikir positif pada Wisnu yang tidak ia temukan di manapun.Matahari mulai merangkak naik. Udara dingin yang sejak pagi menyergap mulai terasa hangat menyentuh pori-pori kulit. Asma semakin cemas. Karena lelaki itu juga tak kunjung pulang."Ustad Ahmad, apakah suami saya masih berada di Masjid?" tanya Asma pada imam masjid yang kebetulan melintas di depan rumahnya.Lelaki paruh baya itu menggeleng lembut. "Tidak, justru saya mau menanyakan kepada Neng Asma. Sudah beberapa hari ini Mas Wisnu kok nggak pernah kelihatan di masjid," tutur imam masjid itu membuat Asma tercekat.Kedua bola mata Asma membulat penuh melihat pada lelaki yang berada di hadapannya. "Jadi Bang Wisnu tidak berada di Masjid ya, Ustadz?" Lelaki itu kembali menggeleng. "Tidak ada Neng!" serunya.****Baru kali ini Asma menginjakkan kakinya di perkebunan tempat Wisnu bekerja. Hampir empat tahun menjalani biduk rumah tangga, lelaki yang memiliki tutur kata lembut itu sama sekali tidak mengizinkan Asma untuk datang ke tempat kerjanya. Jika bukan karena mencari Wisnu, Asma tidak akan datang ke perkebunan terbesar yang berada di tempatnya."Sepertinya ini adalah tempat kerja Bang Wisnu," monolog Asma menyapu pandangannya ke sekeliling.Wanita yang mengenakan gamis tosca itu berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah perkebunan teh milik keluarga Sangir. Perkebunan teh dengan luas berhektar-hektar itu semua adalah milik Perusahaan Sangir dan di tempat inilah Wisnu bekerja."Cari apa Mbak?" Seseorang menghadang langkah kaki Asma. Asma mengedarkan pandangannya ke sekeliling perkebunan teh. Berjajar rapi para pemetik teh dengan membawa bakul yang digendong di atas punggung mereka. Asma berharap salah satu diantara mereka adalah Wisnu, suaminya. Sebelum ia menjatuhkan tatapan pada lelaki yang berdiri di hadapannya."Saya mau cari suami saya, Tuan!" ucap Asma."Siapa nama suami, Mbak?" tanya lelaki itu."Wisnu, Tuan!" lirih Asma."Sebentar ya, saya lihat dulu pada data nama buruh yang bekerja di sini," ucap lelaki itu, sesaat ia terlihat membuka sebuah buku besar yang berada di tangannya.Asma terlihat cemas. Sesekali ia mengigit bibir bawahnya menatap getir pada lelaki yang berada di depannya."Maaf Mbak, buruh kami tidak ada yang bernama Wisnu!" Deg!Mata Asma seketika gerimis. "Apa? Apakah Tuan yakin. Sudah tiga tahun suami saya bekerja di sini, Tuan." Asma terkejut dengan ucapan lelaki itu."Bisakah Tuan lihat lagi, siapa tahu nama suami saya terselip pada daftar nama itu," pinta Asma."Baiklah!" jawab lelaki itu kembali membuka buku besar yang berada di tangannya. Asma terlihat semakin gusar dengan wajah cemas."Maaf Mbak, nama itu memang tidak ada di sini. Bahkan saya sudah melihat pada daftar nama buruh empat tahun yang lalu. Tetapi tetap saja nama Wisnu tidak ada di sini."Sejenak Asma mematung dengan hati yang kacau. Ia tidak tau harus berbuat apalagi. Gerimis yang membasahi pipinya semakin deras. "Terimakasih, Tuan!" lirih Asma memutar tubuhnya meninggalkan perkebunan teh dengan perasaan yang campur aduk.*****Bersambung ....Asma berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Wanita bertubuh tambun yang sedari tadi menjaga Akbar segera bangkit menyambut kedatangan Asma."Bagaimana Asma, apakah kamu sudah menemukan Wisnu!" beo Umi terlihat panik sama seperti halnya Asma.Wanita yang mengenakan kerudung coklat itu menggeleng lembut dengan wajah sembab. "Aku tidak menemukan Bang Wisnu, Umi!" lirih Asma.Umi terduduk lesu di samping Asma. Wanita paruh baya itu mengusap lembut bahu Asma yang terlihat sangat sedih sekali."Apakah Wisnu tidak ada di tempat kerjanya?" tanya Umi yang dibalas gelengan oleh Asma. Kesedihan nampak jelas pada wajah gadis itu."Tidak ada, Umi!" lirih Asma.Umi menghela nafas panjang. Jemarinya masih setia mengusap lembut bahu Asma. "Sepertinya Wisnu benar-benar marah dengan sikap Abah semalam, Asma!" tutur Umi dengan nada lesu. Sorot matanya menatap lurus dengan wajah berfikir."Asma tidak tau Umi. Baru kali ini Bang Wisnu pergi tanpa pamit kepadaku seperti ini. Biasanya dia tidak pernah sepert
Abah menerobos masuk ke dalam rumah Asma. Saat wanita itu menolak memberikan buku nikah miliknya kepada Abah."Jangan Abah! Jangan!" seru Asma terisak menarik pergelangan tangan Abah.Abah membuka lemari Asma dan mencari buku pernikahan itu sendiri. Lelaki itu melempar baju-baju Asma yang berdiri di dalam lemari ke sembarang tempat."Di mana kamu menyembunyikan buku itu, Asma!" erang Abah menggeledah seluruh rumah Asma, lelaki itu semakin kesal karena tidak dapat menentukan apapun."Jangan Abah, aku tidak ingin berpisah dengan Bang Wisnu, Bah!" Tangis Asma pecah.Bruak!"Kamu harus berpisah dengan Wisnu. Lelaki tidak bertanggungjawab itu tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia, Asma!" Dengan wajah merah menyala Abah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Asma yang tersungkur di sudut ruangan."Jangan Abah! Asma mohon!" Asma menelangkupkan kedua tangannya memohon kepada Abah. Namun lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan Asma. Ia terus mencari keberadaan buku nikah yang akan ia guna
Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu."Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali. "Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar."Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak."Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang me
Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya."Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berse
Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah