Share

Bab 4

Asma berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Wanita bertubuh tambun yang sedari tadi menjaga Akbar segera bangkit menyambut kedatangan Asma.

"Bagaimana Asma, apakah kamu sudah menemukan Wisnu!" beo Umi terlihat panik sama seperti halnya Asma.

Wanita yang mengenakan kerudung coklat itu menggeleng lembut dengan wajah sembab. "Aku tidak menemukan Bang Wisnu, Umi!" lirih Asma.

Umi terduduk lesu di samping Asma. Wanita paruh baya itu mengusap lembut bahu Asma yang terlihat sangat sedih sekali.

"Apakah Wisnu tidak ada di tempat kerjanya?" tanya Umi yang dibalas gelengan oleh Asma. Kesedihan nampak jelas pada wajah gadis itu.

"Tidak ada, Umi!" lirih Asma.

Umi menghela nafas panjang. Jemarinya masih setia mengusap lembut bahu Asma. "Sepertinya Wisnu benar-benar marah dengan sikap Abah semalam, Asma!" tutur Umi dengan nada lesu. Sorot matanya menatap lurus dengan wajah berfikir.

"Asma tidak tau Umi. Baru kali ini Bang Wisnu pergi tanpa pamit kepadaku seperti ini. Biasanya dia tidak pernah seperti itu. Sekalipun kami bertengkar hebat," ucap Asma dengan nada serak menatap pada wanita yang duduk di sampingnya.

"Kenapa kamu tidak coba saja menelepon Wisnu?" celetuk Umi.

"Bang Wisnu tidak punya telepon, Umi. Umi kan tahu sendiri bagaimana keadaan kami!" lirih Asma semakin sedih.

"Sabar Asma! Mungkin saja Wisnu sedang ada urusan yang sangat mendadak. Sehingga dia tidak sempat untuk berpamitan dengan kamu," hibur Umi.

"Iya Umi, aku harap juga seperti itu," ucap Asma mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

"Umi, jangan katakan apapun pada Abah ya soal masalah ini," tutur Asma. Ia paham betul, jika saja Abah tau Wisnu pergi pasti Abah akan mengajukan surat perceraian untuk Asma dan Wisnu.

"Iya Asma, kamu tenang saja!" sahut Umi yang sangat mengerti dengan keadaan Asma.

***

Hampir satu minggu lelaki itu tak juga kunjung kembali. Asma semakin merana. Wanita itu hanya bisa mengirimkan rindunya lewat sepertiga malam. Berharap suatu saat suaminya akan kembali pulang.

Asma duduk pada bangku teras yang berada di depan rumahnya. Sorot matanya menyapu pada perkebunan teh yang terhampar luas.

"Bang, aku rindu sekali sama Abang!" guman Asma menatap pada Akbar yang terlihat asyik sekali bermain mobil-mobilan bekas yang beberapa waktu lalu Wisnu bawakan untuknya.

Tidak terasa sudut mata Asma kembali basah. Ia teringat ucapan lelaki yang ia temui di perkebunan beberapa waktu lalu. Selama hampir empat tahun Wisnu sudah membohonginya.

"Abang pulanglah! Aku butuh penjelasan!" lirih Asma meraih tubuh Akbar dalam pangkuannya. Netranya menerawang jauh.

"Apakah Abang tidak rindu dengan putramu ini!" lirih Asma menatap sedih pada Akbar seraya membelai lembut rambut putranya.

"Aslamualaikum!" sapa seorang yang mengenakan seragam safari hitam muncul di depan rumah Asma. Seragam khas kariawan yang bekerja di perusahaan perkebunan teh milik keluarga Sangir.

"Wa'alaikum salam, Tuan!" sahut Asma sedikit terkejut. Baru kali ini dirinya mendapatkan tamu orang penting seperti ini.

"Benarkah ini rumah Ibu Asma?" tanya lelaki berkacamata hitam itu pada Asma.

Asma yang sudah bangkit dengan mengedong Akbar mengangguk lembut. "Iya ini rumah saya!" sahut Asma dengan tatapan penasaran.

Lelaki itu menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil pada Asma. Satu tangannya meraih sesuatu dari dalam saku baju yang ia kenakan.

"Ibu Asma silahkan di terima!" ucap lelaki itu seraya menyodorkan sebuah amplop pada Asma.

Asma tidak bergeming melihat pada amplop yang masih berada di tangan lelaki itu. "Silahkan Ibu Asma!" ucap lelaki itu membuat Asma tersadar.

"Ini dari siapa, Tuan!" ucap Asma dengan nada terbata melihat pada lelaki bertubuh tinggi besar yang ada di depannya.

"Ini adalah bonus untuk suami ibu. Karena selama ini beliau sudah bekerja sangat bagus sekali," tukas lelaki yang mengenakan seragam safari itu pada Asma.

Sejenak Asma terlihat berfikir. "Tapi tadi kata mandor yang ada diperkebunan teh, nama suami saya tidak ada di daftar nama pekerja di sana!" ucap Asma terbata. Ia menyodorkan kembali amplop itu.

"Tidak Ibu, ibu harus menerima Amplop ini, jika tidak atasan saya bisa memecat saya. Karena selama ini Pak Wisnu sudah menjadi salah satu pemetik teh terbaik diperkebunan," jelas lelaki itu memaksa Asma untuk menerima.

"Tapi saya tidak mau menerimanya, Tuan! Sebelum saya bertemu dengan suami saya." Asma menyodorkan paksa amplop itu kepada lelaki bertubuh tinggi besar yang berada di depannya.

"Tidak, Ibu Asma, tidak! Saya tidak akan pulang dari rumah ibu, jika ibu Asma tidak menerima amplop ini." Lelaki itu menarik tubuhnya berlutut di depan kaki Asma.

Secepatnya Asma membantu lelaki itu untuk bangkit. "Bangun Tuan! Bangun! Jangan seperti ini," ucap Asma.

"Baiklah saya akan menerima amplop ini," sahut Asma dibalas senyuman lebar oleh lelaki yang kini sudah bangkit berdiri itu.

****

Asma ragu untuk membuka isi amplop tersebut. Apalagi amplop itu dikirim oleh salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan teh itu.

"Akbar, apakah ibu harus membukanya?" tanya Asma pada Akbar.

"Kak, kak, kak!" celetuk Akbar yang mencoba untuk meraih amplop yang berada di tangan Asma.

"Baiklah, kita buka saja ya!" seru Asma.

Kedua bola mata Asma seketika membulat penuh, saat melihat puluhan lembar uang berwarna merah yang berada di dalam amplop itu.

"Akbar, ini isinya uang sayang!" ucap Asma masih terkesiap dengan apa yang ia lihat. Sekilas ia melirik pada Akbar yang sedang sibuk bermain.

"Ya Allah, tidak mungkin jika ini uang bonus Bang Wisnu. Ini terlalu banyak untuk ukuran bonus," ucap Asma tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Aku harus menanyakan kejelasannya kepada Bang Wisnu!" Asma kembali memasukan uang ke dalam amplop dan menutup amplop itu. Netranya menerawang jauh dengan ribuan pertanyaan yang memenuhi benak.

*****

"Bang, kenapa Abang tidak pulang. Aku rindu berkumpul dengan Abang," monolog Asma dengan perasaan rindu. Sampai detik ini Wisnu tidak juga kunjung kembali.

Asma tercekat melihat lelaki bertubuh kurus tinggi yang berjalan menaiki jalan setapak menuju rumahnya. Dari tatapannya sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

"Abah!" lirih Asma takut.

Jantung Asma bertalu-talu. Dirinya tahu, apa tujuan lelaki itu datang ke rumahnya.

"Abah!" seloroh Asma menyambut kedatangan lelaki bertubuh kurus tinggi itu.

Abah mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah sederhana Asma. Ini adalah kedua kalinya Abah mengijakkan kakinya di rumah Asma. Yang pertama adalah saat rumah sederhana itu dibangun sebagai tanda cinta Wisnu pada Asma.

"Abah dengar, suamimu belum juga kembali?" cetus Abah dengan nada ketus.

Asma tercekat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. "Abah kata siapa?"sahut Asma dengan nada terbata. Wajahnya terlihat sangat pucat.

Netra' Abah merah menyala. "Kamu tidak perlu tau darimana aku tau semua itu. Seluruh orang kampung juga tau, kalau suami kamu sudah tidak pulang lagi ke rumah ini," cerca Abah dengan nada marah.

"Bang Wisnu sedang kerja ke ..."

"Berikan buku nikah kamu, biar Abah yang mengurus surat pisah kalian. Tidak ada gunanya kamu menunggu lelaki yang sama sekali tidak memikirkan istrinya!" sentak Abah.

*****

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Abraham Dominggus Latuheru
ga jelas cerita apa ini baru 4epsdh bersabung ga jelas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status