Asma berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Wanita bertubuh tambun yang sedari tadi menjaga Akbar segera bangkit menyambut kedatangan Asma.
"Bagaimana Asma, apakah kamu sudah menemukan Wisnu!" beo Umi terlihat panik sama seperti halnya Asma.Wanita yang mengenakan kerudung coklat itu menggeleng lembut dengan wajah sembab. "Aku tidak menemukan Bang Wisnu, Umi!" lirih Asma.Umi terduduk lesu di samping Asma. Wanita paruh baya itu mengusap lembut bahu Asma yang terlihat sangat sedih sekali."Apakah Wisnu tidak ada di tempat kerjanya?" tanya Umi yang dibalas gelengan oleh Asma. Kesedihan nampak jelas pada wajah gadis itu."Tidak ada, Umi!" lirih Asma.Umi menghela nafas panjang. Jemarinya masih setia mengusap lembut bahu Asma. "Sepertinya Wisnu benar-benar marah dengan sikap Abah semalam, Asma!" tutur Umi dengan nada lesu. Sorot matanya menatap lurus dengan wajah berfikir."Asma tidak tau Umi. Baru kali ini Bang Wisnu pergi tanpa pamit kepadaku seperti ini. Biasanya dia tidak pernah seperti itu. Sekalipun kami bertengkar hebat," ucap Asma dengan nada serak menatap pada wanita yang duduk di sampingnya."Kenapa kamu tidak coba saja menelepon Wisnu?" celetuk Umi."Bang Wisnu tidak punya telepon, Umi. Umi kan tahu sendiri bagaimana keadaan kami!" lirih Asma semakin sedih."Sabar Asma! Mungkin saja Wisnu sedang ada urusan yang sangat mendadak. Sehingga dia tidak sempat untuk berpamitan dengan kamu," hibur Umi."Iya Umi, aku harap juga seperti itu," ucap Asma mencoba menenangkan pikirannya yang kacau."Umi, jangan katakan apapun pada Abah ya soal masalah ini," tutur Asma. Ia paham betul, jika saja Abah tau Wisnu pergi pasti Abah akan mengajukan surat perceraian untuk Asma dan Wisnu."Iya Asma, kamu tenang saja!" sahut Umi yang sangat mengerti dengan keadaan Asma.***Hampir satu minggu lelaki itu tak juga kunjung kembali. Asma semakin merana. Wanita itu hanya bisa mengirimkan rindunya lewat sepertiga malam. Berharap suatu saat suaminya akan kembali pulang.Asma duduk pada bangku teras yang berada di depan rumahnya. Sorot matanya menyapu pada perkebunan teh yang terhampar luas."Bang, aku rindu sekali sama Abang!" guman Asma menatap pada Akbar yang terlihat asyik sekali bermain mobil-mobilan bekas yang beberapa waktu lalu Wisnu bawakan untuknya.Tidak terasa sudut mata Asma kembali basah. Ia teringat ucapan lelaki yang ia temui di perkebunan beberapa waktu lalu. Selama hampir empat tahun Wisnu sudah membohonginya."Abang pulanglah! Aku butuh penjelasan!" lirih Asma meraih tubuh Akbar dalam pangkuannya. Netranya menerawang jauh."Apakah Abang tidak rindu dengan putramu ini!" lirih Asma menatap sedih pada Akbar seraya membelai lembut rambut putranya."Aslamualaikum!" sapa seorang yang mengenakan seragam safari hitam muncul di depan rumah Asma. Seragam khas kariawan yang bekerja di perusahaan perkebunan teh milik keluarga Sangir."Wa'alaikum salam, Tuan!" sahut Asma sedikit terkejut. Baru kali ini dirinya mendapatkan tamu orang penting seperti ini."Benarkah ini rumah Ibu Asma?" tanya lelaki berkacamata hitam itu pada Asma.Asma yang sudah bangkit dengan mengedong Akbar mengangguk lembut. "Iya ini rumah saya!" sahut Asma dengan tatapan penasaran.Lelaki itu menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil pada Asma. Satu tangannya meraih sesuatu dari dalam saku baju yang ia kenakan."Ibu Asma silahkan di terima!" ucap lelaki itu seraya menyodorkan sebuah amplop pada Asma.Asma tidak bergeming melihat pada amplop yang masih berada di tangan lelaki itu. "Silahkan Ibu Asma!" ucap lelaki itu membuat Asma tersadar."Ini dari siapa, Tuan!" ucap Asma dengan nada terbata melihat pada lelaki bertubuh tinggi besar yang ada di depannya."Ini adalah bonus untuk suami ibu. Karena selama ini beliau sudah bekerja sangat bagus sekali," tukas lelaki yang mengenakan seragam safari itu pada Asma.Sejenak Asma terlihat berfikir. "Tapi tadi kata mandor yang ada diperkebunan teh, nama suami saya tidak ada di daftar nama pekerja di sana!" ucap Asma terbata. Ia menyodorkan kembali amplop itu."Tidak Ibu, ibu harus menerima Amplop ini, jika tidak atasan saya bisa memecat saya. Karena selama ini Pak Wisnu sudah menjadi salah satu pemetik teh terbaik diperkebunan," jelas lelaki itu memaksa Asma untuk menerima."Tapi saya tidak mau menerimanya, Tuan! Sebelum saya bertemu dengan suami saya." Asma menyodorkan paksa amplop itu kepada lelaki bertubuh tinggi besar yang berada di depannya."Tidak, Ibu Asma, tidak! Saya tidak akan pulang dari rumah ibu, jika ibu Asma tidak menerima amplop ini." Lelaki itu menarik tubuhnya berlutut di depan kaki Asma.Secepatnya Asma membantu lelaki itu untuk bangkit. "Bangun Tuan! Bangun! Jangan seperti ini," ucap Asma."Baiklah saya akan menerima amplop ini," sahut Asma dibalas senyuman lebar oleh lelaki yang kini sudah bangkit berdiri itu.****Asma ragu untuk membuka isi amplop tersebut. Apalagi amplop itu dikirim oleh salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan teh itu."Akbar, apakah ibu harus membukanya?" tanya Asma pada Akbar."Kak, kak, kak!" celetuk Akbar yang mencoba untuk meraih amplop yang berada di tangan Asma."Baiklah, kita buka saja ya!" seru Asma.Kedua bola mata Asma seketika membulat penuh, saat melihat puluhan lembar uang berwarna merah yang berada di dalam amplop itu."Akbar, ini isinya uang sayang!" ucap Asma masih terkesiap dengan apa yang ia lihat. Sekilas ia melirik pada Akbar yang sedang sibuk bermain."Ya Allah, tidak mungkin jika ini uang bonus Bang Wisnu. Ini terlalu banyak untuk ukuran bonus," ucap Asma tidak percaya dengan apa yang ia lihat."Aku harus menanyakan kejelasannya kepada Bang Wisnu!" Asma kembali memasukan uang ke dalam amplop dan menutup amplop itu. Netranya menerawang jauh dengan ribuan pertanyaan yang memenuhi benak.*****"Bang, kenapa Abang tidak pulang. Aku rindu berkumpul dengan Abang," monolog Asma dengan perasaan rindu. Sampai detik ini Wisnu tidak juga kunjung kembali.Asma tercekat melihat lelaki bertubuh kurus tinggi yang berjalan menaiki jalan setapak menuju rumahnya. Dari tatapannya sesuatu yang buruk pasti akan terjadi."Abah!" lirih Asma takut.Jantung Asma bertalu-talu. Dirinya tahu, apa tujuan lelaki itu datang ke rumahnya."Abah!" seloroh Asma menyambut kedatangan lelaki bertubuh kurus tinggi itu.Abah mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah sederhana Asma. Ini adalah kedua kalinya Abah mengijakkan kakinya di rumah Asma. Yang pertama adalah saat rumah sederhana itu dibangun sebagai tanda cinta Wisnu pada Asma."Abah dengar, suamimu belum juga kembali?" cetus Abah dengan nada ketus.Asma tercekat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. "Abah kata siapa?"sahut Asma dengan nada terbata. Wajahnya terlihat sangat pucat.Netra' Abah merah menyala. "Kamu tidak perlu tau darimana aku tau semua itu. Seluruh orang kampung juga tau, kalau suami kamu sudah tidak pulang lagi ke rumah ini," cerca Abah dengan nada marah."Bang Wisnu sedang kerja ke ...""Berikan buku nikah kamu, biar Abah yang mengurus surat pisah kalian. Tidak ada gunanya kamu menunggu lelaki yang sama sekali tidak memikirkan istrinya!" sentak Abah.*****Bersambung ....Abah menerobos masuk ke dalam rumah Asma. Saat wanita itu menolak memberikan buku nikah miliknya kepada Abah."Jangan Abah! Jangan!" seru Asma terisak menarik pergelangan tangan Abah.Abah membuka lemari Asma dan mencari buku pernikahan itu sendiri. Lelaki itu melempar baju-baju Asma yang berdiri di dalam lemari ke sembarang tempat."Di mana kamu menyembunyikan buku itu, Asma!" erang Abah menggeledah seluruh rumah Asma, lelaki itu semakin kesal karena tidak dapat menentukan apapun."Jangan Abah, aku tidak ingin berpisah dengan Bang Wisnu, Bah!" Tangis Asma pecah.Bruak!"Kamu harus berpisah dengan Wisnu. Lelaki tidak bertanggungjawab itu tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia, Asma!" Dengan wajah merah menyala Abah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Asma yang tersungkur di sudut ruangan."Jangan Abah! Asma mohon!" Asma menelangkupkan kedua tangannya memohon kepada Abah. Namun lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan Asma. Ia terus mencari keberadaan buku nikah yang akan ia guna
Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu."Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali. "Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar."Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak."Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang me
Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya."Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berse
Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke