"Aku tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja, Rani!" cetus Bagas dengan wajah menyeringai.Tubuh Rani dibanjiri peluh. Air mata mengalir deras dengan wajah ketakutan. Ia berusaha menarik kaki yang berada dalam cengkraman tangan Bagas. Tapi lelaki itu justru mencengkraman kedua kaki Rani sekaligus dan menarik tubuh Rani dengan kasar, hingga terseret."Tolong! Tolong!" teriak suara Rani menggema di seluruh penjuru. Dengan menangis ia berusaha untuk melakukan perlawanan, tapi kekuatan Rani tidak seberapa dibandingkan dengan kekuatan Bagas._____Umi terlihat gusar. Sesekali ia melirik ke arah kerumunan tempat Rani menghilang beberapa saat yang lalu. Sementara suara dentuman musik yang dimainkan semakin meriah."As," panggil Umi pada wanita yang sedang menikmati sajian musik dangdut yang sedang dimainkan oleh para pemain musik dan seorang artis terkenal bersuara merdu di atas panggung."As!" Panggil Umi lagi."Iya Umi," sahut Asma menoleh ke arah Umi yang duduk di sampingnya."Kemana
"Rani, apakah kamu sudah gila!" sentak Asma membulatkan kedua matanya. Semua yang berada di dalam ruangan itu pun terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir Rani.Seketika gadis itu pun menoleh ke arah Asma dengan tatapan tajam setelahnya beberapa saat ia mengalihkan tatapannya pada Ustaz Azhar yang tidak kalah terkejutnya. "Kenapa Mbak, kenapa?" Rani menaikkan nada suaranya penuh kekesalan. Urat-urat pada wajahnya pun hampir terlihat membiru."Kamu tidak bisa memaksa seseorang untuk menikahimu, Ran!" cetus Rani mengeraskan rahangnya. Wajahnya merah menyalah, menahan gemuruh di dalam dadanya."Kenapa Mbak, apa yang salah? coba Mbak Asma menjadi aku. Coba Mbak!" teriak Rani, kedua matanya membulat penuh seperti akan terlepas. Derai air mata kembali bercucuran. Asma tercekat, ia tidak dapat berkata-kata apapun. Netra yang melotot semakin melebar."Sekarang, tidak akan ada satupun lelaki yang mau menikahiku. Aku adalah wanita yang sangat menjijikkan Mbak. Aku adalah wanita hina. J
Tumpukan kertas undangan telah siap di atas meja. Besok atau lusa, seseorang akan mengambil undangan pernikahan itu dan mulai mengantarkannya pada pemiliknya masing-masing.Lelaki berambut cepak itu terlihat sedang mengecek beberapa nama pada secarik buku tamu undangan yang akan hadir di hari pernikahannya minggu depan. Saat Ibu Fatimah berjalan mendekati Ustaz Azhar.Ibu Fatimah meletakan secangkir kopi hangat di atas meja. Sesaat ia melirik pada putra satu-satunya dengan wajah sedikit masam. Pasti hal itu karena keputusan Ustaz Azhar yang ingin menikahi Rani."Minumlah, nanti keburu dingin!" titah Ibu Fatimah memecah keheningan yang tercipta. "Tadi ibu tidak sempat mengantarkannya, karena Ibu langsung sholat subuh," jelas wanita itu.Ustaz Azhar menoleh pada Ibu Fatimah yang masih berdiri di sampingnya. Lalu kembali melanjutkan pekerjaannya lagi memeriksa daftar tamu yang akan ia undang."Hah ...!"Ibu Fatimah menghempaskan kasar tubuhnya duduk pada bangku yang berada di samping Ust
"Surat dengan sampul merah muda!" guman Asma seraya meraih sebuah amplop bersampul merah muda yang berada di atas mejanya. Sejenak wanita yang bekerja sebagai guru ngaji di sebuah pondok pesantren itu menatap dengan seksama secarik surat cinta yang ada di tangannya."Milik siapa ini?" guman Asma mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kantor. Sudah tidak ada siapapun di dalam ruangan itu. Hanya ada dirinya seorang, yang datang terlambat.Asma segera membuka amplop berwarna merah muda bertuliskan namanya di bagaimana sampul. Ia menemukan secarik surat bertuliskan tinta hitam yang tergores begitu rapi. Tapi sayangnya Asma belum sempat membaca isi suara itu, karena seorang santriwati menyerukan namanya dari ambang pintu ruangan kantor."Assalamualaikum, Ustazah Asma, di tunggu kepala sekolah di ruangannya," ucap santriwati berbalut kerudung merah itu pada Asma."Oh iya, baik!" balas Asma cepat. Sebelum ia memasukkan kembali secarik surat itu ke dalam amplop, Asma sempat membaca se
Wanita yang berbaring di samping Akbar terlihat gelisah. Sesekali ia mengusap layar ponsel yang menyala, kemudian mematikannya lagi. Sudah tiga hari, Wisnu meninggalkannya dan tidak kunjung kembali. Hanya beberapa kali lelaki itu menghubunginya, itupun untuk menanyakan keberadaan Akrab dan hanya sesekali, lelaki berlesung pipi itu menanyakan kabar Asma. Seperti tidak ada sedikitpun kerinduan untuk Asma. Bahkan sepanjang hari ini, Wisnu sama sekali tidak menghubungi Asma. "Kamu sibuk apa, sih bang!" gerutu Asma menatap pada langit-langit kamar. Rindu itu benar-benar menyiksa Asma."Aku kangen, Bang!" ucapnya.Sejenak Asma nampak berpikir keras. Akhirnya ia memberanikan diri untuk menelepon Wisnu. Beberapa saat hanya suara sambungan telepon yang terdengar. Hingga panggilan itu berakhir, tidak ada satupun orang yang mengangkat telepon Asma pada ponsel Wisnu.Asma menarik ponsel dari dekat telinganya, menata pada layar yang masih menyala."Kenapa tidak diangkat?" monolog Asma pada diriny
Pertempuran semalam cukup memanas. Bahkan hampir membuat Nada tidak sanggup mengikuti kemauan Wisnu. Entah apa yang membuat Wisnu seperkasa itu. Yang pasti, Wisnu yang menemaninya semalam, tidaklah seperti Wisnu yang dulu.Senyuman sesekali terbit dari kedua sudut bibir Nada. Menatap pada lelaki yang masih bergumul dengan selimut tebal. Nada merasa cinta Wisnu telah kembali seutuhnya untuknya saat ini. Tidak peduli adanya gundik lain, yang menjadi duri di dalam ikatan cinta mereka.Ponsel yang berada di atas nakas bergetar cukup keras. Nada yang sedang duduk pada bangku Sofa bergegas bangkit, ia tidak ingin suara itu membangunkan kekasih hatinya yang masih buai dalam mimpi. Setelah Nada mendekat, rupanya suara itu berasal dari ponsel milik Wisnu, bukan ponsel miliknya yang juga berada di atas nakas. Nama Asma tertulis pada layar ponsel yang menyala. Membuat hatinya terasa nyeri.Dengan cepat Nada meraih benda pintar milik Wisnu dan menekan tombol merah pada layar ponsel. Ia juga mengh
Sudah beberapa hari semenjak kepergian Wisnu kembali ke Jakarta. Nomor lelaki itu sama sekali tidak bisa dihubungi. Membuat Asma yakin jika Wisnu memang marah kepadanya. Subuh buta, Asma sudah menitipkan Akbar kepada Umi. Rencananya ia akan menemui Tuan Hamzah di perkebunan untuk meminta tolong pada lelaki itu agar mau mengantarkannya ke Jakarta.Bakul-bakul yang berada di atas punggung para pemetik teh sudah hampir penuh. Cahaya matahari sudah sepenggalan naik saat Asma tiba di perkebunan. Wanita berbalut gamis hitam itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari sosok lelaki bertubuh tegap yang ia kenal sebagai kaki tangan keluarga Sangir. "Mbak cari siapa?" seloroh mandor yang pernah Asma temui saat Wisnu menghilang beberapa waktu yang lalu. Wanita itu tergeragap dan segera memutar tubuhnya ke belakang punggung."Tuan," ucap Asma."Oh, ibu Asma," ucap lelaki itu dengan wajah terkejut saat wanita yang berdiri di depannya tidak lain adalah Asma, istri dari pemilik perkebunan t
Nada begitu setia mengusap lembut bahu Wisnu yang duduk di sampingnya. Wajah' lelaki berlesung pipi itu mendadak berubah setelah mendengar kalimat menyakitkan yang beberapa saat lalu keluar dari bibir Tuan Sangir. Kalimat yang seolah menganggap semuanya itu begitu mudah."Sudahlah Mas, itu hanya rencana ayah. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan hal itu," ucap Nada pada Wisnu. Lelaki itu terus berusaha untuk meredam gemuruh di dalam dadanya mengalihkan tatapannya pada Nada."Tapi Nad, harusnya ayah' tidak bicara seperti itu," jawab Wisnu menarik tubuhnya yang sedari tadi bertumpu pada kedua tangannya yang ia jadikan sebagai penyangga di atas kedua pahanya.Nada tidak bergeming. Ia menemukan apa yang selama ini ia takutkan dari tatapan Wisnu yang kini telah beralih darinya. "Bagaimana pun Asma juga istriku, Nad! Jadi tidak semudah itu," imbuhnya."Apakah Mas sekarang lebih mencintai istri muda, Mas Wisnu?" Kalimat itu dengan mudah lolos dari bibir Nada. Lelaki yang sempat