Nada begitu setia mengusap lembut bahu Wisnu yang duduk di sampingnya. Wajah' lelaki berlesung pipi itu mendadak berubah setelah mendengar kalimat menyakitkan yang beberapa saat lalu keluar dari bibir Tuan Sangir. Kalimat yang seolah menganggap semuanya itu begitu mudah."Sudahlah Mas, itu hanya rencana ayah. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan hal itu," ucap Nada pada Wisnu. Lelaki itu terus berusaha untuk meredam gemuruh di dalam dadanya mengalihkan tatapannya pada Nada."Tapi Nad, harusnya ayah' tidak bicara seperti itu," jawab Wisnu menarik tubuhnya yang sedari tadi bertumpu pada kedua tangannya yang ia jadikan sebagai penyangga di atas kedua pahanya.Nada tidak bergeming. Ia menemukan apa yang selama ini ia takutkan dari tatapan Wisnu yang kini telah beralih darinya. "Bagaimana pun Asma juga istriku, Nad! Jadi tidak semudah itu," imbuhnya."Apakah Mas sekarang lebih mencintai istri muda, Mas Wisnu?" Kalimat itu dengan mudah lolos dari bibir Nada. Lelaki yang sempat
"Asma, ayo masuk!" ajak Nada membuyarkan lamunan wanita yang berdiri di samping Wisnu. Asma segera tersadar, mengalihkan tatapannya pada Nada."I-iya Mbak!" sahut Asma cepat. Ia bergegas mengikuti langkah Nada masuk ke dalam rumah. Di susul oleh Wisnu yang menggendong Akbar dibelakang punggung Asma."Bagaimana kabar kamu, As?" tanya Nada sekilas ia menoleh ke arah belakang punggungnya. Tatapan dan senyuman itu terkesan begitu hangat sekali."Baik, Mbak Nada," jawab Asma mengalihkan tatapannya kepada Nada setelah ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah megah milik keluarga Sangir yang sama sekali tidak berubah. Tatapan foto-foto suaminya yang tidak lain adalah seorang yang sukses."Aku baik, As!" jawab Nada menyunggingkan senyuman simpul.Netra Asma tertuju pada kaki Nada yang sudah sembuh. "Kaki Mbak Nada sudah sembuh?" tanya Asma melirik sekilas pada kaki Nada. Lalu menjatuhkan tatapan akhir pada wajah Nada yang terlihat sangat cantik sekali.Nada mengalihkan tatapannya pada
Bergegas Wisnu bangkit dari bibir ranjang. Netranya menatap penuh keterkejutan kepada wanita yang berdiri di ambang pintu. Begitu juga dengan wanita berbalut kerudung yang berada di sana. Wisnu tidak bisa membayangkan apa yang saat ini ada di dalam pikiran Asma, saat melihatnya bersama Nada."Asma!" lirih suara Wisnu yang terdengar sangat pelan sekali. Netranya sedikit membola."Apa yang sedang Abang lakukan di sini?" ucap Asma hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Wisnu dengan cepat melangkahkan kakinya menghampiri Asma di ambang pintu. Ia tidak ingin wanita itu melihat foto-foto pernikahan antara dirinya dengan Nada yang pasti akan mengundang bencana dengan pernikahan bersama Asma."Aku, aku hanya ...!" Kerongkongan Wisnu tercekat, debaran jantungnya bertalu-talu. Mendadak semua kata-kata hilang di dalam pikirannya. Ia terlihat pucat dan nampak sangat gugup sekali."Aku hanya sedang merindukan suamiku saja, As, makanya aku menangis. Dan Mas Wisnu kebetulan mendengar tang
"Bang!" panggil wanita yang muncul dari balik pintu kamar mandi. Wisnu tercekat seketika. Jakunnya bergerak naik turun, menelan salivanya menatap pada Asma."Bagaimana, Bang? Aku pantes kan memakai pakaian ini?" ucap wanita yang mengenalkan lingerie berwarna merah muda itu. Dengan berjalan seperti seorang foto model, Asma menghampiri Wisnu.Bukannya tergoda, Wisnu justru menatap penuh kebingungan pada Asma. Ia merasa wanita yang kini berdiri di depannya bukanlah istri yang selama ini ia kenal. "As, ada apa denganmu?" tanya Wisnu pada wanita yang sedang berpose di depannya. "Kenapa kamu berpakaian seperti itu, As?" tanya Wisnu menjatuhkan tatapan penuh keheranan.Asma menurunkan satu tangannya yang berkecak pinggang, bergaya seperti seorang foto model. Dengan cepat Asma segera membenarkan posisi berdirinya. Senyuman yang tersungging dari bibirnya pun memutar seketika."Aku hanya sedang mencoba baju baru hadiah dari Rani saja, Bang!" lirih Asma terbata. Niatanya untuk menggoda Wisnu, t
Selang infus masih menancap pada pergelangan tangan Rani. Semakin hari kondisinya semakin membaik. Setelah paskah pemerkosaan yang dilakukan Bagas secara membabi-buta kepadanya di acara peresmian produk baru di perkebunan keluarga Sangir.Dengan lantang Rani mengatakan di depan Umi dan Asma agar lelaki alim itu mau menikahinya dan ternyata Ustaz Azhar mengiyakan permintaan Rani. Seketika hati Rani melambung tinggi terbang ke awang-awang. Ia berpikir jika Ustaz Azhar juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Tapi sayangnya, pikirin itu tidak sama dengan kenyataan yang akan terjadi saat ini. Di mana lelaki yang masih mengenakan seragam kerja itu, terpekur cukup lama berdiri di sampingnya."Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada kamu, Ran!" ucap Ustaz Azhar mengalihkan tatapan Rani yang sedari tadi dilanda penasaran. Gadis dengan pakaian pasien rumah sakit itu pun menoleh."Ada apa, bang?" tanya Rani menjatuhkan tatapan penasaran.Lelaki dengan pakaian kerja itu menghela nafas
Mulut Rani mengangga menatap pada kepergian Ibu Fatimah yang kembali masuk ke dalam kamar. Suara pintu yang dibanting cukup keras, membuat Rani terkejut. Rasa nyeri terasa menghantam dadanya."Apa maksud ibu? Aku harus sadar diri? Sadar diri apa, Bu?" cetus Rani kesal. Rahangnya mengeras menahan gemuruh di dalam dadanya. Ia berjalan cepat menghampiri pintu kamar yang sudah tertutup. Ia ingin mendengar langsung apa maksud dari kalimat yang terlontar dari bibir Ibu Fatimah.Bruk ... Bruk ...Rani menghujani pukulan pada pintu kamar Ibu Fatimah. "Maksud ibu apa? Katakan yang jelas, Bu?" teriak Rani lantang. Tapi sayangnya, tidak ada sahutan sama sekali dari dalam kamar Ibu Fatimah. "Sialan!" hardik Rani meradang.____"Sudah Nyonya biar saya saja," ucap Bik Tum pada Asma yang sibuk berkutat di dapur. Asisten rumah tangga itu takut jika Wisnu marah kepadanya, karena Asma sudah membantunya memasak di dapur."Tidak apa-apa, Bik, di kampung aku sudah biasa seperti ini. Lagi pula aku ingin
Semua pandangan beralih kepada Bik Tum yang tertunduk. Tubuh wanita yang tidak lagi muda itu bergetar hebat, ketakutan."Jika kamu sudah tidak ingin bekerja disini, pergilah!" sentak Tuan Sangir menaikan nada suaranya. Rahangnya mengeras, menatap tajam. "Ampun Tuan!" seru Bik Tum mengangkat wajahnya menatap kepada Tuan Sangir. "Jangan pecat saya," mohon asisten rumah tangga itu. Tubuhnya gemetaran karena ketakutan. Gerombolan air mata berjejalan memenuhi pelupuk mata.Wajah Tuan Sangir semakin memerah. Rahangnya mengeras, giginya terdengar bergemelutuk menahan kekesalan. Sejenak suasana terasa hening dan menegang. Tidak ada satupun orang yang berani berucap di ruangan itu.Nada menarik tubuhnya menjauh dari bangku. Suara derit kaki bangku yang beradu terdengar nyaring. Wanita itu berjalan mendekati ke Tuan Sangir."Sabar, ayah!" lirih Nada mengusap lembut bahu Tuan Sangir yang bergetar menahan gemuruh. "Mungkin Bik Tum ti ...!"Belum sempat Nada menyelesaikan kalimatnya. Suara wanita
Netra Nada seketika mendelik pada lelaki yang berbisik di sampingnya. Seolah ingin memakan lelaki bertubuh jangkung itu hidup-hidup. Bergegas Nada masuk ke dalam kamarnya sebelum Danil berulah dan semakin membakar hatinya.Suara hentakan kaki Nada yang beradu dengan lantai menyadarkan Wisnu. Lelaki yang sedang membantu Asma memunguti pecahan beling itupun mengalihkan tatapannya pada Nada yang berjalan cepat menuju kamar. Lalu menatap pada keponakannya yang masih mematung di ujung tangga."Sepertinya aku harus segera pulang. Karena Tuan Sangir sedang tidak ingin diganggu. Besok saja aku akan datang ke sini lagi," celetuk Danil dengan nada santai. Lelaki itu menurunkan langkah kakinya menuruni anak tangga melewati Wisnu dan Asma. Lelaki berlesung pipi itu sama sekali tidak tidak menoleh pada Danil. Perang dingin kerap kali terjadi antar dirinya dan keponakannya itu. Tapi sayangnya, setiap kali pertengkaran terjadi di antara mereka pasti Tuan Sangir akan membela Danil. Membuat Wisnu mera