Share

Bab 6

Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.

Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu.

"Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.

Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali.

"Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar.

"Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak.

"Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang membasahi pipinya agar tidak berjejak. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang melihat kesedihannya.

"Umi!" ucap Asma saat melihat wanita bertubuh tambun yang berdiri di balik pintu rumah yang terbuka.

Umi tak bergeming, sorot matanya menatap lekat kepada Asma. "Kamu menangis?" seloroh Umi.

Dengan cepat Asma mengusap lembut pada pipinya. "Tidak Umi, Asma tidak menangis!" seru Asma berusaha untuk bersikap baik baik saja. Ia juga menyunggingkan senyuman kecil agar Umi tidak curiga.

Umi tidak langsung percaya. Wanita itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

"Akbar sini ikut sama, Nenek!" Umi mengulurkan tangannya kepada Akbar yang berada di dalam gendongan Asma.

"Duh, cucu Nenek sudah makan belum!" seloroh Umi pada Akbar.

"Sudah Umi kami sudah makan kok!" sahut Asma yang duduk pada bangku di depan Umi.

"Asma, kamu harus menjawab dengan jujur pertanyaan Umi, Nak!" Umi menatap Asma dengan netra berkaca-kaca. Bibirnya gemetaran, seperti sedang menahan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan.

"Apa, Mi!" balas Asma, wanita berkerudung merah muda itu sepertinya menyadari hal itu.

"Apakah benar apa yang Umi dengar, kalau kamu ada main dengan lelaki pagawai safari di perkebunan itu?" Netra yang dipenuhi embun itu membola menatap tajam pada Asma.

"Astagfirullahaldzim, Umi, siapa yang bilang seperti itu sama Umi?" Asma tercekat.

Wanita yang mengenakan kerudung berwarna Salem itu menatap Asma dengan berkaca-kaca. "Umi tahu Asma, hidup kamu sulit. Apalagi Wisnu tidak kunjung pulang ke rumah. Tapi bukan seperti itu caranya, Nak!" tutur Umi dengan suara serak seperti menahan tangis. "Jangan kotrori pernikahan kamu dengan hal-hal seperti itu." Butiran bening itu berjatuhan membasahi pipi Umi.

Asma menaikkan kedua alisnya. "Maksud Umi apa?" cetus Asma yang belum juga mengerti arah pembicaraan Umi.

"Umi tahu, pegawai safari itu sering memberikan kamu uang kan? Tidak ada yang gratis di dunia ini Asma, pasti lelaki itu akan meminta ganti kepadamu dengan hal ... ," cetus Umi menjeda ucapannya. Pikiran buruk tentang Asma sudah memenuhi benak wanita tua itu.

"Astaghfirullahaladzim, Umi!" Asma mengelus dada seraya membulatkan kedua matanya kepada Umi.

"Bagaimana bisa Umi lebih percaya orang lain daripada anak Umi sendiri?" balas Asma penuh dengan kekecewaan.

"Asma tidak serendah itu Umi! Demi Allah Asma tidak melakukan apapun dan tidak ada hubungan apapun dengan Tuan Hamzah," jelas Asma tergugu melihat Umi menuduhnya seperti itu.

"Asma, Umi tidak tahu harus berbuat apa lagi. Umi malu Asma, sama semua orang yang berada di kampung ini. Mereka mengecap kamu sebagai perempuan nakal," cetus Umi penuh penekanan. Wajahnya merah karena marah.

"Tapi Asma tidak pernah melakukan hal itu, Umi!" Asma terisak. Wanita itu menenggelamkan wajahnya menutupi dengan kedua telapak tangannya.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Umi maupun Asma tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing dan tangisan yang mulai mereda.

"Maafkan Asma Umi! Jika Asma membuat Umi susah," lirih Asma bersimpuh di bawah kaki Umi seraya memegang kedua tangan wanita paruh baya itu.

Umi mengusap ujung kerudung yang Asma kenakan. "Asma, Sepertinya kamu memang harus mengakhiri pernikahanmu dengan Wisnu, Nak!" tutur Umi.

Asma terkesiap, ia mendongakkan wajahnya menatap kepada Umi. "Umi!" lirih Asma dengan suara terbata.

"Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan kamu dan Akbar, Asma. Dari omongan orang dan menjaga kehormatanmu serta keluarga kita."

Asma terisak. Sedikitpun Asma tidak dapat berucap apapun lagi. Wanita itu hanya mampu menangis dan menangis.

"Tapi, Asma yakin Umi jika Abang pasti akan pulang, Umi!" lirih Asma penuh keyakinan.

_____

Umi meletakan buku bersampul merah dan hijau itu di atas meja. Rasa sedih tergambar jelas pada wajah Umi.

Abah meraih buku itu dan membukanya sesaat. Senyuman tersungging dari kedua sudut bibir lelaki tua itu.

"Coba saja dulu Asma menurut sama Abah. Pasti saat ini dia akan bahagia hidup bersama anak juragan Jali. Jadi bos sayur dan hidup tidak kekurangan satu apa-apa pun." Abah menutup buku bersampul hijau dan meletakkannya di atas meja. Memasang wajah penuh kekecewaan.

Umi tidak bergeming. Tertunduk lesu dengan mata sembab.

"Sudah kamu tidak perlu memikirkan semua ini. Percayalah, setelah Asma berpisah dengan lelaki tidak jelas itu pasti lama kelamaan dia juga akan terbiasa." Abah bangkit seraya mengambil dua buku bersampul hijau dan putih itu di atas meja lalu berlalu meninggalkan Umi.

______

"Besok Abah, akan mengantar kamu ke pengadilan negeri untuk menggugat cerai Wisnu."

Ucapan Umi kembali mendengung dalam indra pendengaran Asma. Butiran bening jatuh membahasi foto yang pernikahan yang berada di atas pangkuan Asma.

"Bang, Abang kemana? Tolong Asma Bang, selamatan pernikahan kita. Sungguh aku tidak bisa kehilangan Abang!" lirih Asma terisak melihat foto lelaki berparas tampan yang bersanding dengannya pada gambar foto.

Pagi-pagi buta Abah sudah tiba di depan rumah Asma. Pagi ini lelaki itu terlihat sangat bersemangat sekali. Ditemani oleh seseorang perangkat desa yang akan membantu Asma untuk mempercepat proses perceraiannya dengan Wisnu.

"Asma, cepat!" teriak Abah dari teras rumah.

Wajah sembab Asma muncul dari balik pintu rumah. Tanpa Akbar, karena dari kemarin Umi sudah membawa cucunya itu pulang ke rumahnya.

"Cepat Asma! Jangan lelet nanti keburu siang," cetus Abah kesal.

"Iya Abah!" balas Asma dengan nada lembut.

"Pokoknya kalau bisa, cukup sidang sekali saja Asma sudah resmi menjadi janda," ucap Abah pada lelaki yang membersamainya.

"Baik Abah! Abah tenang saja. Serahkan saja semua urusannya dengan saya. Pasti beres!" cetus lelaki itu menyunggingkan senyuman lebar pada Abah.

"Asma pokoknya kamu harus memberikan kesaksian yang jelek tentang suamimu yang tidak jelas itu." Abah mendelikkan matanya kepada Asma dengan mengancam.

Asma tidak menjawab. Beberapa kali ia menyeka air mata yang membasahi pipinya.

_____

Bersambung ...

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
yaa wajar sih ortunya bersikap gitu. lhaa mantunya gak jelas kbr beritanya. Wisnu jg sih... knp gak kirim kbr coba. kan bisa nyuruh orang buat kasih info ke istrinya. jgn cuma ksh sembako & uang. ksh hp, bisa bisa berhub lsung.
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ada yah ortu kayak gitu pengen w hajar tuh org
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status