Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.
Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu."Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali."Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar."Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak."Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang membasahi pipinya agar tidak berjejak. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang melihat kesedihannya."Umi!" ucap Asma saat melihat wanita bertubuh tambun yang berdiri di balik pintu rumah yang terbuka.Umi tak bergeming, sorot matanya menatap lekat kepada Asma. "Kamu menangis?" seloroh Umi.Dengan cepat Asma mengusap lembut pada pipinya. "Tidak Umi, Asma tidak menangis!" seru Asma berusaha untuk bersikap baik baik saja. Ia juga menyunggingkan senyuman kecil agar Umi tidak curiga.Umi tidak langsung percaya. Wanita itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah."Akbar sini ikut sama, Nenek!" Umi mengulurkan tangannya kepada Akbar yang berada di dalam gendongan Asma."Duh, cucu Nenek sudah makan belum!" seloroh Umi pada Akbar."Sudah Umi kami sudah makan kok!" sahut Asma yang duduk pada bangku di depan Umi."Asma, kamu harus menjawab dengan jujur pertanyaan Umi, Nak!" Umi menatap Asma dengan netra berkaca-kaca. Bibirnya gemetaran, seperti sedang menahan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan."Apa, Mi!" balas Asma, wanita berkerudung merah muda itu sepertinya menyadari hal itu."Apakah benar apa yang Umi dengar, kalau kamu ada main dengan lelaki pagawai safari di perkebunan itu?" Netra yang dipenuhi embun itu membola menatap tajam pada Asma."Astagfirullahaldzim, Umi, siapa yang bilang seperti itu sama Umi?" Asma tercekat.Wanita yang mengenakan kerudung berwarna Salem itu menatap Asma dengan berkaca-kaca. "Umi tahu Asma, hidup kamu sulit. Apalagi Wisnu tidak kunjung pulang ke rumah. Tapi bukan seperti itu caranya, Nak!" tutur Umi dengan suara serak seperti menahan tangis. "Jangan kotrori pernikahan kamu dengan hal-hal seperti itu." Butiran bening itu berjatuhan membasahi pipi Umi.Asma menaikkan kedua alisnya. "Maksud Umi apa?" cetus Asma yang belum juga mengerti arah pembicaraan Umi."Umi tahu, pegawai safari itu sering memberikan kamu uang kan? Tidak ada yang gratis di dunia ini Asma, pasti lelaki itu akan meminta ganti kepadamu dengan hal ... ," cetus Umi menjeda ucapannya. Pikiran buruk tentang Asma sudah memenuhi benak wanita tua itu."Astaghfirullahaladzim, Umi!" Asma mengelus dada seraya membulatkan kedua matanya kepada Umi."Bagaimana bisa Umi lebih percaya orang lain daripada anak Umi sendiri?" balas Asma penuh dengan kekecewaan."Asma tidak serendah itu Umi! Demi Allah Asma tidak melakukan apapun dan tidak ada hubungan apapun dengan Tuan Hamzah," jelas Asma tergugu melihat Umi menuduhnya seperti itu."Asma, Umi tidak tahu harus berbuat apa lagi. Umi malu Asma, sama semua orang yang berada di kampung ini. Mereka mengecap kamu sebagai perempuan nakal," cetus Umi penuh penekanan. Wajahnya merah karena marah."Tapi Asma tidak pernah melakukan hal itu, Umi!" Asma terisak. Wanita itu menenggelamkan wajahnya menutupi dengan kedua telapak tangannya.Beberapa saat suasana menjadi hening. Umi maupun Asma tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing dan tangisan yang mulai mereda."Maafkan Asma Umi! Jika Asma membuat Umi susah," lirih Asma bersimpuh di bawah kaki Umi seraya memegang kedua tangan wanita paruh baya itu.Umi mengusap ujung kerudung yang Asma kenakan. "Asma, Sepertinya kamu memang harus mengakhiri pernikahanmu dengan Wisnu, Nak!" tutur Umi.Asma terkesiap, ia mendongakkan wajahnya menatap kepada Umi. "Umi!" lirih Asma dengan suara terbata."Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan kamu dan Akbar, Asma. Dari omongan orang dan menjaga kehormatanmu serta keluarga kita."Asma terisak. Sedikitpun Asma tidak dapat berucap apapun lagi. Wanita itu hanya mampu menangis dan menangis."Tapi, Asma yakin Umi jika Abang pasti akan pulang, Umi!" lirih Asma penuh keyakinan._____Umi meletakan buku bersampul merah dan hijau itu di atas meja. Rasa sedih tergambar jelas pada wajah Umi.Abah meraih buku itu dan membukanya sesaat. Senyuman tersungging dari kedua sudut bibir lelaki tua itu."Coba saja dulu Asma menurut sama Abah. Pasti saat ini dia akan bahagia hidup bersama anak juragan Jali. Jadi bos sayur dan hidup tidak kekurangan satu apa-apa pun." Abah menutup buku bersampul hijau dan meletakkannya di atas meja. Memasang wajah penuh kekecewaan.Umi tidak bergeming. Tertunduk lesu dengan mata sembab."Sudah kamu tidak perlu memikirkan semua ini. Percayalah, setelah Asma berpisah dengan lelaki tidak jelas itu pasti lama kelamaan dia juga akan terbiasa." Abah bangkit seraya mengambil dua buku bersampul hijau dan putih itu di atas meja lalu berlalu meninggalkan Umi.______"Besok Abah, akan mengantar kamu ke pengadilan negeri untuk menggugat cerai Wisnu."Ucapan Umi kembali mendengung dalam indra pendengaran Asma. Butiran bening jatuh membahasi foto yang pernikahan yang berada di atas pangkuan Asma."Bang, Abang kemana? Tolong Asma Bang, selamatan pernikahan kita. Sungguh aku tidak bisa kehilangan Abang!" lirih Asma terisak melihat foto lelaki berparas tampan yang bersanding dengannya pada gambar foto.Pagi-pagi buta Abah sudah tiba di depan rumah Asma. Pagi ini lelaki itu terlihat sangat bersemangat sekali. Ditemani oleh seseorang perangkat desa yang akan membantu Asma untuk mempercepat proses perceraiannya dengan Wisnu."Asma, cepat!" teriak Abah dari teras rumah.Wajah sembab Asma muncul dari balik pintu rumah. Tanpa Akbar, karena dari kemarin Umi sudah membawa cucunya itu pulang ke rumahnya."Cepat Asma! Jangan lelet nanti keburu siang," cetus Abah kesal."Iya Abah!" balas Asma dengan nada lembut."Pokoknya kalau bisa, cukup sidang sekali saja Asma sudah resmi menjadi janda," ucap Abah pada lelaki yang membersamainya."Baik Abah! Abah tenang saja. Serahkan saja semua urusannya dengan saya. Pasti beres!" cetus lelaki itu menyunggingkan senyuman lebar pada Abah."Asma pokoknya kamu harus memberikan kesaksian yang jelek tentang suamimu yang tidak jelas itu." Abah mendelikkan matanya kepada Asma dengan mengancam.Asma tidak menjawab. Beberapa kali ia menyeka air mata yang membasahi pipinya._____Bersambung ...Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya."Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berse
Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke
Wanita yang duduk di bibir ranjang semakin kuat meremas ujung kerudung besar yang ia kenakan. Akhirnya pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam dadanya telah terjawab. Alasan mengapa lelaki bertubuh kurus itu bersikukuh untuk memisahkan Asma dari Wisnu."Kapan kita bisa segera melaksanakan pernikahan itu?" ucap suara dari ruang tamu rumah terdengar hingga ke dalam indra pendengaran wanita yang duduk pada bibir ranjang."Terserah juragan jali saja. Kapanpun saya siap untuk menikahkan Asma dengan Juragan," sahut Abah diikuti gelak tawa renyah diantara keduanya. Hal itu semakin membuat hati Umi terasa diremas-remas. Bagaimana tidak, jika sampai pernikahan itu terjadi, itu berarti Asma harus siap untuk menjadi istri ketiga dari juragan jali. Seorang lelaki pemilik peternakan sapi yang terkenal kaya raya di kampung itu."Bagaimana kalau minggu depan." Suara juragan Jali terjeda untuk sesaat. "Jika Abah ingin pesta yang mewah saya harus mempersiapkannya dulu. Tapi jika Abah ingin pesta
Wanita yang mengenakan pakaian syar'i itu menghela nafas berat. Saat melihat makanan yang tersaji di atas meja masih utuh dan tidak tersisa. Sesuai dengan perintah Abah, tidak ada satupun orang yang boleh mengeluarkan Asma dari dalam kamar. Sekalipun itu adalah Umi. Umi menyeret langkah kakinya pelan mendekati ranjang di mana wanita bergamis tosca masih berbaring di atas sana dengan netra terpejam. Tangisan yang cukup lama, membuatnya tanpa sadar telah tertidur."Asma!" ucap Umi mengusap lembut bahu Asma yang meringkuk menghadap ke arah tembok. Netranya berkaca-kaca menatap penuh kesedihan pada anak bungsunya.Asma mengerang pelan. Tanda jika wanita itu telah tersadar dari rasa kantuknya. Perlahan Asma membuka netranya menatap pada dinding tembok yang berada di samping ranjang."Asma, kamu belum makan, Nak?" tanya Umi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang menggenang pada pelupuk. Tanpa sepengetahuan Asma, ia segera mengusap sudut matanya yang sedikit basah.As