Share

Bab 5

Abah menerobos masuk ke dalam rumah Asma. Saat wanita itu menolak memberikan buku nikah miliknya kepada Abah.

"Jangan Abah! Jangan!" seru Asma terisak menarik pergelangan tangan Abah.

Abah membuka lemari Asma dan mencari buku pernikahan itu sendiri. Lelaki itu melempar baju-baju Asma yang berdiri di dalam lemari ke sembarang tempat.

"Di mana kamu menyembunyikan buku itu, Asma!" erang Abah menggeledah seluruh rumah Asma, lelaki itu semakin kesal karena tidak dapat menentukan apapun.

"Jangan Abah, aku tidak ingin berpisah dengan Bang Wisnu, Bah!" Tangis Asma pecah.

Bruak!

"Kamu harus berpisah dengan Wisnu. Lelaki tidak bertanggungjawab itu tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia,

Asma!" Dengan wajah merah menyala Abah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Asma yang tersungkur di sudut ruangan.

"Jangan Abah! Asma mohon!" Asma menelangkupkan kedua tangannya memohon kepada Abah. Namun lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan Asma. Ia terus mencari keberadaan buku nikah yang akan ia gunakan untuk mengurus surat perceraian Asma dan Wisnu.

"Aslamualaikum, Ibu Asma!"

"Assalamualaikum, Ibu Asma!"

Suara keributan yang terjadi hening seketika, saat mendengar suara salam yang berasal dari pintu utama rumah.

"Assalamualaikum, ibu Asma!" seru salam itu lagi.

Sesaat Asma saling bersitatap dengan Abah yang masih berdiri di depan pintu lemari. Dengan cepat Asma segera menghapus air mata yang membasahi pipinya dan bergegas membukan pintu.

"Tuan!" Asma terkejut saat melihat lelaki yang mengenakan seragam safari kini berdiri di depan rumahnya.

Sebuah senyuman tersungging dari kedua sudut bibir lelaki itu pada Asma.

"Ibu Asma, saya ada titipan untuk ibu!" ucap lelaki itu pada Asma yang terlihat masih terkejut.

"Titipan?"

Lelaki itu kembali memberikan amplop yang sama pada Asma.

"Apa ini, Tuan?" Asma menautkan kedua alisnya.

"Gunakan uang ini untuk keperluan Ibu Asma," imbuh lelaki itu.

"Sebenarnya siapa anda?" tanya Asma menatap penasaran pada lelaki berseragam safari yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Setelah Asma menerima amplop pemberian lelaki yang sama.

"Perkenalkan saya Hamzah!" sahut lelaki itu seraya mengulurkan tangannya kepada Asma.

"Asma!" sahut Asma dengan wajah semakin penasaran. "Tuan Hamzah, tolong katakan pada saya, siapakah orang yang selama ini memberikan uang ini pada saya?" tanya Asma.

"Ini adalah bonus dari atasan saya, Bu Asma atas kerja keras Pak Wisnu di perkebunan kami. Oh iya satu lagi, Pak Wisnu sekarang sedang berada di perkebunan kami yang berada di Sumatera. Kemarin mandor di tempat kami lupa untuk menyampaikan pada Ibu Asma."

Asma mengerutkan dahi, dengan wajah kebingungan, ucapan mana yang harus dia percaya. Lelaki bernama Hamzah yang berdiri di hadapannya atau mandor yang ia temui beberapa waktu yang lalu.

"Asma!" suara menggelegar yang muncul dari balik pintu kamar yang terbuka membuat Asma sedikit terkesiap.

Sorot mata Abah menatap tajam pada Hamzah yang berdiri di ambang pintu.

"Dari mana kamu mengenal lelaki itu, Asma? Jadi sekarang kamu sudah punya kekasih lain?" cetus Abah menjatuhkan tatapan menyelidik pada Asma yang terkesiap atas tuduhan Abah.

"Lelaki mana apa Abah? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dia," jawab

Asma sekilas menatap kepada pria bertubuh kurus tinggi yang berdiri di depan pintu kamar.

"Mustahil! Mustahil kamu tidak mengenalnya. Aku yakin pasti ada sesuatu antara dirimu dengan lelaki berseragam safari itu," cetus Abah seolah menyudutkan Asma. Netranya menatap tajam pada Hamzah yang terlihat bingung.

"Lihat saja Asma, Abah akan ke sini lagi dan Abah akan menyelidiki apa sebenarnya hubunganmu dengan dia." Abah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hamzah.

"Jangan sampai kamu membuat malu Abah lagi, Asma!" cetus Abah dengan nada mengancam sebelum ia berjalan keluar melewati Hamzah. Asma menghela membuang nafas berat dan menenggelamkan wajahnya.

_____

"Lihatlah sudah seminggu lebih menantu kesayanganmu itu tidak pulang. Bagaimana bisa kamu sebagai Ibu masih tenang-tenang membiarkan anakmu hidup dalam kemiskinan," cetus Abah pada Umi yang terdiam.

"Apakah kamu tega membiarkan Asma hidup susah." Abah menaikkan nada suaranya menatap sinis kepada Umi.

"Bagaimana jika Asma nekad menjual diri demi mencukupi kebutuhannya."

"Abah!" sergah Umi membulatkan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca menatap kepada apa Abah.

"Abah tidak pantas bicara seperti itu pada anak kita, Bah!" ucap Umi dengan nada kesal. "Bagaimanapun asma adalah anak kita," tegas Umi, wajahnya mulai memerah.

"Halah, Umi itu terlalu percaya sama Mbak Asma," sela Rani yang mendengarkan percakapan Abah dan Umi.

"Sebaik-baiknya seseorang jika dalam keadaan susah, pasti dia akan nekad, Umi," imbuh Rani penuh penekanan.

"Sudah Rani, jangan ikut campur dengan urusan Mbak kamu. Urusin saja urusan kamu sendiri, Rani!" balas Umi melirik sinis pada putri bungsunya. Gadis itu pun bersungut kesal.

"Apa yang dibilang Rani itu benar, Mi. Hampir dua minggu menantu kesayanganmu itu tidak pulang. Lalu mau makan apa anak dan cucu kamu jika tidak ada yang menafkahi?" cetus Abah dengan nada sinis.

"Abah, Wisnu adalah lelaki yang bertanggung jawab. Mungkin saja saat ini dia sedang bekerja untuk Asma," bela Umi.

"Lalu, jika Wisnu itu adalah lelaki bertanggung jawab pada hidup Asma. Untuk apa anak perempuan kamu itu menggoda para pegawai safari di perkebunan teh keluarga Sangir," balas Abah penuh penekanan, sesaat kemudian membuang wajahnya dari tatapan Umi.

"Maksud Abah?" Umi menaikan kedua alisnya.

"Sudah lah, Abah, katakan saja yang sebenarnya pada Umi," sela Rani.

Wajah Umi terlihat semakin gugup dengan tubuh bergetar menatap kepada Abah dan Rani secara bergantian.

"Seluruh warga di kampung ini tahu, jika Asma sekarang sedang berpacaran dengan seorang pegawai safari. Bahkan lelaki itu seringkali memberikan Asma uang. Untuk apalagi coba kalau bukan ....!" cetus Abah tidak melanjutkan kalimatnya. Karena wanita berkerudung itu pasti sudah tau apa maksudnya. "Di dunia ini, tidak ada yang gratis, Umi!" tegas Abah.

Hati Umi semakin remuk. Gerimis yang perlahan turun semakin mengalir deras dari kelopak matanya.

"Tidak Abah! Umi yakin, Asma adalah anak yang baik, dia pasti akan menjaga kehormatan suaminya," balas Umi dengan suara berat.

"Tidak perlu kamu terus membela anakmu itu. Karena semua orang bisa berubah karena kemiskinan. Yang perlu kamu lakukan saat ini, mintalah buku nikah Asma. Biar aku yang mengurus surat perpisahan mereka. Bagaimanapun juga, aku masih kasian melihat Asma hidup seperti itu."

"Apa? Abah mau menceraikan Asma dan Wisnu?" Seketika kedua bola mata Umi membulat penuh dengan wajah terkejut. "Ya Allah, apa yang ada di dalam pikiran Abah saat ini?" Umi menggelengkan kepalanya, menatap heran pada Umi.

"Iya! Karena hanya itulah solusi yang terbaik untuk Asma. Abah tidak mau dia kembali mempermalukan keluarga kita di kampung ini." Wajah' Abah merah menyala menahan kesal.

"Sudah menikahi lelaki miskin yang tidak jelas latar belakangnya. Sekarang dia berselingkuh dengan pegawai safari. Mau ditaruh di mana muka Abah, Umi!" tukas Abah penuh penekanan.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Umi hanya tertunduk lesu, dan membiarkan air mata berjatuhan pada pipinya.

"Baiklah, Umi akan mengambil buku nikah milik Asma," lirih Umi setelah beberapa saat ia berfikir.

____

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status