Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya.
"Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berseragam coklat itu meminta Abah menunggu bersama Asma di bangku tunggu. Sementara dia, mendaftarkan berkas-berkas milik Asma pada petugas yang berjaga di loket pendaftaran.Dada Asma terasa begitu sesak. Meskipun beberapa kali ia sudah berusaha menghelangi nafas panjang, tapi tetap saja rasa sesak itu masih ada. Asma berharap hari ini hanyalah mimpi, tidak pernah terbesit pun di dalam benaknya jika dirinya akan berpisah dengan cara seperti ini dengan Wisnu, lelaki yang sangat ia sayangi. Tapi pada kenyataannya, Asma tidak menjumpai tambatan hatinya yang sudah menghilang bagaikan ditelan bumi, untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan."Asma!" Abah menepuk kasar paha Asma yang duduk di sampingnya. Gadis itu pun tergeragap, menoleh pada Abah."Malah melamun saja?" cetus Abah dengan nada kesal. Lelaki itu bersungut pada Asma. "Pasti tadi kamu tidak dengar apa yang Abah katakan, kan?" Abah menaikan nada suaranya. Melebarkan kedua netranya.Asma menggeleng lembut. Terpaksa ia harus mengakui jika sejak tadi ia hanya tenggelam dalam lamunannya. Abah membuang wajah kesal dari tatapan Asma yang takut, sesaat."Sekarang dengarkan Abah baik-baik, nanti kalau kamu ditanya sama petugas, kamu harus bilang jika Wisnu itu adalah suami yang tidak baik sama kamu dan dia juga sudah meninggalkan kamu setahun yang lalu dan ...!"Asma menarik tubuhnya menjauh dari Abah. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuannya pada ucapan lelaki tua itu."Tapi Bah ...!"Lelaki tua bertubuh kurus yang berambisi untuk memisahkan Asma dan Wisnu itu semakin kesal karena putrinya tidak menuruti kemauannya. "Kamu ingin semua ini segera berakhir atau tidak, Asma?" cetus Abah membulatkan kedua matanya. "Kalau prosesnya cepat, bayarnya nanti juga murah kalau prosesnya lama, memangnya apa yang mau kamu pakai buat membayar persidangan?" Abah menaikkan nada suaranya. Hingga beberapa orang yang berada disekitar mereka menatap ke arah Asma dan Abah yang sedang berdebat."I-iya Bah!" lirih Asma.Lelaki berseragam coklat khas pegawai pemerintah itu muncul dari dalam ruangan. Berjalan menghampiri Abah dan Asma yang sejak tadi sudah menunggu."Asma, kamu di panggil ke dalam!" ucap lelaki yang berdiri di depan Asma. Asma mendongak, menatap pada lelaki itu dengan jantung berdebar. Bibirnya gemetaran, dengan keringat yang membahasi peluh."Jangan lupa ya, Asma apa pesanku tadi," ucap lelaki itu saat Asma bangkit dari bangku. "Ingat, semakin cepat semuanya akan lebih baik." Lelaki yang mengenakan seragam berwarna coklat itu menepuk bahu Asma saat wanita itu melewatinya. Sementara Abah terlihat khawatir takut jika anak perempuannya yang terkenal lugu itu justru akan mengatakan sisi baik suaminya, yang justru akan semakin memperlambat proses persidangan._____Lelaki berkacamata yang duduk di dalam ruangan membenarkan letak kaca mata yang bertengger di atas hidungnya. Setelah sekilas ia melihat kedatangan Asma yang duduk pada bangku di depan mejanya dengan wajah gugup."Asma shafiyyatul qolbu." Lelaki tua yang berada di depan Asma membaca deretan nama Asma yang tertulis pada berkas pengajuan gugatan cerai yang telah ia layangkan di atas meja lelaki itu."Iya, Pak!" sahut Asma terdengar lirih."Usia 24 tahun, ibu dari satu anak bernama Akbar Jalani dan Suami bernama Wisnu Pratama." Lelaki berkacamata itu menjeda ucapannya, mengalihkan tatapannya kepada Asma dengan netra melirik.Asma mengangguk. "Iya!" balas Asma dengan suara yang sangat pelan sekali."Kenapa kalian berpisah?" ucap lelaki itu menjatuhkan tatapan serius Asma. Lalu membuka halaman berkas yang berada di atas mejanya. "Memangnya suami kamu sudah berapa lama tidak pulang?" ucapnya setelah membaca alasan Asma menggugat cerai suaminya.Asma terdiam untuk sesaat. Degupan jantungnya memompa darah semakin cepat. "Sudah satu tahun!" balas Asma terpaksa harus berdusta. Mengingat ancaman lelaki bertubuh kurus yang saat ini sedang menunggunya di luar ruangan."Wah, lama sekali ya!" timpal lelaki yang sedang menuliskan sesuatu pada berkas yang ada di atas mejanya."Mungkin saja saudara Wisnu sedang pergi bekerja. Jadi dia belum bisa pulang. Apakah mungkin begitu?"Asma lagi-lagi terdiam. Ia tidak terlalu pandai untuk membuat cerita palsu. Asma hanya menggeleng lembut dengan wajah takut."Apakah selama setahun kepergian saudara Wisnu, saudara Wisnu sama sekali tidak pernah menghubungi Mbak Asma?" ucap lelaki berkacamata itu pada Asma."Tidak, Pak!" balas Asma. Lelaki itu mengangguk lembut, jemarinya kembali menuliskan sesuatu pada berkas yang ada di atas meja."Apakah anda tau di mana alamat rumah saudara Wisnu Pratama?"Asma memberikan jawaban yang sama, wanita itu menggeleng tanda tidak tau. Jemarinya semakin meremas kuat ujung pakaian yang ia kenakan."Baiklah!" timpal lelaki yang bertugas.Sesaat kemudian lelaki berkacamata itu terlihat sibuk sedang menuliskan sesuatu."Karena saudara Wisnu tidak ada, maka Mbak Asma akan melakukan talak sendiri. Atau yang disebut dengan perceraian sepihak." Lelaki itu menyodorkan kembali sebagian berkas-berkas milik Asma ke dekat wanita itu. Asma yang dilanda kegugupan menggangguk lembut."Di tanggal ini, nanti sidang perceraian Mbak Asma akan dilakukan. Jadi kami berharap Mbak Asma bisa datang tepat waktu, agar proses persidangan bisa segera berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang Mbak Asma inginkan." Lelaki itu menunjuk pada tanggal persidangan Asma pada berkas yang ada di atas meja. Lalu mengalihkan tatapannya kepada Asma."Baiklah Pak!" balas Asma menerima berkas yang telah ditutup kembali. "Terimakasih!" balas Asma serata menyunggingkan senyuman paksa._____Hari persidangan itu akhirnya tiba. Tubuh Asma gemetaran saat berdiri di ruangan persidangan. Tangannya ragu untuk memutar gagang pintu ruangan yang akan mengantarkannya dengan status baru."Ayo Asma cepat!" seru lelaki yang berdiri di belakang tubuh Asma. Lelaki bertubuh kurus itu memberikan dorongan kecil kepada Asma.Asma perlahan memutar gagang pintu ruangan. Seketika udara dingin menyeruak menyentuh pori-pori kulit Asma. Ada sesak yang memenuhi saat melihat tiga lelaki yang duduk di dalam ruangan itu._____Bersambung ...Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas
Rani mempercepat langkah kakinya memutari lantai atas menuju tangga eskalator. Lelaki yang ia lihat di lantai bawah berjalan sangat cepat sekali menuju ke arah pintu keluar pusat perbelanjaan tempatnya berada. "Ran, tunggu!" teriak Bagas berusaha untuk mengejar calon istrinya. Namun langkah wanita bertubuh ramping itu begitu cepat, mungkin karena kaki kakinya yang panjang."Ah, sial!" cebik Rani kesal saat ia tiba di depan pintu keluar pusat perbelanjaan. Ia tidak menemukan lelaki yang baru saja ia lihat dari lantai atas tadi. "Kemana perginya?" gerutu Rani kesal."Ran, sudah Ran! Kamu hampir saja membuat jantungku copot," keluh Bagas menahan nafasnya yang hampir saja putus karena berlari mengejar Rani. Tubuhnya yang padat kesulitan membuatnya untuk mengejar Rani yang lebih dulu meninggalkannya.Rani kesal. Kekecewaan terlukis jelas pada wajahnya. Netranya menyapu ke sekeliling, berharap ia masih bisa menemukan lelaki yang mirip sekali dengan kakak iparnya."Kamu sebenarnya mencari
"Apa ini, Ran?" netra Asma tertuju pada rantang yang ada di tangan Rani. Sementara Rani terus memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan menyelidik."Oh, ini Mbak ada titipan dari ibu!" seru Rani tergeragap. Ia mengalihkan tatapan pada Asma. Lalu menyodorkan rantang yang berada di tangannya kepada Asma dengan senyuman paksa."Terimakasih, Ran!" ucap Asma menyunggingkan senyuman hangat kepada Rani. "Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Asma."Iya Mbak As, tidak apa-apa," ucap Rani terdengar ramah.Sesekali Rani masih melirik kepada Wisnu. Melihat penampilan kakak iparnya yang jelas terlihat beda sekali dengan lelaki yang ia temui di pusat berbelanja kemarin."Kamu mau mampir dulu?" ajak Asma kembali mengalihkan tatapan Rani kepadanya."Tidak Mbak, terima kasih, aku harus segera berangkat bekerja dulu," ucap Rani cepat. Ia bergegas meninggalkan rumah Asma yang terletak cukup jauh dari jalan besar. Setelah memastikan jika Wisnu adalah
"Assalamualaikum Abah," sapa Wisnu seraya mencium tangan lelaki berwajah masam yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh kurus itu menarik kasar tangannya dari genggaman Wisnu, dengan wajah masam ia menatap pada Wisnu.Asma menatap tidak suka pada sikap Abah yang terkesan tidak sopan kepada Wisnu. Namun sebisa mungkin Asma menahan gemuruh yang bergejolak di dalam dadanya. Karena bagaimanapun Abah adalah orang tua Asma."Ada apa Abah ke sini?" tanya Asma.Abah menarik kasar pergelangan tangan asma hingga tubuh wanita itu bergeser ke arah Abah."Ada apa ini, Abah?" seru Wisnu yang terlihat panik melihat sikap bapak mertuanya yang mendadak kasar."Asma harus ikut denganku!" cetus Abah dengan nada memaksa. "Ikut?" jawab Wisnu dan Asma bersamaan wajah mereka sama-sama terkejutnya."Ikut ke mana, Abah?" cetus Asma, ia tau jika sesuatu hal buruk sedang menghadang langkahnya. Dari wajah Abah yang meradang."Pulang ke rumah!" sentak Abah penuh penekanan. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke
Wanita yang duduk di bibir ranjang semakin kuat meremas ujung kerudung besar yang ia kenakan. Akhirnya pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam dadanya telah terjawab. Alasan mengapa lelaki bertubuh kurus itu bersikukuh untuk memisahkan Asma dari Wisnu."Kapan kita bisa segera melaksanakan pernikahan itu?" ucap suara dari ruang tamu rumah terdengar hingga ke dalam indra pendengaran wanita yang duduk pada bibir ranjang."Terserah juragan jali saja. Kapanpun saya siap untuk menikahkan Asma dengan Juragan," sahut Abah diikuti gelak tawa renyah diantara keduanya. Hal itu semakin membuat hati Umi terasa diremas-remas. Bagaimana tidak, jika sampai pernikahan itu terjadi, itu berarti Asma harus siap untuk menjadi istri ketiga dari juragan jali. Seorang lelaki pemilik peternakan sapi yang terkenal kaya raya di kampung itu."Bagaimana kalau minggu depan." Suara juragan Jali terjeda untuk sesaat. "Jika Abah ingin pesta yang mewah saya harus mempersiapkannya dulu. Tapi jika Abah ingin pesta
Wanita yang mengenakan pakaian syar'i itu menghela nafas berat. Saat melihat makanan yang tersaji di atas meja masih utuh dan tidak tersisa. Sesuai dengan perintah Abah, tidak ada satupun orang yang boleh mengeluarkan Asma dari dalam kamar. Sekalipun itu adalah Umi. Umi menyeret langkah kakinya pelan mendekati ranjang di mana wanita bergamis tosca masih berbaring di atas sana dengan netra terpejam. Tangisan yang cukup lama, membuatnya tanpa sadar telah tertidur."Asma!" ucap Umi mengusap lembut bahu Asma yang meringkuk menghadap ke arah tembok. Netranya berkaca-kaca menatap penuh kesedihan pada anak bungsunya.Asma mengerang pelan. Tanda jika wanita itu telah tersadar dari rasa kantuknya. Perlahan Asma membuka netranya menatap pada dinding tembok yang berada di samping ranjang."Asma, kamu belum makan, Nak?" tanya Umi dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang menggenang pada pelupuk. Tanpa sepengetahuan Asma, ia segera mengusap sudut matanya yang sedikit basah.As
Wanita berkerudung biru muda itu menarik tubuhnya menjauh dari lelaki yang duduk pada bangku kemudi yang berusaha menyentuh punggung tangannya. Wajahnya terlihat ketakutan saat lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun lebih itu menjatuhkan tatapan menggoda kepadanya."Kenapa, As?" ucapnya dengan nada lembut yang terdengar begitu mendayu. Ekor matanya melirik pada Asma dengan tatapan menggoda.Asma sama sekali tidak menjawab, ia memilih membuang wajahnya ke arah samping kaca mobil. Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu.Terdengar lelaki yang duduk di sampingnya membuang nafas berat. "Baiklah kalau kamu belum siap. Tidak masalah," ucapnya mengakhiri kalimatnya dengan nada lesu. "Tapi aku harap, setelah kamu sudah resmi menjadi istriku maka kamu harus menuruti semua kemauanku," cetus Juragan Jali memberikan penekanan diujung kalimatnya.Asma tidak bergeming, tidak terasa sudut matanya telah basah. Bahkan air mata berlinang membasahi pipi wanita itu tanpa sepengetahuan lelaki ya