Share

Lina Melahirkan

last update Last Updated: 2024-03-10 12:37:59

Dinikahi Raja jalan tol 5

Bab 5

Lina melahirkan 

Memasuki rumah lewat pintu belakang, aku tak menemukan siapapun. Yuda sama Lina tidak terlihat tetapi mobilnya ada di garasi. 

Karena didesak waktu salat Maghrib yang sempit, aku tak mempedulikannya, segera aku masuk kamar, ganti baju dan mengambil air wudhu. 

Tok tok

Suara ketukan di pintu terdengar persis setelah aku menunaikan salat Maghrib. Tanpa melepas mukena karena aku akan melanjutkan dengan berdzikir, aku berdiri membuka pintu. Ternyata Yuda. 

Anak lelaki kesayanganku ini tampak ganteng dengan kemeja kotak-kotak cerah. Bibir Yuda melengkung ke atas, tersenyum padaku. 

“Sudah pulang, Bu?” Tanyanya. 

“Sudah,” jawabku. 

“Oleh-olehnya, mana, Bu?” Dari ruang makan, terdengar suara lantang Lina. Aku menengok. 

“Maaf, Ibu nggak beli apa-apa, Lin … uangnya gak cukup,” sahutku tersenyum kecut. Pasti Lina marah. 

“Alasan aja, padahal, Ibu memang pelit. Kan, sudah dikasih uang saku sama Mas Yuda.” cibir Lina. 

Benar, kan, Lina marah. Aku mau beli apa? Jenang Kudus juga harganya lumayan mahal, uangku tidak cukup. Makan bakso saja, ditraktir sama Bu Safiq. Ah, memang aku yang salah, seharusnya, aku membeli sesuatu untuk menantuku yang sedang hamil ini. 

“Gapapa, kok, Bu … yang penting, Ibu sudah kembali dengan selamat,” ujar Yuda seolah mengerti perasaanku. 

“Ayo, Mas, cepetan.” Lina berjalan dengan dagu diangkat ke pintu belakang tanpa menoleh sedikitpun padaku, padahal, dia melewati depan kamarku. 

“Yuda pergi dulu, Bu.” Anakku mencium punggung tanganku. 

“Mau ke mana?” Tanyaku. 

“Lina minta makan di luar.” 

“Oh …” Aku mengangguk. Yakin nggak bakal diajak. 

Setelah anak dan menantuku pergi, aku meneruskan berdzikir sampai suara azan Isya berkumandang. 

Selesai menunaikan sholat Isya, aku mengambil tas yang habis kubawa piknik tadi. Segera aku mengeluarkan isinya. 

Eh, ada nasi bungkus pemberian Bu Asmah tadi. Aku membuka karetnya lalu mencium nasinya. Belum basi, masih bagus ternyata. Sebaiknya, aku simpan di kulkas, besok bisa digoreng buat sarapan aku sendiri. 

Jam delapan malam, Yuda dan Lina belum juga kembali. Aku yang sudah lelah, menguap beberapa kali. Maklumlah, sudah tua. Selonjoran di tempat tidur, aku mengurut kakiku sendiri. Dulu, kalau kecapaian seperti ini, ada Mas Riswan yang setia memijat. Lagi-lagi, aku tersenyum sendiri jika mengingat masa lalu. Sekarang aku sendirian, betapa hidup terasa berat tanpa ada kamu di sampingku, Mas …

Aku tidak tahan kalau harus menunggu Yuda dan Lina pulang. Lagi pula, aku tidak tau mereka pulang jam berapa. Aku mau tidur saja, kalau Lina marah karena aku tidak membukakan pintu, biar aku dengarkan saja besok. Tak sadar, akupun terlelap. 

**

Bangun subuh, aku segera mengambil air wudhu dan mukena lalu bergegas menuju Langgar tak jauh dari rumah. 

Pulangnya, aku segera menyapu lantai dan mengepel hingga bersih. Kemarin nggak sempet nyapu dari ngepel soalnya kan piknik. Meskipun rumah juga tidak kotor sih, karena belum ada anak kecil. Besok kalau anaknya Yuda sudah lahir pasti rumah ini lebih ramai. Aku tersenyum sendiri, tak sabar rasanya ingin menimang cucu. 

Lanjut mencuci. Tak terasa sudah pukul 6 pagi. Akupun segera pindah ke dapur dan berkutat di sana membuatkan sarapan untuk Yuda dan Lina. Bikin orak-arik telur saja yang cepat dan ringkas. Aku bisa menambahkan irisan bakso ke dalamnya. Yuda makannya gampang, nggak milih-milih. Sedari kecil sudah terbiasa dengan masakanku, ibunya. Alhamdulillah nggak pernah protes soal rasa. 

Kalau Lina sedikit riwil. Kesukaannya seafood dan makanan bule. Pernah aku disuruh bikin hotdog. Karena nggak tau, akupun bikin burger. Lina pun marah dan melempar burger ke lantai. Aku diteriaki, dimarahi sampai ketakutan. 

Ternyata, saat itu Lina lagi hamil muda dan ngidam. Kalau maunya itu ya harus itu dan harus dituruti. Aku saja yang bodoh nggak ngerti apa itu hotdog. Akhirnya, Yuda membelikan Lina sepulang kerja. 

Yuda sudah berangkat kerja dengan mobilnya. Aku mengantar sampai depan karena Lina belum keluar kamar. Katanya Yuda, Lina masih tertidur. Semalam mereka pulang jam sebelasan, jadi Lina masih mengantuk. 

“Ibu! Ibu!” 

Aku yang sedang menjemur baju di halaman belakang, tergopoh-gopoh meninggalkan pekerjaan untuk memenuhi panggilan Lina. 

“Ada apa, Lina?” 

Dalam hitungan detik, aku sudah sampai di depan Lina. Menantuku sedang berdiri di depan kulkas yang pintunya terbuka. Wajah Lina seperti habis bangun tidur, lesu. 

“Apa, ini?” Tangan Lina menunjukkan kertas pembungkus berwarna coklat dengan segel karet gelang. 

“Itu, nasi punya Ibu, Lin,” jawabku. Rencananya, habis jemur baju, aku mau menggorengnya buat sarapan. 

Dengan kasar, Lina membuka karet gelang pembungkusnya dan melihat nasi di dalamnya. 

“Ini sampah, Ibu!” Lina melotot padaku. “Apa ibu nggak tau kalau kulkas itu tertutup rapat dan udaranya terbatas. Kalau nyimpen sampah itu banyak kumannya dan akan menyebar di makanan yang lain!” Nafas Lina berkejaran, dia sangat emosional gara-gara nasiku. 

“Itu nggak busuk, Lin, nanti mau Ibu goreng,” kataku dengan wajah takut.

“Buang aja, Bu, kayak nggak pernah dikasih makan saja. Ibu ini memang memalukan!”

Buk!

Lina menutup pintu kulkas dengan kuat lalu meremas bungkus nasi dan … plung! Lina membuangnya di tempat sampah. 

“Ambil lagi sana, Bu, biar tambah jorok!” Ucap Lina persis di wajahku. Aku tertunduk diam. Salahku juga, kenapa tak segera menggoreng nasi itu. Sudahlah, aku memang selalu  membuat Lina kesal, pantas saja dia sering marah-marah padaku. 

**

“Ibu, ibu, tolong, Bu!” 

Antara sadar dan tidak, aku seperti mendengar suara Yuda yang berteriak memanggil dan meminta tolong. Segera aku terjaga dari tidurku yang lelap. 

“Ibu, Ibu!” 

Eh, itu beneran suara Yuda. Menendang selimut, aku bergegas lari membuka pintu dan keluar. Hari masih malam sekitar jam satuan. 

Tampak Yuda sedang memapah istrinya Lina ke luar kamar. Wajah Lina meringis menahan sakit, satu tangannya memegang perutnya yang besar dan satunya lagi mengelus pinggang. 

“Ibu, Lina mau melahirkan. Tolong bawakan tasnya.” dengan gerakan kepala, Yuda menunjuk kamarnya. Aku mengangguk. 

“Cepat sedikit, Bu!” Lina melirik dengan sebal. 

“Iya, iya,” aku segera mengambil tas yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari itu. 

Yuda membawa Lina ke mobil, aku membantunya naik. 

“Ibu, temenin Lina di belakang,” kata Yuda. Aku mengangguk. 

“Aduh, sakit …” Lina tampak gelisah dan kesakitan, dia berkeringat. Aku jadi ikut bingung. 

“Sabar, Lin … ditahan dulu,” kataku. 

“Orang sakit disuruh sabar. Ibu diam hinapa?” Lina mendelik. 

“Cepetan, Mas,” Lina menggeliat dan mengelus pinggang. 

“Sini, biar Ibu elus.” tanganku mengelus pinggang Lina agar sakitnya berkurang. 

“Pelan-pelan dong, Bu, jangan ditekan!” Lina berteriak. 

“Ini pelan, Lin.”

“Lina itu seharusnya melahirkan Minggu depan. Gara-gara Ibu, jadi maju, tauk!” Lina mengomel, kemudian mengerang kesakitan. 

“Kok gara-gara Ibu?” Aku tidak mengerti. 

“Katanya Lina, Ibu sering membuatnya emosi, jadi Lina stress, Bu.” Yuda menyahut sambil menyetir. 

Benarkah begitu? Mendadak aku merasa bersalah. 

Bersambung 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Secangkir Kopi

    Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol bab 85Secangkir kopi bikin syok Sore harinya, saat adzan Maghrib berkumandang, aku melihat Bu Sofi sedang sibuk di meja makan. Di hadapannya ada beberapa hidangan enak dan es kolak. Langkahku perlahan. Mata ini tanpa sadar menatap Bu Sofi yang seperti rakus menyantap makanan. Dia sedang berbuka puasa. “Tumben, Bu, makan saat adzan Maghrib seperti orang puasa saja,” ujarku berpura-pura. “Ah, iya memang saya puasa hari ini,” sahutnya menoleh. “Puasa apa hari Rabu, perasaan puasa sunah Arafah sudah lewat,” ujarku lagi. “Emang napa Bu Ainun? Kayanya ngga suka ya, lihat saya puasa, berbuat baik, ngumpulin pahala?” Bu Sofi membalas sewot. Aku tersenyum saja. Ngumpulin pahala gimana orang niatnya saja sudah busuk. “Oh, gitu? Bagus dong kalau Bu Sofi sekarang sudah rajin berpuasa. Tapi, lebih baik lagi kalau puasanya Senin Kamis, Bu, InshaAllah berkah,” jawabku menyungging senyum. Bu Sofi melirik tajam. Biar saja, aku segera kembali ke ka

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Kena Pelet?

    Saat Anakku Kaya 84Bab 84Apakah suamiku terkena pelet? Rutinitas pagiku agak lain hari ini. Mas Johan sudah keluar dari jam setengah enam pagi tadi. Suamiku ke Counter club, mau main golf bersama teman teman sehobby. Meskipun demikian, aku tetap ke dapur untuk membuatkan kopi. Kemarin, aku sudah berpesan pada Mbak Woro untuk tidak beraktivitas pagi dulu di dapur. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku menjebak Bu Sofi. Orang jahat mesti diberi pelajaran. Aku tidak merasa berdosa jika mempermalukan Bu Sofi. Itu akibat ulahnya sendiri. Mas Johan pergi tanpa diketahui Bu Sofi, Lina maupun Yuda. Suamiku nggak ngopi di rumah sebab di country club ada cafetaria. Pernah juga aku diajak ke sana. Wuih, fasilitasnya kelas atas, mewah dan mahal. Keren memang country club tempat suamiku menjadi member. Selesai mengaduk kopi dalam cangkir, aku meninggalkan dapur begitu saja. Sampai kamar segera memantau CCTV. Rasanya menggebu untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya. Mbak Woro muncul be

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Menjebak Bu Sofi

    Saat Anakku Kaya 83Bab 83Menjebak Bu Sofi Huh, huh, huh!Nafasku rasanya bekejaran usai mendengar sendiri rencana busuk Bu Sofi. Benar-benar perempuan j4h4n4m dia itu. Tubuhku bergetar dan tanganku juga gemetaran. Seumur umur, aku tak pernah tau ada orang sejahat ini. “Duduk dulu, Bu,” kata Pak Margono menunjuk sofa. Aku mengangguk. Pak Margono memasuki rumah, aku masih terdiam dengan dada yang berdebar. Ya Allah … segitunya Bu Sofi. Aku sudah menolongnya, memberinya tumpangan di rumah mewah, meminjamkan mobilku untuknya bepergian, memberinya makanan gratis, menyekolahkan Nungki juga, tetapi apa balasannya? Dia malah mengincar suamiku! Astaghfirullahaladziim. Menarik nafas dengan mata terpejam, aku mengurut dada sendiri. Apakah ini yang disebut air susu dibalas air tuba? “Minum air putih dulu, Bu.” Pak Margono datang dengan segelas air di tangannya. Bagai kerbau dicucuk, akupun menurut dan segera meneguk air tersebut. Ya Allah, aku benar-benar syok. Pak Margono kemudian terl

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Segala Cara

    Saat Anakku Kaya 78Bab 78Segala cara POV Bu Sofi Semakin lama tinggal di sini semakin membuatku gusar saja. Bagaimana tidak? Rumah ini begitu besar seperti istana. Dipenuhi dengan barang dan perabot antik yang nilainya bisa diduga fantastis. Garasi mobilnya juga isinya nggak kaleng-kaleng. Dan yang membuat hatiku hangus karena terbakar api cemburu adalah, pemilik semua ini adalah Bu Ainun! Perempuan dekil yang dulu miskin, gembel dan aku hinakan. Tidak habis pikir kenapa nasib baik berpaling padanya. Perempuan kampung itu berhasil memikat hati seorang konglomerat dan sialnya, mereka menikah! Aku tidak terima. Bu Ainun tidak boleh melebihi aku. Meskipun usiaku dengan Bu Ainun hampir sebaya tetapi, penampilan kami jauh berbeda. Bumi dan langit jauhnya. Lihatlah aku. Di usiaku yang menginjak 55 tahun, aku masih cantik. Kulitku masih putih dan kesat, tidak kendor. Wajahku terlihat glowing dan licin seperti porselen. Body ku tinggi dan proporsional. Berbeda dengan Bu Ainun yang kun

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Pasang CCTV

    Saat Anakku Kaya 81Bab 81Pasang CCTV untuk memantau “Mas, aku minta tolong untuk dipasangkan CCTV di area dapur,” kataku pada Mas Johan malam hari saat hanya berdua saja di kamar. “CCTV buat apa, dek? Bukannya sudah ada di dapur?” Mas Johan memalingkan wajah. Matanya memicing menatapku. “Maksudnya yang benar-benar menyorot area dapur, Mas. Jadi dapat mencakup semuanya misal area memasak, kompornya, wastafel, rak piring dan sebagainya,” ucapku lagi. “Maksudnya biar aku dapat melihatmu bila sedang memasak, gitu, dek?” Mas Johan menggaruk kepalanya dengan mimik wajahnya yang lucu. “Bukan!* aku menoleh dan menggeleng cepat. Ngapain juga aku pingin disyuting saat masak. “Terus?” “Pokoknya pasangin aja, Mas?” pintaku dengan bibir manyun. Suamiku malah tertawa. Sebenarnya, sudah ada CCTV di area ruang makan. Cakupannya juga sampai ke dapur tetapi hanya sebagian saja karena angle nya yang susah. CCTV itu memang dikhususkan untuk memantau suasana ruang makan dan pintu belakang. Semen

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Target Pelet

    Saat Anakku Kaya 80Bab 80Target Pelet “Lumayan, lah, Mas … nggak jelek-jelek amat,” ujar Lina seusai melihat ruko yang disewa Yuda untuk usaha jasa cleaning service. “Iya, Lin, nggak terlalu sempit jugae,” timpalku mengangguk. Setuju dengan pendapat Lina. “Lantai tiga ini, nanti rencananya buat para karyawan yang mau menginap. Aku mengizinkan dengan gratis.” Senyum Yuda mengembang. “Betul, Mas, sambil menyelam minum air. Rukonya aman dan mereka dapat tempat tinggal cuma-cuma. Sama-sama untung,” ujar Lina. Hari ini, aku, Lina dan Bu Sofi diajak oleh Yuda melihat ruko yang sudah dia sewa. Letaknya di daerah atas kota Semarang. Menurut Yuda, harganya lebih miring dari pada yang ada di pusat kota. Yuda memang sengaja mencari yang murah demi menekan pengeluaran modal. Masuk akal sih, menurutku. “Apaan, ruko sempit, sumpek begini, siapa yang mau tinggal di sini? Yang ada meleleh seperti lilin.” Bu Sofi mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya seolah merasa kepanasan. “Nanti dib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status