Karena miskin dan hanya menumpang hidup, aku disingkirkan dari rumah anakku sendiri oleh menantuku. Hidup terlunta-lunta di jalanan tanpa sanak saudara membuat hatiku terasa perih .... Meskipun begitu, aku tak pernah sedikitpun membenci anakku. Hanya doa yang senantiasa kupanjatkan kepada sang kuasa agar aku selalu mendapatkan perlindunganNya. Hingga suatu hari, Allah menjawab doa-doa ku. Aku dipertemukan dengan seorang Duda pengusaha yang kaya raya. Atas ridho-nya, aku menikah lagi dengannya. Hidupku berubah. Derajadku diangkat sama Allah. Lalu bagaimana dengan anak dan menantuku setelah mengetahui aku telah menjadi istri seorang Raja jalan tol yang tajir melintir?
View MoreSaat Anakku Kaya 1
Bab 1Minta uang “Lina, Ibu mau minta uang.” aku memberanikan diri menemui Lina, menantuku untuk meminta sedikit uang. “Apa, sih, Bu, minta uang terus?” Dengan wajah masam, Lina melihatku yang berdiri di samping tempat tidurnya. Aku menghela nafas pelan. “Dua hari lagi, Ibu mau ikut piknik Ziarah sama ibu-ibu pengajian kampung. Mobilnya gratis tapi, ibu nggak punya sangu,” jawabku pelan. “Nggak punya sangu ya nggak usah ikut to, Bu. Gitu aja kok repot.” Lina beringsut dan membelakangi aku. Dengan menahan rasa kecewa, akupun berlalu dari kamar menantuku. Malamnya, saat sedang sendirian di kamar, Yuda, anak lelakiku masuk dan menemuiku. Aku melihat Yuda yang mendekat dan duduk di sampingku. “Lagi ngapain, Bu?” Tanya Yuda sambil melihat aktivitasku merajut. “Ini, Ibu lagi merajut kaos tangan dan kaos kaki bayi,” ucapku sambil tersenyum. Aku juga menunjukkan kaos tangan mungil yang sudah jadi pada Yuda. Mengambil kaos tangan bayi yang aku tunjukkan, Yuda memandangnya. “Lucu, ya?” Kataku sembari melanjutkan merajut. Teringat saat hamil Yuda dulu, kegiatanku adalah merajut setelah selesai membereskan rumah. “Dulu, Ibu juga membuat sendiri kaos tangan dan kaos kaki bayi buat kamu, Yud.” aku tertawa kecil mengingat saat itu. Aku dan suamiku bukanlah orang kaya, hidup kami pas-pasan. Pas buat makan, pas buat biaya sekolah Yuda, dan pas buat bayar kontrakan. Meskipun begitu, aku dan suami berhasil menyekolahkan Yuda hingga lulus kuliah. Yuda adalah anakku satu-satunya. Aku dan Mas Riswan, suamiku, rela kontrak-kontrak rumah demi bisa menghidupi dan membiayai anak semata wayangku itu. Yuda bisa punya sepeda motor, beli laptop, bayar kuliah, biaya KKN, juga skripsi. Semuanya adalah hasil kerja keras ayahnya. Sebagai Ibu, aku selalu menomorsatukan anak. Tak ada kebutuhan Yuda yang tertunda, semuanya beres meskipun aku harus mengorbankan kepentingan yang lain. Yuda lebih penting. Hingga akhirnya, Yuda selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji besar. Aku dan Mas Riswan sangat bahagia melihat kesuksesan Yuda. Sayangnya, Mas Riswan harus kembali ke Rahmatullah, beberapa bulan setelah Yuda bekerja. Tinggalah aku sendiri bersama anak lelakiku, Yuda. Karena pandai dan tekun, Yuda segera mendapat promosi jabatan. Gajinya juga naik. Yuda berhasil membeli mobil dan kredit rumah. Aku sangat terharu saat Yuda memboyongku pindah ke rumah barunya. Sampai-sampai, aku tak dapat membendung air mata. Ya Allah, akhirnya, aku berhasil memilki rumah sendiri meskipun sebenarnya milik anakku. Berakhir sudah perjalananku kontrak mengontrak. InshaAllah, aku dapat hidup tenang bersama anakku sampai akhir hayat. Tangisku semakin menjadi saat mengingat Mas Riswan. Tentunya, suamiku itu akan sangat bangga dengan Yuda yang berhasil membeli rumah sendiri. Sesuatu yang sangat didambakan Mas Riswan seumur hidupnya yang belum kesampaian. “Itu buat cucu ibu nanti,” bisikku pada Yuda sambil mengukir senyum. Lina sedang hamil tua, sebentar lagi melahirkan, makanya aku membuat beberapa kaos tangan dan kaki buat bakal cucuku nanti. Rencananya, aku juga akan merajut baju hangat juga kalau bahannya cukup. Maklum, aku membelinya harus mengumpulkan uang dulu. Yuda menimang kaos tangan mungil di tangannya. “Ibu tadi siang minta uang sama Lina, ya?” Tanya Yuda tanpa melihatku. Pandangan Yuda ke bawah. Tanganku berhenti merajut, aku menoleh pada Yuda. “Iya, Yud, Ibu minta sangu buat piknik Ziarah sama teman pengajian,” jawabku jujur.Yuda mengangguk tipis. “Berapa?” “Seratus aja tapi, kalau nggak ada , limapuluh juga gapapa,” jawabku. Yuda merogoh saku celana untuk mengeluarkan dompet. “Ini, Bu.” Yuda menyodorkan uang seratus ribu. Aku menerimanya dengan senang hati. “Makasih, ya, Yud.” “Oh, ya, Bu …” “Apa?” Sahutku sambil menyimpan uang ke dalam tas milikku. “Jangan minta uang terus sama Lina, ya?” Yuda melirik. “Ibu jarang kok, minta uang sama Lina. Paling kalau sabun cucinya habis baru minta.” balasku pelan. “Iya, kan, Lina sudah sering ngasih uang ibu.” Yuda menoleh dan menatapku. Aku terdiam. Meski itu tidak benar tapi, aku tidak ingin membantah. Lina tidak pernah memberiku uang cuma-cuma. Menantuku itu menyuruhku ke warung untuk membelikan keperluannya dan memberi upah padaku. Tidak banyak, paling dua ribu atau tiga ribu. Semuanya aku kumpulkan untuk membeli benang rajut dan membayar infaq pengajian. Aku sadar diri kok, cuma numpang hidup. “Iya, maaf, Yud …” ucapku dengan suara tercekat, rasanya mau menangis. Yuda berdiri dan keluar dari kamarku. Menutup mulut dengan sebelah tangan, aku menahan isakan tangis. Perih rasanya dada ini. Setelah perasaanku lega, aku kembali mengambil benang dan meneruskan merajut. Sudahlah, mungkin Lina begitu karena bawaan bayi. Aku saja yang terlalu Baper. BersambungDibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol bab 85Secangkir kopi bikin syok Sore harinya, saat adzan Maghrib berkumandang, aku melihat Bu Sofi sedang sibuk di meja makan. Di hadapannya ada beberapa hidangan enak dan es kolak. Langkahku perlahan. Mata ini tanpa sadar menatap Bu Sofi yang seperti rakus menyantap makanan. Dia sedang berbuka puasa. “Tumben, Bu, makan saat adzan Maghrib seperti orang puasa saja,” ujarku berpura-pura. “Ah, iya memang saya puasa hari ini,” sahutnya menoleh. “Puasa apa hari Rabu, perasaan puasa sunah Arafah sudah lewat,” ujarku lagi. “Emang napa Bu Ainun? Kayanya ngga suka ya, lihat saya puasa, berbuat baik, ngumpulin pahala?” Bu Sofi membalas sewot. Aku tersenyum saja. Ngumpulin pahala gimana orang niatnya saja sudah busuk. “Oh, gitu? Bagus dong kalau Bu Sofi sekarang sudah rajin berpuasa. Tapi, lebih baik lagi kalau puasanya Senin Kamis, Bu, InshaAllah berkah,” jawabku menyungging senyum. Bu Sofi melirik tajam. Biar saja, aku segera kembali ke ka
Saat Anakku Kaya 84Bab 84Apakah suamiku terkena pelet? Rutinitas pagiku agak lain hari ini. Mas Johan sudah keluar dari jam setengah enam pagi tadi. Suamiku ke Counter club, mau main golf bersama teman teman sehobby. Meskipun demikian, aku tetap ke dapur untuk membuatkan kopi. Kemarin, aku sudah berpesan pada Mbak Woro untuk tidak beraktivitas pagi dulu di dapur. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku menjebak Bu Sofi. Orang jahat mesti diberi pelajaran. Aku tidak merasa berdosa jika mempermalukan Bu Sofi. Itu akibat ulahnya sendiri. Mas Johan pergi tanpa diketahui Bu Sofi, Lina maupun Yuda. Suamiku nggak ngopi di rumah sebab di country club ada cafetaria. Pernah juga aku diajak ke sana. Wuih, fasilitasnya kelas atas, mewah dan mahal. Keren memang country club tempat suamiku menjadi member. Selesai mengaduk kopi dalam cangkir, aku meninggalkan dapur begitu saja. Sampai kamar segera memantau CCTV. Rasanya menggebu untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya. Mbak Woro muncul be
Saat Anakku Kaya 83Bab 83Menjebak Bu Sofi Huh, huh, huh!Nafasku rasanya bekejaran usai mendengar sendiri rencana busuk Bu Sofi. Benar-benar perempuan j4h4n4m dia itu. Tubuhku bergetar dan tanganku juga gemetaran. Seumur umur, aku tak pernah tau ada orang sejahat ini. “Duduk dulu, Bu,” kata Pak Margono menunjuk sofa. Aku mengangguk. Pak Margono memasuki rumah, aku masih terdiam dengan dada yang berdebar. Ya Allah … segitunya Bu Sofi. Aku sudah menolongnya, memberinya tumpangan di rumah mewah, meminjamkan mobilku untuknya bepergian, memberinya makanan gratis, menyekolahkan Nungki juga, tetapi apa balasannya? Dia malah mengincar suamiku! Astaghfirullahaladziim. Menarik nafas dengan mata terpejam, aku mengurut dada sendiri. Apakah ini yang disebut air susu dibalas air tuba? “Minum air putih dulu, Bu.” Pak Margono datang dengan segelas air di tangannya. Bagai kerbau dicucuk, akupun menurut dan segera meneguk air tersebut. Ya Allah, aku benar-benar syok. Pak Margono kemudian terl
Saat Anakku Kaya 78Bab 78Segala cara POV Bu Sofi Semakin lama tinggal di sini semakin membuatku gusar saja. Bagaimana tidak? Rumah ini begitu besar seperti istana. Dipenuhi dengan barang dan perabot antik yang nilainya bisa diduga fantastis. Garasi mobilnya juga isinya nggak kaleng-kaleng. Dan yang membuat hatiku hangus karena terbakar api cemburu adalah, pemilik semua ini adalah Bu Ainun! Perempuan dekil yang dulu miskin, gembel dan aku hinakan. Tidak habis pikir kenapa nasib baik berpaling padanya. Perempuan kampung itu berhasil memikat hati seorang konglomerat dan sialnya, mereka menikah! Aku tidak terima. Bu Ainun tidak boleh melebihi aku. Meskipun usiaku dengan Bu Ainun hampir sebaya tetapi, penampilan kami jauh berbeda. Bumi dan langit jauhnya. Lihatlah aku. Di usiaku yang menginjak 55 tahun, aku masih cantik. Kulitku masih putih dan kesat, tidak kendor. Wajahku terlihat glowing dan licin seperti porselen. Body ku tinggi dan proporsional. Berbeda dengan Bu Ainun yang kun
Saat Anakku Kaya 81Bab 81Pasang CCTV untuk memantau “Mas, aku minta tolong untuk dipasangkan CCTV di area dapur,” kataku pada Mas Johan malam hari saat hanya berdua saja di kamar. “CCTV buat apa, dek? Bukannya sudah ada di dapur?” Mas Johan memalingkan wajah. Matanya memicing menatapku. “Maksudnya yang benar-benar menyorot area dapur, Mas. Jadi dapat mencakup semuanya misal area memasak, kompornya, wastafel, rak piring dan sebagainya,” ucapku lagi. “Maksudnya biar aku dapat melihatmu bila sedang memasak, gitu, dek?” Mas Johan menggaruk kepalanya dengan mimik wajahnya yang lucu. “Bukan!* aku menoleh dan menggeleng cepat. Ngapain juga aku pingin disyuting saat masak. “Terus?” “Pokoknya pasangin aja, Mas?” pintaku dengan bibir manyun. Suamiku malah tertawa. Sebenarnya, sudah ada CCTV di area ruang makan. Cakupannya juga sampai ke dapur tetapi hanya sebagian saja karena angle nya yang susah. CCTV itu memang dikhususkan untuk memantau suasana ruang makan dan pintu belakang. Semen
Saat Anakku Kaya 80Bab 80Target Pelet “Lumayan, lah, Mas … nggak jelek-jelek amat,” ujar Lina seusai melihat ruko yang disewa Yuda untuk usaha jasa cleaning service. “Iya, Lin, nggak terlalu sempit jugae,” timpalku mengangguk. Setuju dengan pendapat Lina. “Lantai tiga ini, nanti rencananya buat para karyawan yang mau menginap. Aku mengizinkan dengan gratis.” Senyum Yuda mengembang. “Betul, Mas, sambil menyelam minum air. Rukonya aman dan mereka dapat tempat tinggal cuma-cuma. Sama-sama untung,” ujar Lina. Hari ini, aku, Lina dan Bu Sofi diajak oleh Yuda melihat ruko yang sudah dia sewa. Letaknya di daerah atas kota Semarang. Menurut Yuda, harganya lebih miring dari pada yang ada di pusat kota. Yuda memang sengaja mencari yang murah demi menekan pengeluaran modal. Masuk akal sih, menurutku. “Apaan, ruko sempit, sumpek begini, siapa yang mau tinggal di sini? Yang ada meleleh seperti lilin.” Bu Sofi mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya seolah merasa kepanasan. “Nanti dib
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments