Dinikahi Raja jalan tol 6
Bab 6Tak bisa Memilih Lina terpaksa dioperasi cecar karena tidak kuat mengejan. Menantuku itu hanya bisa berteriak teriak kesakitan sambil mengomeli suaminya. Aku juga pernah melahirkan. Memang sakit sekali rasanya tetapi, aku tidak manja. Selama proses pembukaan hingga persalinan, aku selalu berdoa, bukan berteriak apa lagi memaki-maki suami dan Mertua seperti Lina. Tapi, sudahlah, memang sifat orang berbeda alias tidak sama. Duduk bersebelahan dengan Yuda di depan pintu ruang operasi, anakku itu terlihat tegang. Yuda gelisah dan sering melihat ke pintu. Lagi-lagi, aku teringat dengan almarhum Mas Riswan. Suamiku, dulu juga menunggu dan menyemangati aku tatkala menahan sakit saat melahirkan Yuda. “Berdoa, Yud, semoga semuanya lancar,” kataku. Yuda mengangguk. Kemudian sunyi, karena aku berdoa dalam hati untuk menantuku itu bersama cucu yang akan lahir, semoga sehat dan selamat dua-duanya. Suara langkah kaki tergesa terdengar menuju kemari. Aku dan Yuda menoleh ke lorong kanan. Dua perempuan terlihat berjalan cepat kemari. Satu perempuan berusia empat puluh tahunan dan satunya lagi masih belia seusia anak SMA. Mereka adalah Ibu dan adiknya Lina. “Yuda, gimana, sudah lahir anakmu?” Tanya Bu Sofia, besanku, pada Yuda. Anakku itu segera berdiri dan menyalami Ibu mertuanya.“Belum, Ma, Lina masih di dalam,” sahut Yuda menunjuk pintu. Melihat Bu Sofi yang sepertinya tidak melihat keberadaanku, akupun lalu berdiri dan menyapa. “Mungkin sebentar lagi, Bu, operasi cecar kan tidak memakan waktu lama,” kataku. Bu Sofi menatapku sekilas kemudian mengangguk. Yuda berjalan mendekat ke pintu, sedangkan aku kembali duduk. Agak bergeser ke ujung supaya Bu Sofi dan Nungki, adiknya Lina bisa duduk juga. “Ayo, Nung, kita duduk di sana.” Bu Sofi menarik tangan anak gadisnya dan malahan menuju bangku yang lain. Aku hanya bisa menatap. Biarlah, mungkin, bangku ini tidak cukup untuk bertiga. Alhamdulillah, cucuku sudah lahir. Dia laki-laki, sehat dan tidak kurang satu apapun. Aku sangat bersyukur dan tak dapat menyembunyikan rasa bahagia. “Selamat, ya, Yud.” aku memeluk Yuda. “Makasih, Bu,” ujar Yuda dengan wajah berseri-seri. “Selamat, ya, Yuda.” Bu Sofi segera mencium kedua pipi Yuda. Aku tersenyum melihatnya, selama ini Yuda memang menjadi Menantu kesayangan keluarga Lina. Lina hanya dua bersaudara perempuan semua, adiknya bernama Nungki, masih sekolah. Ibunya Lina juga masih muda, usianya belum ada 45 sepertinya, tetapi ayahnya sudah sepuh karena selisih banyak dengan Bu Sofi. Dengar-dengar, Bu Sofi ini istri kedua tapi, entahlah. **Bayi Lina sudah boleh dibawa pulang. Aku sangat senang dan ingin sekali memangkunya. Di rumah sakit, waktunya terbatas, bayi harus ditaruh di ruang bayi. Aku belum sempat menggendongnya karena selalu diambil sama Bu Sofi. Ingin aku bilang gantian tapi, tidak berani. Jadi, aku bersabar menunggu sampai di rumah saja. Kamar bayi sudah siap. Sementara memakai kamar tamu dahulu yang masih kosong. Bu Sofi dan Nungki ikut ke sini dan menginap. Kudengar, ayahnya Lina sedang sakit dan dirawat oleh istri pertamanya jadi, mereka punya banyak waktu untuk menemani Lina dan cucunya. Oh, ya, anaknya Yuda dan Lina ini, sama-sama cucu pertama buat aku dan Bu Sofi. Bisa dibayangkan betapa gembiranya kami sekeluarga. “Sini, Lina, biar Mama yang pegang bayinya. Kamu mandi dulu, sana,” kata Bu Sofi pagi itu. Bu Sofi lalu mengambil bayi yang belum diberi nama itu ke gendongannya. Aku mendekat dan menatap wajah cucuku. “Boleh saya gendong sebentar, Bu Sofi?” Tanyaku berharap. Sejauh ini, aku belum diberi kesempatan menggendongnya. Bu Sofi melirik padaku,” Bu Ainun sudah mandi, belum?” Tanyanya. Aku menggeleng,” tapi, saya sudah cuci muka, gosok gigi dan berwudhu, tadi pagi,” jawabku tersenyum kecil. Maklumlah, pagi ini aku sibuk, mencuci semua pakaian Lina dari rumah sakit, pakaian Yuda dan juga milik Bu Sofi dan Nungki. Setelah menjemur baju, aku mencuci tangan dan kaki lalu segera ke sini untuk melihat bayi. “Mandi dulu, Bu,” ujar Lina dengan wajah masam. “Pegang bayi itu harus bersih, steril. Sana, mandi sama ganti baju bersih dulu, baru ke sini lagi,” imbuh Lina. Menuruti kata Lina, aku segera keluar dari kamar dan mandi. Berganti baju bersih, kerudung bersih juga bedakan dan pakai sedikit minyak wangi, aku keluar kamar. Tak sabar ingin menimang cucuku. Melihat ke cermin, aku mengangguk sendiri, rasanya sudah cukup pantas aku kembali ke kamarnya Lina. Masuk ke kamar Lina, aku hanya mendapati Yuda dan anaknya yang sedang tertidur lelap. Dengan hati-hati, aku mendekat dan duduk di tepi ranjang. Mataku menatap cucu yang terlelap dan berbalut selimut bayi. Tampan sekali cucuku, berkulit putih, bersih dan berhidung mancung. Yuda yang tidak tidur segera bangkit saat melihatku. “Anakmu cakep, Yud.” aku berkata pelan. Mataku tak mau beralih dari wajah cucuku. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi yang ada di dalam kamar Yuda. Rupanya, Lina sedang mandi. “Bu Sofi, ke mana?” tanyaku berbisik pada Yuda. “Mandi di kamar tamu,” sahut Yuda. Dia kembali berbaring di samping anaknya dengan satu tangan menyangga kepalanya. Ternyata, Bu Sofi sendiri belum mandi, batinku sedikit kesal. Owek owekTiba-tiba bayinya menggeliat dan menangis. “Hei, cucuku sudah bangun.” Bergegas aku mengangkat dengan hati-hati dan menggendongnya sambil duduk di tepi tempat tidur. Yuda menatap senang. “Mirip kecilan mu, Yud,” kataku tersenyum sambil melihat Yuda. Tak henti aku mengagumi wajah cucuku. Bahagia luar biasa bisa menjadi seorang nenek.CeklekSuara pintu kamar mandi dibuka. Lina keluar. Tiba-tiba, Lina berdiri tak jauh dariku dengan mata melotot. “Ibu, kenapa dibangunin!” Ujar Lina dengan nada kesal. “Ibu nggak bangunin, bayinya bangun sendiri,” jawabku. “Bohong, Ibu pasti berisik di sini. Sudah tau cucunya lagi tidur, ibu ngapain di sini?” ujar Lina gusar. Segera Lina mengambil anaknya dari pangkuanku. Aku hanya pasrah saat cucu kesayanganku direbut ibunya. Ya, Allah, padahal aku belum lima menit menimangnya. Wajahku, langsung berubah murung. Yuda hanya menyaksikan saja saat Lina memarahi aku. Aku kasihan sama anak lelakiku itu, dia tidak dapat berbuat apa-apa. Yuda tak dapat memilih antara memihak istri atau ibunya. BersambungDibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol bab 85Secangkir kopi bikin syok Sore harinya, saat adzan Maghrib berkumandang, aku melihat Bu Sofi sedang sibuk di meja makan. Di hadapannya ada beberapa hidangan enak dan es kolak. Langkahku perlahan. Mata ini tanpa sadar menatap Bu Sofi yang seperti rakus menyantap makanan. Dia sedang berbuka puasa. “Tumben, Bu, makan saat adzan Maghrib seperti orang puasa saja,” ujarku berpura-pura. “Ah, iya memang saya puasa hari ini,” sahutnya menoleh. “Puasa apa hari Rabu, perasaan puasa sunah Arafah sudah lewat,” ujarku lagi. “Emang napa Bu Ainun? Kayanya ngga suka ya, lihat saya puasa, berbuat baik, ngumpulin pahala?” Bu Sofi membalas sewot. Aku tersenyum saja. Ngumpulin pahala gimana orang niatnya saja sudah busuk. “Oh, gitu? Bagus dong kalau Bu Sofi sekarang sudah rajin berpuasa. Tapi, lebih baik lagi kalau puasanya Senin Kamis, Bu, InshaAllah berkah,” jawabku menyungging senyum. Bu Sofi melirik tajam. Biar saja, aku segera kembali ke ka
Saat Anakku Kaya 84Bab 84Apakah suamiku terkena pelet? Rutinitas pagiku agak lain hari ini. Mas Johan sudah keluar dari jam setengah enam pagi tadi. Suamiku ke Counter club, mau main golf bersama teman teman sehobby. Meskipun demikian, aku tetap ke dapur untuk membuatkan kopi. Kemarin, aku sudah berpesan pada Mbak Woro untuk tidak beraktivitas pagi dulu di dapur. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku menjebak Bu Sofi. Orang jahat mesti diberi pelajaran. Aku tidak merasa berdosa jika mempermalukan Bu Sofi. Itu akibat ulahnya sendiri. Mas Johan pergi tanpa diketahui Bu Sofi, Lina maupun Yuda. Suamiku nggak ngopi di rumah sebab di country club ada cafetaria. Pernah juga aku diajak ke sana. Wuih, fasilitasnya kelas atas, mewah dan mahal. Keren memang country club tempat suamiku menjadi member. Selesai mengaduk kopi dalam cangkir, aku meninggalkan dapur begitu saja. Sampai kamar segera memantau CCTV. Rasanya menggebu untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya. Mbak Woro muncul be
Saat Anakku Kaya 83Bab 83Menjebak Bu Sofi Huh, huh, huh!Nafasku rasanya bekejaran usai mendengar sendiri rencana busuk Bu Sofi. Benar-benar perempuan j4h4n4m dia itu. Tubuhku bergetar dan tanganku juga gemetaran. Seumur umur, aku tak pernah tau ada orang sejahat ini. “Duduk dulu, Bu,” kata Pak Margono menunjuk sofa. Aku mengangguk. Pak Margono memasuki rumah, aku masih terdiam dengan dada yang berdebar. Ya Allah … segitunya Bu Sofi. Aku sudah menolongnya, memberinya tumpangan di rumah mewah, meminjamkan mobilku untuknya bepergian, memberinya makanan gratis, menyekolahkan Nungki juga, tetapi apa balasannya? Dia malah mengincar suamiku! Astaghfirullahaladziim. Menarik nafas dengan mata terpejam, aku mengurut dada sendiri. Apakah ini yang disebut air susu dibalas air tuba? “Minum air putih dulu, Bu.” Pak Margono datang dengan segelas air di tangannya. Bagai kerbau dicucuk, akupun menurut dan segera meneguk air tersebut. Ya Allah, aku benar-benar syok. Pak Margono kemudian terl
Saat Anakku Kaya 78Bab 78Segala cara POV Bu Sofi Semakin lama tinggal di sini semakin membuatku gusar saja. Bagaimana tidak? Rumah ini begitu besar seperti istana. Dipenuhi dengan barang dan perabot antik yang nilainya bisa diduga fantastis. Garasi mobilnya juga isinya nggak kaleng-kaleng. Dan yang membuat hatiku hangus karena terbakar api cemburu adalah, pemilik semua ini adalah Bu Ainun! Perempuan dekil yang dulu miskin, gembel dan aku hinakan. Tidak habis pikir kenapa nasib baik berpaling padanya. Perempuan kampung itu berhasil memikat hati seorang konglomerat dan sialnya, mereka menikah! Aku tidak terima. Bu Ainun tidak boleh melebihi aku. Meskipun usiaku dengan Bu Ainun hampir sebaya tetapi, penampilan kami jauh berbeda. Bumi dan langit jauhnya. Lihatlah aku. Di usiaku yang menginjak 55 tahun, aku masih cantik. Kulitku masih putih dan kesat, tidak kendor. Wajahku terlihat glowing dan licin seperti porselen. Body ku tinggi dan proporsional. Berbeda dengan Bu Ainun yang kun
Saat Anakku Kaya 81Bab 81Pasang CCTV untuk memantau “Mas, aku minta tolong untuk dipasangkan CCTV di area dapur,” kataku pada Mas Johan malam hari saat hanya berdua saja di kamar. “CCTV buat apa, dek? Bukannya sudah ada di dapur?” Mas Johan memalingkan wajah. Matanya memicing menatapku. “Maksudnya yang benar-benar menyorot area dapur, Mas. Jadi dapat mencakup semuanya misal area memasak, kompornya, wastafel, rak piring dan sebagainya,” ucapku lagi. “Maksudnya biar aku dapat melihatmu bila sedang memasak, gitu, dek?” Mas Johan menggaruk kepalanya dengan mimik wajahnya yang lucu. “Bukan!* aku menoleh dan menggeleng cepat. Ngapain juga aku pingin disyuting saat masak. “Terus?” “Pokoknya pasangin aja, Mas?” pintaku dengan bibir manyun. Suamiku malah tertawa. Sebenarnya, sudah ada CCTV di area ruang makan. Cakupannya juga sampai ke dapur tetapi hanya sebagian saja karena angle nya yang susah. CCTV itu memang dikhususkan untuk memantau suasana ruang makan dan pintu belakang. Semen
Saat Anakku Kaya 80Bab 80Target Pelet “Lumayan, lah, Mas … nggak jelek-jelek amat,” ujar Lina seusai melihat ruko yang disewa Yuda untuk usaha jasa cleaning service. “Iya, Lin, nggak terlalu sempit jugae,” timpalku mengangguk. Setuju dengan pendapat Lina. “Lantai tiga ini, nanti rencananya buat para karyawan yang mau menginap. Aku mengizinkan dengan gratis.” Senyum Yuda mengembang. “Betul, Mas, sambil menyelam minum air. Rukonya aman dan mereka dapat tempat tinggal cuma-cuma. Sama-sama untung,” ujar Lina. Hari ini, aku, Lina dan Bu Sofi diajak oleh Yuda melihat ruko yang sudah dia sewa. Letaknya di daerah atas kota Semarang. Menurut Yuda, harganya lebih miring dari pada yang ada di pusat kota. Yuda memang sengaja mencari yang murah demi menekan pengeluaran modal. Masuk akal sih, menurutku. “Apaan, ruko sempit, sumpek begini, siapa yang mau tinggal di sini? Yang ada meleleh seperti lilin.” Bu Sofi mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya seolah merasa kepanasan. “Nanti dib
Saat Anakku Kaya 75Bab 75POV Bu Sofi Hati yang busuk Jadi, kamu mau buka usaha jasa cleaning service, Yuda?”“Iya, Om,” sahut Yuda mengangguk. “Apa alasannya?” Terlihat Pak Johan mengangkat sedikit dagunya agar dapat menatap lurus Yuda. “Saya pernah berkecimpung di bidang itu sebelumnya, Om. Sedikit banyak saya tau seluk beluk pemasaran dan manajemennya. Bahkan, untuk urusan marketing juga sudah saya amati. InshaAllah, saya yakin dapat berkembang dengan pilihan usaha ini.” ujar Yuda terdengar optimis. Aku sengaja berdiri di belakang bupet kayu besar tak jauh dari ruang tengah tempat Pak Johan, Yuda dan Bu Ainun bercakap-cakap. Rupanya, mereka sedang membicarakan rencana bisnis Yuda. Dasar b0d0h, Yuda itu. Ngapain membuka bisnis cleaning service yang ecek-ecek. Lebih baik uang segitu dipakai untuk investasi. Jaman sekarang kan, mainnya trading. Serahkan pada ahlinya, tinggal ongkang-ongkang dapat kabar baik dan cuan mengalir. Dari pada bisnis bersih-bersih, nggak elit banget,
Saat Anakku Kaya 75Bab 75POV Bu Sofi Hati yang busuk Jadi, kamu mau buka usaha jasa cleaning service, Yuda?”“Iya, Om,” sahut Yuda mengangguk. “Apa alasannya?” Terlihat Pak Johan mengangkat sedikit dagunya agar dapat menatap lurus Yuda. “Saya pernah berkecimpung di bidang itu sebelumnya, Om. Sedikit banyak saya tau seluk beluk pemasaran dan manajemennya. Bahkan, untuk urusan marketing juga sudah saya amati. InshaAllah, saya yakin dapat berkembang dengan pilihan usaha ini.” ujar Yuda terdengar optimis. Aku sengaja berdiri di belakang bupet kayu besar tak jauh dari ruang tengah tempat Pak Johan, Yuda dan Bu Ainun bercakap-cakap. Rupanya, mereka sedang membicarakan rencana bisnis Yuda. Dasar b0d0h, Yuda itu. Ngapain membuka bisnis cleaning service yang ecek-ecek. Lebih baik uang segitu dipakai untuk investasi. Jaman sekarang kan, mainnya trading. Serahkan pada ahlinya, tinggal ongkang-ongkang dapat kabar baik dan cuan mengalir. Dari pada bisnis bersih-bersih, nggak elit banget,
Saat Anakku Kaya 77bab 77Sok Akrab Bu Sofi melengos dan tidak menggubris pertanyaan ku. Rasain, sudah numpang masih sombong dan malah mengolokku. “Lina, jangan lupa nanti malam ya,” kataku pada Lina. “Zidan mau ikut Uti ke depan?” Tanyaku pada Zidan. “Mimik,” katanya. “Minta mimik? Haus ya, sayang? Uuhh, kaciaan.” aku tertawa. Lina segera mengambil Zidan dariku,”biar Lina buatkan susu dulu, Bu.” Aku mengangguk dan segera berlalu dari kamar Lina. Sempat kulihat wajah Bu Sofi yang ditekuk menahan marah. Hahaha.**Semuanya sudah berkumpul di meja makan untuk makan malam. Ada Mas Johan, aku, Lina, Yuda dan Bu Sofi. “Nungki mana?” Tanyaku saat tak melihat gadis abege putri bungsunya Bu Sofi. “Sudah makan katanya, Bu,” sahut Lina. “Lho, makan di mana?” Keningku mengerut melihat Lina. “Katanya tadi pulang sekolah pada nyeblak sama teman-temannya.” “Oh, begitu ….” Aku menganggukkan kepala dan mengambil piring Mas Johan untuk aku isi nasi. Karena tempat nasinya agak jauh, aku ja