"Karena Ibu nggak tau seberapa ukuran jarimu, hari ini kita ke toko emas, ya," ucap Bu Sari yang sudah datang ke rumah Nenek pagi-pagi sekali.
Bagaimana tidak pagi-pagi sekali. Ini baru pukul delapan pagi. Dan Bu Sari sudah datang bersama supirnya.
Sudah dua minggu sejak Bu Sari pertama kali berkunjung ke rumah Nenek. Aku pikir, perjodohan ini dibatalkan. Karena, setelah ucapan Mbak Neni yang terkesan merendahkan. Bu Sari tak lama memutuskan untuk pulang. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi kabar dari mereka tentang perjodohan ini. Tapi ternyata semua tetap berjalan sesuai rencana mereka.
"Kok malah ngelamun. Ayo, kita pergi sekarang," ucap Bu Sari lagi seraya memegang pundakku dan mengguncangkannya pelan.
"Tapi, Bu, saya ganti baju dulu, ya," tawarku, melihat pakaian yang kupakai sungguh sangat memprihatinkan. Warnanya sudah memudar. Aku sengaja memakai pakaian ini karena hendak pergi kerja.
Tak kusangka, ternyata harus batal karena kedatangan Bu Sari. Tadi, ia sempat ngobrol sebentar dengan Nenek. Setelah itu, ia datang menemuiku yang hendak pergi kerja.
"Iya, ya, sudah. Ibu tunggu, ya," sahutnya seraya mengukir senyum manis.
Ah, kenapa aku jadi merasa punya Ibu lagi, ya, setelah diperlakukan baik oleh Bu Sari. Apakah Bu Sari bisa menjadi mertua serasa Ibu sendiri?
Dari cerita teman yang sering kudengar, banyak mertua dan menantu yang tidak cocok. Aku takut, itu juga terjadi padaku.
Tapi, melihat perlakuan Bu Sari, sepertinya Ia berbeda dari yang kebanyakan.
Dengan cepat, aku berganti pakaian. Setelah itu, memakai bedak bayi tipis, dan lipgloss.
Nenek sedang bercengkrama dengan Bu Sari saat aku sudah keluar dan berdiri di ambang pintu.
Menyadari keberadaanku, Bu Sari kembali tersenyum padaku.
"Ayo, kita pergi sekarang." Ia berdiri, menungguku mendekat.
"Saya bawa dulu, cucunya, ya, Mbak?" pamit Bu Sari pada Nenek.
"Iya, hati-hati di jalan," ucap Nenek, saat kami sudah berada di teras rumah.
Bu Sari memegang tanganku lalu menggandengnya sudah seperti sangat akrab. Aku hanya menurut saja diperlakukan seperti ini.
Aku tentu saja senang. Karena selama ini, aku tak pernah tau bagaimana rasanya kasih sayang seorang ibu. Sejak kecil sudah ditinggal Ibu, dan Ibu tiri juga tidak menerimaku, jadilah aku tak tau bagaimana rasanya punya Ibu.
"Sarah, mau ke mana?" teriak Mbak Neni yang baru saja keluar rumah.
"Mau ke pasar, Mbak," jawabku seraya berbalik untuk melihatnya yang masih mengucek matanya sambil menguap lebar.
Dia masih memakai baju tidur. Rambut juga hanya diikat asal, khas orang bangun tidur.
"Eh, mau ngapain? Aku ikut!" teriaknya lagi seraya berlari mendekat dengan semangat.
Wajah Bu Sari berubah. Aku tahu jika Ia tidak suka dengan keberadaan Mbak Neni.
"Mbak, aku saja diajak Bu Sari. Jadi, kayaknya lebih baik Mbak Neni di rumah saja, deh. Kan juga belum mandi." Aku mencoba nelarangnya agar tidak ikut. Tak enak juga bila dia ikut. Takutnya nggak nyaman dengan omongan dia nantinya di sana.
"Alah, cuma ke pasar ini. Ngapain juga pakai acara mandi. Lagian nih, ya, aku ini sepupumu. Itu artinya aku juga saudaramu. Bu Sari nggak akan keberatan kok kalau aku ikut. Ya, kan, Bu?" Mbak Neni menatap Bu Sari yang masih memasang wajah tidak sukanya.
"Sudahlah. Ayo, pergi. Keburu siang ini!" paksanya, seraya menyeret lenganku ikut bersamanya. Dan kaitan lenganku dengan Bu Sari terlepas begitu saja.
Bu Sari mengikuti kami dari belakang hingga sampai di tempat mobilnya di parkir.
Aku yang bingung cara membuka pintu mobil hanya diam saja sambil menatap mobil yang sudah berada tepat di depan wajahku.
Senorak ini aku. Soalnya sedari dulu, jarang sekali naik mobil. Kalau pun naik mobil, maka orang lain yang membuka pintunya. Jadi lah sekarang aku bingung sendiri.
"Udah cepetan, buka pintunya!" desak Mbak Neni mendorongku.
"Aku nggak bisa, Mbak," jawabku masih kebingungan.
"Kampungan banget sih, kamu!" gerutunya seraya mendorongku menjauh. Dan setelah itu, dialah yang membuka pintu mobil tersebut dengan mudahnya.
Oh jadi begitu caranya.
Dengan segera, aku masuk setelah Mbak Neni terlebih dulu dan duduk santai di ujung. Sementara Bu Sari duduk di samping Pak supir.
"Mobilnya, bagus. Tapi nih, ya, Bu. Kalau nggak punya unag, nggak usah maksakan nyewa mobil. Lebih baik Ibu naik becak aja datang ke sini. Segala sesuatu yang dipaksakan itu, tidak baik, Bu," celetuk Mbak Neni, seraya melihat ke arah Bu Sari.
Duh, Mbak Neni, kenapa selalu saja mencari masalah sih. Kenapa dia terlalu ikut campur dengan urusan orang lain.
"Terserah saya, dong. Uang, uang, saya. Tidak minta sama kamu juga. Jadi, lebih baik kamu diam saja. Kalau nggak suka, silahkan turun di sini. Saya juga tidak mengajak kamu," ucap Bu Sari sedikit ketus.
Mbak Neni melengos tak suka. Dia menyandarkan tubuhnya dan memainkan ponsel yang sejak tadi tersimpan di saku celananya.
***
"Kamu pilih, yang mana kamu suka, Nak," ucap Bu Sari saat kami sudah berada di toko emas.
Ada banyak bermacam model cincin yang terlihat sangat bagus. Ada yang kecil, sampai yang besar. Aku sampai bingung harus pilih yang mana.
"Yang ini bagus." Bu Sari menunjuk salah satu cincin yang aku taksir beratnya lumayan.
"Itu terlalu besar, Bu. Harganya pasti mahal. Tuh, yang itu cocok untuk Sarah." Mbak Neni menunjuk sebuah cincin yang ukurannya lebih kecil.
"Mbak, tolong ambilkan pilihan saya ini," ucap Bu Sari tetap menunjuk pilihannya. Mbak Neni tersenyum meremehkan.
"Nggak usah terlalu memaksakan diri, Bu. Nanti malu loh, kalau uangnya nggak cukup. Udah pilihan saya aja, tuh cocok sama Sarah." Mbak Neni kembali merendahkan Bu Sari.
Aku menyenggol pelan lengan Mbak Neni. Tapi dia tetap acuh dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Coba kamu, pakai, Nak."
Setelah diambilkan oleh penjaga tokonya. Ibu langsung memintaku untuk mencoba cincin pilihannya.
Dan ternyata sangat pas di jari manisku.
"Wah, cantik sekali. Saya ambil yang ini, Mbak," ucap Ibu pada penjaga toko itu.
"Hati-hati, setelah melamar dan menikahkan anaknya, hutang menumpuk di mana-mana." Mbak Neni kembali bersuara dan tertawa merendahkan.
Bu Sari semakin terlihat tidak suka pada Mbak Neni.
"Mbak, kalung yang itu saya mau, ya. Dan gelang yang itu, saya juga mau. Bandul kalungnya, saya pilih yang itu." Bu Sari kembali menunjuk beberapa emas yang ukurannya lumayan besar.
"Bu, jangan sok orang kaya. Malu ah, kalau sampai udah nunjuk-nunjuk terus nggak jadi beli." Mbak Neni tertawa cekikikan sambil terus memperhatikan Ibu.
"Kamu coba pakai ini, ya." Bu Sari kembali memintaku mencoba memakai kalung dan juga gelang yang tadi ditunjuknya.
Aku menurut saja saat Ibu memakaikannya.
"Wah, cocok sekali untuk kamu." Bu Sari tersenyum saat melihatku sudah memakai emas pilihannya.
Dan Mbak Neni, dia tetap saja tersenyum mengejek.
"Mbak, tolong ditotal, ya." Bu Sari dengan santai berbicara pada penjaga toko.
"Sebentar, ya, Bu. Kita lihat dulu berapa beratnya." Penjaga toko itu kembali memintaku membuka semua emasnya. Ia kemudian menimbang semua emas tersebut.
"Bu, total semuanya Lima puluh satu juta, delapan ratus ribu rupiah," ucap penjaga toko memperlihatkan kalkulator di depannya.
Bu Sari membuka tas yang sejak tadi setia berada di lengannya. Ia mengeluarkan beberapa gepok uang dan menaruhnya di atas etalase.
Wajah Mbak Neni terlihat sangat terkejut. Matanya seperti hendak melompat dari tempatnya. Ia benar-benar melotot melihat uang sebanyak itu dengan mulut menganga.
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu