Share

Bab 7

Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? 

Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?

"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. 

Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. 

"Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. 

"Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membanggakan Mas, pada teman-teman Adek." Mas Fajar kembali berbicara sedikit lebih panjang. 

Jadi, semua ini dia lakukan untukku? Benarr-benar untukku? 

Duuuhhh, aku jadi terharu mendengarnya. Ternyata dia adalah lelaki yang paling mengerti diriku. 

"Hmmmm. Gimana, ya, Mas?" Aku masih menimbang-nimbang untuk meyakinkan diri. 

"Tolong usahakan dulu, ya, Dek. Pinjam sama orang tua kamu dulu. Atau, sama Nenek kamu. Ini semua juga demi kita, Dek. Kalau kita sudah menikah nanti, dan jabatan Mas sudah tinggi, kan kamu juga yang untung," ucap Mas Fajar sedikit memaksa. 

Iya juga sih. Kalau nanti pangkat dia sudah tinggi, maka aku akan disegani Ibu persit lainnya.

"Apakah keluarga, Mas, tidak ada yang bisa mengusahakannya?" tanyaku yang agak sedikit heran. 

Dia kan juga punya keluarga. Kenapa malah minta tolong pada aku, pacarnya? Agak aneh juga. 

"Tidak ada, Dek. Kemarin, Ibu Mas baru saja membeli kebun sawit sepuluh hektare. Jadi, uangnya sudah terpakai semuanya. Mau menggadaikan surat tanah tapi sayangnya semua surat kebun yang baru dibeli, masih dalam proses balik nama. Makanya, dengan menekan rasa malu, Mas, minta bantuan kamu dulu," jelasnya. 

Kebun sawit sepuluh hektare? Wah, lumayan lebar juga itu. Kalau aku sudah menjadi istri Mas Fajar, kebun itu juga artinya akan menjadi milikku. Sudah dapat suami tentara, dapat juga kebun puluhan hektare. Beruntung sekali nasibku. 

Nanti, setelah menikah, itu artinya aku hanya tinggal duduk manis di rumah, tanpa harus repot membantunya mencari nafkah. 

Duhhh. Sepertinya aku memang harus mengusahakan uang itu. Anggap saja ini investasi. Dengan uang lima puluh juta, aku bisa mendapatkan kebun sawit puluhan hektare plus calon suami Abdi Negara. 

"Oh, jadi begitu ceritanya. Tapi, gimana ya, Mas? Nanti deh, Neni tanya sama Nenek Barangkali Nenek bisa mengusahakannya." Aku harus berpura-pura, bimbang. Agar dia tidak berpikir bahwa aku segampang itu memberikan uang pada lelaki. 

Takutnya, nanti dia memanfaatkanku. 

"Jangan nanti-nanti Dek. Kalau bisa secepatnya. Soalnya, ini harus cepat," desaknya.

Mungkin naik pangkat ini, sepenting itu bagi pernikahan kami nanti. Makanya dia sampai tidak sabaran. 

"Tapi, setelah ini, kita benar-benar akan menikah, kan?" tanyaku memastikan. Takutnya, dia malah kabur setelah mendapatkan uang dan naik pangkat. 

"Iya, sayang. Nanti, setelah selesai semua urusan, Mas. Kita akan langsung menikah. Mas akan langsung datang ke rumah kamu bersama keluarga besar untuk melamar terlebih dahulu," jawabnya meyakinkan. 

"Beneran, ya, Mas?"

"Iya, sayang. Apapun, pasti akan Mas lakukan untuk kebahagiaanmu," ucapnya lembut. 

"Terus, Mas juga akan buat acara pesta pernikahan kita, mewah kan?"

"Iya, sayangku, cintaku, belahan jiwaku. Pokoknya, apapun yang kamu inginkan. Akan Mas kabulkan." Sekli lagi dia meyakinkanku. 

"Mas, janji, tidak akan ada wanita lain selain aku?"

"Iya, sayang. Mas akan berjanji hanya kamu yang ada di hati, Mas. Tidak ada wanita lain. Kamu itu, sudah sangat sempurna di mata, Mas. Sudah cantik, baik, rajin, body nagus. Apalagi yang bisa membuat Mas bisa berpaling dari kamu? Kalai kamu saja sudah sesempurna ini?"

"Iihh, Mas, gombal deh!"

"Mas, nggak pintar menggombal, Dek. Semua yang Mas katakan, adalah kebenarannya. Semenjak mengenal kamu, Mas serasa tidak ingin mengenal wanita lain. Mas, hanya menginginkan kamu di kehidupan saat ini, nanti, dan selamanya. Mas tidak akan tau, bagaimana hidup Mas, bila tanpa adanya kamu. Tidak mendengar kabarmu sehari saja, Mas rasanya sudah ingin cepat-cepat datang ke rumah, untuk melamarmu. Agar kita bisa selalu bersama-sama setiap waktu." Mas Fajar terdengar sangat serius saat mengatakannya. 

Aku jadi semakin jatuh cinta padanya. Semua kata-katanya sangat manis melebihi madu yang baru di ambil dari sarangnya. 

"Mbak Neni! Ngapain gagang sapu digigitin sampai pecah begitu?" tanya Sarah si pengganggu, yang tiba-tiba saja sudah nongol di depan pintu rumahku. 

Aku melihat sapu yang saat ini sedang kupegang. Ternyata benar. Ujungnya sudah pecah seribu. 

"Iisshh, mengganggu saja kamu itu! Terserahku dong, mau kuapakan gagang sapu ini. Mau aku telan sekalipun, itu bukan urusanmu!" sungutku pada Sarah yang masih terbengong.

Tadi, rencanaya aku hendak menyapu. Karena terlalu rindu pada Mas Fajar, sekalian saja aku menelponnya. Tapi, ternyata aku sampai lupa diri dan malah mengigiti gagang sapu ini. 

"Ya, Maaf, Mbak. Tapi, tadi Mbak Neni dipanggil, Nenek."

"Ada apa Nenek memanggilku?" tanyaku sewot. 

"Mana Sarah tahu. Coba aja datang ke sana." Gadis bertubuh cungkring itu berbalik, lalu kembali ke rumahnya.

Astaga! Gara-gara Sarah, aku sampai lupa kalau sedang bertelepon dengan Mas Fajar. 

"Hallo, Mas. Sudah dulu, ya. Adek mau ke rumah Nenek, dulu. Nanti, Adek kabari kalau sudah ada uangnya."

"Iya sayang. Kalau bisa secepatnya, ya?"

"Iya, sayang. Ya, sudah dulu, ya."

"Iya. I love you, sayangku,"

"Love you too," jawabku dan setelahnya menutup telepon. 

***

"Nek, bisa tolong usahkan uang lima puluh juta?" tanyaku merayu Nenek yang sedang duduk selonjoran dan aku memijit pelan kakinya. 

Tadi, Nenek memintaku datang ke rumahnya hanya untuk makan masakannya. Ia tadi membeli hati ampela dan disambal pakai cabe hijau, kesukaanku. 

Dan setelah makan, aku akan mengutarakan niatku. Untung-untung Nenek bisa memberikannya. 

"Untuk apa uang sebanyak itu, Nduk? Nenek mana punya uang sebanyak itu," jawab Nenek seraya menatapku serius. 

"Untuk membantu calon suamiku naik pangkat, Nek. Katanya, setelah urusannya selesai, dia akan datang melamarku. Semua ini dia lakukan juga untukku, Nek."

"Tapi, itu uang nggak sedikit, Nduk. Nenek nggak punya."

"Gadaikan saja kebun karet, Nenek."

"Loh, jangan toh, Nduk. Cuma itu saja harta yang masih Nenek punya."

"Ihh, Nek. Pilih mana. Punya cucu menantu seorang TNI berpangkat tinggi, atau kebun karet Nenek yang nggak seberapa itu?" tanyaku kesal. 

Kebun karet selebar lidah kadal aja, dipertahankan. Seharusnya, Nenek itu memikirkan kebahagiaanku. Dia kan sudah tua, tak butuh lagi harta. Sebetar lagi juga sudah menghadap Tuhan.

Nenek hanya diam tidak menjawabku. 

"Nih, bayangin ya, Nek. Nanti, kalau ada tetangga atau teman Nenek yang tanya, tuh si Neni suaminya kerja apa? Nenek tinggal jawab dengan bangga, TNI. Nah, pasti mereka iri sama Nenek, karena beruntung punya cucu menantu TNI." Aku mulai mengompori Nenek. 

"Tapi, Nduk-"

"Sudahlah, Nek. Jangan banyak tapi. Pokoknya, nanti sediakan surat kebun karet Nenek. Kita ajukan pinjaman ke Bank. Neni nggak mau tau. Kalau Nenek nggak setuju, Neni sendiri yang akan bawa surat itu ke Bank atau pegadaian."

ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Mudrikah Ikah
cerita nya bagus banget
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status