Share

BAB 2 : Keputusan Sepihak

“A-apa…?” Suara Aruna tercekat. Tenggorokannya terasa kering dan perih. Napasnya perlahan mulai memburu. “Maksudmu bagaimana?”

“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita, Aruna.”

“Kenapa Jul? Aku berbuat salah apa? Kita bisa bicarakan baik-baik…” Aruna mencoba menahan dentum jantungnya yang menghentak sakit. Kedua matanya menyorot penuh kaget dan juga ketidakpahaman.

Julian menghela napas berat. “Aku telah memikirkan ini matang-matang dan aku memutuskan ini bukan dalam waktu singkat, Aruna.”

Melihat pandangan yang tanpa keraguan itu, Aruna tahu ia akan membuang tenaga percuma pada Julian. Ia lalu menoleh ke arah Ferliana dengan pandangan marah dan putus asa.

“Kau…” Kalimat Aruna terhenti sesaat. Tenggorokannya terasa perih. “Kau sengaja melakukan ini, Fer? Kau tahu Julian adalah kekasihku dan kami akan bertunangan. Tiba-tiba Julian memutuskan aku lalu ingin bersamamu. Apa yang kau lakukan? Apa yang telah kau lakukan di belakangku??”

Ferliana mengerjap. “Maaf, kak.. Aku… aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud seperti itu. Itu hanya khilaf…” ujar Ferliana terbata dengan suara lemah.

“Tidak sengaja? Tidak sengaja katamu?” Darah dalam tubuh Aruna serasa mulai mendidih.

Apa yang sedang dilakukan Ferli? Mengapa ia bertingkah seolah tidak berdaya seperti itu? Di mana semua kekuatan dan kegarangan seorang Ferliana setiap kali membentak dirinya di rumah?

“Bukankah kau yang menjatuhkan dirimu dalam pelukan kekasihku? Kau merayunya? Begitu bukan?” tuding Aruna dengan suara mulai meninggi.

Ferliana tampak beringsut ke arah Julian dengan ketakutan. Tangan kanannya meraih kemeja Julian dan menggenggamnya seolah meminta perlindungan.

“Aruna! Jangan kasar pada Ferli.”

Kedua bola mata Aruna membesar. ‘Kasar?? Aku kasar pada Ferli??’

 “Jul… seumur-umur aku tidak pernah kasar padanya! Tapi kali ini dia keterlaluan. Bertingkah seolah dia menjadi korban. Apa kau tahu aku sela--”

“Cukup!” Julian menghentikan kalimat Aruna. Alisnya bertaut menandakan ia mulai kehabisan kesabaran.

“Jul…”

“Kami tidak butuh drama ini, Aruna. Aku harus bertanggung jawab pada Ferliana,” tukas Julian dengan nada gusar.

“Ta-tanggung jawab? Khilaf yang kau maksud apakah…” Aruna melempar tatapannya pada Ferliana. “Fer? Kau tidur dengan Julian?!”

“Kakak, aku…” Ferliana tampak tergagap.

Aruna langsung berdiri dari duduknya dan dengan gerakan cepat ia menghampiri dan menarik lengan Ferliana kasar. “Jawab aku! Kau tidur dengan kekasihku?!”

Suara Aruna yang meninggi membuat beberapa pengunjung sekitar mereka menoleh dan mulai memperhatikan ketiganya dengan pandangan aneh.

“Jaga mulutmu! Jangan bersikap kasar pada Ferli, Aruna!” Julian menghentak kasar tangan Aruna dari Ferliana. “Ternyata benar kata Ferliana, kau adalah gadis yang kasar. Selama ini kau bersikap seolah menjadi gadis baik di depanku. Aku bersyukur sekarang bisa melihat bagaimana kamu sesungguhnya!”

“Jul…” Aruna terperangah. Tubuhnya membeku seketika.

“Kita tidak ada hubungan apa-apa. Aku akan segera menikahi Ferliana. Dan kamu!” Julian menunjuk muka Aruna. “Jangan sampai aku dengar kamu bersikap kasar lagi pada Ferliana! Kau paham?!”

Selepas kalimat itu selesai, Julian menarik tangan Ferliana dan bergegas meninggalkan tempat itu. Ferliana yang berada di belakang Julian, menolehkan kepalanya pada Aruna lalu memberikan seringai puas pada Aruna.

Mereka kemudian berlalu dan menghilang dari pandangan Aruna yang masih membatu di tempatnya.

Kedua tangan Aruna mengepal. Rongga dada dipenuhi rasa dingin yang membuat perih. Napas pun serasa berat dan sesak.

Apakah hubungan mereka hanya sampai di sini? Lima tahun bersama dan Julian meragukan dirinya? Apa Julian tidak mengenali dirinya selama ini? Begitu saja termakan ucapan Ferliana dan lebih mempercayainya.

Tanpa terasa buliran bening itu menetes perlahan. Potongan memori indah dirinya dengan Julian bertahun-tahun ini melintas dan seakan mengabur di pelupuk matanya.

Ia tidak memiliki siapapun yang dekat dengannya untuk menumpahkan segala keluh kesah selain Julian.

Sejak ayahnya mengalami kelumpuhan, dirinya harus ikut membantu memenuhi keperluan dalam rumah mereka, meski tak seberapa. Hanya Julian yang ia jadikan sebagai tempatnya mengadu dan mendapatkan suntikan semangat.

Apakah benar-benar harus berakhir seperti ini? Begitu saja?

* * *

CKIIITTTT!!!

Tuas rem ditarik kuat, namun terlambat.

BRUUUG!!

“Ya Tuhan!” Seruan kaget lolos dari mulut mungil berwarna pink segar.

Matanya menatap cemas mobil di depannya yang berhenti mendadak dan kini terlihat mobil sedan dengan logo seperti huruf B dengan sayap di belakangnya itu, penyok.

Aruna yang mengendarai motornya hingga mencium pantat mobil yang ditaksir memiliki harga dengan sembilan angka nol itu, bergegas turun dari kendaraannya.

Tanpa menurunkan masker dan tanpa melepas helm berwarna marun yang ia kenakan, ia berjalan gusar menghampiri pintu bagian kemudi mobil tersebut.

“Ada apa denganku hari ini? Mengapa kesialan terjadi beruntun hari ini?” keluhnya dengan mata tak sirna dari kecemasan.

Ia pun merutuki dalam hati si supir mobil itu yang keliru memberikan tanda pada lampu sen-nya. Hari ini mood-nya telah berantakan karena kejadian dengan Julian. Ia tak ingin mendapati dirinya harus mengalami bencana keuangan karena dituntut ganti rugi.

Dengan langkah kaki yang dimantapkan dan dengan hati yang dikuatkan, Aruna melangkah menuju pintu sisi pengemudi. Sedikit membungkuk tangan kanannya terulur lalu mengetuk kaca jendela mobil itu.

Tidak ada respon.

“Permisi!” seru Aruna sambil mengetuk kembali kaca jendela itu. Namun sang pengemudi tampak tidak menggubris. Entah apa yang sedang dilakukan orang itu di dalam mobil itu.

“Permisi!” Aruna mengetuk kembali kaca jendela mobil. Sepintas terlihat bayangan pria di balik kemudi. Aruna mendengkus kesal karena merasa diabaikan.

“Eh, Pak! Buka dulu hey! Gara-gara Anda ngerem mendadak, motor saya jadi penyok!”  

Perlahan dan dengan mulus kaca tersebut bergerak turun.

“Butuh berapa?” tanyanya singkat tapi tanpa menoleh pada Aruna. Membuat darah panas dalam tubuh Aruna menggelegak.

“Emangnya segala sesuatu bisa gitu aja diberesin dengan uang??” sewot Aruna dengan nada naik satu oktaf.

Rasa sesak di dalam dada yang masih ia tahan sejak keluar dari cafe tadi, masih menyisa. Dan kini ia harus berhadapan dengan orang arogan yang bahkan tidak mau repot-repot menoleh padanya.

Apakah orang itu pikir, Aruna adalah pengemis??

Tanpa bisa dihentikan lagi, emosi Aruna pun terpecah.

“Saya pikir cuma emak-emak galau aja yang suka kasih sen kiri tapi belok kanan. Atau sen kanan tapi melipir ke kiri. Anda itu ngerti etika berkendara ngga sih? Jangan mentang-mentang pake mobil me--”

“Aaaaaaahhhh!!!” Suara jeritan seorang anak menghentikan omelan Aruna.

Aruna terdiam dengan kaget. Pasalnya ia sedari tadi tidak melihat ada anak kecil dalam mobil itu.

“Aku gak mauuu!! Pokoknya ga mau!!” Suara anak itu terdengar lagi. Suara anak perempuan. Suara itu berasal dari jok belakang mobil.

Aruna tertegun. Lalu terlintas dalam pikirannya, satu hal buruk.

“Astaga!! Anda menculik anak??” tuding Aruna curiga dengan mata membesar. Ia memaksa melongok masuk melalui jendela yang terbuka setengah itu.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Zetha Salvatore
Tak apa Aruna dikatain Julian kasar, ntar belangnya Ferli juga ketauan sama dia. Btw siapakah pria sopir itu? Penisirin haha
goodnovel comment avatar
Weka
kasian aruna
goodnovel comment avatar
Its Me
Sad banget jadi Aruna🥲
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status