Share

BAB 3 : Menumpang

Kali ini pria di balik kemudi menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Aruna hingga membuat Aruna memundurkan kembali kepalanya.

Entah bagaimana sorot mata pria itu di balik kacamata hitamnya, namun Aruna bisa merasakan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuknya.

“Jaga omongan Anda!” bentaknya kesal. Ia lalu berbalik lagi menengok ke arah kursi belakang. “Mai, tenang dulu. Iya nanti Ayah lihat dulu jadwal Ayah ya?”

“Ngga mauuu!!! Ayah jahaaattt!! Aaaaahhhhnngg!!” Jeritan dan tangisan lalu terdengar cukup memekakkan telinga.

‘Oh, anaknya rupanya…’ Aruna melipat bibirnya ke dalam, sedikit merasa bersalah karena sempat menuduh pria di belakang kemudi itu sebagai penculik anak.

“Mai… Ayah ini ada meeting. Ayah harus segera kembali ke kantor…”

“Ngggaaaa!!! Jahaaattt!!!” Alih-alih mereda, tangisan itu kini terdengar lebih kencang. Bahkan terdengar kaki anak itu menghentak-hentak bagian belakang jok depan yang diduduki sang ayah.

Sang ayah, alias pengemudi mobil yang Aruna tabrak itu, tampak tak berdaya. Berusaha menenangkan sang anak, namun yang didapat adalah jeritan yang kian menggema seantero isi mobil.

Merasa iba, Aruna lalu berkata pada pengemudi itu. “Saya bantu Anda. Kalau saya ketuk tiga kali jendela mobil-nya, Anda buka kan jendela belakang. Ok?.”

Pria itu menoleh dengan kening berkerut. Entah tanda tak paham, atau tanda tak suka karena Aruna memerintahnya.  

“Udah, lakukan saja,” tukas Aruna tak menghiraukan ekspresi rumit pria itu dari keningnya yang melesak dalam.

Aruna lalu menggeser tubuhnya ke jendela di belakang pria itu, lalu merunduk.

Jemarinya ia angkat lalu mengetuk berirama pada jendela tersebut.

Ia menunggu. Selang beberapa detik kemudian, jemarinya mengetuk lagi dengan irama yang sama. Aruna melakukan lagi, setelah beberapa detik berikutnya. Sampai akhirnya jeritan dan tangisan anak itu mereda.

Aruna lalu mengetuk tiga kali di jendela. Kepalanya menoleh ke arah jendela pengemudi.

“Hey! Buka!” bisik Aruna pada pria itu.

Dengan suara decakan kesal yang terdengar, pria itu tetap mengikuti arahan Aruna dan menekan sebuah tombol hingga jendela di belakangnya turun terbuka.

Aruna mengangkat kedua tangannya. Ia tekuk empat jarinya hingga menempel dengan jari jempol. Begitu pula dengan tangan satunya, hingga masing-masing membentuk seperti mulut yang saling berhadapan.

Aruna berdehem sedikit.

“Heyy apa kau dengar suara ribut-ribut tadi??” Aruna membuat tekanan pada suaranya hingga terdengar seperti suara anak kecil. Sementara tangan kanannya ia gerakkan membuka dan menutup, mengikuti suaranya. Seolah tangan itu sedang berbicara.

“Ah, masa sih? Aku tidak dengar suara ribut-ribut. Ada juga suara yang nangis…” kali ini Aruna memberatkan suaranya dan tangan kirinya bergerak-gerak mengikuti kalimat yang ia ucapkan.

“Ih! Iya suara nangis. Itu kan sama aja suara ribut,” tangan kanan Aruna giliran bergerak kembali.

“Oh, aku pikir beda. Hohoho…” tangan kiri bersuara berat, bergerak lagi.

Suara sisa tangisan yang tadi masih terdengar, perlahan lenyap lalu berganti kekehan kecil si anak perempuan.

“Eh!! Siapa tuh yang ketawa??” tangan kiri Aruna bergerak.

“Iya! Siapa tuh yang ketawa barusan?” tangan kanan bergerak.

“Aku…” suara imut yang agak serak, terdengar menjawab.

“Aku siapa?”

“Maira…” jawab anak itu malu-malu.

“Wah Maira… nama yang bagus! Aku Obi,” tangan kanan Aruna bergerak.

“Aku Ibo,” tangan kiri Aruna bergerak. “Kita kenalan dan temenan yaaa.”

“Iya.”

Sandiwara boneka yang Aruna lakukan berhasil membuat sang anak perempuan yang bernama Maira tersebut melupakan tangisannya. Anak itu tergelak dan menjawab riang pertanyaan yang dilemparkan Aruna melalui Obi dan Ibo yang diperankan oleh kedua tangannya.

Dari penuturan anak itu pula, Aruna mengetahui bahwa Maira kecewa, karena sang ayah mengingkari janjinya untuk datang melihat pertunjukan kelasnya tadi siang. Maira menyebutkan bahwa sang ayah lebih sayang pada pekerjaannya daripada dirinya.

Melalui Obi dan Ibo Aruna berhasil memberikan kesepakatan antara anak dan ayah itu. Maira mengikuti apa yang ‘dikatakan’ oleh Obi dan Ibo padanya.

Demikan sandiwara boneka sederhana ala Aruna membebaskan sang pengemudi mobil sedan hitam itu dari kemacetan panjang di perempatan jalan.

Aruna berdiri dan melambaikan tangan pada Maira yang tampak tersenyum memeluk tas ransel berbentuk salah satu karakter kartun terkenal.

“Hubungi saja ke nomor ini jika ada kerusakan kendaraan kamu yang perlu saya ganti,” suara bernada perintah pria itu menghentikan senyum di wajah Aruna. Pria itu mengulurkan sebuah kartu nama.

Aruna melangkah mendekat ke jendela kemudi hendak mengambil kartu nama tersebut. Namun belum lagi tangannya dengan kuat menggenggam kartu itu, si pengemudi itu menginjak gas dan berlalu dengan cepat.

“Ah!” Aruna tersentak ketika kartu nama yang sama sekali belum sempat ia baca tersebut terlepas dari tangannya dan melayang.

“Tunggu… aduh… jangan pergi! Aduh… sumber dana bengkel ku! Tunggu!” Aruna mengejar kartu nama itu.

Terlambat. Kartu itu telah masuk ke dalam selokan di pinggir jalan.

“Arrrggh!” pekik Aruna kesal. “Dana bengkelku…” ratapnya dengan mata sendu menatap selokan yang telah menenggelamkan sempurna kartu nama itu. “Gimana bisa minta ganti rugi, kalo gini…” rintihnya.

Kedua manik mata berwarna coklat dengan bulu mata lentik milik Aruna bergerak sayu dan menatap pilu pada lembaran kartu nama yang telah berubah warna seperti warna air selokan yang cukup jauh dari jangkauannya itu.

Warna yang serupa di dalam hatinya, mendung menghitam. Karena ia tahu, selain harus mengatasi patah hatinya oleh Julian, ia juga akan berjibaku dengan jam-jam lembur panjang, untuk bisa memperbaiki motor milik temannya yang ia pinjam hari itu.

* * *

“Urusan kita belum selesai. Jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi denganmu dan Julian?”

Malam itu selepas Aruna mengembalikan motor pada temannya, ia mendatangi kamar Ferliana, adik tirinya.

“Ya seperti yang kau lihat. Julian sepertinya menyukaiku,” jawab Ferliana santai sambil menyisir rambut panjangnya yang ia cat merah marun.

“Kamu tau kan, Julian sedang menjalin hubungan denganku?” Mata Aruna menyipit.

“Yeah. So?”

“So?” Aruna melangkah mendekati adik tirinya. “Apa kamu ngga punya hati, menjalin hubungan dengan pacar saudaramu sendiri?”

“Dia yang menggodaku terus,” jawab Ferli acuh.

“Apa kamu yakin dia yang menggodamu, bukan sebaliknya? Kau menggoda calon tunanganku dan bahkan melempar dirimu sendiri hingga tidur dengannya? Murahan sekali kamu Fer!”

Ferli membanting sisirnya ke meja lalu berbalik. “Ga usah rese deh Run! Kamu ngaca dong. Kamu gak pernah ngurus diri sendiri apalagi ngurus dia. Kamu sibuk dan gak punya waktu buat dia. Jadi wajarlah, kalau dia mendekatiku! Punya otak tuh dipake! Laki-laki butuh menyalurkan hasratnya. Sementara kamu?”

Rahang Aruna mengerat.

“Kamu sadar kan, aku sibuk untuk apa dan untuk siapa?” Suara Aruna tertahan bercampur amarah yang sejak tadi mulai membakar dirinya. “Untuk kalian! Untuk makan orang-orang di rumah ini!” desisnya. “Dasar wanita murahan!”

“Aruna!!” Pintu terbuka diiringi bentakan kasar Lisa.

Ibu tiri Aruna itu telah berada di ambang pintu dengan mata menatap tajam pada Aruna. Langkah-langkah lebar membawa dirinya mendekat pada Aruna dan seketika tangan kirinya menjambak rambut Aruna dengan keras.

“Aduh, sakit Bu!” seru Aruna tertahan. Tangannya berusaha memegangi rambut yang ditarik kuat oleh tangan Lisa.

“Kamu bilang apa tadi, anak tak tau di untung?!” bentak Lisa kasar. “Siapa yang kamu sebut murahan, hah?!”

“Lepasin Bu…”

“Kamu yang seharusnya berterima kasih karena kami membiarkanmu tinggal di sini gratis!”

“Sakit, Bu. Lepasin…” rintih Aruna terus meringis menahan nyeri di kepalanya.

“Ingat baik-baik, kalau sampai aku dengar kalimat-kalimat tidak tahu terima kasih seperti tadi, kamu dan ayahmu yang tak berguna itu silahkan angkat kaki dari rumah ini. Paham?!”

Aruna mengangguk pelan dan Lisa langsung menghempas tangan yang menjambak rambut Aruna itu ke sisi.

“Jangan lupa! Tugasmu adalah menjadi tunangan dan menikah dengan Anton. Lupakan Julian. Aku tidak mau lagi mendengar kamu menjalin hubungan dengan siapapun!”

Aruna terdiam.

“Ingat baik-baik. Kamu dan ayahmu, menumpang. M-E-N-U-M-P-A-N-G.”

* * *

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Anita Septiani
mendingN pergi aja aruna..bawa ayah kamu toh km kn juga kerja...
goodnovel comment avatar
Zetha Salvatore
Uchhh gemes aku sama Lisa dan Ferli. Cuss buruan kabur, Aruna. moga ketemu papanya Maira hehe
goodnovel comment avatar
Weka
Mengsad deh 🥹
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status