Share

BAB 6 : Penculik Anak?

Aruna terhenyak kaget.

“Kaya denger suara anak kecil. Apa salah denger kali ya…” gumam Aruna was was. “Duh… apa jangan-jangan suara ‘penghuni’ toilet ini?” Aruna bergidik lalu buru-buru memasukkan lembaran uang itu ke dalam tasnya.

Tok tok tok.

“Kak…. Apa ada orang di situ…” Suara kecil lirih terdengar lagi.

Aruna menajamkan pendengarannya. “Itu… siapa yang ngetuk?”

“Aku, Kak. Mau minta tolong…”

‘Ah, benar. Ini suara anak kecil. Manusia kah?’

“Tolongin Kak. Aku udah lama di sini ga bisa keluar…”

Aruna mengernyitkan kening. “Apa kamu terjebak di situ?”

“Iya Kak…”

“Ya ampun!” Aruna bergegas berdiri dan keluar dari bilik toilet. Ia lalu beralih ke pintu di sebelah biliknya tadi. “Dek, kamu di sini?”

“Iya Kak…” jawabnya lemah.

Aruna lalu mencoba mendorong pintu toilet itu dengan kuat.

“Kakak ngapain?” Terdengar suara kecil itu bertanya.

“Kakak coba buka paksa pintunya…” jawab Aruna sambil terus mendorong pintu toilet itu.

“Jangan Kak, nanti rusak. Nanti kebuka pintunya!” seru anak itu.

“Lho, kakak bukain kan biar kamu bisa keluar, Dek?”

“Ngga mau!”

“Kenapa?” Aruna menghentikan dorongannya pada pintu dan berdiri bingung.

“Soalnya aku malu. Aku ga mau keluar. Aku malu.”

“Malu kenapa?”

Anak itu terdiam tidak menjawab.

Aruna mengetuk pintu bilik anak itu perlahan. “Dek, malu kenapa? Kalau kakak ngga tau, bagaimana kakak bisa bantu?”

Hening sesaat. Namun sejurus kemudian, anak itu membuka suaranya.

“Tapi janji jangan bilang siapa-siapa!”

“Oke. Kakak janji.”

“Kakak juga gak boleh ketawain aku.”

“Oke. Kakak gak akan ketawain,” jawab Aruna yakin. “Jadi, kamu kenapa?”

“Aku…” anak itu menjeda kalimatnya. “Celanaku kena pipis…”

* * *

Aruna menghembuskan napas panjang saat membayar pakaian dalam anak dan satu legging berukuran anak usia enam sampai tujuh tahun.

Anak yang mengunci dirinya di dalam toilet dan tak mau keluar itu, ternyata telah membasahi celananya karena tidak bisa lagi menahan buang air kecilnya.

Setelah membayar, Aruna bergegas kembali ke toilet tempat anak itu mengurung dirinya dengan setengah berlari.

Sesampainya, ia mengetuk dan membantu anak itu memakaikan celana dalam dan juga mengganti legging yang ikut basah dengan legging yang baru Aruna beli.

Ia lalu menemani gadis kecil yang mengatakan berusia enam tahun dan bernama Mai itu, mencari orangtuanya.

“Jadi namamu Mai?”

“He-em,” jawab gadis kecil itu mantap. Jemari kecilnya menggenggam erat keempat jari Aruna saat menyusuri gerai demi gerai. Sesekali ia menoleh ke atas menatap Aruna yang seolah telah menjadi dewi penolongnya di toilet tadi.

“Kakak cantik,” puji Mai terus terang.

“Iya dong. Kakak cantik, Mai juga cantik, karena kita kan…”

“Penculik anak! Berhenti kamu!” sebuah suara terdengar keras diiringi sentakan kasar di lengan kanan Aruna dari arah belakang.

Aruna mengaduh.

Lengan kanannya digenggam kuat oleh tangan kekar seseorang. Ia menoleh cepat pada pemilik tangan itu dan sontak membelalak.

“Ka-kamu si pria arogan tak sopan!” seru Aruna dengan mata mendelik.

Pria itu adalah pria yang telah memberikan berlembar-lembar uang berwarna merah sebelumnya. Pria yang tidak punya etika dan sombong akut.

“Mau kamu bawa kemana anak saya?” bentak pria itu.

“Ayah!” Mai berjingkrak riang saat ia berbalik dan melihat pria yang mencengkeram lengan Aruna itu.

Pria itu langsung menarik dan menggendong Mai dalam pelukannya dengan sebelah tangan, tanpa melepaskan tangan satunya dari lengan Aruna.

“Sakit, lepasin!” Aruna menghentak lengannya dengan keras. Namun cengkeraman itu tak kunjung terlepas.

“Ayah, lepasin Kak Una. Kak Una tadi udah bantuin Mai…”

Pria itu menoleh pada putrinya. “Kak Una?”

Mai menganggukkan kepala mungilnya. “Iya. Namanya Kak Una.”

Pria yang dipanggil ‘ayah’ itu mengeratkan rahangnya. Ia menoleh pada Aruna dengan tatapan mengancam.

“Diam di situ. Urusan kita belum clear.” Lalu ia menurunkan Mai dari gendongannya, berjongkok dan memegang kedua bahu Mai.

“Mai, apa yang pernah ayah bilang? Jangan sembarangan percaya pada orang asing. Jangan sembarangan ikut dengan orang asing. Apa Mai lupa?” tanyanya pelan namun dengan nada tegas.

“Tapi…”

“Apa Mai lupa?” ulang pria itu tetap dengan nada tegasnya.

“Tidak lupa, Yah. Tapi…”

“Ayah tidak ingin ada bantahan. Mai harus ingat selalu pesan ayah itu karena hal itu menyangkut keamanan Mai. Apa Mai paham?”

“Ck! Benar-benar seorang ayah yang kaku, dingin, gak bereperasaan…” celutuk Aruna yang menyimak interaksi duo ayah anak itu.

Tatapan setajam belati kembali dilayangkan pria itu pada Aruna. Namun Aruna kali ini menatap balik dengan rasa jengkelnya yang tak bisa ia tahan.

“Dengarkan dulu penjelasan anak, biar tahu permasalahan yang terjadi. Jangan langsung menghakimi seperti itu, Pak,” kesal Aruna lalu mendengkus.

“Apa Anda tidak bisa menghargai hak anak Anda sendiri untuk membela diri?” imbuhnya lagi masih dengan nada jengkel. “Benar-benar kaku bin tak peka…”

Pria itu memicingkan mata, memperlihatkan raut tidak suka atas kalimat Aruna yang dianggap mencampuri urusannya.

Ia lalu mengembalikan fokusnya pada sang anak. Namun ia tersentak tatkala mendapati kedua mata jernih sang anak yang tengah digenangi telaga airmata.

“Ayah marah sama Mai…?” tanya gadis kecil itu lirih.

Pria itu tertegun sedetik lalu menggelengkan kepalanya cepat.

“Ssh.. Tidak Baby, ayah tidak marah padamu. Ayah hanya sangat khawatir mencarimu kemana-mana tadi,” ujar pria itu dengan nada pelan.

“Ayah tadi benar-benar khawatir. Ayah tidak marah…”  

Aruna sempat mengernyitkan kening, terasa seperti familiar dengan duo anak-ayah tersebut. Tapi Aruna tidak terlalu yakin di mana atau kapan rasanya ia pernah melihat keduanya.  

Aruna kembali memperhatikan ayah dan anak di depannya.

Ia cukup terkesima melihat perubahan drastis sorot mata pria itu dari yang semula sangat dingin dan tajam pada dirinya, menjadi tatapan lembut yang menenangkan.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Aruna terangkat. Teringat ayahnya yang begitu menyayangi dirinya, seperti pria itu menyayangi putrinya.

Anak itu tampak terisak lalu dengan terbata-bata mencoba menjelaskan mengapa ia tadi meninggalkan ayahnya dan menuju toilet seorang diri.

“Ayah sedang telpon penting… aku.. aku sudah kasih tau Ayah. Aku menarik tangan Ayah, tapi Ayah nyuruh aku tunggu terus. Aku sudah gak tahan pengen pipis, Yah. Jadi aku ke toilet sendiri…” ujar gadis kecil itu menjelaskan.

Seketika, raut wajah bersalah menampak pada diri sang ayah.

“Aku ga bisa keluar dari dalam toilet soalnya celanaku basah. Aku udah ga tahan tadi, Yah,” tuturnya lagi dengan muka sedih.

Ia lalu melemparkan pandangan pada Aruna. “Untung ada kakak Una di sebelah. Kakak Una yang bantu aku… Maaf Yah…”

“Tidak Baby. Ayah yang salah. Ayah yang minta maaf, ok?” Tangan sang Ayah memeluk gadis kecil itu dengan erat. “Maafkan ayah yang mengabaikanmu tadi hanya karena sebuah telpon.”

“Ya. Dasar ayah tak peka dan kaku. Ck,” Kalimat itu tanpa sadar lepas begitu saja dari mulut Aruna dan terdengar jelas oleh pria itu beserta anaknya.

Mereka berdua menoleh pada Aruna.

Aruna langsung merapatkan bibirnya dan mengutuk dirinya yang keceplosan merusak suasana harmonis ayah dan anak itu.

“Ma-maaf. Aku pamit dulu…” Dengan canggung Aruna membalikkan badannya dan hendak menjauh dari tempat itu.

“Kamu… Tunggu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status